Volume
Avg volume
PT Megapolitan Developments Tbk merupakan perusahaan properti yang merintis pengembangan properti di kawasan Cinere. Kegiatannya antara lain melakukan pengembangan kawasan hunian dan komersial serta pembangunan fasilitas penunjang lainnya. Selain itu perusahaan juga mengembangkan mixed used building di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Hingga kini, Perseroan telah mengembangkan 32 proyek yang terdiri dari 6 proyek apartemen, 16 proyek residensial dan 11 proyek komersial.
$EMDE Q1 2025: Mengapa Bisa Utang Hilang Tanpa Dibayar?
Request dari salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Artikel lain tentang EMDE bisa cek di sini https://stockbit.com/post/18493489
Kalau kita bongkar laporan keuangan PT Megapolitan Developments Tbk (EMDE) per Maret 2025 dari hulu ke hilir, kita bakal nemuin cerita klasik perusahaan properti: aset besar, revenue lambat, kas seret, dan utang yang kadang hilang secara misterius. Total aset EMDE menyusut dari Rp3,75 Triliun di akhir 2024 menjadi Rp3,46 Triliun di akhir kuartal I 2025. Penurunan Rp285 Miliar ini bukan hasil jual properti besar-besaran, melainkan hasil akrobat akuntansi: entitas asosiasi mereka, PT Megapolitan Mentari Persada (MMP), dikonsolidasi penuh jadi anak usaha, cukup dengan menaruh orang-orang EMDE di kursi direksi MMP—meskipun kepemilikan saham tetap 40%. Otomatis, piutang ke MMP hilang dari neraca, nilai investasi entitas asosiasi ditransfer, dan tanah serta mall milik MMP masuk jadi aset EMDE. Akibatnya, laporan keuangan EMDE seolah dapat suntikan aset baru tanpa keluar uang sepeser pun. Keren? Mungkin. Ajaib? Jelas. Tapi buat investor jeli, ini alarm awal bahwa angka-angka EMDE perlu dibaca dengan kacamata skeptis. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di aset lancar, dominasi utama masih di persediaan properti senilai Rp1,38 Triliun, atau 88% dari total aset lancar. Tapi nilainya justru turun tipis -1,2% dibanding akhir tahun lalu. Penurunan terutama terjadi di pos bangunan siap jual, dari Rp374 Miliar ke Rp356 Miliar, disertai penurunan luas dari 12.026 m² ke 9.577 m². Artinya memang ada penjualan unit, tapi belum signifikan karena uang muka baru dari konsumen selama Q1 2025 hanya Rp5,91 Miliar. Revenue diakui Rp50,19 Miliar, tapi penerimaan kas hanya Rp20,23 Miliar—berarti sebagian besar revenue belum cair. Jadi meskipun penjualan terjadi, duitnya belum masuk. Lebih repot lagi, kas dan setara kas EMDE turun dari Rp165 Miliar ke Rp144 Miliar. Dan kalau dibandingkan dengan utang jangka pendek yang mencapai Rp652 Miliar, kas ini cuma cukup menutup 22% dari total utang lancar. Artinya, likuiditas EMDE sedang tipis-tipisnya. Perusahaan bergantung penuh pada penjualan properti berikutnya, padahal proyek baru belum kelihatan, dan marketing cost malah ditekan.
Kita lompat ke properti investasi—nilai buku tetap di Rp1,51 Triliun, tapi pendapatan sewa justru turun -5,9% jadi Rp11,01 Miliar dari Rp11,70 Miliar tahun lalu. Ini mencerminkan pola klasik properti jumbo dengan revenue minimal. Properti-properti seperti Cinere Mall, Bellevue Mall, dan Vivo Mall punya nilai besar dan diasuransikan hingga Rp2,12 Triliun, tapi performa keuangannya stagnan. Tambahan aset dari MMP—termasuk tanah di Pasirlaja 378.923 m²—bikin tanah belum dikembangkan naik dari Rp338 Miliar ke Rp357 Miliar. Tapi bukan karena beli baru, hanya karena mutasi entitas. Total luas tanah EMDE lebih dari 1 juta m², tapi beberapa di antaranya sedang diseret ke meja hijau: sengketa tanah Limo, gugatan Br. Umar dan Hj. Domih, hingga kasus tanah 1.500 m² yang sudah kalah permanen di MA dan dihapus dari neraca. Jadi nggak semua angka di laporan bisa diasumsikan solid—bisa jadi sebagian tanah yang tercatat di neraca itu secara hukum udah bukan milik EMDE lagi.
Sekarang bagian paling dramatis: liabilitas. Dari Rp1,87 Triliun di akhir 2024, tinggal Rp1,26 Triliun di akhir Maret 2025—turun Rp610 Miliar atau -32,7% hanya dalam waktu 3 bulan. Tapi bukan karena EMDE sibuk bayar utang. Kenyataannya, pembayaran ke pihak berelasi hanya Rp164 Juta dan ke bank Rp154 Juta. Sementara liabilitas yang hilang terutama berasal dari utang usaha dan utang lain-lain kepada pihak berelasi, terutama MMP. Karena MMP sekarang anak usaha, semua transaksi antar EMDE dan MMP dihilangkan dari laporan konsolidasi. Total yang lenyap dari dua akun ini saja mencapai Rp565,6 Miliar. Sayangnya, tidak ada disclosure eksplisit bahwa ini terjadi karena konsolidasi. Tidak ada catatan di bagian arus kas atau transaksi non-kas. Akibatnya, bagi yang tidak teliti membaca, bisa terjebak mengira EMDE berhasil lunasi utang besar dalam waktu singkat. Padahal utangnya hanya berpindah dimensi dari eksternal ke internal lalu dieliminasi secara akuntansi. Ini sah menurut PSAK, tapi tidak transparan kalau tidak dijelaskan dengan gamblang.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sisa liabilitas EMDE didominasi oleh tiga hal: uang muka pelanggan Rp447,85 Miliar (alias utang dalam bentuk janji serah terima unit), utang berbunga ke Gold Triumph sebesar Rp432,95 Miliar, dan sisanya utang ke individu dalam grup (Lora Melani, Barbara Barak Rimba, Spectrum Instrumen). Yang menarik, Spectrum Instrumen baru muncul tahun ini tapi langsung pegang Rp38,92 Miliar. Tidak ada penjelasan siapa mereka dan dari mana datangnya. Gold Triumph sendiri adalah pihak yang “membeli” piutang bermasalah EMDE dari $BBTN dan $BBNI melalui cessie. Sebelumnya, bunga dari utang ini bahkan pernah ditangguhkan 95% selama 18 bulan, jadi bisa dibilang ini utang macet yang dibungkus ulang. Secara total, utang berbunga tidak turun, dan beban bunga di masa depan tetap akan jadi bom waktu kalau likuiditas tidak segera membaik.
Kalau kita lihat laba rugi, EMDE mencatat laba bersih Rp2,63 Miliar, berbanding rugi Rp7,92 Miliar tahun lalu. Tapi 57% dari laba ini bukan milik entitas induk—pemegang saham hanya kebagian Rp1,12 Miliar. Revenue tumbuh 15,1% ke Rp50,19 Miliar, tapi beban pokok ikut melonjak 69% jadi Rp26,95 Miliar. Margin bruto anjlok dari 63% ke 46%. Di properti apartemen misalnya, revenue naik tajam tapi margin turun dari 75% ke 31%. Artinya, EMDE terpaksa jual dengan harga diskon atau biaya naik signifikan. Satu-satunya penyelamat laba adalah beban bunga yang anjlok dari Rp15,86 Miliar ke Rp174 Juta—karena restrukturisasi dan cessie, bukan karena utangnya lunas. Tapi meski laba bersih muncul, arus kas tetap defisit Rp18,42 Miliar, dan saldo kas turun Rp21 Miliar. Jadi laba hanya ada di laporan, tapi tidak masuk rekening.
Dari sisi valuasi, EMDE ini paradox. Harga saham Rp96 kelihatan sangat murah dibanding book value Rp624/saham (PBV 0,15x) dan NAV sekitar Rp593/saham. Tapi dari sisi laba, PER-nya tembus 287x. Kalau laba Q1 diulang setahun, PER tetap 72x—mahal untuk perusahaan properti yang nggak bagi dividen dan revenue stagnan. EV/EBITDA pun 45x, jauh dari layak untuk sektor padat aset. Artinya, investor hanya akan tertarik kalau mereka percaya suatu saat tanah EMDE bisa dikonversi jadi properti produktif dan dijual dengan margin besar. Tapi selama tanah-tanah ini masih nyangkut di pengadilan atau belum bisa dikembangkan, harga saham murah ini justru mencerminkan skeptisisme pasar terhadap kemampuan realisasi nilai asetnya.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
EMDE ini ibarat orang kaya yang isi dompetnya kosong. Asetnya banyak, tanahnya luas, mall-nya megah, tapi duit tunainya tipis dan revenue-nya belum cukup menopang operasional. Utangnya kelihatan menyusut, tapi lebih karena permainan akuntansi ketimbang pembayaran riil. Labanya muncul bukan dari efisiensi atau ekspansi, tapi dari hilangnya beban bunga karena cessie utang. Dan cashflow-nya masih negatif. Jadi buat investor, EMDE ini bukan saham untuk yang cari dividen atau EPS tinggi. Ini saham untuk yang sabarnya level dewa, siap menunggu bertahun-tahun sampai tanah bisa dijual, sengketa selesai, dan properti mulai menghasilkan. Kalau tidak, yang ada malah gigit jari nunggu value yang cuma eksis di atas kertas.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10
$EMDE Ini Kenapa Lagi?
Request salah satu user Stockbit lewat PM Telegram bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Sebelumnya saya sudah pernah bahas EMDE di artikel sebelumnya di sini
EMDE 1
https://stockbit.com/post/18087061
EMDE 2
https://stockbit.com/post/18087091
EMDE 3
https://stockbit.com/post/18087107
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$MINA
Penjelasan lengkap emiten lainnya $MAPA $EMDE di https://cutt.ly/rrhYE6HF
@gibransi okk siip.
jgn sampe kyak $EMDE Lknya bagus bener,, tp banyak masalah sengketa tanahnya🤣. dan parahnya, sengketa lahannya tak dimasukkan LK dlam bntuk kerugian..masih dianggap punya lahan. pdahal dah jelas2 kalah banding
@rusli7 kalo 3%, artinya buybacknya 100jt lembar atau 1jt lot
barang 1jt lot cari dimana bang?
jumlah pemegang sahamnya ga sampe 1500 SID $EMDE
dengan budget buyback Rp10Milyar, jumlah saham yang akan di buyback tidak lebih dari 0.03%?
ini corsec nya ga salah ketik? budget 10Bio cuma mau dipake beli 0.03% saham?
0.03% x 3.350.000.000 = 1.005.000 lembar = 10K lot
kalo jumlah saham yang mau di buyback cuma 10K lot, mari kita hitung batas harga buybacknya
Rp10 Milyar : 1.005.000 lembar = Rp9.950/lembar
batas atas buybacknya di harga 9K?
ini ownernya mau buyback atau go private?
$EMDE $IHSG
Mall $EMDE
Diskusi hari ini tentang EMDE di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
EMDE mungkin selama ini dikenal sebagai pengembang properti hunian, tapi sebenarnya mereka juga punya lini bisnis lain yang cukup penting: mal. Totalnya ada lima pusat perbelanjaan yang mereka kelola, tersebar di dua lokasi utama yaitu Sentul dan Cinere. Di Sentul ada Vivo Mall, Vivo Walk, dan Galeria Kiosk Mall. Sementara di Cinere, mereka punya Cinere Mall dan Cinere Bellevue Mall. Masing-masing mal ini punya penyewa besar, kontrak panjang, dan tentunya menjadi sumber pendapatan rutin alias recurring income buat EMDE. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Mulai dari yang terbesar: Vivo Mall Sentul berdiri di atas tanah 10.455 m² dengan bangunan komersial seluas 71.341 m². Isinya lumayan komplit, ada CGV Cinema dengan kontrak sewa 20 tahun sejak 2015, lalu H&M yang juga sempat sewa 20 tahun tapi kontraknya habis di April 2024 dan belum diperpanjang. Ada juga Janji Jiwa yang hanya sewa 1 tahun mulai Oktober 2023, dan tenant F&B lainnya seperti Solaria. Mall ini dikelola oleh anak usaha EMDE, PT Tirta Persada Developments. Sayangnya, saat ini mall ini sedang dalam sengketa hukum dengan Lulu Group, penyewa besar yang digugat EMDE karena diduga wanprestasi.
Bergeser ke Cinere Mall, EMDE menyewakan bangunan 24.085 m² kepada tenant-tenant terkenal juga. Ada DSE Factory Outlet (sewa 5 tahun mulai 2023), MR. D.I.Y (5 tahun), KFC (kontrak revenue sharing 5 tahun), JCO, Roti O, dan tentu saja McDonald’s yang teken kontrak jangka panjang selama 20 tahun. Di mal ini juga ada bioskop yang dikelola oleh PT Lia Anugerah Semesta dengan perjanjian 10+10 tahun sampai 2033. Sementara di sebelahnya, Cinere Bellevue Mall punya tenant andalan XXI Cinema (sewa 20 tahun sampai 2033) dan Mars Gym (sewa 5 tahun dari 2023).
Nah, dari seluruh mal yang mereka kelola ini, EMDE mencatatkan pendapatan sewa sebesar Rp55,90 miliar di tahun 2024—turun tipis dari Rp56,93 miliar di 2023. Tapi kalau dibandingin total revenue EMDE yang tembus Rp1,35 triliun, porsi pendapatan sewa ini cuma 4,13% doang. Bukan penopang utama, tapi tetap penting karena sifatnya berulang. Dari sisi profit, mereka berhasil cetak laba kotor sewa Rp31,89 miliar, dengan margin kotor sekitar 57%. Sayangnya, setelah dihitung semua beban, termasuk pajak final Rp3,36 miliar dan kemungkinan depresiasi, segmen ini malah tekor, rugi sebelum pajak sampai Rp190,21 miliar, alias margin -352%. Jadi secara operasional untung, tapi setelah dihitung-hitung lagi jadi rugi besar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Segmen mal EMDE sebenarnya menarik kalau dilihat dari portofolio tenant dan kontrak panjangnya. Tapi secara keuangan, masih belum bisa diandalkan sebagai mesin laba, apalagi ditambah dengan gugatan hukum di proyek Vivo dan beberapa ruang kosong bekas tenant besar yang belum disewa ulang. Jadi walaupun terlihat keren di permukaan, bisnis mal EMDE masih butuh kerja keras buat balik modal dan benar-benar kasih untung.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BSDE $PWON
1/10
Sengketa Hukum $EMDE: Dari Lahan Adat Sampai Mall Internasional
Diskusi hari ini tentang sengketa hukum EMDE di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PT Megapolitan Developments Tbk (EMDE) sedang berada dalam pusaran berbagai sengketa hukum yang kompleks, mencakup konflik pertanahan, gugatan konsumen, hingga perkara wanprestasi dengan pemain ritel asing. Sebagian kasus sudah selesai dengan hasil beragam, sementara lainnya masih bergulir di meja hijau. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pertama, EMDE berhasil mempertahankan Perjanjian Perdamaian dalam proses PKPU anak usahanya, PT Mega Pasanggrahan Indah. Upaya konsumen membatalkan perjanjian tersebut telah ditolak pengadilan. ✅
Namun, perusahaan terpukul dalam kasus sengketa tanah adat melawan H. Umar Jaya. Dalam perkara No. 208/Pdt.G/2019/PN.Dpk, Mahkamah Agung menyatakan tanah di wilayah Limo, Depok adalah hak milik adat Umar Jaya, bukan SHGB milik EMDE maupun anak usahanya PT Mega Limo Estate. ❌
Nasib serupa dialami EMDE dalam kasus pembatalan 32 sertifikat tanah oleh Sukma Pradana dkk. Meski sempat menang di PTUN Bandung, EMDE kemudian kalah di banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK) yang ditolak pada 6 Mei 2024. ❌
Perkara lain yang belum selesai melibatkan gugatan atas satu sertifikat tanah oleh Burhanudin Abu Bakar. PT MLE, anak usaha EMDE, awalnya menang di tingkat pertama, tetapi kalah di banding dan kasasi. Kini kasus itu dalam proses PK. ⚠️
Di sisi konsumen, EMDE menghadapi gugatan karena tidak menyediakan akses jalan dan jembatan ke proyek hunian. PN sempat menolak gugatan tersebut, tetapi dibatalkan oleh pengadilan tinggi. Kini sedang menunggu hasil kasasi. ⚠️
Satu lagi perkara tanah berasal dari klaim atas SHM No. 8 Blok Kramat, Limo, oleh pihak bernama Tamin bin Muhasim. Gugatan ini masih dalam proses awal dan belum ada putusan. ⚠️
Selain konflik lahan, EMDE (melalui PT Tirta Persada Developments) juga tengah menggugat Lulu Group (pengelola Vivo Mall) atas dugaan wanprestasi. Walau tidak dijelaskan nilai gugatan, properti ini memiliki aset tanah seluas 10.455 m² dan bangunan 71.341 m²—menandakan bahwa nilainya tidak kecil. ⚠️ Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
EMDE pernah juga menghadapi permohonan pailit dari konsumen terhadap PT Mega Pasanggrahan Indah. Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut dan memutuskan EMDE tetap beroperasi. ✅
Walaupun nilai gugatan atau luas lahan sengketa tidak disebutkan secara eksplisit dalam laporan keuangan, sejumlah kasus menyentuh aset penting EMDE, terutama di wilayah Limo, Depok. Perusahaan mencatat memiliki tanah belum dikembangkan di wilayah ini seluas 310.252 m² dengan nilai buku Rp162,18 miliar—namun tidak berarti seluruhnya disengketakan. Untuk saat ini, dari 8 kasus besar, EMDE memenangkan 2, kalah di 3, dan masih harus menanti hasil akhir dari 3 sengketa lainnya.
Dengan total kepemilikan lahan mencapai 1,33 juta meter persegi atau setara 133 hektar, tanah adalah inti dari bisnis properti EMDE—dan sekaligus sumber masalah terbesarnya. Ironisnya, dari sekian banyak konflik lahan yang sudah inkracht di pengadilan, tidak ada satu pun yang diikuti oleh pencatatan provisi kerugian dalam laporan keuangan 2024. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar soal akurasi laporan keuangan dan itikad transparansi manajemen. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tanah EMDE terbagi dalam dua kelompok besar: 678 ribu m² sebagai land bank (belum dikembangkan), dan 658 ribu m² sebagai proyek aktif. Lokasi paling dominan ada di Limo, Depok, dengan kepemilikan 310 ribu m², yang kebetulan menjadi medan utama berbagai konflik hukum. Salah satunya adalah perkara tanah adat melawan H. Umar Jaya, di mana Mahkamah Agung telah memutuskan tanah di Jl. Guntur, Limo adalah milik pribadi berdasarkan hak adat—bukan milik EMDE. Putusan ini final dan mengikat, tetapi tidak ada jejak provisi kerugian di neraca. Lalu ada pula kasus pembatalan 32 SHGB yang sebelumnya dikuasai EMDE dan anak usahanya PT MLE. Sama seperti kasus Umar Jaya, perkara ini juga sudah kalah hingga Peninjauan Kembali, dan tetap tidak diikuti pengakuan rugi.
Konflik lain yang belum final tapi signifikan termasuk gugatan atas satu sertifikat tanah oleh Burhanudin Abu Bakar (sudah kalah di kasasi, kini masuk tahap PK), sengketa atas SHM No. 8 di Blok Kramat oleh Tamin Bin Muhasim (masih di PN), serta gugatan akses jalan dan jembatan dari konsumen (kalah di banding, kasasi masih berjalan). Bahkan, EMDE juga menggugat Lulu Group atas dugaan wanprestasi di proyek Vivo Mall Cibinong, yang mencakup lahan 10.455 m² dan bangunan raksasa 71.341 m². Semua ini menunjukkan bahwa mayoritas kasus hukum EMDE menyentuh langsung aset properti yang nilainya tidak kecil. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sayangnya, laporan keuangan EMDE tetap menampilkan wajah "normal", tanpa ada provisi yang dicatat untuk risiko kekalahan hukum tersebut. Padahal menurut PSAK, provisi seharusnya dicatat jika ada kemungkinan besar arus keluar ekonomi dan nilai kerugian dapat diestimasi andal—dan jelas, dua kasus sudah kalah sampai PK, bukan sekadar "potensi". Tidak dicatatnya provisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa neraca EMDE tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan hukum di lapangan. Dengan begitu banyak perkara lahan yang menggantung atau sudah dikalahkan, dan sebagian besar terjadi di wilayah yang menjadi tulang punggung aset mereka, wajar bila investor dan pemegang saham mulai bertanya: berapa sebenarnya nilai tanah EMDE yang masih benar-benar aman secara hukum?
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$PANI $CBDK
1/8
$EMDE Apakah Bagus?
Ada yang request tentang EMDE dan kebetulan ada juga Member yang lagi bahas di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Saya pernah bahas tentang EMDE di 22 Juli 2024 tentang transaksi EMDE dengan $CTRA di channel Pintar Nyangkut.
Laporan keuangan PT Megapolitan Developments Tbk (EMDE) tahun 2024 adalah salah satu contoh klasik bagaimana angka-angka yang legal bisa begitu indah di atas kertas, tapi tetap bikin banyak analis mencabut kacamata dan garuk-garuk kepala. Pendapatan EMDE melonjak jadi Rp1,35 triliun—naik hampir 8 kali lipat dibanding 2023 yang cuma Rp160 miliar. Laba bersih ikut terbang ke Rp523 miliar. PER? Cuma 0,68x. PBV? Lebih absurd lagi: 0,13x. Kalau ini bukan murah, entah apa lagi namanya. Tapi tunggu dulu, karena di balik angka-angka kinclong itu, tersimpan kisah akuntansi yang pantas difilmkan. Ceritanya lengkap: jual beli dalam keluarga, tanah yang udah kalah di pengadilan tapi masih dianggap milik sendiri, sampai laba yang besar tapi kasnya entah ke mana. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sumber revenue utama tahun ini bukan dari penjualan rumah, ruko, atau mall yang berulang, tapi dari satu transaksi kolosal: penjualan tanah di Pasiraja, Bogor, ke PT Ciputra Indah Griya Asri senilai Rp1,217 triliun. Tanah itu sebelumnya dibeli EMDE dari PT Megapolitan Mentari Persada (MMP)—entitas asosiasi EMDE sendiri—seharga Rp674 miliar. EMDE dapat laba dari markup, lalu catat juga bagian laba dari MMP sebesar Rp208 miliar karena punya 40% saham di situ. Jadi satu transaksi diperes dua kali: satu dari margin jual-beli, satu lagi dari metode ekuitas. Sah secara PSAK? Iya. Kreatif? Banget. Sehat? Tunggu dulu.
Karena meskipun laba setengah triliun itu kelihatan gagah, arus kas dari aktivitas operasi (CFO) malah minus Rp27,5 miliar. Tapi—dan ini penting—ada penerimaan kas dari pelanggan sebesar Rp1,38 triliun. Jadi ya, kas dari Ciputra memang sudah mulai masuk, itu fakta. Tapi kemudian langsung ludes untuk bayar vendor, gaji, bunga, pajak, dan mungkin secangkir kopi manajemen. Sisa kas di akhir tahun: Rp165 miliar. Jadi, dari Rp1,38 triliun uang masuk, hasil akhirnya malah minus. Ini seperti habis jual rumah mewah tapi nggak punya cukup uang buat beli nasi padang.
Dari sisi aset, EMDE mencatat tanah yang belum dikembangkan senilai Rp338,77 miliar. Tapi jangan buru-buru senang. Dari jumlah itu, Rp267 miliar adalah tanah di Limo dan Cinere yang—plot twist—sudah resmi kalah perkara hukum dan putusannya inkrah di Mahkamah Agung. Alias bukan punya EMDE lagi. Tapi tenang, dalam laporan keuangan, tanah itu masih dicatat utuh, seolah-olah dunia baik-baik saja. Nggak ada impairment, nggak ada CKPN, bahkan nggak ada catatan “eh, hati-hati ya ini asetnya udah lepas.” Sisa tanah lain seperti di Cimandala dan Cijujung (Rp24 miliar) juga sedang bersengketa, tapi dicatat manis tanpa koreksi. Ini bukan sekadar optimisme manajemen, ini sudah level "percaya keajaiban." Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
KAP yang memeriksa laporan ini memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Tapi mereka menyampaikan dua hal audit utama (Key Audit Matters): pertama, penilaian dan klasifikasi tanah dan persediaan; kedua, pengakuan pendapatan. Dua hal ini dinilai auditor berisiko tinggi karena nilainya sangat besar dan tergantung pada judgment manajemen. Tapi di luar penyebutan itu, tidak ada paragraf penekanan, tidak ada peringatan keras. Jadi, laporan ini secara teknis lolos sensor. Sah secara PSAK, aman secara format, tapi banyak hal yang secara substansi bikin alis naik sebelah.
Dividen? Tidak ada. Meskipun saldo laba mencapai Rp1,42 triliun, EMDE memilih menahan diri. Mungkin karena CFO negatif, atau karena kas hanya Rp165 miliar dan masih ada tumpukan piutang serta tanah-tanah bermasalah yang belum beres. MMP pun tidak menyetor dividen, meskipun sudah dicatat menyumbang Rp208 miliar dalam laporan laba. Jadi ya, semua laba itu indah di Excel, tapi belum berubah jadi uang tunai. Bagi investor, artinya: jangan harap ada yang bisa dibagi dulu.
Pasar tampaknya paham. Dengan harga saham Rp106 dan market cap Rp355 miliar, valuasi EMDE terlihat seperti “sale gila-gilaan.” Tapi kenyataannya, ini bukan undervalued, ini market warning. Pasar bilang: “Saya tahu ini murah, tapi saya juga tahu alasannya.” Karena di balik angka-angka megah itu, ada model bisnis yang tidak berulang, aset yang tidak pasti bisa dimiliki, dan arus kas yang tidak cukup untuk mendukung dividen atau ekspansi sehat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi, apakah EMDE bagus? Kalau ukurannya angka laba dan revenue—ya, kelihatan spektakuler. Tapi kalau ukurannya kualitas laba, legalitas aset, dan aliran kas nyata—ini seperti makan mie instan tiga bungkus tapi nggak dikasih air panas. Legal? Iya. Sesuai PSAK? Pasti. Tapi apakah aman buat investor yang cari perusahaan berkelanjutan dan konsisten? Jelas perlu pikir panjang.
Pendapatan EMDE tahun 2024 sebesar Rp1,35 triliun tampak mengesankan, namun setelah ditelusuri lebih dalam, sifatnya jauh dari kata berkelanjutan. Sebanyak 91% dari total revenue tersebut berasal dari satu transaksi penjualan tanah di Pasiraja, Bogor, ke PT Ciputra Indah Griya Asri senilai Rp1,217 triliun. Transaksi ini sendiri tidak mencerminkan aktivitas bisnis reguler, melainkan penjualan besar-besaran satu kali yang sulit untuk diulang setiap tahun. Apalagi, tanah tersebut sebelumnya dibeli dari entitas asosiasi EMDE sendiri, PT MMP, sehingga struktur transaksinya lebih menyerupai hasil rekayasa korporasi ketimbang operasional riil yang konsisten. Segmen bisnis lainnya seperti penjualan rumah, ruko, atau unit mall tidak menunjukkan kontribusi signifikan dalam total revenue. Tidak ada pula recurring income besar dari properti sewa atau aset penghasil pendapatan tetap lainnya. Karena itu, tanpa adanya transaksi luar biasa serupa di masa depan, pendapatan besar seperti tahun 2024 ini sangat kecil kemungkinannya untuk terulang. Dengan kata lain, EMDE tidak sedang menunjukkan pola pertumbuhan bisnis yang berulang dan mapan, tapi sedang menikmati efek “jackpot” dari satu proyek besar yang kebetulan bisa dieksekusi tahun ini.
Jika manajemen yakin pendapatan seperti tahun 2024 bisa berulang, maka mereka harus bisa menjawab satu pertanyaan mendasar: dari mana sumber tanah strategis bernilai triliunan berikutnya, dan siapa pembeli jumbo berikutnya? Karena fakta di laporan keuangan menunjukkan bahwa transaksi besar tersebut sangat spesifik: hanya satu lokasi (Pasiraja), satu pembeli (Ciputra), dan satu kali jual-beli dari entitas asosiasi. Tanah dengan lokasi, izin, dan daya tarik seperti itu tidak mudah ditemukan atau diproduksi ulang secara cepat, apalagi dalam skala triliunan. Sementara, lini bisnis reguler EMDE seperti rumah, ruko, dan unit mall kontribusinya kecil dan tidak menunjukkan tren pertumbuhan eksplosif.
Jika EMDE benar-benar ingin menjadikan skema seperti ini berulang setiap tahun, maka perusahaan harus secara aktif mengakumulasi lahan besar dan menarik, memiliki pipeline pembeli besar tiap tahun, dan bisa terus melakukan transaksi besar tanpa mencederai prinsip akuntansi kehati-hatian. Sayangnya, tidak ada indikasi kuat dalam laporan keuangan 2024 yang menunjukkan bahwa ini bagian dari strategi jangka panjang yang terstruktur. Belum ada daftar cadangan lahan baru yang siap jual, belum ada indikasi permintaan dari pembeli sekelas Ciputra berikutnya, dan belum ada model recurring business yang menopang struktur pendapatan besar secara konsisten.
Jadi, klaim bahwa pendapatan seperti ini bisa berulang harus ditopang oleh bukti konkret, bukan keyakinan kosong. Tanpa pipeline lahan dan pembeli skala jumbo yang jelas, keyakinan itu lebih mirip harapan. Dan dalam dunia keuangan, harapan tidak bisa dicatat sebagai aset. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Secara teoritis, EMDE masih punya potensi, terutama karena mereka sudah pernah mengeksekusi transaksi besar seperti penjualan tanah ke Ciputra senilai Rp1,2 triliun. Ini menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan revenue dalam skala jumbo jika kondisi dan mitra tepat. Landbank mereka juga masih tercatat lebih dari Rp1,7 triliun dalam bentuk persediaan dan tanah yang belum dikembangkan. Artinya, kalau manajemen bisa mengembangkan atau menjual sebagian dari aset tersebut, potensi pendapatan besar masih terbuka. Ditambah lagi, valuasi saham saat ini sangat murah—PBV hanya 0,13x dan PER 0,68x—yang bisa menjadi daya tarik bagi investor yang berani mengambil risiko tinggi demi imbal hasil besar.
Namun di sisi lain, realitas di lapangan jauh dari mulus. Sebagian besar laba EMDE tahun 2024 bukan berbentuk kas, melainkan hasil akuntansi dari transaksi satu kali. Arus kas operasi justru negatif, dan sebagian kas berasal dari uang muka pelanggan, bukan hasil bisnis inti. Aset-aset seperti tanah di Limo dan Cinere bahkan sudah kalah sengketa di Mahkamah Agung, tapi masih dicatat penuh di neraca tanpa penyisihan kerugian. Ditambah lagi, perusahaan tidak mencadangkan dana untuk potensi kerugian atas kasus hukum lain yang masih berjalan. Mereka juga tidak membagikan dividen meskipun mencetak laba besar, karena kas yang tersedia sangat terbatas. Bahkan anak usaha mereka sempat tersangkut perkara PKPU akibat gugatan konsumen. Jadi, meskipun EMDE punya potensi besar jika semua berjalan lancar, saat ini yang lebih menonjol justru adalah tingginya risiko. Potensinya seperti mesin jet, tapi rangkanya masih tambal sulam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$PANI
1/10
$EMDE LK terlihat kinclong tpi ga ngasih apa2 ke holdernya🤣 di BUKI aja buat yg msh punya ,, ibaratnya seperti kalian tinggal di tanah air sendiri dengan kekayaan alam yg melimpah ruah akan tetapi ga dapet apa2 ya sama aja boong toh😛 ...
Inget eFishery yak , dijadiin pelajaran tuh jgn lupain
$ELSA $PTBA