$EMDE Q1 2025: Mengapa Bisa Utang Hilang Tanpa Dibayar?
Request dari salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Artikel lain tentang EMDE bisa cek di sini https://stockbit.com/post/18493489
Kalau kita bongkar laporan keuangan PT Megapolitan Developments Tbk (EMDE) per Maret 2025 dari hulu ke hilir, kita bakal nemuin cerita klasik perusahaan properti: aset besar, revenue lambat, kas seret, dan utang yang kadang hilang secara misterius. Total aset EMDE menyusut dari Rp3,75 Triliun di akhir 2024 menjadi Rp3,46 Triliun di akhir kuartal I 2025. Penurunan Rp285 Miliar ini bukan hasil jual properti besar-besaran, melainkan hasil akrobat akuntansi: entitas asosiasi mereka, PT Megapolitan Mentari Persada (MMP), dikonsolidasi penuh jadi anak usaha, cukup dengan menaruh orang-orang EMDE di kursi direksi MMP—meskipun kepemilikan saham tetap 40%. Otomatis, piutang ke MMP hilang dari neraca, nilai investasi entitas asosiasi ditransfer, dan tanah serta mall milik MMP masuk jadi aset EMDE. Akibatnya, laporan keuangan EMDE seolah dapat suntikan aset baru tanpa keluar uang sepeser pun. Keren? Mungkin. Ajaib? Jelas. Tapi buat investor jeli, ini alarm awal bahwa angka-angka EMDE perlu dibaca dengan kacamata skeptis. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di aset lancar, dominasi utama masih di persediaan properti senilai Rp1,38 Triliun, atau 88% dari total aset lancar. Tapi nilainya justru turun tipis -1,2% dibanding akhir tahun lalu. Penurunan terutama terjadi di pos bangunan siap jual, dari Rp374 Miliar ke Rp356 Miliar, disertai penurunan luas dari 12.026 m² ke 9.577 m². Artinya memang ada penjualan unit, tapi belum signifikan karena uang muka baru dari konsumen selama Q1 2025 hanya Rp5,91 Miliar. Revenue diakui Rp50,19 Miliar, tapi penerimaan kas hanya Rp20,23 Miliar—berarti sebagian besar revenue belum cair. Jadi meskipun penjualan terjadi, duitnya belum masuk. Lebih repot lagi, kas dan setara kas EMDE turun dari Rp165 Miliar ke Rp144 Miliar. Dan kalau dibandingkan dengan utang jangka pendek yang mencapai Rp652 Miliar, kas ini cuma cukup menutup 22% dari total utang lancar. Artinya, likuiditas EMDE sedang tipis-tipisnya. Perusahaan bergantung penuh pada penjualan properti berikutnya, padahal proyek baru belum kelihatan, dan marketing cost malah ditekan.
Kita lompat ke properti investasi—nilai buku tetap di Rp1,51 Triliun, tapi pendapatan sewa justru turun -5,9% jadi Rp11,01 Miliar dari Rp11,70 Miliar tahun lalu. Ini mencerminkan pola klasik properti jumbo dengan revenue minimal. Properti-properti seperti Cinere Mall, Bellevue Mall, dan Vivo Mall punya nilai besar dan diasuransikan hingga Rp2,12 Triliun, tapi performa keuangannya stagnan. Tambahan aset dari MMP—termasuk tanah di Pasirlaja 378.923 m²—bikin tanah belum dikembangkan naik dari Rp338 Miliar ke Rp357 Miliar. Tapi bukan karena beli baru, hanya karena mutasi entitas. Total luas tanah EMDE lebih dari 1 juta m², tapi beberapa di antaranya sedang diseret ke meja hijau: sengketa tanah Limo, gugatan Br. Umar dan Hj. Domih, hingga kasus tanah 1.500 m² yang sudah kalah permanen di MA dan dihapus dari neraca. Jadi nggak semua angka di laporan bisa diasumsikan solid—bisa jadi sebagian tanah yang tercatat di neraca itu secara hukum udah bukan milik EMDE lagi.
Sekarang bagian paling dramatis: liabilitas. Dari Rp1,87 Triliun di akhir 2024, tinggal Rp1,26 Triliun di akhir Maret 2025—turun Rp610 Miliar atau -32,7% hanya dalam waktu 3 bulan. Tapi bukan karena EMDE sibuk bayar utang. Kenyataannya, pembayaran ke pihak berelasi hanya Rp164 Juta dan ke bank Rp154 Juta. Sementara liabilitas yang hilang terutama berasal dari utang usaha dan utang lain-lain kepada pihak berelasi, terutama MMP. Karena MMP sekarang anak usaha, semua transaksi antar EMDE dan MMP dihilangkan dari laporan konsolidasi. Total yang lenyap dari dua akun ini saja mencapai Rp565,6 Miliar. Sayangnya, tidak ada disclosure eksplisit bahwa ini terjadi karena konsolidasi. Tidak ada catatan di bagian arus kas atau transaksi non-kas. Akibatnya, bagi yang tidak teliti membaca, bisa terjebak mengira EMDE berhasil lunasi utang besar dalam waktu singkat. Padahal utangnya hanya berpindah dimensi dari eksternal ke internal lalu dieliminasi secara akuntansi. Ini sah menurut PSAK, tapi tidak transparan kalau tidak dijelaskan dengan gamblang.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sisa liabilitas EMDE didominasi oleh tiga hal: uang muka pelanggan Rp447,85 Miliar (alias utang dalam bentuk janji serah terima unit), utang berbunga ke Gold Triumph sebesar Rp432,95 Miliar, dan sisanya utang ke individu dalam grup (Lora Melani, Barbara Barak Rimba, Spectrum Instrumen). Yang menarik, Spectrum Instrumen baru muncul tahun ini tapi langsung pegang Rp38,92 Miliar. Tidak ada penjelasan siapa mereka dan dari mana datangnya. Gold Triumph sendiri adalah pihak yang “membeli” piutang bermasalah EMDE dari $BBTN dan $BBNI melalui cessie. Sebelumnya, bunga dari utang ini bahkan pernah ditangguhkan 95% selama 18 bulan, jadi bisa dibilang ini utang macet yang dibungkus ulang. Secara total, utang berbunga tidak turun, dan beban bunga di masa depan tetap akan jadi bom waktu kalau likuiditas tidak segera membaik.
Kalau kita lihat laba rugi, EMDE mencatat laba bersih Rp2,63 Miliar, berbanding rugi Rp7,92 Miliar tahun lalu. Tapi 57% dari laba ini bukan milik entitas induk—pemegang saham hanya kebagian Rp1,12 Miliar. Revenue tumbuh 15,1% ke Rp50,19 Miliar, tapi beban pokok ikut melonjak 69% jadi Rp26,95 Miliar. Margin bruto anjlok dari 63% ke 46%. Di properti apartemen misalnya, revenue naik tajam tapi margin turun dari 75% ke 31%. Artinya, EMDE terpaksa jual dengan harga diskon atau biaya naik signifikan. Satu-satunya penyelamat laba adalah beban bunga yang anjlok dari Rp15,86 Miliar ke Rp174 Juta—karena restrukturisasi dan cessie, bukan karena utangnya lunas. Tapi meski laba bersih muncul, arus kas tetap defisit Rp18,42 Miliar, dan saldo kas turun Rp21 Miliar. Jadi laba hanya ada di laporan, tapi tidak masuk rekening.
Dari sisi valuasi, EMDE ini paradox. Harga saham Rp96 kelihatan sangat murah dibanding book value Rp624/saham (PBV 0,15x) dan NAV sekitar Rp593/saham. Tapi dari sisi laba, PER-nya tembus 287x. Kalau laba Q1 diulang setahun, PER tetap 72x—mahal untuk perusahaan properti yang nggak bagi dividen dan revenue stagnan. EV/EBITDA pun 45x, jauh dari layak untuk sektor padat aset. Artinya, investor hanya akan tertarik kalau mereka percaya suatu saat tanah EMDE bisa dikonversi jadi properti produktif dan dijual dengan margin besar. Tapi selama tanah-tanah ini masih nyangkut di pengadilan atau belum bisa dikembangkan, harga saham murah ini justru mencerminkan skeptisisme pasar terhadap kemampuan realisasi nilai asetnya.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
EMDE ini ibarat orang kaya yang isi dompetnya kosong. Asetnya banyak, tanahnya luas, mall-nya megah, tapi duit tunainya tipis dan revenue-nya belum cukup menopang operasional. Utangnya kelihatan menyusut, tapi lebih karena permainan akuntansi ketimbang pembayaran riil. Labanya muncul bukan dari efisiensi atau ekspansi, tapi dari hilangnya beban bunga karena cessie utang. Dan cashflow-nya masih negatif. Jadi buat investor, EMDE ini bukan saham untuk yang cari dividen atau EPS tinggi. Ini saham untuk yang sabarnya level dewa, siap menunggu bertahun-tahun sampai tanah bisa dijual, sengketa selesai, dan properti mulai menghasilkan. Kalau tidak, yang ada malah gigit jari nunggu value yang cuma eksis di atas kertas.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10