$EMDE Apakah Bagus?
Ada yang request tentang EMDE dan kebetulan ada juga Member yang lagi bahas di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Saya pernah bahas tentang EMDE di 22 Juli 2024 tentang transaksi EMDE dengan $CTRA di channel Pintar Nyangkut.
Laporan keuangan PT Megapolitan Developments Tbk (EMDE) tahun 2024 adalah salah satu contoh klasik bagaimana angka-angka yang legal bisa begitu indah di atas kertas, tapi tetap bikin banyak analis mencabut kacamata dan garuk-garuk kepala. Pendapatan EMDE melonjak jadi Rp1,35 triliun—naik hampir 8 kali lipat dibanding 2023 yang cuma Rp160 miliar. Laba bersih ikut terbang ke Rp523 miliar. PER? Cuma 0,68x. PBV? Lebih absurd lagi: 0,13x. Kalau ini bukan murah, entah apa lagi namanya. Tapi tunggu dulu, karena di balik angka-angka kinclong itu, tersimpan kisah akuntansi yang pantas difilmkan. Ceritanya lengkap: jual beli dalam keluarga, tanah yang udah kalah di pengadilan tapi masih dianggap milik sendiri, sampai laba yang besar tapi kasnya entah ke mana. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sumber revenue utama tahun ini bukan dari penjualan rumah, ruko, atau mall yang berulang, tapi dari satu transaksi kolosal: penjualan tanah di Pasiraja, Bogor, ke PT Ciputra Indah Griya Asri senilai Rp1,217 triliun. Tanah itu sebelumnya dibeli EMDE dari PT Megapolitan Mentari Persada (MMP)—entitas asosiasi EMDE sendiri—seharga Rp674 miliar. EMDE dapat laba dari markup, lalu catat juga bagian laba dari MMP sebesar Rp208 miliar karena punya 40% saham di situ. Jadi satu transaksi diperes dua kali: satu dari margin jual-beli, satu lagi dari metode ekuitas. Sah secara PSAK? Iya. Kreatif? Banget. Sehat? Tunggu dulu.
Karena meskipun laba setengah triliun itu kelihatan gagah, arus kas dari aktivitas operasi (CFO) malah minus Rp27,5 miliar. Tapi—dan ini penting—ada penerimaan kas dari pelanggan sebesar Rp1,38 triliun. Jadi ya, kas dari Ciputra memang sudah mulai masuk, itu fakta. Tapi kemudian langsung ludes untuk bayar vendor, gaji, bunga, pajak, dan mungkin secangkir kopi manajemen. Sisa kas di akhir tahun: Rp165 miliar. Jadi, dari Rp1,38 triliun uang masuk, hasil akhirnya malah minus. Ini seperti habis jual rumah mewah tapi nggak punya cukup uang buat beli nasi padang.
Dari sisi aset, EMDE mencatat tanah yang belum dikembangkan senilai Rp338,77 miliar. Tapi jangan buru-buru senang. Dari jumlah itu, Rp267 miliar adalah tanah di Limo dan Cinere yang—plot twist—sudah resmi kalah perkara hukum dan putusannya inkrah di Mahkamah Agung. Alias bukan punya EMDE lagi. Tapi tenang, dalam laporan keuangan, tanah itu masih dicatat utuh, seolah-olah dunia baik-baik saja. Nggak ada impairment, nggak ada CKPN, bahkan nggak ada catatan “eh, hati-hati ya ini asetnya udah lepas.” Sisa tanah lain seperti di Cimandala dan Cijujung (Rp24 miliar) juga sedang bersengketa, tapi dicatat manis tanpa koreksi. Ini bukan sekadar optimisme manajemen, ini sudah level "percaya keajaiban." Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
KAP yang memeriksa laporan ini memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Tapi mereka menyampaikan dua hal audit utama (Key Audit Matters): pertama, penilaian dan klasifikasi tanah dan persediaan; kedua, pengakuan pendapatan. Dua hal ini dinilai auditor berisiko tinggi karena nilainya sangat besar dan tergantung pada judgment manajemen. Tapi di luar penyebutan itu, tidak ada paragraf penekanan, tidak ada peringatan keras. Jadi, laporan ini secara teknis lolos sensor. Sah secara PSAK, aman secara format, tapi banyak hal yang secara substansi bikin alis naik sebelah.
Dividen? Tidak ada. Meskipun saldo laba mencapai Rp1,42 triliun, EMDE memilih menahan diri. Mungkin karena CFO negatif, atau karena kas hanya Rp165 miliar dan masih ada tumpukan piutang serta tanah-tanah bermasalah yang belum beres. MMP pun tidak menyetor dividen, meskipun sudah dicatat menyumbang Rp208 miliar dalam laporan laba. Jadi ya, semua laba itu indah di Excel, tapi belum berubah jadi uang tunai. Bagi investor, artinya: jangan harap ada yang bisa dibagi dulu.
Pasar tampaknya paham. Dengan harga saham Rp106 dan market cap Rp355 miliar, valuasi EMDE terlihat seperti “sale gila-gilaan.” Tapi kenyataannya, ini bukan undervalued, ini market warning. Pasar bilang: “Saya tahu ini murah, tapi saya juga tahu alasannya.” Karena di balik angka-angka megah itu, ada model bisnis yang tidak berulang, aset yang tidak pasti bisa dimiliki, dan arus kas yang tidak cukup untuk mendukung dividen atau ekspansi sehat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi, apakah EMDE bagus? Kalau ukurannya angka laba dan revenue—ya, kelihatan spektakuler. Tapi kalau ukurannya kualitas laba, legalitas aset, dan aliran kas nyata—ini seperti makan mie instan tiga bungkus tapi nggak dikasih air panas. Legal? Iya. Sesuai PSAK? Pasti. Tapi apakah aman buat investor yang cari perusahaan berkelanjutan dan konsisten? Jelas perlu pikir panjang.
Pendapatan EMDE tahun 2024 sebesar Rp1,35 triliun tampak mengesankan, namun setelah ditelusuri lebih dalam, sifatnya jauh dari kata berkelanjutan. Sebanyak 91% dari total revenue tersebut berasal dari satu transaksi penjualan tanah di Pasiraja, Bogor, ke PT Ciputra Indah Griya Asri senilai Rp1,217 triliun. Transaksi ini sendiri tidak mencerminkan aktivitas bisnis reguler, melainkan penjualan besar-besaran satu kali yang sulit untuk diulang setiap tahun. Apalagi, tanah tersebut sebelumnya dibeli dari entitas asosiasi EMDE sendiri, PT MMP, sehingga struktur transaksinya lebih menyerupai hasil rekayasa korporasi ketimbang operasional riil yang konsisten. Segmen bisnis lainnya seperti penjualan rumah, ruko, atau unit mall tidak menunjukkan kontribusi signifikan dalam total revenue. Tidak ada pula recurring income besar dari properti sewa atau aset penghasil pendapatan tetap lainnya. Karena itu, tanpa adanya transaksi luar biasa serupa di masa depan, pendapatan besar seperti tahun 2024 ini sangat kecil kemungkinannya untuk terulang. Dengan kata lain, EMDE tidak sedang menunjukkan pola pertumbuhan bisnis yang berulang dan mapan, tapi sedang menikmati efek “jackpot” dari satu proyek besar yang kebetulan bisa dieksekusi tahun ini.
Jika manajemen yakin pendapatan seperti tahun 2024 bisa berulang, maka mereka harus bisa menjawab satu pertanyaan mendasar: dari mana sumber tanah strategis bernilai triliunan berikutnya, dan siapa pembeli jumbo berikutnya? Karena fakta di laporan keuangan menunjukkan bahwa transaksi besar tersebut sangat spesifik: hanya satu lokasi (Pasiraja), satu pembeli (Ciputra), dan satu kali jual-beli dari entitas asosiasi. Tanah dengan lokasi, izin, dan daya tarik seperti itu tidak mudah ditemukan atau diproduksi ulang secara cepat, apalagi dalam skala triliunan. Sementara, lini bisnis reguler EMDE seperti rumah, ruko, dan unit mall kontribusinya kecil dan tidak menunjukkan tren pertumbuhan eksplosif.
Jika EMDE benar-benar ingin menjadikan skema seperti ini berulang setiap tahun, maka perusahaan harus secara aktif mengakumulasi lahan besar dan menarik, memiliki pipeline pembeli besar tiap tahun, dan bisa terus melakukan transaksi besar tanpa mencederai prinsip akuntansi kehati-hatian. Sayangnya, tidak ada indikasi kuat dalam laporan keuangan 2024 yang menunjukkan bahwa ini bagian dari strategi jangka panjang yang terstruktur. Belum ada daftar cadangan lahan baru yang siap jual, belum ada indikasi permintaan dari pembeli sekelas Ciputra berikutnya, dan belum ada model recurring business yang menopang struktur pendapatan besar secara konsisten.
Jadi, klaim bahwa pendapatan seperti ini bisa berulang harus ditopang oleh bukti konkret, bukan keyakinan kosong. Tanpa pipeline lahan dan pembeli skala jumbo yang jelas, keyakinan itu lebih mirip harapan. Dan dalam dunia keuangan, harapan tidak bisa dicatat sebagai aset. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Secara teoritis, EMDE masih punya potensi, terutama karena mereka sudah pernah mengeksekusi transaksi besar seperti penjualan tanah ke Ciputra senilai Rp1,2 triliun. Ini menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan revenue dalam skala jumbo jika kondisi dan mitra tepat. Landbank mereka juga masih tercatat lebih dari Rp1,7 triliun dalam bentuk persediaan dan tanah yang belum dikembangkan. Artinya, kalau manajemen bisa mengembangkan atau menjual sebagian dari aset tersebut, potensi pendapatan besar masih terbuka. Ditambah lagi, valuasi saham saat ini sangat murah—PBV hanya 0,13x dan PER 0,68x—yang bisa menjadi daya tarik bagi investor yang berani mengambil risiko tinggi demi imbal hasil besar.
Namun di sisi lain, realitas di lapangan jauh dari mulus. Sebagian besar laba EMDE tahun 2024 bukan berbentuk kas, melainkan hasil akuntansi dari transaksi satu kali. Arus kas operasi justru negatif, dan sebagian kas berasal dari uang muka pelanggan, bukan hasil bisnis inti. Aset-aset seperti tanah di Limo dan Cinere bahkan sudah kalah sengketa di Mahkamah Agung, tapi masih dicatat penuh di neraca tanpa penyisihan kerugian. Ditambah lagi, perusahaan tidak mencadangkan dana untuk potensi kerugian atas kasus hukum lain yang masih berjalan. Mereka juga tidak membagikan dividen meskipun mencetak laba besar, karena kas yang tersedia sangat terbatas. Bahkan anak usaha mereka sempat tersangkut perkara PKPU akibat gugatan konsumen. Jadi, meskipun EMDE punya potensi besar jika semua berjalan lancar, saat ini yang lebih menonjol justru adalah tingginya risiko. Potensinya seperti mesin jet, tapi rangkanya masih tambal sulam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$PANI
1/10