Pentingnya Budaya Perusahaan

Banyak investor terlalu menghabiskan waktu menganalisis Laporan Keuangan, menghitung rasio keuangan, menghitung intrinsic value, namun jarang sekali mau berpikir atau menggunakan intuisinya untuk membayangkan bagaimana prospek perusahaan ke depan. Mereka senang dan terlena saat menemukan perusahaan dengan rasio-rasio keuangan cantik lalu mengambil keputusan pembelian saham berdasarkan hasil temuannya itu. Tidak terlalu terpikirkan oleh mereka bagaimana rasio-rasio keuangan yang cantik itu terbentuk, dan bagaimana kecantikan itu bisa bertahan lama di masa mendatang.

Ada juga yang terlena dengan pertumbuhan laba yang luar biasa yang ditorehkan perusahaan baru-baru ini atau beberapa tahun sebelumnya, meskipun valuasinya sudah tergolong mahal. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana pertumbuhan yang tinggi tersebut akan sustainable dalam jangka panjang. Mereka tidak begitu paham bagaimana peta persaingan atau lanskap industrinya, seberapa besar potensi pasar untuk produk atau jasa perusahaan ke depan, straregi apa yang disiapkan manajemen untuk memperkuat keunggulan kompetitif perusahaan, bagaimana track record dan rencana capital allocation oleh manajemen, apa yang menjadi growth-drivers ke depan. Mengapa mereka tidak begitu paham? Karena mereka terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menghitung dan malas untuk membaca, berpikir, serta riset langsung bagaimana kondisi real di lapangan.

Itulah fenomena yang terjadi dikalangan young investor, yang terlalu mengandalkan analisis kuantitatif. Analisis yang dilakukan berkutat pada balance sheet, income statement, cash flow, beserta naik-turunnya angka dari waktu ke waktu, lalu membuat proyeksi, dan mereka merasa sudah melakukan analisis fundamental dengan baik. Fenomena ini juga bisa ditemukan di dunia profesional, di kantor-kantor, di mana para analis junior (fresh graduate analyst) sangat ahli dalam hal analisis kuantitatif, bahkan mereka lebih canggih dibanding atasannya. Mereka tidak sadar bahwa ada unsur storytelling dalam kegiatan analisis, karena dibalik setiap data ada latar belakang story-nya. Begitu pula dalam hal menilai fundamental atau kualitas suatu perusahaan hingga melakukan valuasi, semua rangkaian kegiatan itu ada unsur storytelling.

Visi yang kabur, jiwa spekulasi yang tinggi, terlalu percaya diri, keinginan akan sesuatu yang instan, kurangnya kreativitas, mudah terlena dengan kisah masa lalu, merupakan faktor-faktor pemicu seseorang menggemari analisis kuantitatif. Di kasus yang lain, ada investor yang hanya menganalisis LK namun memiliki time-frame jangka panjang. Kondisi ini lebih baik dibandingkan mereka yang sudah capek-capek menghabiskan waktu menggunakan spreadsheet, menghitung intrinsic value, menghitung DCF, WACC, EVA, menghitung ini-itu, tapi rata-rata holding period cuma 3 bulan. Alasan jualnya: kinerja kuartalan memburuk. Ah jan….kkk!

Laporan keuangan (data masa lalu) memang dapat memberikan petunjuk tentang kualitas bisnis. Namun, kondisi di masa mendatang bisa saja berbeda seiring dengan terjadinya perubahan yang tidak dapat diperkirakan dengan pasti. Untuk itu, tidak bosan-bosannya saya menyarankan Anda yang berniat menjadi long term investor, kemampuan analisis kualitatif itu sangat diperlukan saudara.

Faktor-faktor kualitatif memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana nasib perusahaan di masa mendatang. Marianne Jennings, dalam bukunya, 'The Seven Signs of Ethical Collapse' (bacaan yang direkomendasikan oleh Jim Chanos) mencatat: "A good analysis of where a company is headed demands a look at the qualitative factors , those touchy-feely, squishy, from-the-gut factors that are ignored despite the fact that they often determine the company's fate".

Salah satu faktor kualitatif yang sering diabaikan kebanyakan analis dan investor adalah budaya perusahaan atau corporate culture, dan justru ini merupakan faktor terpenting yang akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan operasional perusahaan seumur hidupnya. Saya tidak meragukan, jika ada satu aspek yang menjadi pembeda antara perusahaan yang berprospek dengan yang tidak, maka itu adalah budaya perusahaan. Saya meyakini, sebagian besar kesuksesan perusahaan di masa depan lebih ditentukan oleh seberapa sehat budaya atau kulturnya.

Perusahaan dengan budaya yang sehat berpotensi berumur panjang dan mampu untuk beradaptasi atau tanggap terhadap perubahan, sehingga mereka berhasil melewati berbagai masa sulit atau krisis. Budaya yang sehat akan mengundang reputasi yang baik bagi perusahaan, dan mereka menyadari betapa pentingnya legitimasi dari stakeholders untuk kelangsungan hidup operasional atau menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Tak heran, perusahaan seperti itu menawarkan peluang investasi yang menarik dalam jangka panjang. Sementara bisnis dengan budaya yang tidak sehat cenderung berkinerja buruk, dan berpotensi merugikan atau melenyapkan modal investornya secara permanen. Untuk itu para Investment Masters menyadari pentingnya budaya perusahaan dalam proses pengambilan keputusan investasi mereka.

“Culture is king.” Sam Zell

"The real glue of investing is understanding what the Cultures are in the businesses." Thomas Russo

"In businesses, culture counts." Warren Buffett

"Culture is everything at Berkshire." Warren Buffett

"Culture is a big deal." Mohnish Pabrai

 “After having invested in so many companies in China and around the world, one lesson we’ve learned is that culture is important above all.” Lei Zhang

James Heskett, penulis buku ‘The Culture Cycle’, mencatat bahwa budaya dapat menjadi indikator yang lebih baik untuk memperkirakan bagaimana kinerja keuangan perusahaan di masa depan. Ia berpendapat: "The decline of an organization's culture may well precede financial decline".

Akan terasa sulit bagi perusahaan menghasilkan margin laba yang tebal, rasio ROIC yang tinggi, pertumbuhan penjualan yang mantap, dan mempertahankan hasil-hasil tersebut selama mungkin, jika tidak dinaungi oleh budaya yang sehat. Sebuah perusahaan boleh saja memiliki produk dengan merek yang kuat, memiliki jaringan distribusi yang luas, memiliki tim marketing yang andal, mampu berinovasi dan memanfaatkan teknologi dengan baik, memiliki supply-chain yang terintegrasi vertikal, dan menjadi low-cost producer. Namun, jika budaya di dalamnya tidak sehat atau memburuk, maka tinggal menunggu waktu terjadinya kehancuran.

Silahkan dipelajari skandal atau kisah kehancuran dan kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya sempat sukses, baik di dunia maupun dalam negeri. Beberapa kasus seperti: manajemen memanipulasi Laporan Keuangan, manajemen terlibat kasus korupsi dan suap, manajemen tempramental yang membuat bawahannya takut untuk jujur dan terbuka, terjadinya konflik antar keluarga pendiri, perusahaan menaikkan harga produk obat-obatannya secara gila-gilaan yang membuat masyarakat menjerit, perusahaan menjual produk dengan kualitas buruk, di mana kesemuanya itu merupakan skandal yang bermuara pada buruknya budaya perusahaan. Jika ada yang mengatakan bahwa kehancuran perusahaan disebabkan karena gagal melunasi utang dan terlambat berinovasi, namun jika diteliti lebih dalam lagi, maka pangkal masalahnya adalah BUDAYA PERUSAHAAN YANG BURUK.

Ethical corporate culture akan memperkuat kondisi internal perusahaan, karena setiap orang yang bekerja di sana merasa bahagia, betah, dan fanatik. Para karyawan ingin terus berupaya untuk memberikan yang terbaik, menghasilkan ide-ide yang brilian, dan mau bekerja sepenuh hati, sehingga produktivitas perusahaan kebanggaan mereka akan meningkat dari waktu ke waktu. Jika budaya kerja dapat dibangun dengan harmonis, maka konflik dan benturan kepentingan internal perusahaan bisa dikendalikan.

Apabila kondisi internal perusahaan sudah sangat kuat, maka akan memudahkan mereka untuk menjaga hubungan jangka panjang yang baik dengan stakeholder eksternal, baik itu pemerintah, para pemegang saham, supplier, distributor, komunitas lokal, masyarakat secara umum, kompetitor, dan yang tak kalah penting: KONSUMEN.

Budaya yang sehat akan mendorong organ-organ dan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas yang pada akhirnya akan memuaskan konsumen mereka. Selain menawarkan produk yang kualitasnya terjaga, kepuasan konsumen dapat diraih dengan upaya-upaya lain, seperti menawarkan harga yang kompetitif untuk memberikan value for money bagi konsumen, menjamin pendistribusian barang yang tepat waktu, memberikan layanan purna jual, terbuka untuk menerima keluhan pelanggan, dan menjadikan pelanggan sebagai mitra berbisnis. Dengan demikian, corporate culture terkait erat dengan etika berbisnis.

Salah satu contoh emiten yang menjunjung tinggi etika berbisnis adalah $ULTJ. Dari dulu sampai sekarang perusahaan ini berkomitmen untuk memberikan produk berkualitas kepada konsumen dengan harga terjangkau, bukan sekedar mempertebal margin laba. Hal tersebut tercermin pada penggunaan bahan baku produknya yang 100% susu sapi (varian plain) atau 90% (varian rasa), di mana banyak pesaingnya yang menggunakan bahan baku susu sapi yang lebih rendah bahkan dikurangkan. Para pesaing ini dengan beraninya menyematkan kata ‘susu UHT’ di kemasan produknya, padahal kandungan susu dalam komposisinya dicampur dengan air dan bahan-bahan lain, bahkan ada yang kandungan susunya tidak lebih dari 20%. Bagi saya, praktik seperti itu sama saja menipu konsumen demi margin keuntungan yang lebih tebal.

SMSM juga menjunjung tinggi trust dan satisfaction dari konsumennya dengan menawarkan range produk berkualitas dengan harga yang kompetitif, serta berupaya untuk mendistribusikan produknya secara tepat waktu. Perusahaan ini memanfaatkan teknologi untuk membentuk platform belanja online yang mempunyai sebuah sistem umpan balik untuk mengetahui keinginan pelanggan, dimana keinginan pelanggan tersebut menjadi arah dan penggerak proses produksi.

SIDO juga merupakan contoh emiten yang mengedepankan etika dalam berbisnis, khususnya dalam hal menjaga kelestarian lingkungan dan kepedulian terhadap masyarakat melalui program-program CSR yang mengagumkan seperti operasi mata katarak gratis. Perusahaan ini juga merupakan pelopor program mudik gratis. Tak heran, produsen jamu terbesar di Indonesia ini memiliki reputasi yang sangat baik bagi stakeholders-nya. Mereka menerapkan empat nilai-nilai budaya, yakni: Stakeholders focus, Integrity, Diversity, Outperforming (S.I.D.O)

"As much as half the difference in operating profit between organisations can be attributed to effective cultures." James Heskett

"Cultures self-propagate. Winston Churchill once said, “You shape your houses and then they shape you.” That wisdom applies to businesses as well." Warren Buffett

"Long term, culture is enormous in terms of one business doing better than another." Paul Black

“Culture is truly the most vital ingredient in business. People are the most important asset in every business and the primary determinant of success or failure.” Richard Handler

“Perhaps the best known study on the subject is Corporate Culture and Performance by John Kotter and James Heskett. This work examines the relationship between corporate culture and company performance in over 200 firms during the 1980’s. The authors asked employees their opinions of attitudes to customers and shareholders at competitor firms. Shares in companies exhibiting strong and positive cultures outperformed rivals by more than 800% during the study period.” Marathon Asset Management

Corporate culture juga merupakan atribut ‘moat’ terpenting yang mustahil untuk di copy-paste secara 100% oleh kompetitor.

"In many organisations, culture is the most potent and hard-to-replicate source of competitive advantage - far more important, for example than technological innovation." James Heskett

“[We] pay close attention to leadership and company culture as a source of competitive advantage.” Jake Rosser

"Your competitors can copy everything but they cannot copy your culture no matter how much they try." Mohnish Pabrai

“A strong corporate culture constitutes an intangible asset, potentially as valuable as a high profile brand or network of customer relationships.” Marathon Asset Management

"Organisations with strong, adaptive and open cultures that foster employee loyalty and productivity are not concerned that competitors may find it possible to borrow policies, methods and processes. They are convinced that the real key to making those policies, methods and processes, and yes, strategies work is something much more difficult to emulate - culture." James Heskett

“Peter Drucker used to say that culture eats strategy for breakfast.” Mohnish Pabrai

Timbul pertanyaan, ‘bagaimana proses terbentuknya budaya perusahaan yang sehat?’ Sumber tertinggi terbentuknya budaya perusahaan itu berasal dari pendiri perusahaan tersebut, yang terjadi dalam tiga tahap: Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepaham dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai role model yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri. Pendiri menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsinya sehingga membentuk ruh bagi perusahaan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam visi, misi dan nilai-nilai perusahaan.

Selanjutnya, top management (Dewan Direksi dan Senior Manager) juga memegang peranan penting dalam menerapkan dan melestarikan budaya yang sudah terbentuk. Apabila ada suatu kasus di mana nilai-nilai perusahaan yang sudah ditetapkan lalu dibingkai dan dipajang di dinding kantor gagal menggerakkan budaya yang sehat atau tidak diterapkan secara maksimal, maka perangkat perilaku, kepribadian, dan gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh top management akan mengisi kekosongan tersebut. Jika para eksekutif perusahaan memberikan contoh yang tepat, maka budaya yang sehat pasti akan mengikuti. Oleh karenanya, nilai-nilai budaya yang ditetapkan dan perilaku manajemen, keduanya haruslah selaras.

Itulah alasan saya senang dengan perusahaan yang founder/pendirinya masih aktif mengelola perusahaannya, serta memimpin tim manajemen (Founder-CEO), dan hal ini termasuk dalam checklist investasi saya. Pendiri perusahaan yang membentuk budaya perusahaan, serta menjadi role model gaya kepemimpinan dalam manajemen. Dan tentu saja, mereka memiliki informasi paling lengkap tentang perusahaan. Charlie Munger menjuluki mereka sebagai INTELLIGENT FANATICS.

Penting juga untuk dipelajari apakah founder mampu menjaga hubungan yang baik dengan para eksekutif dan perusahaan memiliki jenjang karir berdasarkan profesionalitas pegawainya (bukan hanya karena hubungan dekat), serta menciptakan motivasi agar mereka mampu bekerja sama dengan baik dan bisa mendelegasikan tugas secara jelas dalam manajemen. Hal ini bertujuan agar tiap-tiap eksekutif, manajer senior, atau key person memiliki keyakinan, pemahaman dan ketertarikan yang sama dalam mengelola perusahaan sehingga jika sewaktu-waktu sang alpha male sudah tiada, perusahaan tetap mampu untuk going concern.

Cobalah tengok kiprah emiten-emiten legendaris yang berusia lebih dari setengah abad, seperti: $HMSP $SIDO $GJTL $ASII GGRM KLBF TSPC ULTJ, sebagian di antara mereka masih dipimpin dan dikelola oleh pendiri atau generasi penerusnya, dan nilailah bagaimana corporate culture berpengaruh besar terhadap kesuksesan mereka hingga saat ini. Sebagian lainnya diantara emiten tersebut sudah ditinggalkan oleh sang founder, namun nilai-nilai dan budaya yang telah dibentuk sejak awal berdiri masih dilestarikan.

Credibility is a key component of an ethical culture, and hypocrisy is its death knell." Marianne Jennings

“To me culture is everything. It’s the glue that holds people in the firm together and it also provides the vision for all the people in the firm to know just what they’re driving to. Culture is really important. Tone at the top matters a lot. No one person can drive or create that culture, it’s more like a Oiji board where a lot of people have a handle on it, but what comes out of it is very important.” Jim Tisch

"I think culture has to come from the top, it has to be consistent, it has to be part of written communications, it has to be — you know, has to be lived, and it has to be rewarded when followed, and punished when not. And then it takes a very, very long time to really become solid." Warren Buffett

“The culture of a company is one of the major keys to its success.” Stephen Errico

“Culture is the most important thing to understand about a company, and to understand about one’s self.”  Simeon Wallis

Di sisi lain, budaya yang buruk didorong oleh perilaku manajemen atau kepemimpinan yang tidak efektif. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tidak adanya akuntabilitas oleh mereka yang bertanggung jawab, employee turnover yang tinggi, ketidakhadiran atau sikap apatis; semua adalah contoh di mana para pemimpin perusahaan telah menciptakan budaya yang buruk.

Meninjau kembali karya Marianne Jennings berjudul 'The Seven Signs of Ethical Collapse', dia mengamati bahwa perusahaan dengan fokus yang berlebihan dalam memenuhi tujuan kuantitatif (sales, profit, growth), atau budaya ketakutan yang menindas adalah tanda-tanda potensi keruntuhan etika. Coba pelajari kasus kejatuhan Nokia, maka Anda akan tahu bahwa penyebab kejatuhan perusahaan itu bukan sekedar karena terlambat berinovasi, tetapi disebabkan oleh kepemimpinan yang tempramental.

Saya juga pernah membaca sebuah riset yang menemukan hasil bahwa engagement para karyawan di suatu perusahaan itu lebih dipengaruhi oleh variabel gaya kepemimpinan atasannya, dan pengaruhnya lebih signifikan dibandingkan variabel gaji yang tinggi.

"Cultures of fear and silence nurture the team player concept, borrowing the buy-in and stronghold that comes from groupthink and the inability, as Solomon Asch's studies on social conformity pressure concluded, of most of us to speak up when we see something wrong, if those around us either do not see the problem or have chosen to remain silent. Even the most honorable people are submissive in a culture of fear and silence." Marianne Jennings

Lantas, bagaimana cara efektif untuk menganalisis budaya perusahaan yang sehat dan perilaku manajemen? Ini sama dengan pertanyaan: bagaimana saya melakukan analisis kualitatif mengenai suatu perusahaan? Maka jawabannya adalah dengan metode “Modern Scuttlebutt”, yaitu proses penyelidikan terhadap suatu perusahaan dengan melakukan riset secara langsung ke lapangan sambil berdiskusi dengan beberapa pihak, serta memanfaatkan soft resources seperti Google, Youtube, dan social media. Semua informasi yang saya dapatkan dikumpulkan untuk menyusun puzzle mengenai gambaran budaya perusahaan. Ini adalah SATU-SATUNYA cara untuk memastikan bahwa Anda telah menerapkan due-diligance yang sesuai sehubungan dengan mempelajari budaya perusahaan, tidak bisa dengan hanya membaca Laporan Tahunan.

Mengapa kita perlu berbicara atau berdiskusi dengan semua pemangku kepentingan? Karena kebudayaan dibentuk oleh MANUSIA. Jika ingin menggali informasi mengenai suatu perusahaan, maka saya lebih tertarik untuk berdiskusi dengan karyawan, mantan karyawan, frontliner, supplier, distributor, kompetitor, dan konsumen. Jika Anda hanya berbicara dengan manajemen, kemungkinan besar Anda akan terkena bias, sebagaimana yang pernah terjadi pada Bill Ackman pada investasinya di Valeant. Manajemen memang bisa menceritakan rencana apa yang akan mereka lakukan, namun mereka hanya akan menyajikan satu sisi argumen dan cenderung hanya merefleksikan aspek positif dari budaya, atau apa yang mereka yakini ada. Jika berbicara dengan stakeholders yang lain, maka kita akan mendapatkan gambaran besarnya terkait budaya perusahaan, dan terkonfirmasi bahwa manajemen perusahaan bukanlah seorang pendusta.

"Give me a one-on-one with an employee and I can tap a vein. I always offer companies: After I do my research, using the [seven signs of ethical collapse] give me just five minutes alone with a frontline employee and I can tell you the culture of your organisation and whether it is at risk" Marianne Jennings

Understanding culture before we acquire a business could be the most important thing we do.  And it’s been one of the hardest things to do. You have to talk to the employees, customers, and suppliers. You learn a lot about how the company treats them”  Steve Feilmeier, Koch

“I do talk to management of many companies. I like to figure out their human values, the culture they nurture and their long-term goals.” Francois Rochon

Dalam kesempatan seperti apakah kita bisa berdiskusi dengan pihak internal perusahaan? Ya salah satunya dengan menghadiri RUPS. Jika rapat diselenggarakan di kantor pusatnya maka itu lebih baik, karena kita bisa sekaligus merasakan bagaimana suasana di lingkungan kerja para karyawan dan menilai bagaimana pihak perusahaan memperlakukan kita sebagai tamu di rumahnya sendiri. Contoh hal sederhana, saya terkesan dengan satpam di kantornya Ultrajaya yang sangat ramah dan mau mengantarkan saya dari pos security sampai ke tempat pendaftaran. Bahkan saya pernah membaca bahwa satpam Ultrajaya yang berjaga di luar gerbang masuk selalu membantu pejalan kaki yang ingin menyebrang.

“Culture, more than rule books, determines how an organisation behaves.” Warren Buffett

"In a 2004 study from the Journal of Business ethics, employees stunned most academics by saying that code of ethics for their company had very little influence on whether they make ethically correct choices. It was the culture of their companies and the examples set by their leaders that influenced their conduct." Marianne Jennings

"Behaviours count only if they are monitored and if the measures trigger corrective action when behaviours are out of alignment with values." James Heskett

Saudara-saudara, mempelajari budaya perusahaan sangat penting dan tentu saja merupakan salah satu hal termudah untuk diabaikan, karena hal itu tidak ditemukan secara gamblang dalam Laporan Keuangan. Saat menganalisis investasi potensial, kita cenderung hanya melihat kinerja keuangan perusahaan, ketimbang bagaimana perilakunya.

Di luar hasil bisnis yang sukses, budaya perusahaan yang sehat ditunjukkan dengan hal-hal seperti: Strong Leadership, Long Standing Employees, Collaboration and Team Work, Accountability, an excellent Customer Service Ethic, Strong Repeat Business, Role Clarity, Integrity, Transparency, Effective Reward Systems and Recognition Programs, Staff Engagement, Genuine Respect, Humility, Innovative Thinking, Staff Development Programs, Learning, Community Standing and Social Responsibility, Values that are Measured and 'Lived', Quality Products, Diversity of Workforce and Strong Ethics. Just to name a few. 

“Factors such as culture, because they are hard to quantify, often go undervalued by investors.” Nicholas Sleep

“The three best operating companies I’m aware of are Costco, Kiewit and Glenair. There is nothing remarkable about the product or field for any of these.  But there is something remarkable about the culture of all three.” Charlie Munger

“There is one thing I have been doing for many years now and has in my view been absolutely central to the fund’s performance. I mention it not in the spirit of self-congratulation, but because there is far too little attention paid to it and it would be far better for society, not to mention individual fund’s performance, if this was not the case. I am referring to building an understanding of and conviction around a company manager’s integrity and more broadly speaking a firm’s culture (the two are closely connected as the tone basically comes from the top). Nothing has been more important to managing the fund over the last years than understanding management character.” Robert Vinall

“We believe that finding companies with a distinctive culture provides us with a source of edge over other investors. Indeed, in spite of evidence to support the contention that culture is a critical driver of long-term stock returns, it is routinely ignored by most investors.” Baillie Gifford

Anda dapat pelajari betapa pentingnya budaya perusahaan bagi para Investment Masters dalam menentukan keberhasilan suatu Investasi. Bisa jadi, kesuksesan investasi Anda pada suatu saham perusahaan ditentukan oleh orang-orang dan budaya di dalamnya.

Sekali lagi, investasi saham yang benar itu membutuhkan tahapan analisis yang mendalam, serta riset langsung ke lapangan untuk mengonfirmasi. Dengan begitu, kita akan lebih paham dengan apa yang kita beli. Jangan sampai kita terjebak dalam situasi: analisis hanya berkutat pada laporan keuangan, dan ternyata hasil yang diperoleh tidak sesuai ekspektasi yang berujung nyangkut dan cut loss, lalu dengan enteng mengatakan ‘fundamental is dead, semua terserah bandar!’ Halaaaah, Pan*ek!!!

Semoga bermanfaat, jangan lupa bahagia dan selalu bersyukur.


Further reading:
Analisis Kualitatif: https://stockbit.com/post/3579709

Perbanyak Membaca dan Berpikir: https://stockbit.com/post/6645903

Belajar dari WB tentang Economic Moat: https://stockbit.com/post/9009585

Belajar dari WB tentang Analisis Investasi: https://stockbit.com/post/9766137

Pelajaran dari Kasus Valeant: https://stockbit.com/post/10477384

Read more...

1/4

testestestes
2013-2024 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy