Belajar dari Warren Buffett (part 5): Tentang Analisis Investasi

Dalam artikel ini kembali saya akan membahas insight yang tak lekang oleh waktu dari seorang Warren Buffett yang merupakan Investor terpopuler di dunia. Pada part sebelumnya saya membahas insight dari beliau tentang pentingnya memperhatikan laba yang dihasilkan perusahaan karena berkaitan dengan intrinsic value. Arah pergerakan harga saham suatu perusahaan dalam jangka panjang akan mengikuti kinerja laba yang dihasilkannya. Nah, untuk memperkirakan bagaimana potensi laba masa depan perusahaan maka dibutuhkan suatu tahapan analisis yang mendalam sebelum memutuskan untuk membeli sahamnya. Mari kita bahas lebih lanjut tentang ‘analisis investasi’ berdasarkan insight dari Mr. Buffett yang bersumber dari surat tahunan Berkshire-nya.

Ketika berbicara tentang analisis investasi, penting untuk memahami apa yang dilakukan perusahaan dan faktor kunci apa yang akan menentukan kesuksesan ke depan. Anda tidak memerlukan 2.000 baris spreadsheet untuk menentukan apakah suatu investasi kemungkinan besar akan berhasil. Yang Anda perlukan adalah berpikir dan mau meluangkan waktu untuk riset baik secara langsung ke lapangan atau melalui beberapa sumber sekunder.

Analisis kualitatif sangat membantu untuk menemukan saham pemenang dan bagaimana potensinya ke depan. Jangan hanya mengandalkan analisis pada angka-angka di laporan keuangan karena itu adalah data masa lampau, apa yang akan terjadi ke depan bisa berbeda. Kita sering kali menemukan beberapa perusahaan yang memiliki kinerja keuangan (masa lalu) yang baik, rasio-rasio keuangannya menggoda, namun ketika terjadi hal yang tak terduga, kinerja mereka merosot begitu juga harga sahamnya sebagaimana yang sempat terjadi pada $ACES dan $HMSP

Dalam surat tahunan Berkshire Hathaway tahun 1997, Mr. Buffett menceritakan bagaimana awalnya dia mengetahui American Express (Amex) lalu mengambil keputusan pembelian saham melalui private placement pada tahun 1991:

"Here's where I got lucky. During that month of decision, I played golf at Prouts Neck, Maine with Frank Olson, CEO of Hertz. Frank is a brilliant manager, with intimate knowledge of the card business. So from the first tee on I was quizzing him about the industry. By the time we reached the second green, Frank had convinced me that Amex's corporate card was a terrific franchise, and I had decided not to sell. On the back nine I turned buyer, and in a few months Berkshire owned 10% of the company.

We now have a $3 billion gain in our Amex shares, and I naturally feel very grateful to Frank. But George Gillespie, our mutual friend, says that I am confused about where my gratitude should go. After all, he points out, it was he who arranged the game and assigned me to Frank's foursome."

Seorang Mr. Buffett mendapatkan ide investasi pada Amex saat berolahraga golf sambil menghirup udara segar. Ia berdiskusi dengan seorang CEO perusahaan rental mobil. Ia memutuskan membeli Amex bukan melalui meja kerjanya yang dilengkapi layar komputer dan laporan keuangan serta spreadsheet excel di dalamnya.

Dalam suatu wawancara CNBC, Mr. Buffett juga sempat menjelaskan proses analisis yang dia lakukan sebelum dia tertarik dan memutuskan membeli saham Apple senilai $17 miliar:

"Well, I would say Apple's — I mean, obviously it's very, very, very tech-involved, but it's a consumer product to a great extent too. And I mean, it has consumer aspects to it. And one of the great books on investing, which I've touted before, is one that Phil Fisher wrote back around 1960 or thereabouts, called "Common Stocks and Uncommon Profits." It had an effect on me. I went out to meet Phil Fisher after reading the book, I found him in this little office in San Francisco. And I recommend any investor read that book. And it's still in print. And he talks about something called the scuttlebutt method, which made a big impression on me at the time. But I used it a lot, which is essentially going out and finding out as much as you can about how people feel about the products that they ... it's just asking questions, basically. And Apple strikes me as having quite a sticky product and enormously useful product that people would use, and not that I do. Tim Cook's always kidding me about that. But it's a decision-based ... but again, it gets down to the future earning power of Apple when you get right down to it. And I think Tim has done a terrific job, I think he's been very intelligent about capital deployment. And I don't know what goes on inside their research labs or anything of the sort. I do know what goes on in their customers' minds because I spend a lot of time talking to 'em."

Mr. Buffett menjelaskan betapa pentingnya peran scuttlebutt method dalam perjalanan investasinya. Metode ini diajarkan oleh salah satu mentornya yakni Philip Fisher. Ia mengakui bahwa dengan mau meluangkan waktu untuk mencari sebanyak mungkin informasi secara langsung ke lapangan, baik melalui diskusi dengan beberapa pihak dan mengamati secara langsung bagaimana perilaku konsumen dan kekuatan produk di pasar, maka peluang investasi yang bagus dan ‘tahan lama’ akan ditemukan. Hal ini sebagaimana yang saya lakukan sebelum memutuskan untuk membeli saham-saham yang ada dalam portofolio saya, salah satunya adalah $ULTJ yang bisa dibaca dalam artikel ini: https://stockbit.com/post/9231614

Informasi mengenai keunggulan kompetitif yang dimiliki ULTJ, bagaimana kekuatan produk mereka di pasar, bagaimana strategi manajemen ke depan, bagaimana rencana ekspansinya, bagaimana track record dari capital allocation oleh manajemen, bagaimana kepuasan konsumen terhadap produknya, itu saya dapatkan melalui metode scuttlebutt, tidak hanya dengan menganalisis laporan keuangan. Dengan memiliki kumpulan informasi kualitatif tersebut, conviction saya semakin kuat. Saya merasa memiliki beberapa informasi yang belum tentu diketahui oleh kebanyakan orang tentang perusahaan ini.

Lebih lanjut Mr. Buffett menceritakan proses scuttlebutt:

"I had learned that from a fella named Phil Fisher who wrote this great book called "Common Stocks and Uncommon Profits." And he calls it the scuttlebutt method. And Phil was a remarkable guy.  And I first used it back in 1963 when American Express had this great Salad Oil Scandal that people were worried about it bankrupting the company. So I went out to restaurants and saw what people were doing with the American Express card, and I went to banks to see what they were doing with travelers' checks and everything. And clearly American Express had lost some money from this scandal, but it hadn't affect their consumer franchise. So I ask people about products all the time.”

Bisa kita ambil pelajaran, bahwa seorang Warren Buffett yang kita yakini dia punya akses ke pihak manajemen perusahaan untuk bertanya banyak hal, tapi dia lebih senang meluangkan waktu melakukan riset secara langsung ke lapangan dengan berkunjung ke restoran atau berkunjung ke bank, dan memperhatikan perilaku konsumen setelah skandal salad oil yang menimpa Amex. Ia lebih senang untuk berdiskusi dengan pelanggan produk perusahaan dan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia tahu bahwa skandal yang menimpa Amex mengganggu kinerja perusahaan, tapi skandal itu hanyalah masalah temporer yang tidak akan berpengaruh terhadap kinerja jangka panjang. Apa yang mendasari keyakinan itu? Mr. Buffett mengamati para konsumen masih banyak yang menggunakan kartu Amex untuk bertransaksi.

Selanjutnya, Mr. Buffett menceritakan awal ketertarikannya dengan Apple melalui proses scuttlebutt:

“When I take my great-grandchildren to Dairy Queen they bring along friends sometimes. They've all got a iPhone and, you know, I ask 'em what they do with it and how ... whether they could live without it, and when they trade it in what they're gonna do with it. And of course, I see when they come to the furniture mart that people have this incredible stickiness of — with the product. I mean, if they bring in an iPhone, they buy a new iPhone. I mean, they're ... it just has that quality. It gets built into their lives. Now, that doesn't mean something can't come along that will disrupt it. But the continuity of the product is huge, and the degree to which their lives centre around it is huge. And it's a pretty nice, it's a pretty nice franchise to have with a consumer product.

Lebih lanjut pandangannya tentang produk Apple:

"But what I do know is when I take a dozen kids, as I do on Sundays out to Dairy Queen they're all holding their Apple, they barely can talk to me except if I'm ordering ice cream or something like that. And then I ask 'em how they live their lives. And the stickiness really is something. I mean, they do build their lives around it, just like you were describing. And the interesting thing is, when they come into ... when they come into get a new one, they're gonna get they overwhelmingly get the same product. I mean, they got their photos on it and, I mean, yeah, I know you can ... you can make some shifts and all that. But they love it."

Saudara-saudara, itulah penjelasan mengenai proses analisis investasi dengan menggunakan metode scuttlebutt. Dalam prosesnya, kita butuh mengoleksi pecahan-pecahan informasi dari berbagai narasumber, baik itu dari karyawan perusahaan, vendor, supplier, badan hukum, badan peneliti, kompetitor, bahkan mantan karyawan. Philip Fisher juga mengarahkan bahwa tidak semua informasi yang kita kumpulkan itu harus saling sinkron satu sama lain, namun jika kita berhasil menanyakan pertanyaan yang cerdas kepada orang yang tepat, maka dari pecahan informasi yang terkumpul akan terlihat jelas perusahaan mana yang memiliki potensi. Langkah lainnya yang juga diperlukan yaitu kita bisa mengunjungi perusahaan dan bertemu dengan pihak manajemen dan berdiskusi dengan mereka jika ada kesempatan. Makanya saya suka dengan perusahaan yang menggelar RUPS dan public expose di kantor pusat atau pabrik perusahaanya sendiri.

Dulunya, metode scuttlebutt ini dirasa agak ribet untuk diterapkan. Kita harus mau keluar rumah, mengunjungi beberapa tempat, dan dibutuhkan effort yang besar untuk mendapatkan informasi. Kita juga perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bisnis, menajemen, dan strategi perusahaan sehingga mampu mengajukan pertanyaan cerdas.

Namun demikian, beruntung saat ini kita hidup di era internet, di mana arus informasi begitu mudahnya kita terima sehingga metode scuttlebutt tidak sesulit dulu. Beberapa informasi penting yang sangat bermanfaat tentang sebuah perusahaan tersedia bagi para individual investor secara online. Bahkan, mengikuti RUPS dan public expose pun bisa dilakukan secara live streaming. Jadi inilah yang tidak dimiliki Mr. Fisher semasa hidupnya, yakni kemajuan koneksi internet.

Adapun contoh investor lain yang juga mengandalkan scuttlebutt method dalam proses analisisnya adalah Peter Lynch. Investasi terbaik Mr. Lynch tidak datang dari pertemuan dan pembicaraan formal dengan para CEO, analis keuangan, kolega, tapi didapatnya dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa saham yang ia beli seperti Taco Bell, Hanes, La Quinta Motor Inns, dan Dunkin Donuts merupakan hasil dari scuttlebutt dengan beberapa informasi yang dia peroleh diantaranya dari vice president perusahaan kompetitor dan juga istrinya. Pengalaman dari Warren Buffet dan Peter Lynch telah membuktikan bahwa metode scuttlebutt tidak serumit yang dibayangkan banyak orang. Bahkan, kita tidak perlu bertemu dengan pihak manajemen secara formal untuk mendapatkan informasi penting tentang suatu perusahaan.

Jika saya ditanya, bagaimana saya melakukan analisis kualitatif mengenai suatu perusahaan? Maka jawabannya adalah dengan metode “Modern Scuttlebutt”, yaitu proses penyelidikan terhadap suatu perusahaan dengan melakukan riset secara langsung ke lapangan (seperti menghadiri RUPS atau pubex di kantor pusat atau pabrik perusahaan, belanja ke supermarket, datang ke bengkel dan pameran mobil, datang ke Tiki/Jne, sambil berdiskusi dengan beberapa pihak); serta memanfaatkan soft resources seperti Google, Youtube, dan social media. Jika ingin menggali informasi secara langsung dari stakeholder perusahaan, maka saya lebih tertarik untuk berdiskusi dengan karyawan, mantan karyawan, supplier, distributor dan konsumen. Semua informasi yang saya dapatkan dikumpulkan dan saya cocokkan dengan kriteria yang saya inginkan, yaitu bisnis yang sederhana dan efisien, produk yang consumable dan unregulated, memiliki competitive advantage, serta dikelola oleh manajemen yang rasional, berperilaku seperti owner, berintegritas, dan jujur.

Tentu saja, cara analisis seperti ini juga harus disesuaikan dengan time frame Anda. Jika Anda berniat membeli suatu saham tapi tidak siap untuk memilikinya dalam waktu yang lama, maka cara ini akan buang-buang energi. Bagi saya, saham yang akan saya beli tidak direncanakan untuk dijual kembali dalam jangka waktu tertentu atau ketika mencapai target tertentu. Saya ingin memilikinya selama mungkin selama kualitas perusahaan masih baik. Maka dari itu saya perlu lakukan analisis mendalam seperti ini dan saya menetapkan standar tinggi yang harus dipenuhi perusahaan yang sahamnya pantas untuk dimiliki dalam jangka panjang.

Analisis investasi dengan metode scuttlebutt memang menyita banyak waktu, tapi itu hanya diawal saja saat kita pertama kali ingin membeli suatu saham. Setelah serangkain proses dijalani dan keputusan pembelian dilakukan lalu sahamnya dimiliki, maka ke depannya kita hanya perlu lakukan monitoring secara kuartalan atau tahunan terhadap perkembangan story dan kinerja perusahaan. Saya pun juga hanya memiliki 4 perusahaan dalam portofolio yang dapat saya pahami dengan baik, dan ini memudahkan proses monitoring tentunya. Mungkin banyak yang bertanya mengapa saya berani untuk hanya memiliki 4 perusahaan, jawabannya adalah karena saya tahu dan paham betul apa yang saya beli. Saya sudah luangkan waktu untuk analisis secara mendalam sehingga saya yakin dengan masa depan keempatnya.

Saya hanya berminat pada perusahaan yang berstatus wonderful atau high quality companies, sehingga aktivitas seperti ‘membolak-balikkan batu’ tidak perlu saya lakukan. Saya meyakini ketika sudah memiliki saham high quality companies, maka holding period-nya adalah selama mungkin selama story perusahaan masih on the track. Seiring waktu, perusahaan berkualitas akan terus meningkatkan nilai saya sebagai shareholder dengan hanya memegang sahamnya, dan sampai saat ini saya merasakan hal itu memang terbukti.

Oke, ada satu hal lagi yang ingin saya bagikan, yaitu kesederhanaan. Jangan sampai analisis yang kita lakukan justru malah semakin membuat pusing kepala kita. Kita perlu menetapkan checklist atau kriteria yang harus dipenuhi saham pemenang dan menyederhanakan tesis investasi kita, dan tentu saja belilah perusahaan yang bisnisnya Anda pahami atau berada dalam lingkaran kompetensi Anda. Sekali lagi, Jika kita dapat memahami bisnisnya, maka tentu proses analisis investasi akan lebih mudah. Kita akan bahas hal ini di artikel bulan depan.

Mr. Buffett mengingatkan kita tentang perlunya kesederhanaan dalam suratnya tahun 1994:

"Our investments continue to be few in number and simple in concept:  The truly big investment idea can usually be explained in a short paragraph.  We like a business with enduring competitive advantages that is run by able and owner-oriented people. When these attributes exist, and when we can make purchases at sensible prices, it is hard to go wrong (a challenge we periodically manage to overcome).

Investors should remember that their scorecard is not computed using Olympic-diving methods:  Degree-of-difficulty doesn't count. If you are right about a business whose value is largely dependent on a single key factor that is both easy to understand and enduring, the payoff is the same as if you had correctly analyzed an investment alternative characterized by many constantly shifting and complex variables."

Last, Mr. Buffett menyadari bahwa kekuatan laba perusahaan di masa depanlah yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalan investasinya, bukan catatan kinerja perusahaan di masa lalu. Faktor-faktor kualitatif seperti: business model, kualitas intangible-assets, budaya dan nilai perusahaan, competitive advantage, kualitas manajemen, kemampuan alokasi modal oleh manajemen, inovasi, network effect, skalabilitas, perkembangan industri, lanskap persaingan, lebih memberikan gambaran yang jelas tentang prospek pertumbuhan laba masa depan. Sekali lagi, memahami faktor kualitatif bisa lebih penting daripada hanya menganalisis angka historis dan mengandalkan rumus-rumus yang rumit. Tetap sederhana, it's not rocket science.

“The most important question you should be asking: will this business still be around a decade from now?  Numbers alone won’t tell you the answer; instead you must think critically about the qualitative characteristics of your business.” (Peter Thiel)
 
Semoga bermanfaat, jangan lupa bahagia dan selalu bersyukur.


Further reading:
Tahapan Analisis sebelum Membeli: https://stockbit.com/post/3204455

Analisis Kualitatif: https://stockbit.com/post/3579709

Perbanyak Membaca dan Berpikir: https://stockbit.com/post/6645903

Read more...
2013-2024 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy