Catatan tentang ULTJ - Empat Sehat Lima Sempurna
Dalam artikel ini saya akan mengulas pandangan saya tentang perusahaan yang mendominasi industri minuman UHT di Indonesia dengan pengalaman 51 tahun beroperasi, yaitu PT Ultrajaya Milk Industry and Trading Co. Tbk (ULTJ). Perusahaan ini merupakan salah satu high quality company yang listing di BEI dan termasuk kelompok emiten middle-cap yang diperdagangkan dengan nilai Rp17 triliun saat saya membeli sahamnya. Saya menilai saat itu valuasinya sedang wajar dan ada beberapa keputusan manajemen yang semakin membuat saya tertarik untuk mengikuti story-nya lebih lanjut. Baiklah, langsung saja kita bahas.
Konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara dunia bahkan Asean, ini menandakan ruang pertumbuhan ke depan masih cukup besar dan potensial. Dengan meningkatnya jumlah masyarakat middle class dan urbanisasi serta semakin tingginya kesadaran akan pentingnya asupan bernutrisi untuk menjaga kesehatan, maka dapat mendorong tingginya permintaan konsumen. Golongan dewasa muda juga mulai cenderung memilih mengonsumsi susu secara regular pada saat ini, dan ke depan tren ini akan semakin meningkat.
Saya meyakini bahwa prospek susu cair UHT lebih menjanjikan dibanding susu cair pasteurisasi, susu cair steril, dan susu bubuk, karena lebih sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia dan bisa dikonsumsi oleh siapa saja mulai dari anak-anak di atas satu tahun hingga orang tua dan para lansia. Di masa mendatang, konsumen Indonesia akan lebih memilih susu cair UHT untuk melengkapi nutrisi harian karena lebih praktis, lebih higienis, umur simpan atau shelf-life yang panjang, bisa disimpan dalam suhu ruangan selama kemasan belum dibuka, memiliki nilai gizi alami yang masih terjaga, tanpa pengawet, tanpa pemanis buatan, dan harganya lebih terjangkau.
Itulah mengapa ULTJ selama ini hanya fokus menggarap susu UHT sehingga mereka memiliki pengalaman yang lebih baik. Mereka melakukan hal yang membosankan sejak 51 tahun yang lalu, yakni memproduksi dan mendistribusikan minuman UHT berkualitas. Saya pernah berdiskusi dengan Head of Marketing perusahaan, beliau juga mengemukakan alasan-alasan yang sama penyebab ULTJ selama ini lebih fokus memasarkan susu UHT. Jika diperhatikan trennya, maka kontribusi susu UHT terhadap sales perusahaan semakin besar. Di tahun 2015 kontribusi susu UHT terhadap revenue sebesar 65%, dan di tahun 2021 kontribusinya sebesar 73,9%. Dengan data seperti ini, kita bisa menilai keyakinan manajemen ULTJ terhadap potensi susu UHT ke depan.
Bagaimana dengan posisi kompetitif ULTJ dalam industri susu UHT? Berdasarkan informasi dari Public Expose (pubex) tahun 2021, market share untuk produk Ultra Milk mengalami penurunan dari tahun 2020, bahkan penurunan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya pemain-pemain baru yang masuk ke industri, bukan disebabkan oleh semakin menguatnya pesaing terdekat. Dalam pasar yang semakin berkembang, posisi Ultra Milk tetaplah yang paling dominan dengan market share 35% dan ULTJ akan terus berupaya dengan strategi-strateginya untuk mempertahankan dominasi ini. Dengan kalimat lain, manejemen perusahaan berkomitmen untuk memperlebar economic moat yang dimiliki perusahaan.
ULTJ memiliki beberapa keunggulan kompetitif yang kuat dibandingkan kompetitornya, antara lain: memiliki budaya organisasi yang etis khususnya dalam hal menjaga hubungan jangka panjang yang baik dengan para peternak sapi perah; mencapai skala ekonomis dengan didukung oleh rantai pasokan dan proses produksi yang terintegrasi secara vertikal dan terotomatisasi; memiliki jalur distribusi yang luas secara nasional dengan bantuan teknologi terkini; dan memiliki brand produk yang kuat seperti Ultra Milk dan Teh Kotak yang merupakan market leader dalam kategorinya masing-masing.
Bagi Anda yang sempat mengikuti story perusahaan ini, maka dapat diketahui bahwa ULTJ memiliki pijakan yang sangat kuat dari sektor hulu, tengah, hingga ke hilir. Untuk kekuatan di sektor hulu, perusahaan menerapkan dua metode untuk memperoleh bahan baku susu sapi segar. Yang pertama, mereka menjalin hubungan kerja sama sekaligus pembinaan dengan koperasi peternakan sapi perah di Pengalengan Bandung Selatan (total populasi sapi di sana sekitar 14.000 ekor). Yang kedua, ULTJ mengelola peternakan sapi milik sendiri di Pengalengan melalui entitas anak PT Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) yang saat ini memiliki sekitar 3.000 ekor sapi di atas tanah seluas 60 Ha dengan metode modern farming berskala besar. Selain di Jawa Barat, ULTJ juga memiliki peternakan sapi perah di Berastagi Sumatera Utara yang dilengkapi dengan pabrik speed dryer sehingga susunya dapat dikeringkan sebelum dikirim ke Bandung. Peternakan di Berastagi dikelola oleh entitas anak PT Ultra Sumatera Dairy Farm (USDF) yang saat ini sudah ada sekitar 3.100 ekor sapi di sana dan akan tumbuh hingga 6.000 ekor dalam waktu dekat di atas tanah seluas 100 Ha. Dengan menerapkan dua metode ini, maka pasokan susu sapi segar berkualitas tinggi yang diperoleh ULTJ akan lebih stabil dan konsisten dalam jangka panjang, serta dapat menggantikan susu bubuk impor dengan harga dan kurs yang berfluktuasi yang sebelumnya harus menempuh perjalanan panjang sebelum sampai di Bandung untuk diproses.
Untuk semakin memperkuat rantai pasokan, perusahaan berencana membangun peternakan baru di Margamulya Pangalengan dengan tanah yang ada sekitar 80 Ha, yang saat ini masih dalam tahap rencana dan kemungkinan akan segera dimulai. Selain itu, perusahaan juga sedang membangun pabrik pakan milik sendiri atau berinvestasi dalam budidaya pakan (rumput dan jagung) yang berlokasi di Subang Jawa Barat dengan luas tanah 500 Ha. Hal ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan pakan ternak berkualitas dengan harga terjangkau untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan sapi. Dengan memproduksi sumber pakan sendiri, ULTJ juga dapat mensubtitusi impor terhadap bahan-bahan rumput, sehingga akan lebih menghemat biaya dan meminimalisir dampak fluktuasi kurs. Sudah sejak lama manajemen ULTJ merencanakan pengembangan ekosistem peternakan sapi sendiri, karena mereka menyadari bahwa salah satu risiko utama dalam industri pengolahan susu adalah terganggunya pasokan bahan baku susu sapi segar baik dari segi kuantitas, kualitas, dan fluktuasi harga perolehan. Saat ini hanya ada dua perusahaan dalam industri ini yang memiliki peternakan sendiri, yaitu ULTJ dan PT Greenfields Indonesia.
Selanjutnya kita bahas kekuatan di sektor tengah (bisnis utama) yang terdiri dari aktivitas processing, packaging, dan storing. ULTJ memiliki pabrik atau fasilitas produksi dengan total kapasitas mencapai lebih dari 300 juta liter setiap tahun yang dilakukan secara terotomatisasi dengan teknologi UHT dan sistem pembungkusan aseptik yang terintegrasi. Rangkaian proses produksi dimulai dari penerimaan bahan mentah hingga pembungkusan dan penyimpanan di gudang dilakukan secara highly-automated dan disertai dengan pengendalian kualitas yang ketat.
Selain mengoptimalkan kapasitas di fasilitas yang ada, perusahaan juga berinvestasi untuk membangun gudang (distribution center) dan pabrik yang baru di kawasan MM2100 Cikarang yang direncanakan akan beroperasi masing-masing di tahun 2022 dan 2023. Jika kedua fasilitas baru ini sudah beroperasi, maka akan membantu meningkatan efisiensi distribusi dan kecepatan pemasaran karena semakin dekat dengan pasar utama (Jabodetabek), dan akan mendukung pertumbuhan dengan jangka waktu yang lebih panjang seiring kapasitas produksi yang semakin besar.
Lanjut kita bahas kekuatan sektor hilir. ULTJ menjangkau penjualan secara nasional melalui jaringan distribusi yang luas. Di Pulau Jawa, perusahaan melakukan penjualan melalui Modern Trade yang dilakukan oleh tenaga penjual dan juga pasar tradisional/pengecer yang dilakukan oleh entitas anak (PT Nikos Distribution Indonesia). Saat ini kurang lebih ada 65.000 titik penjualan di Pulau Jawa. Sedangkan di luar Pulau Jawa, perusahaan menggunakan kurang lebih 63 distributor (Third Party) untuk menjangkau gerai-gerai pengecer.
Untuk mengoptimalkan platform distribusinya dan memastikan ketersediaan produk yang optimal secara nasional, perusahaan akan meningkatkan penetrasi pedagang eceran modern dan tradisional di Pulau Jawa dengan rencana: menambah anggota tim penjualan di lapangan; secara berkelanjutan berinvestasi dalam pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga penjual; dan meningkatan efisiensi penjualan melalui investasi dalam IT atau teknologi. Untuk di luar Pulau Jawa, perusahaan akan mendukung para distributor yang memperluas jangkauan mereka dengan rencana: fokus pada distribusi di Sumatera dan Kalimantan; membantu para distributor menjamin pembiayaan untuk menjual lebih banyak produk; dan mencapai konektivitas IT dengan seluruh distributor.
Itulah pembahasan yang lebih detail mengenai keunggulan yang dimiliki perusahaan beserta dengan rencana pengembangan untuk semakin memperkokoh proses bisnis dari hulu ke hilir. Jika disimpulkan, maka manajemen ULTJ akan memperlebar economic moat perusahaan dengan 5 strateginya, yaitu:
1. Ekspansi operasional peternakan sapi perah;
2. Investasi yang berkelanjutan untuk meningkatkan efisiensi operasional;
3. Meningkatkan kapasitas produksi dan gudang;
4. Memperluas distribution channel; dan
5. Mengembangkan produk baru.
Menurut penilaian saya, faktor internal pendorong pertumbuhan kinerja ULTJ ke depan tidak terlalu mengandalkan inovasi pengembangan produk, melainkan lebih mengandalkan skala ekonomis, efisiensi, peningkatan kapasitas produksi, dan perluasan jaringan distribusi. Ibarat empat sehat lima sempurna, dengan hanya menjalankan strategi pertama hingga keempat sebetulnya sudah cukup bagi ULTJ. Namun, apabila strategi kelima juga dieksekusi dengan baik maka potensi pertumbuhan ke depan akan semakin durable.
Terkait pengembangan produk, sampai saat ini ULTJ belum memiliki produk-produk baru seperti susu pasteurisasi, susu steril, dan produk turunan susu lainnya seperti yoghurt, cream dan butter. Pihak manajemen akan merilis beberapa produk tersebut jika dirasa momennya sudah tepat, dan mereka juga ingin tetap menjaga kualitas produk yang sudah ada. Ke depan, produk-produk baru yang akan diluncurkan ULTJ masih berkaitan dengan kategori dairy dan teh, dan mereka akan selalu konsisten dengan produk tanpa pemanis buatan. Untuk varian rasa produk Ultra Milk saat ini juga tidak terlalu banyak macamnya. Biarpun sedikit tetapi konsumen suka dengan varian rasa yang ada, daripada memiliki terlalu banyak varian rasa yang aneh-aneh malah membuat konsumen bingung dan ujung-ujungnya hanya rasa tertentu saja yang paling laris.
Banyak pihak yang beropini bahwa ini perusahaan jadul dan tidak mampu berinovasi karena produknya dari dulu itu-itu saja. Mereka menganggap ULTJ akan kalah bersaing dengan pemain baru yang menurut mereka lebih inovatif dan memiliki kategori produk dairy yang lebih lengkap. Pihak manajemen ULTJ merasa buat apa buru-buru meluncurkan produk baru padahal potensi susu UHT itu sendiri masih sangat besar dengan target pasar yang lebih luas dan bisa menghasilkan cashflow yang kuat bagi perusahaan. Sebelumnya sudah saya jelaskan bahwa susu UHT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan susu pasteurisasi, salah satunya shelf-life yang lebih panjang karena susu disterilkan dengan suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat lalu dikemas secara aseptis, sehingga produk ini tidak memerlukan pendinginan selama penyimpanan di gudang dan/atau selama proses distribusi. Dengan demikian, ULTJ yang hanya fokus memproduksi susu UHT dapat menghemat kebutuhan energi lebih besar dan lebih efisien dibandingkan perusahaan lain yang juga memproduksi pasteurized milk. Jadi, untuk saat ini manajemen ULTJ memilih untuk tetap fokus menggarap susu UHT yang tidak membutuhkan pengembangan dengan inovasi yang spektakuler.
Dari dulu sampai sekarang dan seterusnya di masa yang akan datang, yang namanya susu cair UHT itu ya susu cair dalam kemasan karton aseptik, bentuknya begitu-begitu saja. Cara meminumnya bisa langsung menggunakan sedotan atau bisa juga dituang ke gelas terlebih dahulu. Lalu mau diinovasikan seperti apa lagi? Perkembangan teknologi sepesat apapun tidak akan mengubah cara orang mengonsumsi susu cair dan mengurangi permintaan. Itulah mengapa pengembangan yang dilakukan $ULTJ terhadap produk itu hanya dengan menambah varian rasa atau sedikit memodifikasi tampilan kemasan. Berbeda dengan obat herbalnya $SIDO yang bisa terus diinovasikan karena bahan bakunya beraneka ragam dengan racikan tertentu dan bisa diproses menjadi berbagai bentuk. Contohnya jamu Tolak Angin yang dulunya berbentuk serbuk, lalu menjadi bentuk tablet, lalu menjadi bentuk cair siap minum, lalu bisa dijadikan minyak aromatherapy roll on, lalu bisa dijadikan permen, dan sekarang tersedia juga dalam bentuk soft capsul. Sedangkan susu UHT? Ya sumber bahan bakunya cuma dari susunya sapi. Terus mau pake susu siapa lagi?? Dan kemasannya mau diubah seperti bentuk apa lagi?? Apakah seperti…..ah sudahlah.
Inovasi yang ULTJ lakukan lebih ditujukan untuk penggunaan teknologi yang paling mutakhir di industri ini. Perusahaan secara terus menerus berinvestasi dalam pengembangan IT dan pengadaan mesin robotik untuk sistem pengolahan dan pengemasannya, dan ini berkaitan dengan upaya peningkatan efisiensi operasional (strategi nomor 2). Pabriknya yang serba otomatis diakui sebagai salah satu mesin pengolahan makanan dan minuman yang paling canggih di Indonesia. Perusahaan telah mengimplementasikan Automated Storage and Retrieval System (ASRS) yang efisien di gudang dengan menggunakan Automated Guided Vehicles (AVGs). Dalam hal pemasaran, perusahaan juga mengoptimalkan sistem teknologi untuk mengetahui berapa jumlah produk yang terjual dan jumlah stock tersisa setiap menitnya yang sifatnya real time. Teknologi pemasaran ini akan terus dikembangkan dan belum tentu dimiliki oleh perusahaan-perusahaan kompetitor. Sekarang saya tanya, di mana letak jadulnya perusahaan ini? Bisa dibilang ULTJ merupakan perusahaan yang tech-savvy, bahkan mereka adalah perusahaan yang paling pertama memanfaatkan teknologi UHT dan pengemasan aseptis di Indonesia (pioneer).
Lanjut kita bahas tentang perilaku konsumen. Secara umum, kebanyakan konsumen dalam memilih susu UHT mana yang akan dibeli maka yang dilihat pertama kali adalah harga yang lebih murah. Itulah sebabnya produk susu UHT tidak begitu memiliki pricing power karena cenderung bersifat comodity product. Bagi kebanyakan orang, rasa dan khasiat susu UHT antara brand yang satu dengan yang lain cenderung sama saja, tidak terlalu berbeda. Namun dengan semakin derasnya arus informasi di era digital, maka ke depan akan semakin banyak konsumen yang membeli susu UHT karena faktor-faktor kualitas seperti komposisi, kandungan gizi, dan brand value. Mereka yang saat ini memperhatikan faktor-faktor tersebut biasanya sudah terbiasa minum susu UHT sejak lama dan bisa membedakan kualitas dari tiap-tiap merek, dan mereka juga memiliki kesetiaan pada merek yang cocok dengan selera mereka. Saya sempat bertanya ke beberapa rekan dan kerabat tentang alasan mereka setia pada merek Ultra Milk, kebanyakan mereka menjawab karena kualitas rasanya masih enak sejak dulu sampai sekarang. Tetapi sekali lagi, sampai saat ini masih banyak konsumen yang lebih memperhatikan faktor harga saat membeli susu UHT.
So, untuk ULTJ saya justru berharap mereka bisa menekan harga produknya menjadi lebih murah dengan kualitasnya yang tetap dijaga, dan terus pastikan ketersediaan produknya selalu ada dan tersebar secara luas sampai ke warung-warung kecil di pedesaan. Saya yakin ULTJ mampu melakukan dua hal itu, karena barkaitan dengan keunggulan-keunggulan dan 5 strategi yang mereka miliki. Dengan begitu, ULTJ berpeluang menjadi pemimpin pasar untuk waktu yang sangat lama. Sampai saat ini jika saya berkunjung ke daerah-daerah yang jauh dari perkotaan atau desa-desa yang terpencil, saya lebih mudah menemukan di warung-warung itu produk Ultra Milk dibandingkan Indomilk, Frisian Flag, Diamond, Cimory, apalagi Greenfields. Saya juga sering bertanya ke pemilik warung dan jawab mereka semua sama, yakni susu UHT yang paling laku atau barangnya cepat habis adalah Ultra Milk. Lalu ketika saya cek harga produk-produk susu UHT di pasaran, maka harga Ultra Milk saat ini cukup bersaing atau bisa ditemukan sedikit lebih murah dari beberapa merek lain dengan kualitas yang kira-kira sama. Jika ada produk susu UHT yang lebih murah dari Ultra Milk bahkan dengan selisih harga yang besar, itu karena memang kualitasnya lebih rendah karena dalam komposisinya ada tambahan air dan bahan-bahan lainnya.
Untuk segmen pasar anak-anak, saya menyaksikan baik kerabat dan rekan-rekan saya kebanyakan memilih produk Ultra Mimi untuk diberikan kepada anak-anaknya, bahkan mereka rela menyetok produk ini sekarton di rumahnya. Sebagian mereka juga sempat mencoba merek susu UHT lain, namun anak-anaknya merasa tidak cocok. Ada juga yang menjadikan susu UHT Ultra Mimi sebagai pengganti Sufor. Beberapa alasan mereka memilih produk ini adalah karena kandungan gizinya tinggi, bisa diminum secara langsung (praktis), mudah dibawa bepergian, percaya akan kualitasnya, harganya terjangkau, dan barangnya mudah ditemukan. Diyakini segmen anak-anak berusia > 1 tahun melalui brand Ultra Mimi akan berkontribusi maksimal terhadap sales perusahaan dengan potensi pasar yang besar mempertimbangkan angka kelahiran bayi sekitar 4,8 juta per tahun di Indonesia. Jika Anda ingin tahu bagaimana pengalaman para ibu lainnya memberikan anaknya Ultra Mimi, silahkan buka tautan ini: https://cutt.ly/MZmb2cs
Selama proses riset yang saya lakukan, saya juga sempat berdiskusi dengan banyak dokter khususnya Dokter Spesialis Anak (DSA). Semuanya lebih menyarankan agar anak yang sudah berusia lebih dari 1 tahun diberikan susu UHT (bukan sufor) untuk pelengkap nutrisi dan/atau pendamping ASI, dengan catatan anak tersebut memiliki status gizi yang baik. Lebih lanjut para DSA ini merekomendasikan untuk memilih produk susu UHT yang komposisinya itu 100% susu sapi. Nah sejauh pengamatan saya, hingga saat ini produk susu UHT plain dengan komposisi 100% susu sapi itu hanya Ultra Milk dan Greenfields, dan Di antara kedua produk itu Ultra Milk lebih mudah ditemukan dan harganya lebih murah. Dokter Spesialis Obgyn yang menangani istri juga menyarankan agar minum ‘susu Ultra’ untuk memenuhi nutrisi selama hamil. Lalu istri merespon, “ooh, jadi harus minum susu Ultra ya dok?” dokter menjawab, “yaa susu yang lain juga boleh, mau Indomilk atau Greenfields atau yang lainnya, yang jelas minum susu UHT ya bu”. Kira-kira mengapa susu Ultra yang pertama kali terucap oleh dokter? Mungkin Ultra Milk sudah menjadi brand yang top of mind bagi masyarakat Indonesia yang ketika mendengar atau teringat susu UHT, maka nama Ultra Milk langsung ada dibenaknya. Dokter obgyn ini mungkin banyak ibu-ibu yang tau karena beliau salah satu dokter obgyn yang pro lahiran normal yang juga membuka klinik di kawasan Kemang Jakarta. Nah, susu UHT yang dijual dan terpajang dalam lemari pendingin di klinik tersebut hanya Ultra Milk.
Dalam berbagai event yang saya ikuti seperti Fun Bike, Fun Run, hingga event donor darah, produk Ultra Milk saya perhatikan banyak disajikan sebagai konsumsi panitia dan konsumsi peserta yang mengikuti event tersebut meskipun ULTJ tidak menjadi sponsor utamanya. Banyak produk susu UHT lain yang tersedia di pasaran bahkan lebih murah, tetapi Ultra Milk lah yang selalu dipilih panitia penyelenggara. Well, berdasarkan kumpulan informasi yang saya dapatkan dari hasil diskusi dengan beberapa pihak dan pengamatan langsung ke lapangan, maka saya semakin yakin Ultra Milk akan terus menjadi pemimpin pasar susu UHT untuk jangka waktu yang lama, karena: memiliki kualitas yang tinggi dengan komposisi 100% susu sapi (varian plain) dan diolah dengan teknologi canggih, harganya bisa lebih murah, produknya mudah ditemui, dan memiliki brand image yang kuat.
Baiklah, kualitas bisnis ULTJ sudah kita bahas. Bagaimana dengan kualitas manajemennya? Saya menilai perusahaan memiliki tim manajemen yang hebat, visioner, dan berpengalaman yang dipimpin langsung oleh sang Founder. Selain berkomitmen untuk memperlebar economic moat, manajemen ULTJ juga memiliki keandalan dalam hal capital allocation dengan bukti tingginya profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang yang tercermin pada rasio Return On Equity (ROE) di atas 20% dalam rata-rata 10 tahun terakhir dengan tren yang meningkat. Selain itu, efektivitas capital allocation manajemen ULTJ juga dibuktikan dengan tingginya CAGR pada Earning Per Share (EPS) yang mampu dihasilkan ULTJ sejak 2011 s.d. 2021 (10 years) yang sebesar 30%. Saya rasa, tidak ada emiten consumer goods lain yang mampu menyaingi angka CAGR EPS yang dihasilkan ULTJ ini. Luar biasa!
Ada beberapa keputusan manajemen yang cukup membingungkan banyak pihak. Di tahun 2018 ada pembelian obligasi USD. Di tahun 2020 ada aksi buyback, penerbitan MTN, serta pembelian obligasi IDR yang terjadi dalam waktu berdekatan. Lalu, di tahun 2021 ada pembayaran dividen dengan payout ratio yang sangat besar. Banyak pihak yang menentang keputusan-keputusan itu seakan mereka lebih paham kondisi perusahaan dibandingkan manajemennya sendiri, seakan mereka lebih pantas menjabat sebagai CFO perusahaan. Sungguh beberapa keputusan yang aneh menurut mereka. “Mengapa selama ini pelit membagi dividen? Mengapa malah membeli obligasi USD? Mengapa cash yang sudah berlimpah malah dihabiskan untuk buyback? Mengapa memilih menerbitkan MTN? Mengapa setelah menerbitkan MTN uangnya malah dibelikan obligasi IDR lagi? Mengapa tiba-tiba membayar dividen dengan payout yang besar di tahun 2021? Mengapa oh mengapa?”
Sebenarnya perihal ini sudah sering dibahas oleh stockbitor lainnya, tetapi saya perhatikan banyak yang masih bingung atau gagal paham. Oke, saya akan coba jelaskan secara runtut berdasarkan pemahaman saya, dan ini berkaitan dengan manajemen likuiditas. Alur cerita kita mulai dari tahun 2014, di mana dalam materi pubex saat itu pembangunan gudang dan pabrik baru yang modern dan otomatis sebenarnya sudah direncanakan. Namun, proyek ekspansi tersebut terus tertunda sampai 7 tahun lamanya atau baru dikerjakan di tahun 2021. Penundaan ini disebabkan oleh kondisi cash perusahaan yang tidak mencukupi untuk membiayai proyek yang dipekirakan manajemen membutuhkan dana sebesar Rp1.2 triliun. Inilah alasan ULTJ sebelumnya cukup pelit membagikan dividen atau rasionya rendah bahkan di tahun tertentu mereka tidak membagikannya, karena manajemen memiliki rencana untuk proyek ekspansi dengan kebutuhan dana yang besar.
Berikut data riwayat cash ULTJ dari tahun 2014 hingga 2016: Rp 489 M, Rp849 M, Rp1,52 T. Berdasarkan data tersebut bisa kita lihat pertumbuhan cash yang signifikan, yang disebabkan oleh kemampuan ULTJ dalam menghasilkan operating cashflow yang kuat, lalu manajemen menahan seluruh laba atau tidak membagikan dividen, dan capex yang dialokasikan juga tergolong rendah dengan rata-rata Rp132 miliar selama periode itu karena sifatnya hanya maintenance capex. Meskipun demikian, jumlah cash ULTJ di tahun 2015 dan 2016 masih dirasa belum cukup untuk membiayai pembangunan gudang dan pabrik baru sehingga proyeknya masih tertunda.
Pada akhir tahun 2017, cash yang dimiliki ULTJ sudah sangat banyak dengan jumlah Rp2,12 triliun. Hingga memasuki kuartal ke-3 2018 jumlah cash perusahaan semakin berlimpah, yakni sebesar Rp2,34 triliun atau setara 42% terhadap total asset. Lalu, mengapa di tahun itu pembangunan proyek belum juga dimulai padahal cash yang ada sudah melebihi kebutuhan? Mungkin, manajemen merasa belum menemukan waktu yang tepat untuk membelanjakan cash tersebut, dan mereka juga ingin menjaga likuiditas perusahaan tetap kuat seiring adanya keperluan menyisihkan dana untuk investasi rutin dalam pengembangan IT dan peralatan robotik yang dilakukan secara berkelanjutan. Bisa saja cash yang ada saat itu dibelanjakan untuk memulai proyek, namun likuiditas bisa terganggu. Lalu muncul pertanyaan: jika tidak ingin mengutik cash internal, mengapa tidak berhutang saja? Mungkin di tahun 2018 bukan saat yang pas untuk berhutang mengingat tren suku bunga sedang naik.
Pada Desember 2018, manajemen memutuskan untuk membeli obligasi pemerintah dalam nominal USD senilai $53 juta atau setara Rp735 miliar. Menurut saya ini keputusan yang baik, karena daripada sebagian idle-cash tersebut tidak produktif, lebih baik diinvestasikan dulu ke dalam bentuk paper asset yang hampir tidak ada risiko sambil menunggu momen yang tepat untuk memulai proyek ekspansi. Selain itu, obligasi ini dibeli saat suku bunga sedang tinggi dan ini penting, mengapa? Nanti saya jelaskan. Alasan penting lainnya membeli obligasi dalam USD adalah untuk hedging, karena perusahaan sendiri memiliki exposure USD lebih dari 50% untuk impor bahan baku seperti kemasan aseptik dan bahan-bahan rumput untuk pakan sapi perah.
Memasuki tahun 2020, manajemen masih menunda ekspansi serta menurunkan biaya iklan dan promosi untuk bertahan di masa sulit selama pandemi covid-19. Namun, pada pertengahan tahun 2020 manajemen memutuskan aksi buyback terhadap 10% saham beredar dengan harga maksimal Rp1.600 per saham yang dimulai pada tanggal 25 Juni. Banyak pihak yang semakin gregetan dan bertanya-tanya mengingat perusahaan memiliki rencana yang besar untuk ekspansi, maka apa urgensinya melakukan buyback? Saya menilai keputusan tersebut diambil karena memang adanya kesempatan, yakni menariknya valuasi harga saham saat itu. Bayangkan, secara full year 2019 perusahaan mencatatkan pertumbuhan bottom-line sebesar 48%, lalu di Q1 dan Q2 2020 tumbuh masing-masing 45% dan 9% secara Year on Year (YoY). Namun, pertumbuhan kinerja tersebut tidak diikuti oleh kenaikan harga sahamnya (pasar juga sedang pesimis karena krisis), sehingga manajemen menilai harga saham saat itu tidak mencerminkan nilai sesungguhnya. Katakanlah pada harga Rp1.600 dan dibandingkan dengan EPS posisi Juni 2020, maka didapat rasio PE TTM sebesar 16x di mana angka ini di bawah rata-rata dalam 10 bahkan 5 tahun terakhir. Maka dari itu, saya menyambut baik keputusan buyback oleh manajemen karena saya juga menilai saat itu harga sahamnya sedang wajar, dan ini juga merupakan salah satu bentuk komitmen manajemen untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham selain pembayaran dividen. Lalu bagaimana dengan opini beberapa oknum yang mengatakan aksi buyback dilakukan untuk menampung buangan barang dari PT. Indolife Pensiontama? Saya tidak peduli tentang itu.
Oke, kita lanjut ya. Program buyback berakhir pada tanggal 5 Agustus 2020 dengan menghabiskan dana Rp1,85 triliun, sedangkan jumlah cash yang tersedia saat buyback dimulai atau pada posisi Juni 2020 sebesar Rp1,88 triliun. Artinya, bisa dibilang jumlah cash yang ada di semester pertama 2020 dihabiskan untuk buyback. Namun, pada posisi September 2020 atau setelah buyback selesai, jumlah cash perusahaan kembali bertambah menjadi sebesar Rp710 miliar, yang ditopang oleh kemampuan perusahaan menghasilkan cashflow dari operasional setelah dikurangi capex (Free Cash Flow/FCF) sebesar Rp621 miliar di Q3 2020. Nah, dengan posisi cash yang hanya sebesar itu mengingat rencana ekspansi yang sudah tertunda sejak tahun 2014 dengan kebutuhan dana hingga Rp1,2 triliun, lalu apa yang akan dilakukan manajemen dalam kondisi ini? Simak terus ceritanya.
Masih di tahun 2020 tepatnya di bulan November, manajemen memutuskan untuk menerbitkan MTN yang terbagi ke dalam 3 seri: MTN Seri A senilai Rp1,5 triliun dengan bunga tetap 7,5% per tahun (jatuh tempo 1 tahun); MTN Seri B senilai Rp900 miliar dengan bunga tetap 8% per tahun (jatuh tempo 2 tahun); dan MTN Seri C senilai Rp600 miliar dengan bunga tetap 8,5% per tahun (jatuh tempo 3 tahun). Total dana yang dihimpun sebanyak Rp 3 triliun dari penerbitan MTN inilah yang akan digunakan untuk pembangunan proyek yang tertunda (distribution center dan pabrik baru beserta mesin pendukung lainnya) dan proyek tambahan (pengembangan peternakan dan pembangunan pabrik pakan milik sendiri). Selain untuk membiayai ekspansi, penerbitan MTN juga bertujuan untuk menjaga backup terhadap likuiditas perusahaan yang harus siap setiap saat, sehingga akan membantu perusahaan bertahan di masa sulit. Lalu, mengapa MTN yang dipilih? Mengapa tidak ajukan pinjaman ke bank, atau terbitkan obligasi, atau right issue saja? Alasannya karena nilai emisinya rendah, kuponnya juga lebih rendah dari obligasi karena tenornya yang lebih pendek, dan masa waktu penerbitannya cukup cepat dan mudah mengingat ULTJ membutuhkan kecepatan dalam menjaga dana likuiditas. Alasan lainnya, mungkin manajemen tidak ingin porsi kepemilikan saham para shareholders mengalami dilusi (akibat right issue).
Setelah menerbitkan MTN dengan tingkat bunga berkisar 7,5 – 8,5 persen per tahun, manajemen memutuskan untuk membeli obligasi pemerintah dalam nominal IDR senilai Rp3 triliun (angka yang sama dengan dana yang diperoleh dari MTN) pada bulan November 2020 dan Januari 2021 dengan tingkat bunga berkisar 6,625 – 7,50 persen per tahun. “Wah, janc*k! Apa-apaan ini?!” Semakin banyak yang bingung dengan keputusan ini. Mengapa setelah menerbitkan MTN lalu uangnya digunakan untuk membeli obligasi pemerintah dengan bunga yang lebih rendah dari bunga yang harus dibayarkan untuk MTN?! Meskipun pihak manajemen sebelumnya sudah menjelaskan tujuan dari penerbitan MTN untuk membiayai ekspansi dan backup likuiditas, namun tentu seluruh dana dari MTN sebesar Rp3 triliun itu tidak semuanya langsung di-deploy atau langsung dipakai dalam jangka waktu 1 bulan, tentu perusahaan melakukan pengembangan secara bertahap. Jika dalam perjalanannya cash internal tidak mencukupi, maka manajemen bisa mengambil dana dari penerbitan MTN (backup). Itulah mengapa dana yang diperoleh dari MTN ditempatkan terlebih dahulu dalam bentuk obligasi pemerintah yang merupakan aset likuid dan nanti bisa dijual kapanpun bahkan pada harga yang lebih tinggi meskipun belum sampai maturity-nya. Selama memiliki obligasi ini, maka beban bunga MTN sebesar 7,5% - 8,5% menjadi hanya 1% saja, artinya manajemen ingin menjaga agar negative spread tidak terlalu besar. Paham klean?? Masih ada yang bingung dengan keputusan cerdas ini??
Proyek ekspansi yang sempat tertunda selama 7 tahun dan proyek yang baru direncanakan akhirnya mulai dikerjakan di tahun 2021 (bertepatan dengan perusahaan menginjak usia 50 tahun). Sebelumnya, cash yang sudah ditumpuk selama bertahun-tahun untuk mendanai ekspansi sempat dibelikan obligasi USD dan dihabiskan untuk buyback, lalu manajemen mengambil langkah cerdas dengan menerbitkan MTN di saat suku bunga mengalami tren penurunan selama krisis ekonomi tahun 2020 untuk mengisi kembali likuiditas yang kering. Kita anggap saja buyback tidak dilakukan sehingga MTN juga tidak perlu diterbitkan, saya rasa cash internal saat itu masih belum sanggup untuk membiayai proyek ekspansi dengan ‘aman’. Mengapa manajemen ULTJ berani berhutang untuk ekspansi? bukannya di saat krisis kebanyakan perusahaan justru menunda ekspansi, apalagi pakai utang?? Banyak yang tidak menyadari atau mungkin lupa akan kemampuan ULTJ dalam menghasilkan operating cashflow yang kuat atau di atas Rp1 triliun sejak tahun 2019 yang didukung oleh kualitas bisnis yang terintegrasi vertikal dan cerahnya prospek susu UHT, sehingga mudah bagi ULTJ untuk melunasi pokok utang MTN beserta bunganya dalam jangka waktu yang hanya 3 tahun. Itulah yang mendasari manajemen berani berhutang melalui MTN. Good job!
Sebelum dilanjutkan ceritanya, saya ingin sampaikan dulu efek dahsyat yang akan ditimbulkan dari aksi buyback dan penerbitan MTN. Perlu diketahui bahwa saham treasury hasil buyback setelah 3 tahun ke depan bisa dihapuskan atau bisa juga dijual kembali ke pasar. Saya pribadi tentu lebih menginginkan agar saham treasury itu dihapus saja sehingga hak kepemilikan saya menjadi bertambah tanpa saya harus mengeluarkan modal sepeser pun, dan saya harap akan ada lagi aksi buyback berikutnya saat ada kesempatan. Namun, jika saham treasury tersebut nanti dijual kembali ke pasar juga tidak masalah, dan memang pilihan ini yang direncanakan manajemen. Asumsikan jika penerbitan MTN untuk membiayai ekspansi berhasil meningkatkan kinerja perusahaan di tahun 2023 (bertepatan dengan rampungnya proyek pembangunan gudang dan pabrik baru), tentu harga saham ULTJ kemungkinan besar akan mengikuti dan di saat itulah saham treasury bisa dijual pada harga yang lebih tinggi (memperoleh capital gain) dan kembali memperkuat cash perusahaan. Menarik bukan? Tentu, kita masih perlu waktu untuk melihat apakah penerbitan MTN ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan kinerja perusahaan, ataukah justru akan menjadi beban. Saya pribadi merasa percaya diri, bahwa leveraging yang dilakukan manajemen ULTJ ini dilakukan secara terukur dan efektif.
Mari kita lanjutkan ceritanya. Pada bulan Maret 2021, manajemen menjual seluruh obligasi pemerintah dalam mata uang USD yang dibeli pada tahun 2018 dengan total hasil penjualan Rp778 miliar atau mendapatkan capital gain sebesar Rp117 miliar (jumlah obligasi USD pada posisi terakhir senilai $49,4 juta atau setara Rp661 M). Sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa pembelian obligasi pemerintah dengan nominal USD dilakukan saat suku bunga sedang tinggi. Angka suku bunga yang terus turun sejak tahun 2019 hingga mencapai titik terendah di tahun 2021 telah membuat harga jual obligasi pemerintah itu naik lalu direspon oleh manajemen untuk menjualnya sehingga memberikan capital gain sebesar 17,7% dan berkontribusi terhadap tingginya bottom-line di Q1 2021. Penjualan obligasi ini juga bisa menjadi indikasi bahwa manajemen sudah mulai melakukan deploy pada idle-cash yang dimilikinya. Untuk apa? Baik, saya ingatkan sekali lagi: memasuki tahun 2021 proyek ekspansi sudah mulai berjalan dan manajemen ingin agar likuiditas perusahaan tetap kuat. Semoga Anda semakin paham sampai di sini.
Berkat kemampuan perusahaan menghasilkan FCF yang tebal senilai Rp1,2 triliun dan keputusan manajemen untuk menjual obligasi USD, maka cash yang dimiliki perusahaan kembali berlimpah dengan nilai mencapai Rp2,22 triliun atau setara 30% terhadap total asset di kuartal ke-3 2021. Angka yang fantastis, mengingat setahun sebelumnya perusahaan baru saja menghabiskan cash sebanyak Rp1,85 triliun untuk buyback. Manajemen memutuskan untuk mendistribusikan sebagian cash yang berlimpah tersebut dalam bentuk dividen sebesar Rp833,84 miliar atau setara Rp85/lembar pada September 2021 untuk memberikan reward kepada shareholder-nya sekaligus sebagai hiburan di masa krisis, hehe. Sekedar info: jika sebelumnya tidak ada buyback, maka besaran dividen adalah Rp76,5/lembar, bukan Rp85/lembar. So, Thanks to buyback!
Banyak yang kaget setelah mengetahui dividen ULTJ dibayarkan dengan payout ratio sebesar 80% dari EPS tahun 2020, mengingat sebelumnya ULTJ dicap sebagai emiten yang pelit dividen. Mengapa di tahun 2021 tiba-tiba ULTJ membayar dividen besar? Hal ini dilakukan karena proyek ekspansi kan sudah jalan dan pendanaannya dibantu oleh MTN, lalu buat apa menahan cash yang banyak lagi? Apalagi perusahaan mampu menghasilkan FCF yang tebal sehingga cash perusahaan tambah berlimpah. Lalu ada rumor lain yang mencuat mengenai besaran payout ratio di tahun 2021 tersebut, yaitu dalam daftar pemegang saham sudah tidak ada lagi ‘pihak lain’ yang sebelumnya memiliki sekitar 14% saham perusahaan, sehingga hanya Founder dan keluarganya yang menjadi pemegang saham mayoritas. Apakah ini yang menyebabkan payout rationya menjadi besar? Yaa pada intinya terima saja lah dividen sebesar itu, nggak usah cerewet, hehe. Jika ada yang membeli saham ULTJ di tahun 2021 (termasuk saya) katakanlah di harga Rp1.500, maka dividend yield yang diperoleh sebesar 5,66% (lumayan). Jika ada yang membeli saham ULTJ di awal tahun 2010 katakanlah di harga Rp150, dan sabar memegangnya hingga tahun pembayaran dividen ini atau 11 tahun kemudian, maka dividend yield yang diperoleh sebesar 56,6% dengan unrealized gain sekitar 1000% atau 10 baggers. Fantastic!
Oke, kita lanjutkan alur ceritanya. Pada bulan September dan Oktober 2021 sebagian obligasi pemerintah dengan nilai nominal IDR telah dicairkan sebesar Rp1.18 triliun, dan perusahaan masih menyisakan obilgasi IDR sebesar Rp1,84 triliun dalam balance sheet. Kemudian pada bulan November 2021 perusahaan membayar utang MTN seri A yang sudah jatuh tempo sebesar Rp1,5 triliun. Dengan demikian, utang MTN yang masih tersisa adalah MTN seri B sebesar Rp900 miliar yang jatuh tempo pada November 2022, dan MTN seri C sebesar Rp600 miliar yang jatuh tempo pada November 2023. Dengan jumlah cash sebesar Rp1,6 triliun di akhir Desember 2021 dan dukungan dari kualitas bisnis yang mampu menghasilkan FCF yang kuat, maka memungkinkan bagi ULTJ untuk melunasi sisa utang MTN tanpa harus mencairkan sisa obligasi IDR yang mereka miliki. Jika itu terjadi, kira-kira kapan sisa obligasi IDR sebesar Rp1,84 triliun akan dicairkan? Dengan ditempatkannya obligasi tersebut dalam aset lancar menandakan bahwa manajemen berencana menggunakannya dalam jangka waktu yang dekat. Kita tentu masih perlu waktu untuk melihatnya, mengingat ada beberapa investasi lagi yang direncanakan seperti pembangunan peternakan baru di Margamulya Pengalengan, Investasi dalam proses pengolahan limbah, investasi untuk memperkuat IT pemasaran, dan manajemen juga berencana untuk membangun pabrik di Sumatera untuk mengcover hasil produksi di sana ketika peternakan di Berastagi sudah mencapai kapasitas produksi tertentu. Mantap!
Menutup tahun 2021, perusahaan mencatatkan kinerja yang memuaskan. Secara YoY revenue tumbuh 11%, operating income tumbuh 20%, net income dan operating cashflow sama-sama tumbuh 16%. Lalu, ULTJ mampu menghasilkan FCF sebesar Rp1,16 triliun atau tumbuh sebesar 43% secara YoY, dan mampu menghasilkan ROE sebesar 26% atau lebih tinggi dari tahun 2020 yang sebesar 21%. Dengan kinerja seperti ini, masihkah Anda ragu dengan kualitas bisnis dan manajemen perusahaan ini? Perlu Anda ketahui juga bahwa ada peran buyback dibalik besarnya angka ROE ULTJ dalam 2 tahun terakhir. Hal yang menarik lainnya adalah meskipun net income tumbuh 16%, namun EPS tumbuh 22%. Mengapa bisa terjadi? Lagi-lagi karena peran buyback!
Saudara-saudara, pada intinya saya menganggap serangakain keputusan-keputusan ‘aneh’ yang diambil manajemen mulai dari pelit membagikan dividen, membeli obligasi USD, buyback, menerbitkan MTN, membeli obligasi IDR, hingga secara tiba-tiba membayar dividen besar, itu merupakan aksi capital allocation yang canggih dan out of the box. Semua itu dilakukan karena manajemen sangat jeli memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham sambil memastikan perusahaan memiliki likuiditas yang sehat seiring ekspansi organik juga dieksekusi. Hal ini menandakan bahwa manajemen ULTJ memang prudent, konservatif, fleksibel, dan berorientasi pada kinerja jangka panjang. Dengan melihat track record manajemen perusahaan dalam 51 tahun terakhir yang mampu mengembangkan perusahaan dari awalnya berbentuk UMKM menjadi perusahaan berskala besar yang menguntungkan dan menjadi market leader, maka saya tidak meragukan kualitas manajemen perusahaan ini. Mereka bukan sekedar seorang manajer, tetapi juga seorang pebisnis sekaligus investor yang andal.
Oh ya, ada satu faktor lagi yang membuat saya semakin yakin dengan prospek ULTJ ke depannya, yaitu Mr. Sabana Prawirawidjaja selaku founder dan CEO terus membeli saham perusahaan dari publik sejak tahun 2019 hingga 2021. Berdasarkan data terakhir, Mr. Sabana memegang saham perusahaan sebanyak 44,52% secara langsung (skin in the game). Hal ini juga termasuk salah satu checklist saham pemenang, yaitu founder turut memiliki saham perusahannya secara langsung dengan porsi yang besar. Pembelian oleh sang Founder-CEO terhadap saham yang ia dirikan bisa menjadi pertanda bahwa beliau memiliki keyakinan terhadap potensi pertumbuhan ke depan. Ini bisa menjadi salah satu sinyal yang baik sekaligus memperkuat conviction saya menjadikan saham ULTJ sebagai legacy stock.
Pada tanggal 26 Juli 2022 lalu perusahaan telah menyelenggarakan RUPST dengan hasilnya adalah pembayaran dividen sebesar Rp25/lembar dengan payout ratio sebesar 20% dari EPS tahun 2021. Besaran ratio ini memang meleset dari perkiraan saya, tetapi saya mengapresiasi keputusan yang baik ini untuk win-win solution. ULTJ juga masih harus membayar utang MTN seri B senilai Rp900 miliar yang jatuh tempo bulan November nanti, maka saya bisa memaklumi payout rationya sekecil itu. Bagaimana kinerja full year 2022 nanti? Saya perkirakan revenue tumbuh dua digit namun bottom-line mungkin sedikit mengalami penurunan akibat membengkaknya COGS dan biaya iklan, serta berkurangnya angka ‘pendapatan lain-lain’ yang nilainya melonjak di tahun 2021. Untuk potensi pertumbuhan kinerja ke depan, saya sangat antusias untuk melihatnya khususnya setelah tahun 2023 dan seterusnya. Mengapa? Baik, Saya ingin refresh lagi memory Anda: Di tahun 2023, distribution center dan pabrik yang baru diperkirakan akan mulai beroperasi. Di tahun 2023, seluruh utang MTN akan dilunasi sehingga di tahun-tahun berikutnya sudah tidak ada lagi beban keuangan yang harus ditanggung (membayar bunga MTN). Di tahun 2023, saham treasury akan dijual kembali ke pasar yang berpotensi memberikan capital gain. Pada akhirnya, saya harap pertumbuhan EPS dan besaran dividend payout ratio di tahun 2024 dan seterusnya bisa lebih tinggi lagi. Sungguh menarik untuk dinantikan! Kita tunggu saja yaa, alur ceritanya sampai di sini dulu.
Last, Bisnis yang berkualitas dioperasikan oleh manajemen yang berkualitas sangat melekat pada ULTJ. Jika Anda pernah membaca artikel saya tentang compounding machine, maka ULTJ merupakan contoh perusahaan compounder di BEI. Jika Anda pernah membaca artikel saya tentang efektivitas capital allocation, maka manajemen ULTJ merupakan contoh yang baik. Jika Anda pernah membaca artikel saya tentang harga yang wajar, maka valuasi ULTJ saat ini masih menarik. Dan jika anda pernah membaca artikel saya tentang Time Arbitrage, maka ULTJ juga merupakan contoh perusahaan yang sedang dibenci kebanyakan pelaku pasar karena adanya isu jangka pendek atau temporer yang tidak akan berdampak pada kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Berikut link-link artikel tersebut yang sangat terkait dengan story ULTJ:
Compounding Machine: https://stockbit.com/post/6847290
Capital Allocation: https://stockbit.com/post/8111321
Reasonable Price: https://stockbit.com/post/3463297
Time Arbitrage: https://stockbit.com/post/8321263
Sekian catatan pribadi saya atas ULTJ. Artikel ini tidak bermaksud untuk mengajak membeli sahamnya. Artikel ini hanya sebagai sharing dan semoga bisa menjawab beberapa pertanyaan terkait dengan perusahaan ini. ULTJ sudah lama berada di dalam portofolio saya, sehingga pandangan serta isi artikell ini bisa jadi sangat bias. Mohon maaf apabila terlalu panjang, karena memang saya persembahkan artikel ini untuk dinikmati sambil santai dan ngopi.
Semoga bermanfaat, jangan lupa bahagia.
Sumber: Official Website Perusahaan, Laporan Tahunan, Laporan Keberlanjutan, Laporan Keuangan Triwulanan, Materi Pubex, Laporan Hasil Pubex, Website Morningstar, Website Kemenperin, Hasil diskusi dengan beberapa pihak (Scuttlebutt Method)
1/2