CEO yang Handal dan Opsi Alokasi Modal
Pada artikel sebelumnya, saya menceritakan tentang value suatu perusahaan yang dapat bertumbuh dari tahun ke tahun. Pertumbuhan value ini sangat dipengaruhi oleh kualitas manajemen yang dimiliki perusahaan salah satunya melalui alokasi modal (capital allocation) yang efektif. Oleh karena itu, memahami dan mengevaluasi keputusan, proses, dan rekam jejak alokasi modal perusahaan sangat penting untuk menganalisis investasi yang potensial.
Salah satu buku favorit saya yang mengulas tentang CEO yang handal dan kemampuan alokasi modal adalah The Outsiders karya William Thorndike. Ia berpendapat: "Surprisingly, in business the best are not studied as closely as in other fields like medicine, the law, politics or sports," and "Despite its importance, there are no courses on capital allocation at the top business schools."
Buku ini berfokus menceritakan tentang kesukesan delapan CEO hebat yang harga saham perusahaannya mengungguli pasar secara besar-besaran. Daftar CEO tersebut diantaranya: Henry Singleton dari Teledyne, John Malone dari Liberty Media, Katherine Graham dari Washington Post, Tom Murphy dari Capital Cities Broadcasting dan tentu saja ada Warren Buffett dari Berkshire Hathaway. Buku ini merupakan buku nomor satu dalam daftar bacaan yang direkomendasikan oleh Buffett pada tahun 2012.
Thorndike mencatat bahwa para CEO ini "berpikir lebih seperti seorang investor daripada seorang manajer." Tidak mengherankan jika seorang CEO yang hebat, biasanya ia juga memiliki kemampuan alokasi modal yang efektif. Menurut Thorndike: “Capital allocation is the CEO’s most important job.”
"Effective capital allocation .. requires a certain temperament. To be successful you have to think like an investor, dispassionately and probabilistically, with a certain coolness." (Michael Maboussin)
Para CEO yang dijadikan studi kasus dalam buku The Outsiders beroperasi di industri yang berbeda, dengan intensitas modal yang berbeda pula. Gaya manajemen dan inisiatif yang diterapkan oleh delapan CEO ini, bisa dikatakan tidak konvensional pada masanya. Ada banyak kesamaan dalam cara mereka mengelola bisnis mereka, beberapa karakteristik diantaranya:
Akuisisi:
dalam hal ini, mereka sangat oportunistik dan sabar. Akuisisi hanya dilakukan ketika ada kesempatan harga yang disepakati dalam kondisi fair-value atau undervalue, atau ketika penghematan biaya yang signifikan dapat diekstraksi jika akuisisi dilakukan. Para CEO ini menahan diri atau enggan untuk melakukan akuisisi yang terburu-buru dimana value yang didapat tidak sesuai dengan dana yang harus dikeluarkan.
Contoh emiten di BEI yang sering melakukan akuisisi adalah $SMSM. Akusisi yang dilakukan emiten ini lebih bersifat vertical integration dan dilakukan secara hati-hati dengan harga yang wajar bahkan murah. Untuk lebih jelasnya tentang M&A ini, saya pernah menulis artikel bagaimana pandangan dari seorang Phili Fisher. Silahkan di baca: https://stockbit.com/post/7618810
Divestasi:
para CEO ini tidak ragu-ragu untuk melepaskan divisi bisnis yang berkinerja buruk atau tidak memiliki prospek yang dapat mengganggu kinerja perusahaan secara umum, karena mereka memang tidak terikat secara emosional dengan divisi bisnis mana pun.
Jika ada pihak lain yang ingin membayar harga yang tinggi untuk sebuah aset dan CEO tidak lagi melihat potensi pertumbuhan aset tersebut, mereka tidak akan takut untuk melepaskannya. Dana segar yang mereka peroleh dari divestasi ini tidak dibagikan semua dalam bentuk dividen kepada shareholders, tapi mereka lebih memilih untuk menginvestasikannya kembali ke hal yang lebih produktif.
Buyback:
CEO dalam buku ini merupakan pengakuisisi oportunistik, termasuk atas saham perusahaan mereka sendiri. Buyback dilakukan hanya ketika mereka menganggap saham perusahaan diperdagangkan di bawah 'Nilai Intrinsik'. Dalam banyak kasus, buyback saham dilakukan dalam kondisi pasar bearish atau ketika P/E berada pada siklus terendah. Maka dari itu, aksi Buyback dapat memberikan sinyal bahwa CEO menganggap harga sahamnya sedang wajar atau undervalue dan mereka memiliki keyakinan terhadap prospek jangka panjang perusahaan.
Contoh yang pernah dilakukan emiten di BEI adalah $SIDO, dimana pada akhir tahun 2015 mereka melalukan aksi ini untuk merespon harga saham yang anjlok hingga 30% dalam setahun terakhir saat itu. Hal ini juga yang membuat saya semakin bersemangat dan menambah keyakinan untuk ikut membeli SIDO pada akhir 2015 lalu. Menurut perhitungan saya, saat itu SIDO memang diperdagangkan pada harga yang wajar.
Saya melihat banyak pelaku pasar yang pesimis terhadap kinerja SIDO, karena penjualan SIDO sejak 2012 mengalami kontraksi dan terus melambat hingga 2015. Mereka menganggap bisnis jamu sudah tidak menarik alias kuno. Menurut analisis saya saat itu, penjualan SIDO yang lambat disebabkan oleh kapasitas produksi yang tidak dapat mengimbangi permintaan yang besar, dan saya mengetahui bahwa ke depan manajemen berkomitmen dan berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan membangun pabrik baru dan berinovasi meluncurkan produk-produk baru serta memperluas pasar ekspor.
Manajemen berhasil mengeksekusi rencananya dan pada akhir 2018 pabrik COD II sudah rampung sehingga kapasitas produksi meningkat dari 80juta sachet/bulan menjadi maksimal 180juta sachet/bulan. Selain itu, sejak 2020 beberapa produk baru seperti soft-gel herbal suplement, RTD healthy drinks, dan beberapa varian produk herbal mulai dipasarkan dan mendapat respon positif karena bertepatan juga dengan pandemi covid-19.
Alhasil setelah tahun 2018, penjualan SIDO mengalami peningkatan double digit di tahun-tahun selanjutnya, dan pada tahun 2021 penjualan mereka tumbuh 20,55%. Peningkatan kinerja ini diikuti oleh kenaikan harga sahamnya sehingga manajemen bisa menjual sebagian saham treasury hasil buyback di harga yang tinggi, dan sebagian lagi dibagikan kepada pemegang saham sebagai bonus, baik bener dah hehehe.
Aksi buyback ini juga dilakukan oleh manajemen $ULTJ di akhir tahun 2020 sebanyak 10%, sehingga saya pun ikut kembali memasukkan ULTJ ke dalam portofolio di awal tahun 2021. Menurut perhitungan saya, saat itu ULTJ juga sedang diperdagangkan pada harga yang wajar.
Arus kas:
para CEO ini berfokus untuk menghasilkan arus kas bebas yang positif dan bermanfaat untuk para shareholder. Para CEO ini percaya bahwa kunci untuk penciptaan nilai jangka panjang adalah untuk mengoptimalkan arus kas bebas (FCF), dan pengoptimalan pada FCF ini menginformasikan semua aspek tentang bagaimana mereka menjalankan perusahaan mereka, mulai dari cara mereka menganggarkan dan membelanjakan capex, membayar akuisisi, melakukan buyback, membayar dividen dan mengelola neraca mereka.
Kerendahan hati:
para CEO ini memiliki sikap yang rendah hati, bersahaja, dan analitis. Mr. Thorndike mencatat mereka memiliki keakraban dengan para karyawan dan eksekutif lainnya, atau dengan perusahaan lain, yang pada gilirannya membantu mereka untuk mengembangkan pendekatan baru yang akhirnya diterjemahkan ke dalam hasil yang luar biasa. Mereka jarang sekali diliput oleh media, karena mereka memang tidak suka pamer sana-sini. Hal ini mengingatkan saya pada sosok CEO sekaligus pendiri $EKAD hehe.
Seorang investor yang hebat pun perlu memiliki kerendahan hati ini (humility), agar mereka tetap menjaga kesederhanaan, tetap berada dalam lingkaran kompetensi, dan terus belajar salah satunya dari kesalahan. Jadi, jangan heran jika Anda menemukan seorang yang mengaku investor di forum ini namun sangat emosian, suka marah-marah, tidak suka dikritik, panas jika saham andalannya di bully, jika ada yang tidak sependapat langsung di block, maka kinerja investasinya pun biasanya buruk bahkan sering terjebak atau nyangkut di saham busuk hehehe.
Visioner:
tidak ada CEO ini yang lebih fokus pada pergerakan harga saham, ataupun bagaimana kinerja perusahaan setiap kuartal. Fokus mereka adalah meningkatkan nilai dan kinerja perusahaan dalam jangka panjang, dimana untuk mewujudkan ini dibutuhkan keberanian dan perhitungan yang matang dalam alokasi modal atau melakukan investasi jangka panjang.
Curigalah jika ada CEO yang sering tampil di media apalagi sering menceritakan salah satu tujuannya untuk menjadikan saham perusahaannya sebagai saham bluechip, atau bertekad untuk meningkatkan market-cap perusahannya. Ini CEO yang sudah hilang fokus.
Para CEO ini juga bersikap hemat dalam hal pembayaran dividen, yang menyadari manfaat majemuk dari menginvestasikan kembali modal baik dalam bisnis (profit-reinvestment) atau dalam saham mereka sendiri (buyback) jika harga saham sedang tertekan. Mereka akan membayar dividen dengan payout yang cukup besar jika dirasa cash yang dimiliki perusahaan masih cukup untuk mendanai ekspansi.
Fleksibilitas:
para CEO ini menyadari kebutuhan untuk tetap fleksibel karena kondisi bisnis dan pasar tidak pasti dan terus berubah. Pada saat-saat tertentu memungkinkan untuk melakukan akuisisi sementara di waktu lain lebih menguntungkan untuk menjual atau melepaskan aset. Mereka juga tidak keberatan untuk menyimpan cash terlebih dahulu dengan menginvestasikannya pada paper asset semisal obligasi sambil menunggu kesempatan yang baik untuk ekspansi. Para CEO ini tidak memiliki ideologi dan tidak terikat oleh strategi tertentu, mereka bisa menyesuaikan dengan setiap perubahan yang terjadi, sehingga bisnis perusahaan bisa terus going concern.
Saudara-saudara, itulah beberapa kesamaan karakteristik yang dimiliki para CEO hebat dalam buku The Outsider. Mr. Thorndike berpendapat: "although the outsider CEOs were an extraordinarily talented group, their advantage relative to their peers was one of temperament, not intellect."
CEO yang handal haruslah memiliki kesabaran, kemandirian, kerendahan hati, pandangan jangka panjang, sifat melawan arus untuk sukses, serta rasional dan mampu beradaptasi. Dengan memiliki itu semua, maka capital allocation yang mereka eksekusi berpotensi untuk meningkatkan value shareholder dalam jangka panjang.
Ada hal yang cukup menarik dalam buku ini, yaitu para CEO ini tidak takut untuk mengecilkan ukuran bisnis mereka seperti melakukan divestasi, menjual aset atau divisi bisnis yang tidak produktif, dan mengurangi saham beredar melalui buyback untuk memaksimalkan nilai bagi pemegang saham. Inilah beberapa aksi yang tidak konvensional di masanya, dimana banyak CEO yang saat itu justru berlomba-lomba memperbesar ukuran perusahaan, baik melalui akuisisi atau investasi mengembangkan bisnis baru namun malah mengakitabatkan terjadinya pemborosan dan nilai bagi pemegang saham semakin menurun dari tahun ke tahun.
Jadi, jangan kaget dengan fenomena ukuran perusahaan semakin kecil namun nilai pemegang sahamnya justru semakin meningkat. Sebaliknya, semakin besar ukuran suatu perusahaan belum tentu nilai bagi pemegang saham juga ikut bertumbuh. Seorang CEO yang handal sejatinya lebih berfokus untuk memaksimalkan nilai bagi pemegang saham dalam jangka panjang, bukan hanya memperbesar ukuran organisasi semata.
Baiklah, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya akan bagikan kembali ringkasan tentang capital allocation:
Opsi untuk alokasi modal:
1. Reinvestasi untuk pertumbuhan organik. Contohnya: membangun atau memperluas sumber pasokan bahan baku, pabrik, gudang, cabang distribusi, learning and training center, divisi RnD, membuka toko baru bagi perusahaan jasa perdagangan;
2. Akuisisi;
3. Pembelian kembali saham (buyback);
4. Melunasi hutang;
5. Membayar dividen;
6. Tetap menahan kas (deposito atau membeli obligasi/surat utang).
Opsi untuk menambah modal:
1. Divestasi;
2. Menahan laba yang dihasilkan dari aktivitas bisnis;
3. Menerbitkan saham baru atau meminta tambahan modal dari investor (melalui private placement atau right issue);
4. Menjual saham treasury;
5. Berhutang (pinjaman bank, menerbitkan obligasi, sukuk korporasi, MTN);
Anggap saja opsi-opsi ini secara kolektif sebagai tool-kit. Dalam jangka panjang, pengembalian bagi pemegang saham akan ditentukan sebagian besar oleh keputusan yang dibuat CEO dalam memilih tool-kit mana yang akan digunakan.
Hati-hati jika:
1. Memilih untuk mengakuisisi namun tidak secara integrasi vertikal atau akuisisi secara horizontal namun bisnis baru yang diakuisisi tidak berkaitan dengan model bisnis perusahaan selama ini dengan alasan diversifikasi bisnis. Ini salah satu tanda perusahaan sudah tidak pede dengan bisnis yang selama ini dijalankan, apalagi akuisisinya menggunakan utang dan tergolong dalam transaksi dengan pihak berelasi. Nah, Jika perusahaan melakukan akuisisi secara integrasi vertikal atau secara horizontal dengan mengakuisisi bisnis yang sektornya sama, kita harus memastikan bahwa manajemen memperhitungkan valuasi yang wajar dan memang sesuai dengan kebutuhan yang ada serta menggunakan kas internal.
2. Memilih membayar dividen namun payout ratio terlalu besar. Ini bisa diartikan perusahaan sudah mengalami kesulitan untuk berekspansi atau perusahaan sudah memasuki fase mature.
3. memilih buyback namun dilakukan saat valuasi sahamnya mahal, atau dilakukan untuk mengimbangi efek dilusi akibat dari program kompensasi seperti MSOP dan ESOP.
4. Memilih opsi menahan kas namun manajemen belum menyampaikan rencana penggunaan dana tersebut atau belum bisa menemukan peluang ekspansi dalam 5 tahun ke depan.
CEO harus jeli menggunakan pilihan-pilihan capital allocation ini di setiap peluang yang ada, dan jika alokasinya tepat, maka value shareholder akan terus meningkat dan tercermin pada rasio ROE yang tinggi serta stabil.
Semoga bermanfaat.
Further reading:
Perhatikan, Siapa Manajemennya? https://stockbit.com/post/2931919
Bergantung pada Pihak yang Salah https://stockbit.com/post/4130024
Pandangan Mereka tentang Manajemen https://stockbit.com/post/6166233
1/2