Harga yang Wajar
Ada pertanyaan bagus dari teman saya, apakah seorang quality investor perlu untuk mengecek valuasi sebelum membeli saham? Bukannya kalo quality investor itu prinsipnya buy and hold nggak peduli valuasinya mahal asalkan perusahaan memiliki kualitas yang bagus?”. Lalu saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip quotes dari Charlie Munger: All you have to do is pick a really great company WHEN IT IS ATTRACTIVELY PRICED, and then just sit on your ass”. Perhatikan kata yang saya capslock, Munger menekankan selain pentingnya kualitas perusahan yang bagus, harga yang dibayar juga haruslah pantas. Hal ini untuk mengoptimalkan return yang akan kita dapatkan. Yang namanya membeli sesuatu, pastinya kita harus cek dulu kualitasnya dan jangan lupa bertanya “berapa harganya”. Lalu, kita nilai apakah harga yang dipatok untuk barang atau jasa tersebut merupakan harga yang wajar sesuai kualitasnya. Maka dari itu, prinsip investasi yang utuh itu adalah membeli perusahaan berkualitas tinggi untuk dipegang dalam jangka panjang. Dan jangan lupa, belilah di harga yang pantas atau wajar.
Jika kita membeli perusahaan dengan valuasi yang terlalu mahal, maka selain returnnya akan kurang optimal, kita juga berpotensi mengalami downside risk (risiko penurunan nilai investasi). Ketika muncul sentimen negatif terhadap perusahaan, terjadinya penurunan kinerja, atau terjadinya suatu kejatuhan pasar, maka perusahaan2 yang valuasinya kemahalan lah yang ke hit paling parah. Harga sahamnya akan drop sangat dalam nggak peduli kualitasnya sebagus apa. Hal ini terjadi karena market sudah menaruh harapan atau ekspektasi tinggi pada quality stock yang tercermin pada valuasinya yang kemahalan, ketika terjadi hal yang tidak diharapkan mereka merasa di PHP-in dan mereka menghukum saham perusahaan secara menggila dengan menjualnya secara habis2an dan diikuti oleh kepanikan yang lain.
Contohnya seperti apa yang terjadi pada penurunan harga yang tajam pada duo $HMSP dan $GGRM sepanjang tahun lalu sebesar 30%-40% yang disebabkan oleh berita kenaikan cukai rokok, atau penurunan tajam yang dialami $MYOR dan $ACES yang mungkin disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan kinerja tahun lalu. Mengapa mereka bisa turun sangat dalam padahal itu hanyalah isu temporer? Terus perusahaan seperti $EKAD juga mengalami penurunan laba tuh di tahun 2017 dan 2018 dimana ditahun-tahun sebelumnya laba perusahaan terus tumbuh. Tapi anehnya, kok harga saham EKAD masih stabil dan nggak jeblok dalam ya? Bisakah anda memahami mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Jadi, penting untuk diperhatikan oleh quality investor untuk tidak membeli saham yang terlalu mahal, apalagi kualitas perusahaannya biasa-biasa saja. Kalo boleh diberi batasan, maka jangan sampai membeli saham yang PE nya lebih dari 20x. Mengapa kita memberikan patokan yang tinggi terhadap angka PE ini? Mengapa tidak dibawah 10x? Karena inilah kelemahan quality investing, karena banyak investor lainnya yang menyukai kualitas yang tinggi, maka sangat sulit mendapatkan harga yang murah. Hal ini karena logika, barang berkualitas biasanya memang dihargai lebih mahal, apalagi barang ini sangat populer.
Inilah alasan saya lebih fokus kepada saham lapis 2 atau second liner, karena biasanya mereka kurang populer sehingga valuasinya masih wajar meskipun kualitasnya nggak kalah bagus dibandingkan yang populer atau big caps. Misalnya SIDO dan SMSM saat saya beli di 2015 lalu yang saya hitung nilai aset maupun market cap mereka masih di bawah 10 triliun dan memiliki kualitas yang sangat bagus dengan valuasi yang cukup wajar saat itu (small-but high quality at reasonable price). Sedangkan EKAD yang market cap-nya saat itu dibawah 1 triliun, meskipun kualitas keuangannya tidak sebaik SIDO dan SMSM tapi harga yang ditawarkan saat itu sepadan dengan kualitas yang dimilikinya (small-but good quality at wonderful price). Nanti ya, kita bahas tentang EKAD ditulisan lain.
Penting bagi kita untuk selalu ingat pesan dan wejangan dari Benjamin Graham agar kita jangan mencoba untuk membeli saham yang terlalu mahal, karena itu akan memperbesar downside risk jika kondisi pasar atau perekonomian berbalik arah dari bullish menjadi bearish. Tapi, arahan dari Ben Graham juga harus dilengkapi dengan arahan dari Philip Fisher yang mengajak kita untuk turut memperhatikan faktor kualitas bisnis dan manajemen. Jika Graham menuntut harga yang super murah, maka Fisher menuntut kualitas bisnis dan manajemen yang tinggi. Tapi masalahnya, di era sekarang ini saya rasa sangat sulit untuk menemukan perusahaan dengan kualitas yang sangat bagus seperti yang diinginkan Fisher tapi harganya super murah seperti yang diinginkan Graham.
Biasanya, perusahaan yang kualitas bisnis dan manajemennya bagus, ROE dan GPM tinggi, DER nya rendah, maka valuasi PE dan PBV nya juga tinggi begitupula sebaliknya. Kalo anda nggak percaya coba cek saja sendiri, kalo ketemu tolong kasih tau saya hehe. Kita tentu mengharapkan hal itu terjadi, yaitu menemukan kesempatan untuk membeli perusahaan berkualitas tinggi di harga yang undervalue. Kalo terjadi krisis pun, saya yakin perusahaan semacam Unilever, HM Sampoerna, Indofood CBP, Ultrajaya, Sido Muncul, Kalbe Farma, ACE Hardware, Delta Djakarta, Selamat Sempurna tidak akan mengalami penurunan harga hingga lebih rendah dari aset bersihnya (PBV<1). Jika pun harganya turun, ya turunnya dari yang tadinya mahal menjadi wajar. Atau yang tadinya wajar, menjadi agak murah (tapi gak murah2 amat). Mengapa perusahaan2 tersebut tidak akan pernah dihargai dengan PBV di bawah 1 bahkan di bawah 2? Karena ada atribut lain yang dimiliki oleh mereka, yaitu kualitas dari elemen kualitatif yang tidak tercemin dalam laporan keuangan.
Charlie Munger mendorong kita untuk tidak berhenti membeli saham hanya karena harganya lebih mahal dari aset bersihnya atau ekuitasnya (PBV > 1). “Ben Graham had blind spots. He had too low an appreciation of the fact that some businesses were worth paying big premiums for”. Menurut Munger, ada sebagian perusahaan yang memang pantas untuk dihargai mahal karena kualitas yang melekat padanya, seperti understandable business, consumable product wide economic moat, excelent manager, yang mana kesemuanya itu tidak bisa ditemukan dalam laporan keuangan. Jika anda mengakuisisi suatu perusahaan tapi terlalu menuntut pada harga yang dibawah nilai aset bersihnya, ingatlah bahwa anda tidak hanya membeli aset perusahaan tersebut, tapi juga membeli brand, kekayaan intelektual, lisensi dan inovasi. Di sini Munger mengkritik pengikut deep value investing yang sering menyia-nyiakan kesempatan untuk memiliki perusahaan hebat hanya karena harganya tidak sesuai perhitungan mereka.
“I think Ben Graham wasn’t nearly as good an investor as Warren Buffett is or even as good as I am. Buying those cheap, cigar-butt stocks was a snare and a delusion, and it would never work with the kinds of sums of money we have. You can’t do it with billions of dollars or even many millions of dollars. But he was a very good writer and a very good teacher and a brilliant man, one of the only intellectuals – probably the only intellectual – in the investing business at the time.” (Charlie Munger)
Ada kisah menarik yang saya juga yakin banyak investor mengetahuinya. Kisah ini tentang akusisi yang dilakukan Buffett atas See’s Candy di tahun 1972. Perusahaan ini adalah organisasi keluarga yang berhasil melewati masa The Great Depression, Perang Dunia II, dan kompetisi tanpa henti dari para pesaing. Mengapa ini bisa terjadi? Karena mereka merupakan perusahaan berkualitas yang memproduksi barang kesukaan banyak orang serta menolak untuk menurunkan kualitas produk mereka hanya untuk meningkatkan laba perusahaan. Ketika keluarga ingin menjual perusahaan, harga permintaan mereka jauh di atas nilai buku perusahaan, yaitu harus membayar sebanyak 3x dan ini membuat Buffett ragu untuk membelinya. Namun, Munger meyakinkannya untuk membeli See’s karena tradisi keluarga mereka yang hebat dan komitmen terhadap kualitas. Jika Buffet keukeuh mengacu kepada ajaran Graham, akusisi ini tidak mungkin dilakukannya. Apa yang dia lakukan ini kontras sekali dengan salah-satu akusisi terburuk yang dilakukannya di era 60-an, dengan membeli satu perusahaan textile yang bernama Berkshire Hathaway yang jelas-jelas ini bukanlah sebuah high quality company. Kesalahan besarnya ini memberikan Buffett pelajaran berharga dalam perjalanan investasinya.
Kisah dari investor terkenal tersebut lagi-lagi memberikan kita pelajaran, bahwa jangan berhenti untuk memiliki perusahaan yang berkualitas tinggi hanya karena harganya tidak undervalue dibandingkan dengan tangible asset-nya. Karena ada keterbatasan atas apa yang disajikan dalam laporan keuangan yang hanya mampu menunjukan kepada kita apa yang dimiliki perusahaan dalam bentuk tangible-asset saja. Angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan, tidak dapat memberikan gambaran tentang nilai Intangible Assets yang dimiliki perusahaan (kecuali jika terjadi akusisi). Elemen kualitatif yang melekat dengan persahaan memang tidak tercermin di dalam neraca perusahaan, namun memiliki pengaruh yang sama kuatnya dengan tangible asset yang dimiliki perusahaan seperti Gedung, Mesin dan Peralatan lainnya.
Warren Buffet selain dia merupakan investor yang terkenal dan sukses, tapi bagi saya dia juga seorang investor yang beruntung. Karena dia pernah diajarkan atau bertemu langsung dengan Ben Graham dan Phil Fisher sehingga Buffet bisa mengolaborasikan ajaran dari kedua master tersebut. Tapi jika saya perhatikan, makin kesini Buffet lebih condong mengikuti gaya Fisher yang lebih menekankan pada kualitas bisnis dibandingkan harga yang murah. Hal ini bisa dibuktikan dari pendapatnya: “It's far better to buy a wonderful company at a fair price than a fair company at a wonderful price”. Ajaran Fisher lainnya yang diadopsi oleh Buffett adalah buy and hold: "Our favorite holding period is forever”. Charlie Munger adalah orang yang paling berjasa dalam mengenalkan Buffet dengan metode Fisher. Dan hingga saat ini, jika anda memperhatikan saham2 dalam portofolio Berkshire Hathaway, maka karakteristiknya sangat jauh dari yang dituntut oleh Ben Graham.
Untuk menyiasati “kemustahilan” dalam menemukan perusahaan hebat diharga yang undervalue, maka Buffet dan Munger memperkenalkan istilah “fair price” atau “reasonable price”. Artinya disini adalah harga yang wajar atau pantas untuk ditukarkan dengan kualitas yang sepadan. Nah, tingkat kewajaran inilah yang setiap orang punya ukuran yang berbeda-beda. Kalo saya sendiri menggunakan rasio EV/EBIT untuk menghitung valuasi. Kalo anda gamau ribet2, lebih baik pakai saja rasio PE, karena hampir sama penggunaannya. Jika EV/EBIT < 15x atau EBIT/EV > 6,5%, maka saya anggap itu valuasi yang murah. Semakin rendah EV/EBIT menandakan semakin murah valuasinya. Selain itu, saya juga menggunakan EVEG ratio (modifikasi dari PEG nya Peter Lynch) yang membandingkan EV/EBIT dengan rata2 EBIT growth selama 5 tahun, dan kalo datanya tersedia saya menggunakan EBIT growth rate selama 10 tahun. Sama seperti PEG, kalo rasio EVEG < 1 maka harga saham bisa dikatakan murah. Jadi kalo ada saham yang EV/EBIT nya 18x tapi EBIT growth rate 10 tahunnya sebesar 20%, maka EVEG = 0,8 (tergolong murah).
Tapi sebentar sebentar, proses valuasi suatu saham tidak berhenti sampai disitu saudara2. Misalnya, jika perusahaan memiliki PE 20x belum tentu itu valuasi yang wajar, tapi bandingkan juga dengan salah satu metric kualitas perusahaan, misalnya ROC. Jika PE 20x, tapi ROC secara rata-rata 5 tahun di atas 20%, maka itu baru bisa dikatakan wajar atau bahkan murah (relatif bagi tiap orang). Tapi kalo dengan PE yang sama tapi ROC nya di bawah 10%, maka harganya menjadi mahal. Begitu juga dengan PE yang rendah katakanlah 5x tapi average ROC selama 5 tahun nya cuma 6%, maka PE 5x itu bukanlah murah, tapi “wajar”. Yaiyalah, moso perusahaan dengan ROC yang sama dengan bunga deposito mau dihargai > 10x laba nya? Jangan terjebak dengan framing bahwa PE yang rendah berarti undervalue atau murah, apalagi kalo utangnya banyak. Atau sebaliknya, jika PE tinggi jangan langsung disimpulkan bahwa harganya sudah mahal, cek dulu kualitasnya apakah pantas. Jadi ada kualitas ada harga.
Coba cermati lagi pendapat Charlie Munger berikut: “Over the long term, it's hard for a stock to earn a much better return than the business which underlies it earns. If the business earns 6% on capital over 40 years and you hold it for that 40 years, you're not going to make much different than a 6% return – even if you originally buy it at a huge discount. Conversely, if a business earns 18% on capital over 20 or 30 years, even if you pay an expensive-looking price, you'll end up with a fine result.” Perusahaan dengan ROC rendah selama bertahun-tahun meskipun kita membeli sahamnya di harga diskon, maka sebuah ide yang buruk untuk memegangnya untuk jangka panjang. Jika anda pemburu saham unvdervalue seperti PBV < 1 tapi average 5 year ROC nya di bawah 10%, sebaiknya jika sudah profit 50% atau 100% langsung saja direalisasikan, jangan pernah berpikiran untuk hold selamanya saham seperti ini.
Oke, sampai disini kita sudah dapat angka PE atau kalo saya biasa menggunakan EV/EBIT lalu dibandingkan dengan ROC, apakah cukup sampe disitu? Kalo saya sih nggak hehe. Sekali lagi saya sampaikan, bahwa aspek yang paling penting bagi saya untuk menilai kualitas suatu perusahaan itu diukur juga dari aspek bisnis dan manajemennya, bukan hanya dari kinerja keuangan saja. Jadi selain saya lihat EV/EBIT lalu dibandingkan dengan ROC, saya harus pastikan dulu bahwa perusahaan beroperasi pada bisnis yang sederhana, menghasilkan produk dan jasa yang consumable, memiliki economic-moat, dan dikelola oleh manajemen yang hebat. Jika ada perusahaan dengan EV/EBIT yang rendah dan ROC nya tinggi, kalo bisnisnya ribet, marjinal, bersiklus, apalagi manajemennya macam (maaf ya) bangsat, maka valuasinya mejadi bias. Maka ada 1 faktor tambahan yang perlu diinput, yaitu faktor pertumbuhan yang stabil dan konsisten. Percuma jika perusahaan mencatatkan ROC tinggi, tapi itu hanya diperoleh saat siklusnya sedang mendukung.
Jadi jika ditanya, maukah saya membeli UNVR dan ICBP di harga yang sekarang? Jelas jawabannya tidak. Meskipun 2 perusahaan ini memiliki kualitas yang sangat bagus, tapi saya tidak tega untuk membelinya di EV/EBIT yang lebih dari 15x. Lalu kapan saat yang tepat membelinya? Ya kalo EV/EBIT nya sudah di bawah 15x atau EVEG nya di bawah 1. Untuk Unilever, mungkin mendapatkan di harga EV/EBIT 15x merupakan hal yang mustahail, karena ROIC nya saja sudah 100%, ini luar biasa. Jadi rasio EV/EBIT UNVR saat ini yang saat ini sebesar 40x termasuk wajar dong? Ya balik lagi persepsi setiap orang beda-beda. Kalo menurut saya gimana? Tetap aja itu mahal apalagi market cap nya sudah 300 triliun lebih dimana salah satu prinsip saya adalah fokus pada saham small cap. Selain itu kemampuan UNVR untuk tumbuh keliatannya sudah melambat karena posisi perusahaan yang sudah mature, sehingga rasio EVEG atau PEG nya pasti buruk. Jadi paham ya soal valuasi ini? Sebagai tambahan, saya sama sekali tidak pernah menyentuh rumus- rumus rumit apalagi yang di dalamnya ada kata “beta, expected, discounted, projected, weighted,”dalam menghitung valuasi saham. Yang simple2 aja bro, kalo bisa dipermudah buat apa dipersulit ya kan?