#5 : Laporan Posisi Keuangan (Neraca) -> Aset -> Pajak Dibayar di Muka
Pajak dibayar di muka adalah pajak yang sudah dibayar duluan oleh perusahaan, baik dengan cara dipotong/dipungut oleh pihak lain, atau dengan dibayar sendiri.
Istilah umumnya adalah "Kredit Pajak".
Kredit Pajak ini digunakan untuk mengurangi hitungan beban pajak yang harus dibayar (utang pajak) di akhir periode.
Secara garis besar ada 2 kredit pajak sesuai jenis pajaknya, yaitu yang terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
1. Kredit Pajak PPh
a) PPh Pasal 21
Orang pribadi kalau dapat penghasilan (gaji, upah jasa, dll) akan dipotong pajak PPh 21 oleh perusahaan.
Karyawan atau orang tersebut akan diberikan "bukti potong" oleh perusahaan yang bisa digunakan untuk mengurangi bayaran pajak (pajak terutang) setiap kali lapor SPT pribadinya.
Karena yang sedang dibahas adalah kredit pajak untuk mengurangi pajak perusahaan, bukan karyawan (orang pribadi), maka PPh 21 ini gak termasuk kredit pajak buat perusahaan ya.
Kecuali kalau perusahaan kelebihan potong dan kelebihan setor ke kas negara atas PPh 21 karyawannya.
b) PPh Pasal 22
Ada beberapa contoh objek dari PPh pasal 22 yang bisa jadi kredit pajak :
- Impor barang.
- Ekspor komoditas.
- Kalau perusahaan 'menjual' barang / jasa ke bendahara pemerintah (dinas / kementerian) dan BUMN/BUMD.
- Kalau perusahaan 'membeli' semen, kertas, baja, otomotif, obat langsung dari produsennya.
- Kalau perusahaan adalah pedagang pengepul yang 'menjual' hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.
- Kalau perusahaan 'membeli' migas (BBM, gas, pelumas) langsung dari produsen atau importirnya (khusus untuk yang tidak final).
c) PPh Pasal 23
Perusahaan akan dipotong pajak atau bayar sendiri setiap kali memperoleh pendapatan dari Jasa, Sewa selain tanah dan bangunan, Bunga selain objek PPh final, Dividen, Royalti, maupun Penghargaan/Hadiah.
d) PPh Pasal 24
Kalau perusahaan sudah dipotong pajak di negara lain atas penghasilan yang diperolehnya dari sana (kredit pajak luar negeri)
e) PPh Pasal 25
Perusahaan boleh mengangsur pembayaran PPh Badan supaya tidak berat. Jumlah angsuran ini bisa dikreditkan (dikurangkan) ke hitungan pajak di akhir periode.
f) PPh Pasal 26
Kalau perusahaan awalnya adalah subjek pajak luar negeri yang dikenakan pajak final (tidak bisa dikreditkan) atas penghasilannya di Indonesia. Tapi akhirnya perusahaan memutuskan untuk mendirikan badan usaha tetap di Indonesia, maka pajak-pajak yang sudah dipotong tadi jadi bisa dikreditkan.
Kredit Pajak PPh ini bisa dipergunakan untuk mengurangi pajak terutang yang mesti dibayar dari hitungan SPT PPh Badan Tahunan.
Karena perusahaan sudah bayar duluan, maka tinggal bayar sisanya.
Kecuali untuk pajak yang bersifat final (tidak dapat dikreditkan) yakni
g) PPh Pasal 4 ayat 2
Dikenakan untuk perusahaan yang
- menjalankan "usaha jasa konstruksi",
- menyewakan tanah dan atau bangunan,
- menjual tanah dan atau bangunan,
- menerima hadiah undian,
- menjual saham di bursa,
- mendapat bunga dari tabungan/deposito dan obligasi negara, dll.
Khusus untuk PPh final ini tidak boleh langsung dikurangkan ke besaran pajak PPh terutang di SPT PPh Badan Tahunan.
Akan tetapi penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu dimasukkan lagi ke dasar pengenaan pajak (penghasilan kena pajak) untuk menghitung PPh terutang.
Contoh kasus :
Perusahaan A memperoleh laba bersih dari jualan normal Rp 10 miliar.
A juga menyewakan tanah nganggurnya dengan nilai sewa Rp 1 miliar setahun ke perusahaan B.
A juga menyewakan mesin dengan nilai sewa Rp 500 juta setahun ke C.
Maka, A akan dipotong PPh 4 ayat 2 final sebesar 10% dari Rp 1 miliar yakni Rp 100 juta oleh B.
A juga dipotong PPh 23 oleh C sebesar 2% dikali Rp 500 juta yakni Rp 10 juta.
Berarti A memiliki total Rp 110 juta "Pajak Dibayar di Muka".
Di akhir tahun, A akan menghitung PPh Badan berdasarkan penghasilan kena pajak (PKP), yaitu laba bersih jualan normal Rp 10 miliar ditambah sewa mesin ke C Rp 500 juta. Maka total PKP jadi Rp 10,5 miliar.
Sehingga PPh Badan terutang = Rp 10,5 miliar dikali 25% = Rp 2,625 miliar.
Nah sewa tanah ke B yang sudah dipotong PPh Final itu tidak dimasukkan lagi ke total PKP, dan akhirnya juga tidak masuk ke hitungan PPh badan terutang.
Makanya, PPh final Rp 100 juta-nya gak boleh dikreditkan lagi supaya gak dobel.
A tetap akan mencatat "Beban Pajak" sebesar PPh badan terutang Rp 2,625 miliar ditambah PPh final Rp 100 juta sewa tanah tadi. Jadi total Rp 2,725 miliar.
Nah sisa pajak yang masih harus dibayar A ke kas negara adalah Rp 2,625 miliar dikurangi PPh 23 sewa mesin ke C Rp 10 juta.
Sehingga Rp 2,615 miliar jadi "Utang Pajak".
Kroscek -> Beban Pajak Rp 2,725 miliar, dikurangi Pajak Dibayar di Muka Rp 110 juta, jadilah Utang Pajak Rp 2,615 miliar. Klop.
Namun karena emiten merilis laporan keuangan tiap 3 bulan itu sudah langsung menghitung perkiraan "Beban Pajak" nya, sehingga publik sudah langsung tau laba bersih setelah pajak.
Maka proses hitungan pajak terutang dan pengkreditan pajak dibayar di muka itu sudah dilakukan, sehingga yang disajikan di laporan keuangan adalah nilai akhir yang sudah "bersih".
Pajak PPh Dibayar di Muka harusnya sudah 0, nol.
Jadi saldo PPh dibayar di muka yang tampil adalah "kelebihan" kredit pajak yang masih tersisa setelah dikurangi seluruh beban PPh terutang.
Misal beban PPh terutang setelah dihitung 1 miliar, ternyata kredit pajak Rp 1,5 miliar, maka ada lebihan Rp 500 juta yang masih tersisa di akun Pajak Dibayar di Muka.
Kelebihan ini bisa dimohonkan restitusi dengan pengembalian dari kas negara atau dialihkan ke tahun (masa) pajak berikutnya.
Tapi untuk bisa dapat restitusi, perusahaan wajib menjalani prosedur pemeriksaan dari kantor pajak. Jadi prosesnya panjang dan ribet.
Makanya kalau tahun depannya beban pajak sudah lebih tinggi dari kredit pajak, tetap saja ada saldo Pajak Dibayar di Muka yang menggantung kalau proses restitusinya belum kelar.
2. Kredit Pajak PPN
Setiap kali perusahaan membeli (memperoleh) barang dan jasa objek PPN dari supplier, maka perusahaan akan membayarkan PPN (tarif umum 11%).
Perusahaan akan memperoleh faktur pajak. Ini secara umum disebut "PPN Masukan".
Kemudian, setiap kali perusahaan menjual barang dan jasa ke customer, maka perusahaan akan memungut (mendapatkan) PPN.
Perusahaan akan menerbitkan faktur pajak. Secara umum disebut "PPN Keluaran".
Saldo PPN Masukan dicatat ke dalam akun "Pajak Dibayar di Muka" atau jadi Kredit Pajak.
Sementara saldo PPN Keluaran dicatat ke dalam akun "Utang Pajak".
Logikanya, setiap perusahaan jualan pasti dapat margin (laba), maka PPN Keluaran dalam kondisi normal harusnya lebih besar dari PPN Masukan.
Selisih PPN Keluaran dikurangi PPN Masukan, akan menjadi "Beban Pajak" PPN yang harus disetor perusahaan ke negara.
Karena PPN Masukan sebagai kredit pajak ini dikreditkan ke PPN Keluaran, maka saldo PPN Keluaran dan PPN Masukan harusnya saling meniadakan, 0 di akhir periode, selisihnya sudah masuk Beban Pajak dan Utang Pajak.
Lalu kenapa tetap ada saldo PPN Masukan di Pajak Dibayar di Muka ?
Karena aturan pajak memberi tenggang waktu 3 bulan (3 masa pajak) dari tanggal transaksi agar perusahaan bisa memperoleh faktur pajak PPN masukan dari supplier untuk dikreditkan ke PPN keluaran.
Proses jual-beli yang kontinyu antar perusahaan, dan adanya jeda waktu dari alur serah terima barang dan dokumen, menyebabkan saldo PPN ini akan terus ada.
Selain itu, ada kasus PPN Masukan yang ternyata lebih besar dari PPN Keluaran. Menyebabkan terjadi lebih bayar sehingga harus restitusi.
Mirip seperti PPh, perusahaan harus melalui pemeriksaan. Saldo yang dimohonkan restitusi akan terus menetap di situ.
.................
Kenapa bisa terjadi lebih bayar PPh dan PPN, kredit pajak melebihi pajak terutang, yang menetap di saldo Pajak Dibayar di Muka ?
Bisa saja karena perusahaan sedang mengalami kerugian, pemborosan (inefisiensi), persentase margin laba yang lebih kecil dibandingkan tarif pajak yang dipotong oleh customer (profitabilitas kecil), atau sedang dalam fase ekspansif.
Contoh kasus ekspansif misal, perusahaan meningkatkan pembelian stok dalam jumlah besar yang belum seluruhnya terjual, sedang bangun pabrik baru, beli mesin impor baru yang mahal, dll.
Contoh kasus profitabilitas kecil misal, perusahaan dipotong pajak tarif 2% oleh customer, padahal margin sebenarnya yang didapat cuma 1%.
Kalau begini terus maka kredit pajak akan lebih besar dari hitungan PPh.
Kesimpulan :
Saldo akun Pajak Dibayar di Muka di satu sisi ada bagusnya kalau nilainya naik. Artinya perusahaan masih punya "aset" yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi utang pajak di masa mendatang.
Tapi proses restitusi yang melelahkan dan kelebihan uang yang di-lock di kas negara, itu juga bukan hal yang baik.
Apalagi kalau penyebab lebih bayar pajak ternyata hal negatif.
Kalau hal positif ternyata perusahaan lagi mode ekspansif sih bagus.
Lagi-lagi kinerja pendapatan (upper line) dan laba bersih (bottom line) jadi penentu, apakah keberadaan saldo pajak dibayar di muka ini terjadi karena hal positif atau negatif.
Series bahasan akun laporan keuangan
#1 : Kas dan Setara Kas
https://stockbit.com/post/16021406
#2 : Persediaan
https://stockbit.com/post/16033440
#3 : Piutang
https://stockbit.com/post/16044618
#4 : Beban Dibayar di Muka
https://stockbit.com/post/16076286
Saya ambil contoh laporan keuangan random $MYOR $GDST $TOTL
Kalau ada yang mau ditanyakan, ditambahkan, atau dikoreksi. Silakan di kolom komentar.
Terima kasih 馃檹
$GJTL $UNVR
1/9