Volume
Avg volume
PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk merupakan Perusahaan yang berbasis di Indonesia yang bergerak dalam industri pengiriman. Bisnis Perusahaan dibagi menjadi dua, segmen carter dan segmen pengiriman dan rancang bangun. Perusahaan melakukan kegiatan bisnis transportasi lautnya antara pelabuhan-pelabuhan di Indonesia dengan menggunakan segala jenis kapal. Perusahaan juga memiliki jasa navigasi dan transportasi yang menyediakan pengangkutan manusia, hewan, atau barang; jasa transportasi gas dan minyak bumi yang melaksanakan transportasi gas dan minyak bumi dengan menggunakan kapal tanker; dan jasa carter laut yang menyediakan penyewaa... Read More
$IHSG $DWGL Dwi Guna Laksana, bagus ya namanya cocok jadi nama orang. Kaya itu si $NELY Nelly Dwi Putri.
$NELY 18 Jul 25
Investor: NOAH SHIPPING PTE LTD
Source: KSEI
Action: BUY
Shares Traded: +159,036,300 (+6.7675%)
Previous: 0 (0%)
Current: 159,036,300 (6.7675%)
Broker: YJ
Investor Type: Foreign
$NELY 15 Jul 25
Investor: ARIS SUNARKO
Source: KSEI
Action: SELL
Shares Traded: -499,700 (-0.0213%)
Previous: 140,901,000 (5.9958%)
Current: 140,401,300 (5.9745%)
Broker: YJ
Investor Type: Domestic
Index baltic dry menguat pada hari ini ke 1800an. Baltic Dry Index (BDI) adalah sebuah indeks yang mengukur biaya pengiriman (freight) barang-barang curah kering (seperti batu bara, bijih besi, dll.) melalui jalur laut. $SMDR $AADI $NELY
$NELY ada yg tau nasib kapal kontainer CAHAYA NELLY gimana? karena sampai public expose 2021 masih ada dan setelahnya gak pernah disinggung
$NELY ndar bandar yang terhormat tolong kalau mau naik ya naik kalau mau turun ya turun aja gak usah ragu
$HAIS ayo2 yang semangat buang kiri, sebelum pembelinya kabur. kapal sudah nambah, muatan tambah juga, optimis LK Q2 lebih baik. penumpang yg mau turun segera turun karena penumpang yg mau naik tinggal sedikit. biar deviden yg mau dibagi ke penumpang rationya bisa lumayan.
random tag
$SMDR $NELY
$NELY LK Q1 2025: Kapal Apa Yang Labanya Anjlok?
Request salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk (kode saham: NELY) adalah emiten pelayaran domestik yang sudah eksis sejak 1992 dan resmi listing di Bursa sejak 2012. Bisnis utamanya adalah sewa kapal jenis tunda, tongkang, dan kapal pengangkut material industri. Dari laporan keuangan konsolidasian per Maret 2025, NELY memiliki struktur grup sederhana namun cukup aktif, ada entitas anak seperti PT PHHG yang memiliki kapal dan beroperasi di jasa maritim, PT NGK yang baru disuntik modal untuk ekspansi spare-part, serta satu entitas luar negeri di Singapura (PNDP-SG) sebagai kaki tangan distribusi internasional. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kepemilikan saham mayoritas dikuasai PSP tunggal, PT Haskojaya Abadi, sebesar 85 persen. Sisanya dimiliki publik dan karyawan terafiliasi. Grup ini sepenuhnya terkonsentrasi dalam lingkup bisnis maritim dan logistik.
Secara model bisnis, NELY menyewakan armada kapalnya ke klien-klien besar seperti RAPP (pulp) dan Kasih Coal (batubara), dengan struktur kontrak sewa campuran antara time charter dan voyage charter. Tidak ada recurring revenue jangka panjang dalam bentuk kontrak multi-tahun, jadi revenue tetap bergantung pada keberlanjutan pesanan dan kekuatan tarif sewa spot.
Mayoritas pendapatan kuartal I 2025 (67 persen) hanya berasal dari dua pelanggan besar. Di sisi vendor, sebagian kebutuhan BBM dan servis kapal ternyata disuplai oleh pihak-pihak berelasi seperti PT Haskojaya atau anak usaha lain dalam grup. Ini membuat transaksi operasional cukup tertutup dan rawan konflik kepentingan jika tidak diaudit dengan ketat. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Angka revenue Q1 2025 tercatat 114,17 miliar, naik 8,3 persen yoy. Tapi di balik pertumbuhan pendapatan itu, cost of goods sold (COGS) malah meledak 70,4 persen ke 74,5 miliar, yang bikin margin kotor turun ke 34,7 persen. Laba bersih tetap positif 27,63 miliar, meski tergerus 46,2 persen yoy. Margin bersih yang masih 24 persen ini sebetulnya kuat secara akuntansi. Tapi pertanyaannya, apakah laba itu didukung oleh arus kas yang sehat? Jawabannya tidak. Arus kas operasi (CFO) justru negatif di entitas induk (–77,53 miliar) dan hanya positif 25,33 miliar secara konsolidasian. Dengan kata lain, laba besar tapi uangnya tidak masuk. Ini red flag pertama.
Masuk lebih dalam ke neraca, kita lihat aset perusahaan naik signifikan jadi 1,18 triliun, tapi bukan karena pertumbuhan organik. Lonjakan berasal dari pembayaran uang muka pembelian kapal baru yang naik tajam ke 183,17 miliar. Artinya dalam tiga bulan saja, NELY mengalirkan uang dalam jumlah jumbo ke belanja aset tetap, padahal sumber dananya bukan dari arus kas, melainkan dari kas cadangan tahun lalu dan utang bank tambahan. Cash out 196,63 miliar buat capex hanya ditopang oleh CFO 25,33 miliar. Ini menghasilkan rasio capex-to-CFO sampai 7,8 kali, yang terlalu ekstrem bahkan untuk emiten pelayaran ekspansif. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Risiko likuiditas langsung terasa. Saldo kas anjlok dari 173,22 miliar ke hanya 24,61 miliar (–72,8 persen) dalam waktu tiga bulan. Saat yang sama, total utang berbunga malah naik ke 172,09 miliar. Maka rasio kas terhadap utang hanya 0,14, terlalu tipis. Kas terhadap current debt masih aman (1,1 kali), tapi ini hanya sementara. Kalau kapal baru belum menghasilkan revenue dalam 1 atau 2 kuartal, tekanan likuiditas bisa langsung memaksa manajemen untuk tarik utang baru, cari pinjaman bridging, atau bahkan jual aset.
Masalah lain ada di modal kerja. Piutang usaha 61,25 miliar (54 persen revenue) dengan cadangan kerugian hanya 3,9 persen. Idealnya piutang di bawah 30 persen revenue. DSO diperkirakan hampir 2 bulan. Persediaan pun gendut, 59,62 miliar atau 80 persen dari COGS, tinggi untuk bisnis pelayaran. Dana nganggur terlalu banyak di sparepart dan BBM. Cadangan penurunan nilai persediaan juga nihil, dan nilai asuransinya cuma 5 persen dari nilai tercatat. Artinya rawan hangus jika ada kecelakaan atau kebakaran.
Ada juga mismatch tenor kas keluar. Pembayaran pemasok 81,47 miliar vs kas masuk 127,23 miliar. Jadi meskipun kelihatan arus kas dari pelanggan besar, itu tidak cukup nutup kecepatan kas keluar. Beban bunga 3,08 miliar (11 persen dari laba operasi) dan pajak 1,13 miliar sudah menggerus margin. Akumulasi semua ini membuat free cash flow (FCF) negatif 171,30 miliar, hampir sama besar dengan utang berbunga. Rasio FCF-to-debt = –1, artinya setiap rupiah utang tidak didukung cash generation. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Secara bisnis dan operasional, NELY punya posisi pasar yang solid dan klien besar. Tapi dari sisi keuangan, terlalu banyak mismatch. Laba besar, tapi CFO kecil. Revenue naik, tapi piutang bengkak. Kas masuk bagus, tapi langsung habis buat capex sebelum hasilnya kelihatan. Di atas kertas terlihat kinclong, tapi arus kasnya bising.
Margin laba masih kuat, utang belum terlalu berat, dan masih ada pelanggan yang repeat. Tapi kalau dalam 2 atau 3 kuartal ke depan kapal baru tidak menyumbang revenue, semua leverage ini akan berubah jadi tekanan. Manajemen harus bisa kendalikan modal kerja dan batasi ekspansi supaya arus kas bisa catch-up. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Saat ini harga 384 rupiah setara PBV 0,97. PER trailing 8 kali, EV per EBITDA sekitar 4,9 kali. Ini relatif murah dibanding pelayaran lain, yang PER-nya bisa 10 sampai 12 kali dan EV per EBITDA 6 sampai 8 kali. Kalau kondisi membaik, piutang turun ke 30 persen revenue, capex berhenti, dan CFO kembali ke level 80 miliar setahun, maka valuasi bisa rerate ke PER 10. Harga saham bisa naik ke 550 sampai 600. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, piutang tak tertagih, capex gagal, dan kas makin tipis, valuasi akan direvisi turun ke zona value trap di bawah 300, mendekati low 3 tahunnya.
NELY ini kapal bagus tapi sedang kelebihan muatan. Harapan investor adalah kapal baru segera jalan dan bayar balik investasinya dalam 6 sampai 9 bulan. Kalau itu kejadian, maka upside terbuka lebar. Tapi kalau tidak, yang ada investor cuma duduk di dek, nonton kas makin habis, dan siap-siap dilempar sekoci. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10
$HAIS ayo2 diguyur, kapal sudah nambah saatnya juga nambah muatan. nambah muatan nambah juga profitnya. kalo sudah nambah profitnya nambah naik juga harganya. yukz sampah2 harus dibuang, biar melajunya nanti ringan.
random tag
$NELY $PSSI
@StockbitReports ini namanya hiding agendas from public.
kebalikan dari public expose
betul tidak @bamzat @PatrickP @vigours ?
tag $IHSG $XAU $NELY
$HAIS harga minyak udah naik, gak tau akan smpe ke harga berapa... ekonomi lagi kocar kacir, sedangkan negara butuh listtrik, tentu negara beralih ke energi yang lebih murah dong? apalagi kl bukan batubara... $AADI $NELY
Return portofolio saya,50 persen dana sudah di rdn, sisa beberapa saham yang sangkut blm bisa di selamatkan, break hingga awal agustus karna musim dividen sudah berakhir $ASII $NELY $TPMA
$TPMA $PSSI $NELY - Siapa Kapten Kapalmu Saat Laut Bergelombang?
Mungkin banyak yg belum menyadari bahwa sektor logistik laut Indonesia saat ini sedang berdiri di persimpangan yg cukup menentukan. Di satu sisi, ada tekanan global berupa perang yg makin rumit di kawasan Timur Tengah, melibatkan dua pemain lama: Iran dan Israel. Tapi di sisi lain, justru dari konflik inilah muncul peluang emas buat emiten-emiten pelayaran, terutama yg punya spesialisasi dalam angkutan komoditas energi seperti batubara dan nikel. Tiga nama yg langsung muncul dalam radar adalah TPMA, PSSI, dan NELY. Ketiganya bergerak di industri serupa, tp punya pendekatan, struktur bisnis, dan daya tahan yg berbeda.
Logika sederhananya begini. Kalau kapal-kapal tanker harus muter jauh gara-gara jalur seperti Selat Hormuz atau Laut Merah terganggu, otomatis jumlah kapal aktif menurun. Durasi pengiriman jadi lebih lama, kapal-kapal jadi langka, dan harga sewa melonjak. Belum ditambah dampak pd suplai minyak dan gas yg terbatas, harganya yg juga ikutan naik, menyebabkan permintaan substitusinya—batubara—juga terkerek. Ini kejadian nyata, bukan teori doang—sudah terbukti saat pandemi 2020 dan saat perang Rusia–Ukraina meletus. Efek rantainya pun sama: harga minyak dan gas naik, negara-negara Eropa yg selama ini mengandalkan gas jadi panik dan buru-buru balik ke batubara. Hasilnya? Harga batubara melonjak, permintaan ekspor dari Indonesia naik, dan perusahaan pelayaran yg biasa antar coal pun ikut panen cuan.
Dari sinilah kita mulai bedah satu-satu. TPMA, atau Trans Power Marine Tbk., punya positioning yg unik. Mereka nggak cuma main di angkutan batubara, tapi jg udah ekspansi ke komoditas lain seperti semen, gypsum, bahkan nikel lewat anak usaha TLP (Trans Logistik Perkasa). Baru-baru ini TPMA juga akuisisi 65% saham Bahtera Energi Samudra Tuah (BEST), memperluas jangkauan bisnis mereka di jalur laut domestik. Semua langkah ini konsisten: TPMA lg ngebangun rantai logistik maritim nusantara.
Kontrak TPMA mayoritas bersifat jangka menengah sampai panjang. Artinya, meski harga freight spot naik-turun, volume pengangkutan mereka relatif aman. Pelanggan mereka bukan pemain kaleng-kaleng: KPC, Adaro, ITMG, PTBA, semua ada di daftar klien. Kalau permintaan coal naik, pelanggan ini pasti genjot produksi. Ujung-ujungnya? Order logistik ke TPMA tambah ramai. Tapi kalau harga coal turun? TPMA ttp kerja, krn kontraknya ttp jalan.
Fundamental TPMA pun menarik. Dengan pendapatan TTM Rp2 triliun lebih dan laba bersih Rp405 miliar, valuasi mereka saat ini kelihatan murah banget: PER sekitar 5x, EV/EBITDA di kisaran 3x. Kalau dibandingin sama emiten shipping regional yg average PE-nya 8–12x, jelas TPMA masih undervalued. Apalagi mereka bukan sekadar ekspansi, tapi jg efisien. Salah satu contohnya, mereka beli 79 kapal bekas dr Titan Group ketimbang nunggu produksi galangan yg bisa makan waktu 2 tahun. Strategi cerdas: capex hemat waktu, kapal datang langsung bisa nge-gas.
Berpindah ke PSSI, atau IMC Pelita Logistik Tbk., ceritanya agak beda. Mereka jg pengangkut batubara, tapi porsi terbesar bisnis mereka datang dr segmen floating loading facility (FLF)—kapal pemuatan apung yg jadi simpul penting ekspor batubara lewat laut. Saat harga freight spot naik, FLF bisa nyedot margin besar. Tapi kalau demand ekspor drop, segmen ini paling cepat terpuruk. Dan itu yg lagi kejadian di Q1 2025: PSSI catat rugi Rp8 miliar, pertama kalinya dalam beberapa kuartal terakhir. Padahal sebelumnya PSSI sempat cetak laba tahunan Rp622 miliar di 2023.
Tapi jangan buru-buru ngecap ini sebagai sinyal buruk. Kalau kita lihat dari skenario perang Iran–Israel berlanjut sampai 2026, justru PSSI bisa dpt lonjakan kinerja lagi. Kenapa? Karena FLF itu seperti alat hisap freight premium: begitu tarif naik dan ekspor melonjak, FLF disewa non-stop. Kalau volume angkutnya bisa naik 15–20% per tahun, revenue mereka bisa tembus Rp1,5 triliun di 2026. Saat itu, net profit bisa balik ke kisaran Rp250–300 miliar, dan PER mereka bakal turun drastis. Artinya, di skenario ekstrem, PSSI justru bisa outperform.
Di sisi lain, struktur keuangan PSSI sangat solid. DER mereka cuma 0,11x, dan kas Rp842 miliar cukup utk jaga likuiditas tanpa perlu utang besar. Tapi justru di situ juga tantangannya. Kalau manajemen nggak ambil langkah ekspansi agresif atau repositioning kontrak, potensi upside bisa terlewat. Karena tanpa kejar pertumbuhan, PSSI cuma bakal jadi “alat tempur saat perang”, bukan “pemenang saat damai”.
Lain halnya dengan NELY, atau Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk. Mereka ini pemain kecil secara skala, tapi punya keunikan: efisiensi tingkat dewa. DER di bawah 0,2x, margin net profit yg tembus 40% lebih dlm 3 tahun terakhir, dan capex yg irit tapi tepat guna. Segmen mereka nggak cuma batubara, tapi juga angkutan kayu, pasir, dan punya usaha docking (galangan kapal skala kecil). Bisnis docking ini mungkin kelihatan remeh, tapi di saat armada-armada pelayaran sibuk kerja keras di tengah lonjakan permintaan, layanan perawatan kapal jadi krusial. Dan NELY ambil posisi itu.
Masalahnya, NELY terlalu konservatif. Pendapatan mereka stagnan di kisaran Rp500 miliar-an, meski net profit tetap sehat di atas Rp200 miliar. Tapi dgn pertumbuhan lambat dan skala kecil, valuasi mereka yg murah (PER ~4,3x) jadi wajar. Investor yg cari defensif dan yield stabil akan cocok dgn NELY. Tapi buat yg cari pertumbuhan eksplosif? Rasanya bukan di sini tempatnya.
Dan semua ini makin menarik saat kita masukkan variabel geopolitik. Kalau perang Iran–Israel berlarut-larut, maka pola krisis energi seperti saat Rusia–Ukraina akan terulang: kapal langka, freight naik, minyak dan gas naik, negara switch ke coal, dan pelayaran domestik Indonesia panen order. Tapi kalau perang cepat mereda? Maka harga energi akan turun, Eropa balik ke gas, dan freight kembali normal.
Tapi analisis nggak berhenti di skenario harga freight saja. Karena ujung dari semua ini adalah: siapa yg bisa bertahan dalam dua musim—musim euforia dan musim dingin. Dan pertanyaan itulah yg jadi penentu arah investasi ke depan. Kita nggak bisa hanya menilai kinerja perusahaan saat perang sedang memanas, tp jg hrs mengukur seberapa sustainable performa mereka ketika kondisi global kembali tenang. Justru di sinilah ketiganya menunjukkan watak aslinya.
TPMA mungkin bukan yg paling agresif dalam hal return per kuartal, tapi strategi mereka menunjukkan pola pertumbuhan yg dipikirkan matang. Mereka bukan sekadar pengangkut, tapi sedang pelan-pelan mengubah dirinya jd operator logistik mineral terintegrasi. Setelah akuisisi TLP dan BEST, mereka bukan cuma punya armada, tapi jg kontrol jalur distribusi dan eksposur ke nikel, komoditas masa depan buat baterai dan elektrifikasi. Kita bicara tentang positioning jangka panjang di pasar yg bukan hanya relevan hari ini, tapi bakal krusial lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Dan struktur keuangannya pun mendukung arah itu. Meski TPMA mencatat liabilitas sebesar Rp1,6 triliun, hampir semua itu produktif: digunakan utk akuisisi, pembiayaan armada, dan pengembangan usaha. DER di bawah 0,6x, masih sangat wajar utk sektor pelayaran, bahkan tergolong sehat. Malah kalau nggak ada leverage, perusahaan shipping justru sulit berkembang. Inilah perbedaan besar antara TPMA dgn NELY—satu memilih dorong pertumbuhan lewat leverage yg terukur, satunya lagi lebih nyaman jalan pelan tapi stabil.
Kondisi ini jadi relevan saat kita membandingkannya dgn NELY. Ibarat mobil, NELY seperti mobil hemat BBM, cocok buat jalan santai jauh, tapi jgn harap bisa salip di tanjakan curam. Tanpa utang besar dan dgn efisiensi operasional tinggi, NELY berhasil menjaga margin bahkan saat pasar volatile. Tapi justru karena itu, mereka susah lompat level. Pendapatan Rp499 miliar di TTM Q1 2025 dgn capex kecil menunjukkan bahwa mereka cenderung bermain aman, dan dalam dunia shipping yg permintaannya bisa berubah ekstrem dalam 6 bulan, itu bisa jadi pedang bermata dua.
NELY tetap punya daya tarik: struktur bersih, beban kecil, pelanggan setia di segmen kayu dan batubara, serta unit docking yg menghasilkan recurring income. Tapi kita jg harus jujur: pasar akan memberi premium terhadap growth, bukan hanya efisiensi. Kecuali NELY berani lakukan ekspansi lebih agresif atau positioning ulang ke logistik mineral seperti TPMA, valuasi mereka mungkin akan terus mandek di zona “stabil tapi tidak spektakuler”.
Sementara itu, PSSI duduk di tengah-tengah. Mereka bisa sangat kuat saat harga freight naik, krn FLF dan barge mereka sering digunakan oleh eksportir batubara besar. Tapi begitu freight normal lagi, mereka bs langsung goyah. Rugi Rp8 miliar di Q1 2025 seakan jd sinyal awal kalau eksposur mereka terlalu berat di segmen spot, meskipun struktur biaya ttp efisien dan kas perusahaan sangat sehat. Kalau manajemen PSSI bisa menjaga kontrak-kontrak semi-berjangka dan ekspansi efisien seperti tahun 2023, maka mereka tetap bisa bersinar. Tapi kalau tidak, volatilitas akan trs menghantui mereka tiap kali freight berubah arah.
Setelah menimbang semua ini, pertanyaannya sederhana: di tengah kondisi global yg penuh ketidakpastian, siapa dari ketiga ini yg layak disebut kendaraan investasi utama? Jawabannya mengerucut ke satu nama: TPMA. Bukan karena mereka yg paling untung tahun lalu, bukan jg karena valuasinya paling murah, tapi karena mereka yg paling siap menangkap momentum sekaligus bertahan saat badai reda. Mereka punya arah strategis, koneksi pelanggan jangka panjang, ekspansi ke komoditas masa depan, dan struktur modal yg cukup berani tapi tetap sehat. Mereka bukan sekadar hidup dari euforia harga coal, tapi sedang membangun sistem yg bisa hidup bahkan setelah euforia itu hilang.
Jadi kalau ditanya sekarang: mana dari TPMA, PSSI, dan NELY yg paling layak dikoleksi utk 1–3 tahun ke depan? Jawabannya bukan hanya berdasarkan PER rendah atau laba bersih sesaat. Tapi berdasarkan siapa yg sedang membangun kapal paling kuat utk menghadapi ombak besar. Dan dari semua yg kita bahas, TPMA-lah yg sedang mengarahkan haluannya ke sana.
Dengan pertumbuhan pendapatan yg sudah tembus Rp2 triliun secara TTM, margin yg tetap sehat, dan transformasi bisnis dr angkutan batubara ke integrasi logistik mineral, TPMA bukan cuma mengikuti arus, tapi menciptakan arusnya sendiri. Entah perang Iran–Israel ini memanas sampai 2026, atau mereda cepat dalam beberapa bulan, TPMA punya narasi yg tetap utuh: mereka sedang tumbuh, bukan sekadar menumpang tren. Dan itu adalah jenis perusahaan yg layak dibawa dalam portofolio jangka menengah, bahkan panjang.
Lalu apakah PSSI dan NELY harus dihindari? Tidak. PSSI cocok utk impostor yg ingin main cepat dan siap mental menghadapi volatilitas. Kalau misalnya saya punya keyakinan bahwa freight spot akan tetap tinggi dlm 1–2 tahun ke depan, PSSI bisa memberikan upside yg lebih cepat dari TPMA. Tapi saya jg harus siap kalau angkanya bisa turun secepat naiknya. Sementara NELY cocok utk impostor yg cari stabilitas, dividen, dan nggak peduli harga saham mau stagnan setahun dua tahun, asal perusahaan tetap untung. Tapi kalau saya cari pertumbuhan dan transformasi yg nyata? Maka TPMA tetap jadi pilihan paling masuk akal—setidaknya saat ini.
Disclaimer: ini bukan ajakan untuk membeli kapal atau menjual saham perkapalan.
$HAIS hati2, sudah beberapa hari ini tembok tebal sudah dikikis habis. ingat tidak ada duit yg instant. tidak sabar, bakalan merugi. ada momentum langsung ambil kesempatan, jangan tunggu naik baru beli tapi jangan juga terburu-buru menjual.
random tag
$NELY $PSSI
$NELY klw bagi deviden, jagan lah, tahan premi orang kerja di kapal, cuma itu bonus kerja keras orang
5 Saham Small Cap Undervalued yang Layak Masuk Watchlist (Pakai Fama-French & Reverse DCF)
Kalau kamu lagi cari saham kecil tapi prospektif, ini 5 small cap undervalued yang menurut saya patut dicermati. Bukan hasil bisikan grup, tapi pakai pendekatan Fama-French & Reverse DCF biar lebih objektif dan terukur.
Waktu pertama kali nyemplung ke dunia saham, jujur aja saya juga bingung: mana small cap yang murah tapi bukan murahan? Setelah 250 followers dan banyak eksperimen, saya mulai pakai pendekatan Factor Investing ala Fama-French (size & value premium) plus Reverse DCF buat ngecek ekspektasi pasar yang mungkin terlalu pesimis. Hasilnya? Saya nemuin 5 saham ini:
📘 Sekilas Tentang Fama-French 3-Factor Model
Model ini dikembangkan oleh Eugene Fama & Kenneth French (1993), dan tujuannya sederhana: menjelaskan return saham lebih baik dari sekadar CAPM. Model ini bilang bahwa return saham bisa dipengaruhi oleh 3 hal:
✓ Market Risk (β terhadap pasar)
✓ Size Premium (saham small cap cenderung punya return lebih tinggi)
✓ Value Premium (saham dengan valuasi rendah—PBV, PER rendah—punya potensi outperform)
---------
Referensi: Fama, E. F., & French, K. R. (1993). Common risk factors in the returns on stocks and bonds. Journal of Financial Economics, 33(1), 3–56.
---------
Dalam konteks kita, saya fokus ke dua hal: ukuran perusahaan dan valuasi murah, karena ini relevan untuk investor ritel yang nyari saham undervalued di sektor lapis dua atau tiga.
🔎 Singkatnya: Gimana Saya Lakukan Skrining Saham Ini?
Untuk kamu yang mau coba sendiri, ini setup Stockbit Screener ala Fama-French yang saya pakai:
✓ Market Cap < 10T → Fokus ke small cap
✓ PBV < 1.5 dan/atau PER < 10 → Indikasi saham undervalued
✓ ROE > 10% dan Net Profit Margin > 8% → Hanya ambil yang profitable
✓ Opsional: DER < 1.0 → Filter emiten yang utangnya rendah
Screener ini bantu nyaring saham yang kecil, murah secara valuasi, tapi berkualitas tinggi—mirip eksposur ke faktor SMB (Size), HML (Value), dan Profitability (RMW) dalam pendekatan Fama-French modern.
🔍 5 Small Cap Worth Watching (per Juni 2025)
1. $NELY – Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk
✓ Emiten pelayaran kecil dengan valuasi rendah
✓ Revenue stabil dan potensi naik seiring rebound logistik laut
✓ Valuasi pasar: cuma ~18M → low base effect
2. $DMAS – Puradelta Lestari Tbk
✓ Developer kawasan industri dengan rasio utang rendah
✓ Free cash flow kuat, tapi harga stagnan
✓ Volume & frekuensi tinggi → likuid buat ukuran small cap
3. PTPS – Pulau Subur Tbk
✓ Emiten pertanian & properti, valuasi cuma Rp84/saham
✓ Market cap kecil, tapi volume perdagangan aktif
✓ Cocok untuk yang cari sleeper undervalued
4. HAIS – Hasnur Internasional Shipping Tbk
✓ Sektor pelayaran, sama seperti NELY, tapi lebih likuid
✓ Market cap kecil tapi punya kontrak jangka panjang
✓ Frekuensi tinggi → sinyal minat pasar meningkat
5. $KKGI – Resource Alam Indonesia Tbk
✓ Emiten batu bara kecil yang konsisten untung
✓ Valuasi hanya 3x PE, tapi growth kuat
✓ Reverse DCF menunjukkan harga pasar underestimasi prospek EPS ke depan
🎯 Highlight Observasi:
✓ DMAS walau valuasi sedikit lebih tinggi, arus dana asing + likuiditas bikin ini jadi kandidat kuat
✓ NELY tetap menarik secara valuasi, tapi volume rendah—mungkin lebih cocok untuk long-term holder
✓ PTPS, HAIS, dan KKGI = trio value play andalan: murah, profit tinggi, dan minat investor makin solid
🧠 Metode Pemilihan:
Pendekatan juga bisa dicapai hingga 5 faktor dari Factor Investing ala Fama-French:
🔹 1. Size (SMB)
✓ Fokus ke small cap — market cap di bawah Rp10T
→ Saham kecil cenderung kasih return lebih tinggi dari big cap karena lebih “underfollowed”
🔹 2. Value (HML)
✓ PBV dan PER rendah → sinyal saham sedang undervalued
→ Contoh: NELY, KKGI, PTPS semua < 6x PER
🔹 3. Profitability (RMW)
✓ ROE tinggi, Net Profit Margin solid
→ Saham dengan laba efisien cenderung perform lebih baik dalam jangka panjang
🔹 4. Investment (CMA)
✓ Prefer saham dengan belanja modal (CapEx) yang stabil atau efisien
→ Perusahaan yang “investasi berlebihan” sering underperform
🔹 5. Market Beta (MKT)
✓ Untuk konteks tambahan: saham-saham ini cenderung punya beta moderat-rendah, jadi relatif tahan banting saat pasar volatil
💡 Gimana Cara Menganalisisnya?
✓ Lihat Price vs Intrinsic Value pakai asumsi konservatif di Reverse DCF
✓ Cek faktor Fama-French: saham kecil (size premium) dan valuasi rendah (value premium)
✓ Fokus ke volume & frekuensi: biar gak nyangkut di saham yang “murah karena dilupakan”
✓ Jangan lupa cross-check: ada katalis enggak? misal ekspansi bisnis, laporan bagus, atau sentimen sektoral
🎯 Kesimpulan Praktis
Small cap itu ibarat permata kasar—murah, tapi nggak selalu layak beli. Tapi dengan pendekatan kuantitatif kayak Fama-French filtering dan Reverse DCF, kamu bisa bantu pisahin yang undervalued dari yang sekadar “murah karena nggak dilirik”.
✓ Pakai screener sederhana: kecil, murah, profitable
✓ Lanjutkan analisis dengan Reverse DCF untuk lihat ekspektasi pasar
✓ Cek katalis dan pastikan kamu paham risikonya sebelum masuk
Gimana menurut kamu? Ada small cap lain yang menurutmu underrated? Share dong, biar makin banyak yang bisa belajar bareng!
---------------
Disclaimer:
Tulisan ini dibuat untuk tujuan informasi/edukasi semata. Bukan merupakan saran investasi. Semua keputusan investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing individu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasi dengan pihak yang kompeten sebelum mengambil keputusan finansial.