imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$TPMA $PSSI $NELY - Siapa Kapten Kapalmu Saat Laut Bergelombang?

Mungkin banyak yg belum menyadari bahwa sektor logistik laut Indonesia saat ini sedang berdiri di persimpangan yg cukup menentukan. Di satu sisi, ada tekanan global berupa perang yg makin rumit di kawasan Timur Tengah, melibatkan dua pemain lama: Iran dan Israel. Tapi di sisi lain, justru dari konflik inilah muncul peluang emas buat emiten-emiten pelayaran, terutama yg punya spesialisasi dalam angkutan komoditas energi seperti batubara dan nikel. Tiga nama yg langsung muncul dalam radar adalah TPMA, PSSI, dan NELY. Ketiganya bergerak di industri serupa, tp punya pendekatan, struktur bisnis, dan daya tahan yg berbeda.

Logika sederhananya begini. Kalau kapal-kapal tanker harus muter jauh gara-gara jalur seperti Selat Hormuz atau Laut Merah terganggu, otomatis jumlah kapal aktif menurun. Durasi pengiriman jadi lebih lama, kapal-kapal jadi langka, dan harga sewa melonjak. Belum ditambah dampak pd suplai minyak dan gas yg terbatas, harganya yg juga ikutan naik, menyebabkan permintaan substitusinya—batubara—juga terkerek. Ini kejadian nyata, bukan teori doang—sudah terbukti saat pandemi 2020 dan saat perang Rusia–Ukraina meletus. Efek rantainya pun sama: harga minyak dan gas naik, negara-negara Eropa yg selama ini mengandalkan gas jadi panik dan buru-buru balik ke batubara. Hasilnya? Harga batubara melonjak, permintaan ekspor dari Indonesia naik, dan perusahaan pelayaran yg biasa antar coal pun ikut panen cuan.

Dari sinilah kita mulai bedah satu-satu. TPMA, atau Trans Power Marine Tbk., punya positioning yg unik. Mereka nggak cuma main di angkutan batubara, tapi jg udah ekspansi ke komoditas lain seperti semen, gypsum, bahkan nikel lewat anak usaha TLP (Trans Logistik Perkasa). Baru-baru ini TPMA juga akuisisi 65% saham Bahtera Energi Samudra Tuah (BEST), memperluas jangkauan bisnis mereka di jalur laut domestik. Semua langkah ini konsisten: TPMA lg ngebangun rantai logistik maritim nusantara.

Kontrak TPMA mayoritas bersifat jangka menengah sampai panjang. Artinya, meski harga freight spot naik-turun, volume pengangkutan mereka relatif aman. Pelanggan mereka bukan pemain kaleng-kaleng: KPC, Adaro, ITMG, PTBA, semua ada di daftar klien. Kalau permintaan coal naik, pelanggan ini pasti genjot produksi. Ujung-ujungnya? Order logistik ke TPMA tambah ramai. Tapi kalau harga coal turun? TPMA ttp kerja, krn kontraknya ttp jalan.

Fundamental TPMA pun menarik. Dengan pendapatan TTM Rp2 triliun lebih dan laba bersih Rp405 miliar, valuasi mereka saat ini kelihatan murah banget: PER sekitar 5x, EV/EBITDA di kisaran 3x. Kalau dibandingin sama emiten shipping regional yg average PE-nya 8–12x, jelas TPMA masih undervalued. Apalagi mereka bukan sekadar ekspansi, tapi jg efisien. Salah satu contohnya, mereka beli 79 kapal bekas dr Titan Group ketimbang nunggu produksi galangan yg bisa makan waktu 2 tahun. Strategi cerdas: capex hemat waktu, kapal datang langsung bisa nge-gas.

Berpindah ke PSSI, atau IMC Pelita Logistik Tbk., ceritanya agak beda. Mereka jg pengangkut batubara, tapi porsi terbesar bisnis mereka datang dr segmen floating loading facility (FLF)—kapal pemuatan apung yg jadi simpul penting ekspor batubara lewat laut. Saat harga freight spot naik, FLF bisa nyedot margin besar. Tapi kalau demand ekspor drop, segmen ini paling cepat terpuruk. Dan itu yg lagi kejadian di Q1 2025: PSSI catat rugi Rp8 miliar, pertama kalinya dalam beberapa kuartal terakhir. Padahal sebelumnya PSSI sempat cetak laba tahunan Rp622 miliar di 2023.

Tapi jangan buru-buru ngecap ini sebagai sinyal buruk. Kalau kita lihat dari skenario perang Iran–Israel berlanjut sampai 2026, justru PSSI bisa dpt lonjakan kinerja lagi. Kenapa? Karena FLF itu seperti alat hisap freight premium: begitu tarif naik dan ekspor melonjak, FLF disewa non-stop. Kalau volume angkutnya bisa naik 15–20% per tahun, revenue mereka bisa tembus Rp1,5 triliun di 2026. Saat itu, net profit bisa balik ke kisaran Rp250–300 miliar, dan PER mereka bakal turun drastis. Artinya, di skenario ekstrem, PSSI justru bisa outperform.

Di sisi lain, struktur keuangan PSSI sangat solid. DER mereka cuma 0,11x, dan kas Rp842 miliar cukup utk jaga likuiditas tanpa perlu utang besar. Tapi justru di situ juga tantangannya. Kalau manajemen nggak ambil langkah ekspansi agresif atau repositioning kontrak, potensi upside bisa terlewat. Karena tanpa kejar pertumbuhan, PSSI cuma bakal jadi “alat tempur saat perang”, bukan “pemenang saat damai”.

Lain halnya dengan NELY, atau Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk. Mereka ini pemain kecil secara skala, tapi punya keunikan: efisiensi tingkat dewa. DER di bawah 0,2x, margin net profit yg tembus 40% lebih dlm 3 tahun terakhir, dan capex yg irit tapi tepat guna. Segmen mereka nggak cuma batubara, tapi juga angkutan kayu, pasir, dan punya usaha docking (galangan kapal skala kecil). Bisnis docking ini mungkin kelihatan remeh, tapi di saat armada-armada pelayaran sibuk kerja keras di tengah lonjakan permintaan, layanan perawatan kapal jadi krusial. Dan NELY ambil posisi itu.

Masalahnya, NELY terlalu konservatif. Pendapatan mereka stagnan di kisaran Rp500 miliar-an, meski net profit tetap sehat di atas Rp200 miliar. Tapi dgn pertumbuhan lambat dan skala kecil, valuasi mereka yg murah (PER ~4,3x) jadi wajar. Investor yg cari defensif dan yield stabil akan cocok dgn NELY. Tapi buat yg cari pertumbuhan eksplosif? Rasanya bukan di sini tempatnya.

Dan semua ini makin menarik saat kita masukkan variabel geopolitik. Kalau perang Iran–Israel berlarut-larut, maka pola krisis energi seperti saat Rusia–Ukraina akan terulang: kapal langka, freight naik, minyak dan gas naik, negara switch ke coal, dan pelayaran domestik Indonesia panen order. Tapi kalau perang cepat mereda? Maka harga energi akan turun, Eropa balik ke gas, dan freight kembali normal.

Tapi analisis nggak berhenti di skenario harga freight saja. Karena ujung dari semua ini adalah: siapa yg bisa bertahan dalam dua musim—musim euforia dan musim dingin. Dan pertanyaan itulah yg jadi penentu arah investasi ke depan. Kita nggak bisa hanya menilai kinerja perusahaan saat perang sedang memanas, tp jg hrs mengukur seberapa sustainable performa mereka ketika kondisi global kembali tenang. Justru di sinilah ketiganya menunjukkan watak aslinya.

TPMA mungkin bukan yg paling agresif dalam hal return per kuartal, tapi strategi mereka menunjukkan pola pertumbuhan yg dipikirkan matang. Mereka bukan sekadar pengangkut, tapi sedang pelan-pelan mengubah dirinya jd operator logistik mineral terintegrasi. Setelah akuisisi TLP dan BEST, mereka bukan cuma punya armada, tapi jg kontrol jalur distribusi dan eksposur ke nikel, komoditas masa depan buat baterai dan elektrifikasi. Kita bicara tentang positioning jangka panjang di pasar yg bukan hanya relevan hari ini, tapi bakal krusial lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Dan struktur keuangannya pun mendukung arah itu. Meski TPMA mencatat liabilitas sebesar Rp1,6 triliun, hampir semua itu produktif: digunakan utk akuisisi, pembiayaan armada, dan pengembangan usaha. DER di bawah 0,6x, masih sangat wajar utk sektor pelayaran, bahkan tergolong sehat. Malah kalau nggak ada leverage, perusahaan shipping justru sulit berkembang. Inilah perbedaan besar antara TPMA dgn NELY—satu memilih dorong pertumbuhan lewat leverage yg terukur, satunya lagi lebih nyaman jalan pelan tapi stabil.

Kondisi ini jadi relevan saat kita membandingkannya dgn NELY. Ibarat mobil, NELY seperti mobil hemat BBM, cocok buat jalan santai jauh, tapi jgn harap bisa salip di tanjakan curam. Tanpa utang besar dan dgn efisiensi operasional tinggi, NELY berhasil menjaga margin bahkan saat pasar volatile. Tapi justru karena itu, mereka susah lompat level. Pendapatan Rp499 miliar di TTM Q1 2025 dgn capex kecil menunjukkan bahwa mereka cenderung bermain aman, dan dalam dunia shipping yg permintaannya bisa berubah ekstrem dalam 6 bulan, itu bisa jadi pedang bermata dua.

NELY tetap punya daya tarik: struktur bersih, beban kecil, pelanggan setia di segmen kayu dan batubara, serta unit docking yg menghasilkan recurring income. Tapi kita jg harus jujur: pasar akan memberi premium terhadap growth, bukan hanya efisiensi. Kecuali NELY berani lakukan ekspansi lebih agresif atau positioning ulang ke logistik mineral seperti TPMA, valuasi mereka mungkin akan terus mandek di zona “stabil tapi tidak spektakuler”.

Sementara itu, PSSI duduk di tengah-tengah. Mereka bisa sangat kuat saat harga freight naik, krn FLF dan barge mereka sering digunakan oleh eksportir batubara besar. Tapi begitu freight normal lagi, mereka bs langsung goyah. Rugi Rp8 miliar di Q1 2025 seakan jd sinyal awal kalau eksposur mereka terlalu berat di segmen spot, meskipun struktur biaya ttp efisien dan kas perusahaan sangat sehat. Kalau manajemen PSSI bisa menjaga kontrak-kontrak semi-berjangka dan ekspansi efisien seperti tahun 2023, maka mereka tetap bisa bersinar. Tapi kalau tidak, volatilitas akan trs menghantui mereka tiap kali freight berubah arah.

Setelah menimbang semua ini, pertanyaannya sederhana: di tengah kondisi global yg penuh ketidakpastian, siapa dari ketiga ini yg layak disebut kendaraan investasi utama? Jawabannya mengerucut ke satu nama: TPMA. Bukan karena mereka yg paling untung tahun lalu, bukan jg karena valuasinya paling murah, tapi karena mereka yg paling siap menangkap momentum sekaligus bertahan saat badai reda. Mereka punya arah strategis, koneksi pelanggan jangka panjang, ekspansi ke komoditas masa depan, dan struktur modal yg cukup berani tapi tetap sehat. Mereka bukan sekadar hidup dari euforia harga coal, tapi sedang membangun sistem yg bisa hidup bahkan setelah euforia itu hilang.

Jadi kalau ditanya sekarang: mana dari TPMA, PSSI, dan NELY yg paling layak dikoleksi utk 1–3 tahun ke depan? Jawabannya bukan hanya berdasarkan PER rendah atau laba bersih sesaat. Tapi berdasarkan siapa yg sedang membangun kapal paling kuat utk menghadapi ombak besar. Dan dari semua yg kita bahas, TPMA-lah yg sedang mengarahkan haluannya ke sana.

Dengan pertumbuhan pendapatan yg sudah tembus Rp2 triliun secara TTM, margin yg tetap sehat, dan transformasi bisnis dr angkutan batubara ke integrasi logistik mineral, TPMA bukan cuma mengikuti arus, tapi menciptakan arusnya sendiri. Entah perang Iran–Israel ini memanas sampai 2026, atau mereda cepat dalam beberapa bulan, TPMA punya narasi yg tetap utuh: mereka sedang tumbuh, bukan sekadar menumpang tren. Dan itu adalah jenis perusahaan yg layak dibawa dalam portofolio jangka menengah, bahkan panjang.

Lalu apakah PSSI dan NELY harus dihindari? Tidak. PSSI cocok utk impostor yg ingin main cepat dan siap mental menghadapi volatilitas. Kalau misalnya saya punya keyakinan bahwa freight spot akan tetap tinggi dlm 1–2 tahun ke depan, PSSI bisa memberikan upside yg lebih cepat dari TPMA. Tapi saya jg harus siap kalau angkanya bisa turun secepat naiknya. Sementara NELY cocok utk impostor yg cari stabilitas, dividen, dan nggak peduli harga saham mau stagnan setahun dua tahun, asal perusahaan tetap untung. Tapi kalau saya cari pertumbuhan dan transformasi yg nyata? Maka TPMA tetap jadi pilihan paling masuk akal—setidaknya saat ini.

Disclaimer: ini bukan ajakan untuk membeli kapal atau menjual saham perkapalan.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy