$BUMI - Merancang Strategi Anti-Bias untuk Investor Ritel
Part:
#1 https://stockbit.com/post/19532951
#2 https://stockbit.com/post/19566543
#3 https://stockbit.com/post/19596111
Setelah menyusuri bias demi bias yg membentuk keputusan kita dlm investasi, kini saatnya menengok ke cermin. Karena pd akhirnya, musuh terbesar investor bukan pasar yg volatil, bukan pula kebijakan pemerintah, tapi bias dlm pikiran sendiri. Dan itu berlaku bagi siapa pun, pemula maupun profesional. Bedanya hanya pd sejauh mana kita sadar akan keberadaannya.
Tapi menyadari bukan berarti langsung terbebas. Sama seperti penyakit bawaan tubuh, bias kognitif tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Ia akan terus muncul, terutama saat tekanan tinggi, saat uang terancam, atau saat suara keramaian terlalu bising. Maka satu-satunya jalan bukan melawan, tapi mengantisipasi. Bukan menyangkal, tapi memahami.
Langkah pertama yg bisa dilakukan adalah membangun kebiasaan berpikir lambat. Dalam istilah Kahneman, ini berarti menunda keputusan sesaat, memberi ruang bagi logika utk bicara sebelum emosi mengambil alih.
Saat ingin beli saham karena ramai, berhenti sejenak. Saat ingin jual karena panik, tarik napas dulu.
Menunda bukan berarti lemah, justru itu bentuk kendali.
Langkah kedua adalah mencatat alasan tiap keputusan. Banyak investor berpikir mereka ingat kenapa dulu beli saham tertentu. Tapi memori sering menipu. Kita mengingat yg ingin kita ingat, bukan yg sebenarnya terjadi.
Dengan mencatat alasan beli, target harga, risiko yg disadari, dan kondisi pasar saat itu, kita bisa mengukur konsistensi berpikir kita dr waktu ke waktu. Jurnal investasi bukan sekadar catatan, tapi alat melawan bias remembering self.
Untuk alasan ini pula sebelum membeli suatu saham, sy pribadi selalu mengusahakan utk mencatat thesisnya dan seringkali sy post di stream.
Langkah berikutnya adalah menguji ulang keyakinan lewat pertanyaan sederhana tapi menohok. Bayangkan kalau seluruh saham yg kita pegang hari ini tiba-tiba dijual otomatis dan uangnya kembali dalam bentuk tunai ke rekening. Lalu kita diminta membeli kembali portofolio dari nol, hanya dgn pilihan yg benar-benar kita yakini hari ini.
Jika dalam skenario itu kita justru ragu membeli kembali saham yg sebelumnya kita genggam erat, itu tanda kuat bahwa kita menahannya bukan karena alasan rasional, tp karena terjebak rasa sayang, harapan kosong, atau sekadar enggan mengakui kesalahan.
Latihan semacam ini terlihat sepele, tapi sangat ampuh utk menyadarkan bahwa banyak posisi dalam portofolio kita yg kita pertahankan bukan karena layak, tapi karena sudah terlanjur.
Bagi investor ritel, langkah sederhana seperti berdiskusi dgn komunitas yg sehat jg bisa jd pelindung. Tapi perlu dicatat bahwa komunitas sehat bukan yg selalu sepakat, melainkan yg saling menguji argumen.
Lingkungan yg hanya memperkuat keyakinan kita tanpa pernah mengkritiknya justru membuat bias makin kuat. Maka pilih teman diskusi yg berani mengajak berpikir dr sudut berbeda, bukan hanya yg membenarkan semua posisi kita.
Dan terakhir, tetaplah rendah hati. Karena pasar tidak pernah memberi hadiah pd yg paling yakin, tapi pd yg paling adaptif. Tidak ada strategi sempurna, tidak ada saham abadi, dan tidak ada investor yg selalu benar.
Maka kunci bertahan bukan pd kehebatan membaca tren, tapi pd kemampuan mengenali bias diri sebelum bias itu membuat kita mengambil keputusan fatal.
Menjadi investor bukan soal menjadi sempurna. Tapi soal terus belajar dr ketidaksempurnaan diri.
Karena pada akhirnya, mengenali bias adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan.
Disclaimer: Catatan ini adalah refleksi pengetahuan penulis dan bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Segala kerugian sebagai akibat penggunaan informasi pada tulisan ini bukan menjadi tanggung jawab penulis. Do your own research.
$PBID $PTPS