$IPCC - Kenapa masih salah padahal sudah jago baca LK?

Investor sering dibayangkan sebagai sosok rasional yg rajin membaca laporan keuangan, jago mengukur valuasi, dan lebih tenang dlm mengharapi fluktuasi pasar. Tapi realita lapangan tidak sebersih itu. Di balik layar monitor dan angka-angka yg terlihat presisi, terselip satu makhluk tak kasat mata yg lebih sering mengendalikan portofolio, yaitu bias.

Banyak investor merasa telah membuat keputusan dgn logika. Padahal yg bekerja diam-diam di balik keputusan itu adalah emosi, pengalaman masa lalu, atau asumsi yg tertanam sejak awal. yg menarik, semua ini terjadi nyaris tanpa disadari.

Salah satu penyebab utamanya adalah apa yg disebut Daniel Kahneman sebagai sistem berpikir cepat. Otak manusia memang dibekali kemampuan merespons secara instan, praktis, dan hemat energi. Tapi justru di situlah celah munculnya berbagai bias kognitif.

Salah satu bias paling umum dan paling mematikan bagi investor ritel adalah anchoring. Ini terjadi saat seseorang tanpa sadar menggantungkan harapannya pd informasi pertama yg dia terima, dan menjadikannya sebagai “jangkar psikologis”.

Misalnya sj seorang investor beli saham IPO di harga seribu per lembar. Beberapa bulan kemudian harga longsor ke tujuh ratus. Tapi alih-alih mengevaluasi ulang berdasarkan fundamental atau kondisi pasar terbaru, ia tetap bersikeras bahwa harga wajarnya adalah seribu.

Harapan akan kembali ke titik modal menjadi keyakinan yg tak tergoyahkan, meski realitasnya sudah berubah total. Spreadsheet bisa bilang valuasi wajarnya hanya delapan ratus. Tapi bias sudah menanamkan jangkar terlalu dalam. Cut loss jd terasa mustahil, padahal bisa jd itulah keputusan rasional yg dibutuhkan.

Kasus nyata mungkin bisa kita lihat pada saham OJOL saat IPO. Banyak investor ritel membeli di harga 338 dan menjadikan angka itu sbg jangkar psikologis. Meski OJOL kemudian anjlok ke bawah 100, banyak yg tetap menahan dgn harapan harga akan kembali, bukan karena prospek atau valuasi, tapi karena harga awal sudah menempel di kepala. Padahal OJOL adalah saham teknologi yg waktu itu belum mencetak laba, dan valuasinya sangat spekulatif. Tapi jangkar itu terlalu kuat utk digeser, bahkan oleh data.

Dari anchoring kita beranjak ke bias kedua yg sering menjerat keputusan investor, yaitu reference dependence. Sederhananya, manusia itu cenderung menilai sesuatu tidak dr nilai absolut, melainkan dr titik acuannya masing-masing.

Dua orang bs memiliki reaksi yg sangat berbeda terhadap persentase cuan. Hal ini tergantung dr ekspektasi awal mereka. Misalnya si A membeli saham $ASGR dan berharap naik 30%, lalu ketika hanya naik 10% ia kecewa dan merasa gagal.

Sementara si B beli di harga sama tapi tidak berharap apa-apa, dan ketika naik 10% ia merasa sangat berhasil. Nilai yg sama, emosi yg berbeda. Semua tergantung dr “patokan awal” di kepala masing-masing.

Bias ketiga muncul ketika kita menyadari bahwa sensasi terhadap angka tdk selalu berjalan secara proporsional. Kahneman menyebutnya sebagai diminishing sensitivity. Ini menjelaskan kenapa seorang investor bisa merasa sangat senang cuan seratus ribu di saham second liner, tapi nyaris tdk bergeming saat untung sejuta dr saham blue chip.

Sensitivitas manusia terhadap nilai ekonomi akan terus mengecil seiring dengan membesarnya nominal. Itu sebabnya banyak investor ritel suka memburu saham gocap atau lapis tiga. Bukan karena valuasinya bagus, tapi krn potensi kenaikan 10 poin dr harga Rp50 ke Rp60 terasa lebih “greget” dibanding saham blue chip yg naik seribu. Padahal dlm konteks nominal dan risiko, nilainya belum tentu sebanding.

Lalu ada satu bias lagi yg bekerja lebih dalam dr yg kita sadari. Kahneman menyebutnya sebagai konflik antara experiencing self dan remembering self.

Dalam berinvestasi, experiencing self adalah diri kita yg sedang menjalani proses investasi hari demi hari, entah itu naik turun portofolio, baca laporan keuangan, menunggu rilis kinerja, atau mendengarkan opini pasar. Sementara remembering self adalah diri kita yg akan menilai dan menyimpulkan pengalaman itu di masa depan.

Masalahnya, remembering self seringkali menyeleksi memori berdasarkan momen paling menyakitkan atau paling menggembirakan, bukan keseluruhan prosesnya.

Inilah yg membuat banyak investor merasa punya “kenangan pahit” dengan saham tertentu, padahal jika dilihat secara objektif, performa saham itu tak seburuk yg diceritakan. Mungkin karena sempat turun dua hari saat dia pegang, dan kebetulan dia jual sebelum naik lagi. Maka ia simpulkan saham itu jelek, padahal realitanya bisa sebaliknya.

Sama halnya dengan kesan berlebihan terhadap “saham paling cuan”, hanya karena pernah naik 50% dlm seminggu, meskipun secara keseluruhan tidak konsisten. Kita lebih sering mengingat yg paling dramatis, bukan yg paling logis.

Keempat bias ini sering bekerja bersamaan. Kadang kita menyandarkan keputusan pd harga beli (anchoring), menolak fakta baru karena acuannya sudah tertanam (reference dependence), lebih menikmati cuan kecil yg cepat ketimbang potensi besar yg lambat (diminishing sensitivity), lalu menyimpulkan pengalaman berdasarkan satu-dua kejadian ekstrem (remembering self).

Kombinasi ini menciptakan perangkap psikologis yg bisa membuat investor mengalami stagnasi, panik, atau bahkan menyerah sepenuhnya dr dunia saham.

Dan semuanya bisa terjadi meskipun spreadsheet menunjukkan hal sebaliknya.

Itulah sebabnya, memahami bias bukan sekadar pelengkap teori. Ia adalah fondasi mental yg harus dikenali, dilatih, dan dikendalikan. Karena dlm berinvestasi, kesalahan terbesar seringkali bukan berasal dr angka. Tapi dr cara kita mempersepsikannya.

Disclaimer: Catatan ini adalah refleksi pengetahuan penulis dan bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Segala kerugian sebagai akibat penggunaan informasi pada tulisan ini bukan menjadi tanggung jawab penulis. Do your own research.

$XAU

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy