$BUMI - Antara Takut dan Serakah

Part:
#1 https://stockbit.com/post/19532951
#2 https://stockbit.com/post/19566543

Setelah membahas jenis bias pribadi dan bias kerumunan, kini sy akan membahas akar terdalam dr semua kekacauan dlm keputusan investasi, yaitu emosi.

Tidak peduli secerdas apa analisis seseorang, seapik apa strategi investasinya, jika tdk mampu mengelola rasa takut dan serakah, semua itu bisa runtuh dlm satu klik tombol jual atau beli.

Investasi pd dasarnya bukan cuma soal angka, tapi jg soal rasa. Di saat portofolio menghijau, rasa percaya diri melonjak. Di saat merah merona, kecemasan bisa membuat kita lumpuh. Di antara dua kutub emosi inilah, bias-bias paling halus sekaligus paling berbahaya bekerja tanpa permisi.

Bias pertama yg muncul ketika investor menghadapi situasi sulit adalah loss aversion. Secara naluriah, manusia lebih takut rugi daripada senang saat untung. Rugi seratus ribu terasa lebih menyakitkan dibandingkan nikmatnya untung seratus ribu.

Ini yg membuat banyak investor enggan cut loss, bahkan ketika logika sudah berteriak bahwa emiten tersebut tdk layak lagi dipegang. Bukan karena tdk tahu, tp karena rasa enggan mengakui kekalahan.

Contohnya bisa kita temui pd banyak investor yg masih menyimpan saham berkinerja buruk sejak 2020, berharap harga akan kembali seperti dulu. Mereka tdk peduli lg pd kondisi keuangan perusahaan, tak peduli pada arah industrinya, yg penting jgn sampai menjual di bawah harga beli.

Padahal waktu sudah berjalan bertahun-tahun dan peluang sudah berpindah ke tempat lain. Tapi menjual berarti mengakui kekalahan, dan itu terlalu pahit untuk diterima.

Bias ini juga menjelaskan kenapa saat pasar jatuh dalam, banyak investor justru diam. Bukan karena yakin, tapi karena takut. Takut menjual di harga rendah, takut salah ambil keputusan, takut rugi makin dalam.

Salah satu contoh nyata terjadi pd banyak investor ritel yg memegang saham konsumer besar sejak 2019. Dulu, saham ini dianggap tanpa cela. Bisnisnya mapan, merek kuat, produk tersedia di mana-mana. Sahamnya dielu-elukan sebagai contoh terbaik untuk holding forever. Tapi ketika kinerja mulai turun perlahan dan bisnisnya stagnan, para pemegangnya tetap bergeming.

Bahkan saat pandemi membuat valuasi banyak emiten lain jd sangat murah, dan sejumlah sektor seperti alat berat, logistik, atau bank justru menunjukkan ketahanan luar biasa, mereka tak berani pindah.

Bukan karena saham barunya tdk menjanjikan, tapi karena saham lama terlalu berat utk dilepas. Dalam hati, mereka tahu ada pilihan yg lebih logis, tapi tetap menolak mengambil langkah. Karena menjual di harga sekarang bukan sekadar soal angka, tapi soal luka. Dan itu terasa lebih pahit daripada rugi.

Padahal di saat itulah justru peluang terbuka lebar, saat valuasi banyak saham turun ke titik yg tdk terbayangkan sebelumnya. Tapi sayangnya, ketakutan sering lebih kuat dr logika. Dan peluang pun lewat begitu saja.

Dari rasa takut, kita masuk ke sisi sebaliknya, yaitu rasa aman yg semu. Ini muncul dlm bentuk mental accounting, yaitu kecenderungan untuk memisah-misahkan uang secara emosional, bukan rasional.

Investor bisa saja rutin menyetor dana ke portofolio saham tiap bulan, merasa sedang berinvestasi dgn baik. Tapi di sisi lain, ia jg masih punya cicilan berbunga tinggi yg terus membebani. Dalam kepalanya, uang saham dan uang utang itu dianggap “rekening yang berbeda”, padahal semuanya keluar dr dompet yg sama.

Di forum-forum saham, tak sedikit investor pemula yg bangga melakukan akumulasi berkala, meskipun secara keuangan pribadinya blm sehat. Ada yg tetap menyetor ratusan ribu ke akun sekuritas tiap bulan, tp belum menyelesaikan tagihan kartu kredit atau cicilan konsumtif lainnya.

Ini bukan soal niat baik atau buruk, tapi soal bias dlm menilai prioritas. Karena ketika kita memisahkan uang berdasarkan tujuan emosional, bukan efisiensi keuangan, hasilnya bisa menipu diri sendiri.

Lalu muncul bias berikutnya, yg lebih sulit dideteksi, yaitu probability weighting. Ini adalah kecenderungan utk menilai peluang tidak berdasarkan fakta, tapi berdasarkan harapan.

Misalnya, ketika melihat saham kecil yg pernah naik ratusan persen dalam waktu singkat, kita mulai membayangkan peluang yg sama bisa terulang lagi. Padahal kemungkinan itu sangat kecil, nyaris nol. Tapi karena cerita-cerita tentang “cuan gila” lebih membekas di kepala, kita mulai percaya bahwa hal langka itu bisa terjadi lagi, kali ini pd kita.

Banyak investor ritel terjebak di saham lapis tiga karena bias ini. Mereka tahu risikonya tinggi, tahu likuiditasnya rendah, tahu manajemennya mungkin tdk transparan, tapi tetap beli. Karena di kepala mereka, selalu ada kemungkinan bahwa “saham ini akan jadi the next big thing”.

Kemungkinan kecil itu dibesar-besarkan, sementara risiko yg lebih besar justru diabaikan. Ini bukan lagi soal analisis, tapi soal harapan kosong yg dibungkus keyakinan.

Dan akhirnya, semua bias ini dirangkum oleh satu kecenderungan terakhir, yaitu status quo bias. Setelah mengalami rugi, lelah mental, atau bingung arah, banyak investor akhirnya memilih diam. Tidak meninjau ulang portofolio, tidak belajar lagi, tidak keluar dari saham yg stagnan, tapi juga tidak menambah saham baru.

Mereka memilih bertahan dalam kondisi yg ada, meskipun tahu itu tidak optimal. Karena bergerak butuh energi, butuh keputusan, dan yg paling penting, butuh keberanian.

Kita bisa melihat ini pd banyak akun tidur di sekuritas, dgn portofolio yg tak berubah sejak 2021. Di dalamnya ada saham-saham yg dulunya dibeli karena ramai dibahas, lalu jatuh dan tak pernah pulih. Tapi karena tidak ingin menambah luka, investor memilih membiarkan saja.

Tidak dijual, tidak ditambah, tidak ditengok. Status quo jadi tempat berlindung, karena di situ tak perlu mengambil keputusan. Padahal justru di situlah kesalahan terus dibiarkan.

Mengelola emosi dlm investasi memang bukan hal yg mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Justru dr pengakuan atas kelemahan inilah kekuatan berpikir bisa dibangun ulang.

Investor yg matang bukanlah yg tak pernah takut, tapi yg tetap bisa berpikir jernih meskipun takut. Ia bukan yg tak pernah rugi, tapi yg tahu kapan harus mengakui kesalahan dan belajar darinya.

Karena pada akhirnya, pasar bukan tempat menguji siapa yg paling pintar. Tapi siapa yg paling bisa mengendalikan diri.

Disclaimer: Catatan ini adalah refleksi pengetahuan penulis dan bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Segala kerugian sebagai akibat penggunaan informasi pada tulisan ini bukan menjadi tanggung jawab penulis. Do your own research.

$DRMA $BRIS

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy