$BUMI - Kenapa kita suka ikut-ikutan?

Part #1 : https://stockbit.com/post/19532951

Investor itu makhluk sosial, tidak seperti AI pengolah data. Investor itu hidup di tengah percakapan, opini, dan kerumunan. Di satu sisi, interaksi sosial bisa jd sumber belajar. Tapi di sisi lain, ia jg bisa menjerumuskan kita ke dlm bias kolektif yg jauh lebih berbahaya daripada bias personal.

Karena ketika mayoritas mulai berpikir seragam, kebenaran bisa sj dikaburkan, dan kesalahan bisa terlihat masuk akal hanya karena dilakukan rame-rame.

Inilah yg dikenal sebagai herding bias, atau dalam bahasa lebih akrab: ikut-ikutan. Dalam dunia saham, bentuknya sangat beragam. Dari yg sekadar ikut beli saham karena ramai dibahas di medsos, sampai yg percaya penuh pd keputusan orang lain hanya karena reputasinya.

Masalahnya bukan cuma pd potensi kerugian, tapi pd hilangnya kendali berpikir. Investor tidak lagi mengolah informasi, tapi hanya meniru arah kerumunan. Yang lebih parah, bias ini sering dibungkus dgn pembenaran. Kita merasa tidak sedang ikut-ikutan, tapi sedang “ikut orang yg lebih paham”.

Contoh paling mencolok terjadi pd euforia saham OJOL, TUTUP, dan BRENN. Ketiganya punya narasi besar yg dijual secara masif. OJOL dan TUTUP menjanjikan revolusi digital, BRENN menjanjikan masa depan energi hijau. Tapi yg terjadi di lapangan bukan sekadar apresiasi terhadap prospek. Yang terjadi adalah kerumunan yg berlomba-lomba masuk, dgn logika “semua orang juga beli”.

Banyak investor tak paham isi prospektus, tak tahu valuasi sebenarnya, dan bahkan mungkin tdk pernah membaca kinerja keuangan, tapi tetap masuk dgn penuh keyakinan. Saat harga naik, kepercayaan makin tinggi. Saat harga turun, mereka menunggu dan menenangkan diri dgn kalimat klasik: “ini pasti naik lagi, masa semua orang salah?”

Kondisi seperti ini diperparah oleh availability heuristic. Dalam bahasa sederhana, ini adalah kecenderungan utk percaya pd informasi yg paling mudah diakses, bukan yg paling valid. Investor jd percaya bahwa saham tertentu bagus hanya karena sering dibahas, sering muncul di timeline, atau sering disebut oleh influencer.

Padahal, intensitas penyebutan tidak pernah jd ukuran kualitas. Tapi ketika kita terus melihat nama saham itu, dr pagi sampai malam, di grup WhatsApp sampai Tiktok, lama-lama kita pun ikut merasa yakin. Padahal keyakinan itu bukan hasil analisis, tapi hasil paparan berulang.

Kombinasi antara herding dan availability heuristic menciptakan dunia semu di mana saham gorengan bisa terlihat seperti saham berkualitas. Kita bisa lihat ini terjadi pada saham-saham seperti EMCOL atau ESGER, yg dalam waktu tertentu dibahas secara masif, digoreng cepat, lalu ditinggalkan dgn luka.

Ketika ramai dibahas, harga naik. Ketika keramaian bubar, harga ambruk. Dan banyak investor ritel hanya bisa gigit jari sambil bertanya-tanya: “kenapa saya ikut beli ya waktu itu?”

Tapi bias kerumunan tak berhenti sampai di situ. Ia sering diperkuat oleh confirmation bias, yaitu kecenderungan utk hanya mencari informasi yg menguatkan keyakinan kita, dan menolak semua fakta yg bertentangan.

Setelah beli saham tertentu karena ikut-ikutan, investor lalu aktif mencari pembenaran. Ia hanya membaca analisis yg mendukung, hanya mengutip berita positif, dan menolak setiap kritik dgn emosi. Kalau ada teman yg mengingatkan, ia akan bilang: “kamu nggak tahu ini saham masa depan”. Kalau ada laporan keuangan yg jelek, ia akan bilang: “ini sementara aja, semua startup jg begitu.”

Kita pernah melihat ini terjadi pada saham seperti $MPPA, yg pada 2021 sempat digerakkan oleh euforia investor ritel yg percaya bahwa saham ritel konvensional akan rebound setelah pandemi. Banyak yg hanya melihat sisi positif, mengabaikan struktur utang, mengabaikan arus kas, dan hanya fokus pd narasi pemulihan. Ketika harga mulai turun, mereka bertahan. Bukan karena prospek, tapi karena emosi. Karena sudah terlanjur percaya, sudah terlanjur merasa benar.

Kemudian di sinilah muncul bias berikutnya: overconfidence bias. Ini adalah bias yg membuat investor merasa terlalu yakin dgn kemampuannya. Setelah beberapa kali cuan dr saham yg sebenarnya spekulatif, ia mulai percaya bahwa dirinya sudah ahli. Ia merasa bisa mengalahkan pasar, merasa tidak butuh lg saran, dan mulai menyalahkan pihak lain saat portofolionya merah.

Jika untung, ia bilang: “karena analisis saya”. Tapi kalau rugi, ia bilang: “marketnya aneh”, atau “pemerintahnya bikin kebijakan ngawur”. Ini yg dalam psikologi disebut self-attribution bias, yaitu mengambil kredit saat untung, menyalahkan eksternal saat rugi.

Contoh ini bisa kita lihat dalam kasus investor ritel yg menumpuk di saham-saham konstruksi seperti $WSKT atau ADHI saat masa euforia infrastruktur. Banyak yg merasa yakin karena harga sudah jatuh jauh dari puncaknya. Mereka hitung potensi “return to mean” tanpa memperhitungkan beban utang, cash flow yg negatif, dan masalah operasional lain.

Ketika harganya tetap stagnan atau malah turun, banyak yg tetap tidak mau lepas. Sebab mereka yakin analis merekalah yg paling masuk akal. Mereka lupa bahwa harga bukan soal seberapa jauh sudah turun, tapi seberapa sehat kondisi aktualnya.

Semua bias ini (herding, availability, confirmation, dan overconfidence) membentuk ekosistem ilusi. Investor merasa sedang rasional, padahal hanya sedang dibawa arus. Dan ketika arus itu berbalik arah, mereka terjebak dlm posisi sulit. Mau jual malu, mau tahan makin dalam. Pada titik inilah banyak yg akhirnya menyerah. Tapi sayangnya, mereka menyalahkan pasar, bukan menyalahkan pola pikirnya sendiri.

Di sinilah pentingnya latihan berpikir pelan, lambat, dan mandiri. Jangan percaya hanya karena ramai. Jangan membeli hanya karena dibahas orang banyak. Dan jangan terlalu cepat merasa paling paham.

Karena pasar tidak peduli seberapa yakin kita. Ia hanya bergerak berdasarkan realitas, bukan keyakinan.

Disclaimer: Catatan ini adalah refleksi pengetahuan penulis dan bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Segala kerugian sebagai akibat penggunaan informasi pada tulisan ini bukan menjadi tanggung jawab penulis. Do your own research.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy