2,570

+10

(0.39%)

Today

132,400

Volume

402,004

Avg volume

Company Background

PT. Prodia Widyahusada Tbk (PRDA) bergerak di bidang laboratorium kesehatan dengan melakukan kegiatan usaha seperti mendirikan klinik, laboratorium kesehatan, pengelolaan rumah sakit, pusat penelitian dan pendidikan perawat dan pemeriksaan kesehatan masyarakat. Saat ini, kegiatan utama perusahaan adalah menyediakan pemeriksaan kesehatan. Perusahaan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1988. Perusahaan berdomisili di Jakarta dengan 130 kantor cabang dan outlet di seluruh Indonesia. Perusahaan ini merupakan anggota dari Grup Prodia Utama.

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Sentimen 10 April 2025

10 April 2025 adalah hari di mana dunia keuangan secara harfiah jungkir balik seperti habis dilempar dari atas jurang sambil berharap ada trampolin di bawah. Sayangnya, yang nunggu di bawah itu bukan trampolin, tapi jurang lagi. Wall Street berdarah-darah dengan S&P 500 anjlok -4,46% ke 5.213,67, Nasdaq longsor -5,26% ke 16.223,76, dan Dow Jones ikutan ngedrop -4,26% ke 38.876,93. Indeks VIX, yang biasanya tenang-tenang aja kayak satpam kompleks, sekarang naik +27,01% sehari dan sudah +148% sejak awal tahun. Artinya? Investor bukan cuma takut, tapi udah gemeteran kayak nunggu hasil PCR positif. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Anehnya, di saat Amerika panik, pasar Asia malah pesta pora. Nikkei Jepang terbang +9,13%, KOSPI Korea naik +6,60%, bahkan IDX30 Indonesia lompat +5,60%—kayak nggak sadar dunia lagi dilanda kekacauan. Padahal ETF EIDO yang mencerminkan sentimen asing ke Indonesia justru jatuh -1,61% ke USD 15,31. Ini ibarat rumah tetangga pesta nikahan padahal rumah kita kebanjiran—dan semua tamu malah milih numpang makan ke situ. Net sell asing Rp751 Miliar seolah bilang, “Kalian aja yang happy, gua sih cabut duluan.”

Eropa juga ikut euforia, dengan DAX Jerman +4,53%, FTSE Inggris +3,04%, dan Euro Stoxx 50 +4,26%. Sumber euforianya? Trump ngumumin “tariff pause” selama 90 hari. Tapi jangan senang dulu, karena sebelumnya dia juga ngumumin kenaikan tarif impor China sampai 145%. Kayak mantan toxic: pagi ngajak rujuk, sore ngajak ribut. Belum cukup, Trump juga nyerang industri farmasi, nyopot semua dewan HIV, cabut regulasi air pancuran, dan wajibkan semua imigran buka semua akun medsos. Gimana nggak stres tuh pasar?

Sementara itu, emas melonjak ke USD 3.154,40 (+3,20%) karena semua orang pengen pelukan dari benda kuning tua itu di tengah kekacauan ini. Minyak Brent jeblok -4,25% ke USD 62,70, padahal Trump bilang mau dorong batubara. Tembaga naik tipis +0,67%, kedelai +1,31%, tapi tetap nggak ada yang bisa ngalahin performa emas—satu-satunya yang dicintai semua orang di tengah badai. Mata uang juga ikut drama. Euro, Pound, Yen, semua menguat lawan dolar. Yuan? Tetap nyangkut di level terendah sejak 2007, biarpun naik +0,48%, mirip kayak orang yang bilang “aku baik-baik saja” padahal matanya sembab. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Investor global lari ke obligasi. Yield US 10Y turun ke 4,297%, Jepang 1,335%, Jerman dan UK juga turun. Ini klasik: saat saham ambruk, obligasi jadi pelampung. Tapi pelampung pun bisa bocor kalau yang megang orangnya panik. Masalahnya, inflasi AS turun ke 2,4%—pertama kalinya dalam lima tahun—tapi turunnya bukan karena barang jadi murah, tapi karena bensin dan mobil bekas jeblok. Jadi kalau kamu pikir ini sinyal positif, silakan beli mobil bekas dan isi bensin aja tiap hari buat ngerasain "deflasi".

Indonesia? IHSG rebound 4,79% ke 6.254, top gainer diisi oleh AKRA, MDKA, MAPI, bahkan saham gorengan kayak WIFI, GOTO, BREN ikut-ikutan terbang. Tapi ironisnya, asing tetap jualan. Biarpun IHSG naik, EIDO malah jatuh. Bagaikan pesta pernikahan di mana mempelai wanitanya kabur, tapi tamu masih joget-joget karena udah telanjur makan catering. Dana pensiun, BPJS, asuransi, semua masih wait and see. Tapi retail investor? Udah FOMO habis-habisan sambil teriak, “To the moon!”

Sektor farmasi globally kedinginan, saham-sahamnya turun gara-gara Trump ngancam tarif tinggi. PacBio PHK 120 karyawan, NIH dipotong anggaran, dan FDA kehilangan SDM penting. Bahkan measles di Texas tembus 505 kasus dan dua anak meninggal karena respons lambat. Di Hungaria, wabah mulut dan kuku dicurigai sebagai serangan biologis—entah hoaks, entah serius, pokoknya kayak plot film Hollywood yang kebanyakan plot twist.

Trump juga lagi hobi bikin gaduh di dalam negeri. Dari cabut green analysis untuk proyek energi, sampai copot semua anggota dewan HIV tanpa pengganti, dan bikin kebijakan wajib filter medsos buat imigran. Bahkan, perintah eksekutif baru dia termasuk menyerang dua mantan pejabat yang suka kritik—mirip gaya “gue gak suka, lo gue pecat.” Tapi anehnya, saham-saham AS rebound sebentar usai pengumuman tariff pause 90 hari, bikin kapitalisasi bursa AS naik USD 4 Triliun. Sayangnya, itu cuma jeda. Kayak napas terakhir sebelum tenggelam.

Dari sisi dalam negeri, Indonesia juga nggak kalah riuh. Sri Mulyani bilang tarif Trump bisa memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 0,5%. BPJS belum full masuk ke saham, dana pensiun BTN lesu, dan banyak multifinance lapor pembiayaan turun. Tapi nggak semua suram—LPPF bagi dividen Rp300/saham, AVIA buyback dan tebar dividen Rp1,3 Triliun, ITMG juga bagi Rp2.245/saham. HRTA ekspansi pas harga emas naik, dan RS Hermina buyback Rp3,76 Miliar. Gaya-gaya bertahan di tengah badai kayak Titanic tapi masih sempet main biola.

Secara keseluruhan, pasar global berada di antara ilusi euforia dan realita chaos. Bursa Asia dan Eropa berpesta karena jeda tarif, padahal dasarnya tetap rapuh. Amerika? Masih dalam mode ketakutan tingkat dewa. Trump? Makin sulit ditebak: satu jam bisa nego, sejam kemudian bisa deklarasi perang dagang. Sentimen global benar-benar campur aduk antara optimisme palsu dan ketakutan hakiki. Kalau kamu merasa ini semua bikin pusing, tenang aja—itu berarti kamu masih waras. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dari semua keributan tanggal 10 April 2025, ini poin-poin yang paling signifikan secara dampak ke pasar dan ekonomi — baik langsung maupun potensial:

1. Anjloknya Wall Street dan Lonjakan VIX (❌ Sangat Signifikan)

S&P 500 -4,46%, Nasdaq -5,26%, Dow -4,26%, dan VIX +27,01% (YTD +148%)

Ini bukan cuma "turun biasa", ini panic sell skala besar. Lonjakan VIX mengindikasikan ketakutan ekstrem dan bisa memicu koreksi global, terutama di emerging markets.


2. Trump Naikkan Tarif Impor China hingga 145% (❌ Signifikan & Strategis)

Ini bukan gertakan main-main. Ini trigger langsung yang bikin market ambruk.

Risiko lanjutan: perang dagang jilid dua, inflasi impor, dan potensi resesi global.


3. ETF Indonesia (EIDO) Turun -1,61% saat IHSG Naik (❌ Divergensi Serius)

Artinya: asing masih net sell, belum percaya dengan rebound lokal.

Kalau tren ini berlanjut, bisa jadi sinyal palsu buat retail yang FOMO.


4. Inflasi AS Turun ke 2,4% (✅ Positif Tapi Rapuh)

Ini angka penting karena bisa pengaruhi arah suku bunga The Fed.

Tapi turun bukan karena barang jadi murah, melainkan karena harga bensin & mobil bekas turun → bukan sinyal fundamental yang kuat.


5. Yield Obligasi Turun (✅ Flight to Safety, Dampak Nyata)

US 10Y turun ke 4,297%

Ini tanda uang besar pindah dari saham ke obligasi → konfirmasi ketakutan.


6. IHSG Rebound 4,79% Tapi Didampingi Net Sell Asing (⚠️ Signifikan Tapi Ambigu)

Secara teknikal bagus, tapi secara fundamental masih rapuh. Bisa jadi bull trap.


7. Rupiah Menguat ke Rp16.779/JSDR +0,97% (✅ Signifikan Buat Stabilitas)

Ini menenangkan sektor impor & korporasi utang USD. Tapi tetap bergantung arah dolar dan arus asing.


8. Kebijakan Trump Lainnya (❌ Multiplier Effect)

Misalnya:

Ancaman tarif farmasi → tekanan sektor kesehatan global

Tarik green energy support → potensi capital flight dari proyek ESG

Kebijakan filter medsos imigran → tegangkan hubungan internasional



9. Emas Tembus USD 3.154 (+3,20%) (✅ Safe Haven Mode Aktif)

Jadi pelarian utama saat saham, obligasi, dan mata uang bingung semua.


10. Asia dan Eropa Relief Rally (✅ Efek Jangka Pendek Positif)

Tapi fragile. Jika sentimen AS nggak pulih, rally ini bisa balik arah sewaktu-waktu.

Yang paling signifikan adalah kombinasi dari Wall Street crash, tarif Trump ke China, dan divergen EIDO-IHSG. Tiga ini menggambarkan ketidakpastian mendalam, tekanan dari luar, dan potensi koreksi lanjutan, terutama buat Indonesia yang pasar modalnya masih sangat tergantung sentimen global dan arus dana asing.

Dalam dunia investasi, strategi “selot-selot, never all in” makin terasa relevan, apalagi di tengah kondisi pasar yang gampang berubah arah. Maksud dari strategi ini simpel: jangan taruh semua uang sekaligus di satu instrumen. Masuk pelan-pelan, sambil nunggu timing yang pas, sambil pastikan setiap aset yang dipilih punya kualitas. Fokus utamanya jelas—cari dividen, bukan sekadar cuan cepat. Cari saham yang rutin bagi dividen dengan yield gede, idealnya di atas 7% per tahun, punya laba bersih konsisten, valuasi murah (PER di bawah 10, PBV di bawah 1,5), kas yang kuat, dan arus kas dari operasi yang positif. Jadi bukan cuma untung di atas kertas, tapi benar-benar ada uang masuk yang bisa dibagikan ke investor. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Tapi semua nggak harus dimulai dari saham dulu. Justru pondasi awal bisa dibentuk dari instrumen yang lebih aman dan cair. Reksadana pasar uang, misalnya, biasanya kasih return tahunan di kisaran 4–5%, cocok banget buat parkir dana darurat atau modal nunggu peluang. Kalau pengin yang lebih stabil dengan bunga tetap, ada deposito yang sekarang bunganya rata-rata 3,5–4,25%, tergantung tenor dan banknya. Nah, kalau mau yang ada cashflow bulanan dan dijamin negara, SBN ritel seperti SR atau ORI bisa kasih kupon sekitar 6,1–6,5% per tahun, dibayar tiap bulan. Modal minimalnya juga ringan, biasanya mulai dari Rp1 juta, jadi bisa mulai nyicil sambil tetap fleksibel.

Sementara itu, emas tetap jadi pilihan buat jangka panjang. Sekarang harga emas dunia sudah tembus USD 3.154 per troy ounce, dan di dalam negeri, emas Antam udah naik hampir 30% dalam setahun terakhir. Nggak kasih dividen memang, tapi buat lindungin nilai uang dari inflasi, emas masih relevan. Buat yang cari penghasilan pasif tambahan, sewa properti juga bisa dipertimbangkan. Misalnya, kalau punya properti yang bisa disewakan Rp3 juta per bulan, dalam setahun bisa dapat Rp36 juta. Kalau modal awal properti itu Rp500 juta, berarti gross yield-nya sekitar 7,2% per tahun—cukup bersaing bahkan dibanding saham dividen tinggi.

Nah, di luar pasar keuangan, arus kas aktif juga penting. Salah satunya dari usaha harian, kayak jualan makanan. Katakan saja jualan sederhana seperti bakso atau sate, bisa ngasih margin bersih harian yang lumayan kalau dikelola dengan baik. Kalau omzet per hari bisa Rp2 juta, dan margin bersih 30%, artinya ada Rp600 ribu masuk tiap hari. Dalam sebulan kerja 25 hari, itu bisa jadi Rp15 juta laba bersih per bulan. Uang segar harian ini bisa dipakai buat kebutuhan rutin, sambil sebagian ditabung atau diputar ke investasi lain. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kalau semua ini disusun rapi, hasilnya adalah portofolio yang lengkap. Ada bagian yang aman dan cair (reksadana, deposito), ada yang kasih arus kas rutin (SBN, properti, saham dividen), ada yang lindung nilai (emas), dan ada juga sumber penghasilan aktif harian (usaha kecil). Ini bukan sekadar strategi bertahan, tapi cara bertumbuh secara stabil. Dan yang paling penting, bikin tidur nyenyak tanpa harus khawatir tiap kali pasar merah.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$DVLA $PRDA $SIDO

Read more...
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Survive Part 2

Di postingan sebelumnya saya sempat bahas tentang metode survival di saham dengan modal awal 100 juta rupiah. https://stockbit.com/post/18131650

Ada yang nanya, “Strategi bangun mesin kas pasif dari reksa dana, deposito, lalu digulung ke saham dividen itu bagus sih... tapi kalau saya nggak punya 100 juta gimana? Saya gaji UMR, nabung aja susah.” Nah, ini justru poin pentingnya. Strategi itu bukan cuma buat yang udah punya duit gede di awal. Justru strategi ini lebih cocok buat yang gaji pas-pasan, mulai dari nol, tapi konsisten dan sabar. Karena intinya bukan soal seberapa besar kamu mulai, tapi seberapa lama kamu tahan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Bayangin kamu gajian Rp5 juta per bulan. Nggak usah all-in, cukup sisihin 20% aja buat investasi—itu Rp1 juta per bulan. Kelihatannya kecil, tapi ini modal bangun fondasi keuangan yang kuat banget. Duit Rp1 juta ini kita pecah jadi tiga kantong. Pertama, Rp400 ribu ke reksa dana obligasi berbasis SBN. Bisa dibeli mulai dari Rp10 ribu/unit lewat aplikasi kayak Bibit atau Bareksa. Return-nya sekitar 6,5–7% per tahun dan bebas pajak. Artinya, dari Rp400 ribu, kamu bisa dapat imbal hasil sekitar Rp26.000 per tahun.

Kantong kedua, Rp300 ribu kita masukin ke reksa dana pasar uang, yang return-nya sekitar 4,5–5% per tahun. Dari sini, kamu bisa dapat sekitar Rp13.500 per tahun. Kantong terakhir, Rp300 ribu ke deposito bunga 4,25%, yang setelah pajak jadi sekitar 3,4%, hasilnya sekitar Rp10.200 per tahun. Jadi total passive income kamu dari instrumen aman itu sekitar Rp49.700 setahun atau Rp4.100 per bulan. Memang nggak gede, tapi ingat, ini dari modal kecil dan aman—dan uang ini yang jadi mesin kamu buat mulai belanja saham dividen.

Kamu pakai duit hasil bunga itu buat beli saham harga di bawah Rp1.000 per lembar, dividend yield di atas 6,5%, utangnya kecil, dan kas-nya tebal. Banyak kok yang begitu di pasar, tinggal pakai screener. Dengan harga segitu, 1 lot cuma Rp50.000–Rp80.000. Jadi tiap bulan, bahkan dari hasil investasi aja, kamu bisa beli 1–2 lot. Tahun pertama kamu mulai dari bunga. Tahun kedua, kamu mulai terima dividen dari saham itu. Tahun ketiga, snowball-nya mulai jalan—bunga + dividen kamu gabung lagi buat beli saham. Reinvest terus. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kita bikin simulasinya biar kelihatan:

Tahun pertama kamu nabung Rp12 juta (Rp1 juta per bulan). Karena dividen dibayar akhir tahun, kamu belum dapet apa-apa di awal. Tapi masuk tahun kedua, kamu mulai dapet dividen 7% dari Rp12 juta, yaitu Rp840 ribu, yang langsung kamu belanjakan lagi. Total belanja saham kamu jadi Rp12,84 juta. Masuk tahun ketiga, kamu dapet dividen 7% dari Rp24,84 juta = Rp1,739 juta, dan kamu tambahin lagi dengan Rp12 juta nabung baru. Akumulasi jadi Rp38,58 juta. Tahun keempat, kamu dapet dividen Rp2,700 juta. Tahun kelima, kamu dapet Rp3,729 juta. Total portofolio kamu setelah lima tahun bisa tembus Rp69 juta. Dan ini tanpa modal 100 juta di awal. Cuma dari gaji UMR, disiplin nabung Rp1 juta sebulan.

Jadi, strategi ini bukan cuma bisa untuk karyawan gaji UMR—tapi justru cocok banget buat kamu yang mulai dari bawah, nggak punya privilege modal gede, tapi punya satu hal yang jauh lebih penting: konsistensi dan kesabaran. Kamu bangun mesin uang pelan-pelan, dari return kecil yang terus digulung, dari dividen yang ditanam ulang, dari modal kecil yang kamu jaga rapi. Nggak butuh drama market, nggak perlu ngejar cuan kilat. Yang penting: kamu terus bergerak, terus nabung, dan biarin snowball-nya muter sendiri.

Dan lima tahun dari sekarang? Kamu akan punya portofolio saham dividen yang rajin nyetor uang ke rekening kamu, sementara orang lain masih nungguin gaji naik.

Tapi strategi ini memang membosankan. Nggak ada greget auto reject atas, nggak ada euforia bandarmology, dan nggak bisa dipamerin di grup saham dengan caption “+30% dalam 3 hari”. Yang ada malah kamu cuma beli 1–2 lot tiap bulan, nunggu dividen setahun sekali, terus reinvest lagi. Rasanya kayak jalan di tempat. Tapi justru di situlah kekuatannya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Buat yang terbiasa lihat portofolio ijo royo-royo tiap hari, strategi ini memang nggak asyik. Apalagi kalau saham yang dibeli malah anjlok. Beli di Rp800, tahu-tahu nyentuh Rp620. Panik? Wajar. Tapi kalau kamu pegang saham dengan laba konsisten, fundamental kuat, rutin bagi dividen, justru itu momen emas. Karena saat harga saham turun, harga belinya makin murah, dan otomatis dividend yield-nya makin tinggi. Kamu beli Rp800 dapat yield 7%. Ketika harga turun ke Rp600 dan kamu beli lagi, yield kamu naik ke 9,3%—tanpa perlu tunggu dividen naik.

Itu kenapa kuncinya bukan cuma disiplin, tapi juga tenang dan rasional. Kalau kamu udah riset, tahu perusahaan tetap untung, arus kas aman, dividen tetap dibagi, maka penurunan harga bukan sinyal bahaya, tapi diskon. Saat orang panik jualan, kamu belanja. Saat mereka cut loss, kamu nyicil. Nggak seru, tapi efektif. Karena yang kamu kumpulkan bukan “harga naik”, tapi jumlah lot dan yield makin tebal.

Strategi ini emang nggak cocok buat yang haus sensasi. Tapi buat kamu yang sadar: “gue nggak butuh kaya minggu depan, yang penting gue punya sumber income yang terus tumbuh,” maka strategi ini bisa jadi fondasi yang kokoh banget. Karena di dunia investasi, kemenangan jarang datang dari satu lompatan besar. Tapi dari ribuan langkah kecil yang konsisten dan nggak menyerah walau kelihatan biasa-biasa aja. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$PRDA $RALS $BTPS

Read more...

1/2

testes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Krisis 2015 vs Krisis 2025: Survive

Tahun 2015 menandai munculnya sebuah krisis ekonomi global skala menengah yang mengguncang pasar dunia, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia, Brasil, Rusia, dan Malaysia. Namun, krisis ini tidak datang dari ledakan gelembung kredit atau kehancuran sistem keuangan seperti 2008. Krisis 2015 lebih bersifat “slow burn” — lambat tapi menggigit. Akar utamanya adalah perlambatan tajam ekonomi China, negara yang waktu itu menyumbang sekitar 30% pertumbuhan global. GDP China tahun itu turun menjadi 6,9%, terendah sejak 1990, dan hal ini menciptakan gelombang kekhawatiran terhadap permintaan global. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Puncaknya terjadi saat pemerintah China melakukan devaluasi Yuan sebesar 1,9% pada Agustus 2015, langkah mengejutkan yang memicu gejolak pasar global. Bursa saham China sendiri sudah crash lebih dulu — Shanghai Composite ambruk lebih dari 30% dalam waktu dua bulan, menyebabkan kapitalisasi pasar senilai triliunan dolar AS menguap. Ketika pasar global mulai menyadari bahwa China tidak sedang ‘melambat teratur’, tapi benar-benar mengalami penurunan ekonomi struktural, sentimen langsung berubah drastis dari optimisme ke ketakutan.

Efek dominonya terasa kuat di pasar komoditas. Harga minyak mentah Brent jatuh dari $58/barel di awal 2015 menjadi hanya $37/barel di akhir tahun, harga batu bara longsor ke bawah $53/ton, dan logam seperti tembaga dan nikel ikut rontok. Negara-negara eksportir komoditas kehilangan pendapatan besar-besaran. Indonesia, misalnya, mengalami penurunan tajam nilai ekspor, terutama dari sektor pertambangan dan perkebunan. Tak heran kalau pertumbuhan ekonomi RI tahun itu anjlok ke 4,79%, terendah sejak krisis global 2009.

Pasar saham Indonesia juga tidak ketinggalan terseret badai. IHSG yang sempat mencetak rekor 5.523 di bulan Maret, jatuh hingga ke level 4.100-an pada Agustus, turun lebih dari -20%. Rupiah pun melemah tajam hingga menembus Rp14.800/USD, memicu kekhawatiran stabilitas moneter. Cadangan devisa Indonesia turun sekitar $6 miliar karena intervensi BI di pasar valas. Investor asing melakukan net sell besar-besaran dari bursa saham dan obligasi.

Fast forward ke 2025, dan dunia mengalami guncangan lagi — tapi kali ini datang dari arah yang berbeda. Bukan karena perlambatan China atau krisis bank besar, tapi dari serangan kebijakan dagang unilateral oleh Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Pada akhir Maret 2025, Trump mengumumkan “Liberation Day”, yakni paket tarif agresif terhadap seluruh mitra dagangnya. Tarif sebesar 32% dikenakan terhadap barang-barang dari Indonesia, 34% untuk China, dan 20% untuk Uni Eropa. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Pasar keuangan global langsung merespons negatif. Dow Jones Industrial Average anjlok 1.600 poin dalam sehari pada 3 April 2025, diikuti penurunan S&P 500 sebesar lebih dari 6%. Di Indonesia, IHSG langsung jatuh lebih dari -7% dalam satu hari, dan Bursa Efek Indonesia sempat menghentikan perdagangan (trading halt) pada 18 Maret dan lagi pada 8 April. Nilai tukar Rupiah melemah ke Rp16.970/USD, rekor terburuk dalam sejarah modern Indonesia. Sementara itu, investor asing ramai-ramai menarik dananya, menyebabkan net foreign sell besar-besaran.

Pasar komoditas juga terguncang, tapi kali ini bukan karena permintaan melemah, melainkan karena ketakutan akan resesi global akibat perang dagang. Harga minyak Brent kembali jatuh ke kisaran $60/barel, sementara harga logam dasar seperti tembaga turun hampir 10% hanya dalam beberapa hari setelah pengumuman tarif. Uniknya, harga emas justru melonjak ke di atas $3.000 per ons, karena investor panik beralih ke aset safe haven.

Secara garis besar, 2015 dan 2025 punya kesamaan dalam dampaknya — keduanya membuat nilai tukar Rupiah terpuruk, membuat IHSG jatuh, dan memperlemah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi penyebabnya sangat berbeda. 2015 adalah krisis permintaan global, terutama karena China melambat dan harga komoditas rontok. Sedangkan 2025 adalah krisis akibat kebijakan global yang agresif dan tidak rasional, khususnya dari sisi perdagangan internasional. Kalau 2015 digambarkan sebagai penyakit metabolik yang muncul perlahan dan progresif, maka 2025 lebih mirip serangan jantung mendadak karena kebijakan sembrono.

Bedanya lagi, di 2015 dunia masih cenderung bekerja sama (G20 aktif, China responsif, AS hati-hati soal suku bunga), sedangkan di 2025 kecenderungan tiap negara adalah proteksionisme dan nasionalisme ekonomi. Dunia 2025 jauh lebih tidak terkoordinasi dibandingkan 2015. Dan itu membuat penyembuhannya bisa lebih rumit. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Singkatnya, kedua tahun itu bukan kembar, tapi saudara tiri yang sama-sama menyebalkan. Satu karena ekonomi melambat, satu lagi karena kebijakan bikin kacau. Beda penyebab, tapi sama-sama bikin pasar panik dan bikin emerging market ngos-ngosan.

Sebagai investor ritel di Indonesia, biar bisa tetap waras dan selamat di tengah krisis kayak tahun 2015 dan 2025, yang realistis itu bukan ngejar return bombastis, tapi survive dulu sambil siapin posisi buat loncat waktu badai reda. Gampangnya, jangan jadi orang yang sok jagoan waktu pasar naik, tapi kehabisan peluru waktu pasar ambruk.

Pertama, selalu siapkan cadangan kas. Nggak usah ikut aliran full saham demi “return maksimal” — percuma kalau pas krisis datang malah panik atau kehabisan amunisi. Minimal pegang 20–30% dari portofolio dalam bentuk kas, deposito, atau SBN ritel. Di 2015, IHSG turun 25%, di 2025 sempat anjlok lebih dari 7% dalam sehari. Kalau kamu punya cash, justru bisa belanja waktu semua orang jualan. Yang punya cash di saat krisis, ibarat punya ember di tengah kebakaran diskon.

Kedua, jangan all-in di sektor yang hype. Di 2015, banyak yang nyangkut di batu bara dan CPO. Di 2025, banyak yang kejebak saham ekspor yang kena tarif AS. Diversifikasi itu bukan cuma teori — itu alat bertahan. Punya campuran sektor konsumer, telko, utilitas, bahkan sedikit healthcare bisa bantu portofolio kamu tetap bernapas saat sektor siklikal dihantam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ketiga, pantau makro, bukan cuma teknikal dan laporan keuangan. Banyak investor ritel sibuk cari support-resistance, tapi nggak tahu The Fed baru naikkin bunga atau Trump baru bikin tarif dagang. Padahal nilai tukar rupiah, suku bunga global, inflasi, dan harga komoditas punya dampak langsung ke portofolio. Tahun 2025, gara-gara tarif AS dan geopolitik, Rupiah tembus Rp16.970/USD dan pasar saham langsung rontok. Jadi jangan tutup mata soal berita besar — minimal tahu arah angin ekonomi global.

Keempat, hindari utang buat beli saham. Waktu pasar naik, margin dan paylater saham itu kelihatan manis. Tapi pas pasar jatuh, margin call itu kejam. Banyak ritel kehabisan peluru bukan karena salah pilih saham, tapi karena ditendang sistem sebelum sempat recovery. Mending sabar, beli bertahap, dan pakai dana dingin.

Kelima, jangan takut cut loss kalau memang harus. Bertahan bukan berarti harus tahan semua saham sampai kiamat. Kadang, langkah paling bijak justru lepas beban dan alihkan ke saham yang lebih tahan banting. Lebih baik rugi 20% di saham lemah, daripada rugi 70% dan nyangkut 3 tahun.

Dan terakhir, yang sering dilupain: tetap belajar dan upgrade wawasan investasi. Investor yang bisa bertahan itu bukan yang paling pintar waktu market tenang, tapi yang paling siap waktu market kacau. Krisis itu siklus, bukan kejutan. Yang siap, bisa beli murah. Yang panik, cuma jadi exit liquidity buat yang cerdas.

Intinya, survive dulu, baru bicara untung. Karena di dunia saham, yang bisa bertahan lama biasanya justru yang nggak terlalu serakah, tapi tahu kapan nahan, kapan belanja, dan kapan minggir.

Buat investor ritel di Indonesia, apalagi yang nggak punya privilege gaji tinggi atau akses dana jumbo, strategi paling realistis untuk bertahan di tengah krisis kayak 2015 dan 2025 bukanlah jadi trader harian yang sibuk mantengin candle, tapi justru bangun portofolio dari instrumen aman yang nyetor uang sendiri tiap bulan. Simpelnya: kamu biarin uang kerja buat kamu, lalu kamu pakai hasilnya buat nyicil beli saham dividen yang harganya masih ramah kantong tapi kualitasnya oke — di bawah Rp1.000 per lembar, dividend yield di atas 6,5%, utangnya minimal, dan kasnya tebal. Bukan strategi keren buat dipamerin, tapi strategi ini bisa jadi fondasi keuangan yang kokoh banget.

Kita mulai dari mesin kasnya dulu. Misalnya kamu punya portofolio total Rp100 juta. Kamu bagi jadi tiga: Rp40 juta masuk ke SBN ritel dengan kupon tetap 6,5%, hasilnya sekitar Rp2,6 juta per tahun atau Rp217 ribu per bulan. Lalu Rp30 juta kamu parkir di reksa dana pasar uang (RDPU) yang return-nya stabil di kisaran 4,5% per tahun, artinya ada tambahan Rp112 ribu-an per bulan. Sisanya Rp30 juta kamu masukin ke deposito bunga maksimal LPS 4,25% (netto-nya sekitar 3,4%), dan hasilnya kurang lebih Rp85 ribuan per bulan. Kalau ditotal, kamu punya passive income rutin sekitar Rp414 ribu per bulan — nggak gede, tapi ini murni hasil dari portofolio low risk yang tetap setor uang meski IHSG ambruk, rupiah rontok, atau global market panik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Nah, duit inilah yang kamu pakai buat belanja saham dividen satu per satu. Dengan harga saham under Rp1.000, artinya 1 lot kurang dari Rp100.000. Jadi tiap bulan kamu bisa beli 4–5 lot saham yang punya dividend yield di atas 6,5%, utang minim, dan kas perusahaan tebal. Ini bukan saham hype yang naik karena rumor, tapi saham yang kasih kamu income pasif tiap tahun lewat dividen. Pelan-pelan, kamu bangun portofolio dividen yang nggak cuma tahan banting, tapi juga bisa balik nyetor uang ke kamu. Tahun pertama kamu beli dari hasil bunga, tahun kedua kamu beli dari bunga plus dividen, tahun ketiga kamu udah bisa reinvest lebih besar — snowball-nya jalan.

Praktiknya gampang. Kupon SBN masuk otomatis ke rekening. Hasil RDPU bisa kamu cairkan T+1 dari aplikasi Bibit atau Bareksa. Bunga deposito? Tinggal ambil tiap jatuh tempo, cuma pakai bunganya aja, pokoknya digulung terus. Lalu tinggal setor ke RDN, beli saham yang kamu incar. Kamu nggak perlu ngutak-atik market tiap hari, nggak perlu ngandelin gaji bulanan, dan yang pasti: kamu tetap bisa nambah aset meskipun kondisi ekonomi lagi nggak bersahabat. Strategi ini memang nggak glamor, tapi realistis, doable, dan bikin kamu tetap bertahan bahkan saat orang lain panik jualan.

Tapi strategi ini kelihatannya emang membosankan banget — nggak ada drama candlestick, nggak ada thrill ngejar auto reject atas, nggak ada pameran gain 30% dalam seminggu. Tapi justru itu kekuatannya. Membosankan = disiplin = tahan lama. Sementara yang seru-seruan biasanya juga cepat gosong.

Strategi kayak ini tuh cocok buat yang sadar: “gue nggak mau kaya mendadak, tapi gue juga nggak mau kerja selamanya.” Dia kerja pelan-pelan, belanja saham dari hasil bunga, nambah lot tiap bulan, dan bangun portofolio yang makin lama makin produktif. Sementara orang lain masih bolak-balik beli jual saham gorengan, dia udah tinggal tunggu dividen cair tiap tahun. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lagian, membosankan itu bukan berarti nggak menghasilkan. Kapan lagi kamu bisa bangun portofolio dividen cuma dari hasil bunga, tanpa keluarin uang baru? Kayak nanem pohon—awalnya cuma nyiram tiap hari, kelihatan nggak ngapa-ngapain, tapi tau-tau lima tahun lagi udah panen buah tiap musim. Kalau boring kayak gitu sih, mendingan, kan?

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$RALS $PRDA $BTPS

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

@nabilla1992 konsultasi ke $MIKA, $PRDA atau $HEAL

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Pasang Bid ARB 15% Di Saham Fundamental Bagus dan Dividend Yield di Atas 6,5%

Berhubung ARB hari ini cuma 15%. Jadi pasang selot selot aja di saham incaran. Yang fundamental bagus, valuasi murah, utang mini, kas gede, dividend gede. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini untuk membantu investor yang panik yang pengen Exit. Beli barang mereka di ARB. Siapa tahu mereka butuh duit kan, kita bantuin mereka dengan pasang bid ARB 15%.

Mungkin ada yang lagi BU, mau bayar utang dll. Bantulah mereka yang pengen Exit dengan bid di ARB selot selot.

Never all in.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BTPS $RALS $PRDA

Read more...

1/2

testes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Ekspektasi Market Selalu Mendahului Realitas

Market selalu bergerak duluan bukan karena tahu masa depan, tapi karena dibangun atas dasar ekspektasi kolektif—dan ini dijelaskan sangat jelas dalam behavioral economics maupun teori pasar efisien. Dalam kondisi normal, pasar mencerminkan harga berdasarkan informasi yang tersedia. Tapi dalam kondisi krisis atau ancaman krisis, seperti Trade War Jilid 2, pasar bereaksi lebih sebagai makhluk emosional ketimbang makhluk rasional. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Menurut Robert Shiller (pemenang Nobel Ekonomi 2013), pasar itu dipengaruhi oleh narrative economics artinya, cerita atau narasi punya pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku investor. Begitu muncul narasi “Trump kenakan tarif ke 144 negara”, maka pasar tidak menunggu hasil ekspor turun atau pabrik tutup. Pasar langsung diskon efek buruk yang mungkin terjadi, karena mereka tahu waktu adalah musuh. Ketika terlalu lambat, potensi kerugian bisa berlipat ganda. Makanya, reaksi pasar itu lebih cepat dari reaksi ekonomi riil.

Hal ini juga selaras dengan teori harapan adaptif dan expectations hypothesis dalam dunia keuangan. Investor akan menyesuaikan keputusan hari ini berdasarkan apa yang mereka pikir akan terjadi nanti, bukan apa yang terjadi sekarang. Dan dalam behavioral finance, ini disebut sebagai anticipatory behavior—reaksi terhadap sesuatu yang belum kejadian tapi diyakini sangat mungkin terjadi.

Ambil contoh Trade War Jilid 1 di 2018. Tarif diberlakukan awal Juli 2018. Tapi S&P 500, Hang Seng, bahkan IHSG sudah drop signifikan di kuartal kedua dan ketiga 2018, bahkan ketika data ekonomi saat itu masih kelihatan bagus

Kenapa? Karena pasar memproyeksikan produksi terganggu, rantai pasok rusak, dan margin korporasi akan jatuh

Prospect Theory oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky menjelaskan bahwa manusia (termasuk investor) cenderung lebih takut rugi daripada senang saat untung. Dalam situasi penuh ketidakpastian, investor memilih untuk "lari duluan", menjual aset berisiko, dan pindah ke safe haven seperti dolar, emas, atau obligasi negara maju. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Makanya dalam kasus Trade War Jilid 2 yang diumumkan 2 April 2025, pasar langsung turun drastis sebelum tarif berlaku 9 April. Investor global, terutama institusi besar, langsung menjual aset-aset negara berkembang seperti saham Asia, kripto, dan obligasi high-yield, karena mereka tahu dari pengalaman sebelumnya: harga akan jatuh duluan, ekonomi menyusul belakangan.

Dan ini juga dikuatkan oleh Efficient Market Hypothesis (EMH) dari Eugene Fama—yang menyebutkan bahwa semua informasi, termasuk ekspektasi masa depan, sudah tercermin di harga saat ini. Tapi realitas pasar sering kali lebih sesuai dengan teori pasar adaptif milik Shiller: bahwa pasar tidak sepenuhnya efisien, melainkan adaptif terhadap perubahan narasi dan ketakutan kolektif. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi saat semua media dan analis mulai ramai dengan narasi "Trade War Jilid 2 lebih parah dari Jilid 1", pasar pun bereaksi secara otomatis dan refleksif. Ini mirip dengan respons fight or flight pada manusia: bukan soal akurat atau tidak, tapi soal bertahan hidup.

Jadi market bergerak duluan karena investor menghindari kerugian yang belum terjadi (loss aversion). Mereka bertindak berdasarkan narasi dan ekspektasi, bukan data real-time. Ada ketakutan kolektif dan memori akan krisis sebelumnya (Trade War 2018, Covid 2020). Institusi besar dan bandar ingin “keluar duluan” sebelum likuiditas hilang. Oleh karena itu harga saat ini mencerminkan ketakutan masa depan, bukan keadaan real hari ini. Kalau lihat data real GDP Q1 2025 dan LK emiten Q1 2025 yang baru akan rilis akhir April ini, mungkin semuanya masih kelihatan baik - baik saja saja karena di Q1 2025 belum ada trade war.

Dan inilah alasan kenapa, meskipun barang belum kena tarif, IHSG bisa rontok, Hang Seng longsor, dan Bitcoin amblas—karena investor global tidak dibayar untuk menunggu realita, mereka dibayar untuk menghindari risiko sebelum terlambat.

Di tengah turbulensi pasar yang dipicu Trade War Jilid 2, investor ritel sering merasa seperti penumpang kelas ekonomi di pesawat yang turbulensi berat—gak bisa kontrol arah, gak tahu kapan mendarat, tapi masih bisa pakai sabuk pengaman dan jaga diri sendiri. Kita nggak bisa atur tarif dagang, nilai tukar, atau aksi pelaku pasar besar yang tiba-tiba ngejual triliunan. Tapi yang bisa kita kontrol itu sederhana: strategi, emosi, dan disiplin. Menghindari risiko bukan berarti kita minggat dari pasar, tapi tahu kapan harus bertahan, kapan harus nyicil, dan kapan harus minggir dulu sambil ngopi dan lihat situasi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Langkah pertama yang paling rasional adalah jangan pernah masuk pasar dengan mental serba langsung. Jangan all-in, jangan FOMO, dan jangan nekat beli sekaligus. Pasar sedang tidak rasional, jadi logika biasa belum tentu jalan. Strategi terbaik adalah beli pelan-pelan pakai sistem average down bertahap. Misalnya, kamu masuk setiap harga saham turun 15% dari harga sebelumnya, atau tiap valuasinya turun 0,1 PBV. Sisakan juga cadangan kas yang cukup, minimal 30–50% dari total dana di rekening efek atau deposito. Supaya kalau pasar makin longsor, kamu masih bisa nafas dan punya peluru buat nambah posisi dengan tenang.

Lalu pilih saham yang kuat bukan cuma di atas kertas, tapi juga tangguh di dunia nyata. Karakteristiknya sederhana: kas lebih besar dari utang, valuasi murah (PBV di bawah 1 dan PER di bawah 10), dividend yield stabil di atas 6,5%, dan arus kas operasional positif. Bisnisnya juga sebaiknya berbasis domestik dan gak terlalu tergantung ekspor atau mata uang asing, terutama dolar. Karena di masa krisis global, perusahaan dengan ketergantungan tinggi ke luar negeri bakal duluan goyah.

Selain itu, jangan semua dana kamu tanam di saham. Diversifikasi ke dunia nyata dan aset lain itu wajib hukumnya. Sisihkan sebagian di mata uang asing seperti USD atau SGD, atau logam mulia seperti emas. Dan jangan remehkan pemasukan dari kerja, usaha, atau jualan. Income di luar pasar bisa jadi penyelamat saat portofolio kamu merah semua. Dengan begitu, kamu masih bisa nyicil beli saham sehat tanpa harus jual rugi.

Satu hal penting yang sering dilupakan adalah jangan pernah pakai margin, jangan ngutang buat beli saham. Ini bukan masa untuk main api. Kalau kamu beli saham pakai margin dan harga turun 30%, kamu bukan cuma nyangkut, tapi juga bisa dipaksa jual rugi lewat margin call. Di sisi lain, yang pegang cash keras masih bisa beli diskonan dengan tenang.

Jangan lupa juga buat rutin baca arah arus dana dan indikator global. Perhatikan kurs dolar, aliran dana asing, indeks ketakutan pasar seperti VIX, dan harga komoditas. Jangan cuma lihat IHSG, karena IHSG itu akibat, bukan sebab. Kalau asing terus jualan dan dolar tembus Rp17.000, itu sinyal risiko masih tinggi. Jangan buru-buru optimis dan mikir bakal rebound besok. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Bangun portofolio juga harus pakai logika jangka panjang. Bukan beli saham kayak beli gorengan. Bangun pelan-pelan, misalnya target kamu punya Rp50 juta di saham defensif, cicil aja sedikit-sedikit. Pakai sistem “selot”—masuk 1–5 juta setiap kali ada penurunan level. Jadi rekening dana nasabah kamu nggak habis di awal, dan kamu tetap bisa konsisten beli di harga diskon.

Dan terakhir, siapkan mental nyangkut dan sabar. Rebound bisa cepat seperti waktu Covid, cuma 6 bulan. Tapi bisa juga molor seperti krisis global 2008 yang butuh 6 tahun, bahkan kayak Nikkei yang nyangkut 30 tahun. Tapi selama kamu pegang perusahaan yang sehat, cashflow pribadi aman, dan negara ini belum bubar, maka peluang untuk rebound itu selalu ada. Ingat, di pasar saham bukan yang paling cepat cuan yang menang, tapi yang paling bisa bertahan saat badai datang.

Sebagai investor ritel, kita memang kecil dibanding dana asing atau institusi, tapi kita punya kelebihan—kita fleksibel dan nggak ada tekanan performance bulanan. Kita bisa nunggu, bisa sabar, bisa beli nyicil, dan nggak harus jual saat market panik. Yang penting jangan serakah, jangan panik, dan tetap rasional di saat semua orang mabuk emosi. Karena di akhir krisis, yang akan tetap berdiri adalah mereka yang tahu cara bertahan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$DVLA $PRDA $GOTO

Read more...

1/6

testestestestestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Strategi Selot Selot Menghadapi Trade War

Diskusi hari ini di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Banyak user Stockbit yang mikir mau beli emas dan beli Dollar untuk Hedging. Kalau Bahlil dengar ini, mungkin dia akan bilang, saya meragukan nasionalisme kalian. Apakah kita memang butuh nasionalisme dalam kondisi seperti ini? Entahlah. Saya yang tidak punya dollar mungkin bilang butuh. Tapi konglomerat yang punya banyak aset dan pernah jadi korban persekusi krisis tahun 1998, mungkin berpikiran lain. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Trade war jilid dua resmi diumumkan pada 2 April 2025 oleh Trump, dan meskipun tarifnya baru berlaku efektif 9 April nanti, pasar global langsung bereaksi brutal. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Pasar modal selalu mendahului peristiwa nyata karena dia bergerak pakai ekspektasi, bukan laporan bulanan. Jadi wajar kalau KOSPI dan NIKKEI langsung tumbang, Won Korea ambruk karena negara itu super tergantung ekspor ke AS dan China, dan korporasinya banyak yang punya utang dolar. Sementara itu, Yen malah naik—karena statusnya sebagai safe haven bersama Swiss Franc dan USD.

Bitcoin longsor, VIX melonjak, dan capital outflow dari emerging market sudah terasa. Di sisi lain, rupiah nyaris tembus 17.200 saat bursa Indonesia libur. Ini jadi sinyal keras bahwa pasar lokal itu tidak kebal. Justru tutupnya bursa bikin kepanikan makin parah karena investor nggak bisa exit. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Fenomena ini mirip awal 2020 waktu Covid-19 baru muncul. Banyak yang bilang "tenang aja, belum masuk Indo," tapi pasar saham udah ambrol duluan. Sama persis sekarang. Walaupun efek real dari tarif baru—kayak turunnya ekspor, kelangkaan barang, atau naiknya inflasi impor—belum muncul, market udah diskon semuanya. Jadi kalau ada yang bilang “belum terasa kok,” bisa jadi belum sadar kalau pasar itu makhluk psikologis, bukan akuntan.

Di tengah kekacauan seperti ini, wajar kalau banyak orang mulai nyari pelabuhan yang aman: emas, dolar, atau saham-saham defensif. Nah, salah satu contoh saham yang cocok buat kondisi sekarang adalah $PRDA. Dengan harga Rp2.590, PBV 0,98 dan PER 8,99, valuasinya udah murah. Dividend yield 6,41% juga menarik banget di tengah kondisi suku bunga tinggi. Revenue-nya memang cuma naik 1,34%, tapi laba bersih tetap tumbuh 3,97% jadi Rp270 miliar di 2024. Tapi sayangnya anak salah satu PSP PRDA lagi kena kasus. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Yang bikin PRDA makin menarik adalah cadangan kas Rp442 miliar lebih besar dari total liabilitas Rp355 miliar. Utang berbunga cuma Rp72 miliar (kecil banget). CFO Rp477 miliar dan FCF Rp260 miliar, alias uang masuk dari operasional besar dan sehat. Revenue Rp2,25 triliun, full dari layanan laboratorium yang bersifat lokal. Mereka punya pabrik reagen sendiri, jadi relatif aman dari ancaman impor atau hambatan supply chain

Jadi secara profil, PRDA termasuk saham yang ideal buat kondisi krisis seperti cadangan kas kuat, utang kecil, operasional stabil, valuasi murah, dividen lumayan. Dan karena mayoritas bisnisnya lokal, eksposur ke trade war sangat kecil.

Tapi jangan langsung mikir all in full margin gadai rumah tetangga untuk beli PRDA karena kita tidak tahu dimana bottom nya. Bisa saja malah anjlok ke gocap atau 1 rupiah kalau market memang lagi panic full. Kalau tetap pengin masuk pasar tapi hati-hati, bisa pakai strategi average down taktis selot-selot. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

🔥Misalnya pakai Strategi Average Down berbasis penurunan harga.

Contoh entry awal di Rp2.590, beli Rp10 juta

Nambah lagi tiap harga turun 15% dari harga entry sebelumnya

Contoh entry berikut: 2.201 → 1.871 → 1.590 → 1.352

🔥Atau pakai strategi Average Down berbasis PBV

Contoh entry awal saat PBV 0,98 (Rp2.590)

Nambah tiap PBV turun 0,1 poin

Contoh entry berikut: PBV 0,88 (Rp2.325), 0,78 (Rp2.061), 0,68 (Rp1.797), dst.

Tujuannya supaya peluru nggak habis di depan, dan kamu punya amunisi saat market makin panik. Saham bagus tetap bisa dihantam panic selling, jadi lebih bijak beli bertahap saat semua orang buang barang.

Intinya, kalau tsunami udah keliatan di ujung pantai, yang waras bukan nunggu airnya nyentuh kaki, tapi langsung naik ke bukit. Dan buat investor retail, naik ke bukit itu artinya pegang cash, mata uang asing, emas, atau saham yang bener-bener sehat kayak PRDA.

Ini PRDA hanya contoh ya, bukan ajakan beli. Kalian bisa pakai metode yang sama di $BBRI $ADRO ITMG atau BSSR. Kalau memang ada potensi diskon ya jangan all in di pucuk.

Strategi seperti ini hanya bisa jalan kalau pakai duit dingin dan ada real cashflow sumber penghasilan lain. Dan di sinilah logika waras bertemu realita. Average down itu bukan cuma soal grafik dan angka, tapi juga tentang sumber dana. Nggak harus dari gaji kantor, bisa dari jualan bakso, sate, buku, kopi sachet, atau dagangan apapun yang penting halal dan konsisten. Karena selama saham yang dibeli punya fundamental kuat dan kemungkinan bangkrut kecil, maka waktu yang akan mengembalikan nilainya.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Toh, kalau market rebound karena ternyata efek real trade war nggak separah dugaan, kita tinggal panen. Tapi kalau ternyata skenario terburuk kejadian, ekspor makin jeblok, inflasi impor naik, Rupiah makin lemah, ya setidaknya kita masih punya cash, masih ada pemasukan dari dunia nyata, dan masih bisa cicil beli saham sehat selot-selot.

Sambil nunggu dividen cair, sambil jualan, sambil tetap hidup. Dan selama saham yang dipilih nggak punya eksposur besar ke Amerika atau ketergantungan berat ke dollar, harusnya tetap aman. PRDA misalnya jualan layanan lab ke warga lokal, nggak jualan darah ke Washington. Impor alat lab memang ada, tapi mereka udah bisa produksi sendiri. Jadi ketika Presiden bilang "rakyat desa nggak main saham", itu betul. Tapi jangan lupa, rakyat desa juga makan tahu tempe. Dan tahu tempe butuh kedelai dari Amerika. Jadi kalau dolar naik, semua orang kena getahnya, bukan cuma investor, tapi juga warung nasi di kampung.

Karena itu strategi survive di tengah trade war ini bukan cuma soal beli saham murah. Tapi juga soal jaga arus kas, cari sumber income dari dunia nyata, dan taruh uang hanya di tempat yang bisa dilindungi oleh logika, bukan oleh harapan kosong. Jangan sampai terpaksa cutloss setelah minus lebih dari 50% karena kena margin call dan tebus gadai rumah tetangga. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dan itulah intinya, waras di tengah kekacauan. Ketika trade war menyerang, logika harus tetap jalan. Jangan takabur, jangan jumawa, apalagi menyerang investor lain dan tetangga. Tetap rendah hati, tetap terbuka pada skenario terburuk, dan tetap pasang sabuk pengaman mental. Karena yang bikin Indonesia tetap kuat selama ini bukan karena kita kebal gejolak global, tapi karena masih banyak orang baik yang kerja diam-diam, jujur, berbagi, dan peduli sesama.

Jangan sampai populasi orang jahat dan serakah lebih banyak dari orang yang punya nurani. Karena kalau itu terjadi, bukan cuma IHSG yang longsor, tapi juga moral bangsa. Nyangkut di saham itu nggak apa-apa, yang penting kita tetap hidup damai, bisa makan, dan lingkungan kita nggak berubah jadi lahan kriminalitas. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Selama belum ada huru-hara, selama anak-anak masih bisa sekolah, main tanpa racun algoritma medsos yang merusak moral bangsa, dan keluarga masih bisa kumpul tiap malam, maka rebound itu cuma soal waktu. Negara kita punya sejarah panjang melewati badai seperti krisis 1998, tsunami 2004, pandemi 2020, dan kita selalu bangkit. Syaratnya cuma pemerintah harus amanah, dan rakyatnya jangan saling injak.

Dan kalau pun worst-case kejadian, ya seperti Jepang, nyangkut dari 1989, pulih baru 2022. Panjang dan lama, tapi bisa bangkit. Tapi kalau kita beruntung, dan pemimpinnya tanggap, rakyatnya tahan banting seperti saat Covid-19, ya mungkin 6–12 bulan pasar bisa balik lagi. Jadi sekarang bukan waktunya panik, tapi waktunya siaga dengan empati. Siaga mental, siaga cash, dan siaga berbuat baik. Karena kadang yang bikin kita kuat bukan portofolio, tapi relasi yang sehat, komunitas yang waras, dan pikiran yang tenang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/8

testestestestestestestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Jika Uang Muka 100 Milyar $PRIM Dibelikan SBN

PRIM seolah sedang menyembunyikan lubang besar di tengah laporan keuangannya, dan lubang itu bernama uang muka pembelian tanah Rp100 miliar. Sudah 4 tahun—sejak Desember 2020 hingga Desember 2024—uang ini duduk manis dalam neraca sebagai “aset tidak lancar lainnya”, tanpa ada perkembangan berarti. Tanah yang dibeli seluas 79.057 m² di Desa Sampali, Deli Serdang, dibayar ke individu bernama Djurpian, dengan harga total Rp130 miliar. Yang sudah dibayar Rp100 miliar, sisanya Rp30 miliar masih menunggu akta jual beli (AJB) yang gak jelas kapan akan dilakukan. Aneh? Iya. Karena selama 4 tahun, uang Rp100 miliar itu gak gerak sedikit pun. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Nilainya juga bikin alis terangkat: Rp1,64 juta/m², jelas di atas harga pasar wilayah suburban seperti Sampali, yang biasanya berkisar Rp500–900 ribu/m². Sampai 2024, tanah itu gak juga dikapitalisasi jadi aset tetap, gak menghasilkan revenue, dan gak digunakan untuk operasional. Gak muncul juga dalam rencana pengembangan rumah sakit atau properti. Bahkan gak ada info status legal seperti SHM, IMB, atau fisik pembangunan di atasnya. Alias, uang besar yang “menghilang secara legal” di laporan keuangan.

Sekarang kita bandingkan. PRIM punya kas cuma Rp20,7 miliar, utang usaha ke vendor melonjak ke Rp94,3 miliar, dan total arus kas operasional 2024 hanya Rp47 miliar. Jadi sebenarnya mereka tercekik likuiditas. Tapi anehnya, mereka biarkan uang Rp100 miliar nganggur, tanpa menghasilkan apa-apa. Padahal, kalau uang itu dipakai beli SBN kupon 6%, PRIM bisa dapat Rp5,4 miliar bersih per tahun. Dalam 4 tahun? Total Rp21,6 miliar. Cukup untuk menutup 30% kerugian usaha, atau bahkan memperkuat kas setara 1/4 total posisi cash sekarang. Tapi itu tidak dilakukan.

Lebih parah lagi, saat PRIM justru rugi operasional Rp20,3 miliar, rugi bersih Rp18,42 miliar, dan gross margin turun jadi 24,8%, mereka malah naikkan gaji direksi dan komisaris 46%, sementara tunjangan pascakerja naik hampir 5x lipat. Lalu dari sisi piutang, mereka masih menahan Rp83,35 miliar, dengan lebih dari Rp44,77 miliar sudah lewat 120 hari. Ini dominan dari BPJS dan Kemenkes, dan cadangan kerugiannya? Cuma Rp1,93 miliar. Jadi kamu bisa lihat bagaimana PRIM duduk di atas tumpukan piutang macet, vendor yang belum dibayar, kas tipis, dan proyek ekspansi yang belum menghasilkan apa-apa.

Dan kembali ke uang muka itu—yang kini jelas bukan sekadar kesalahan administratif, tapi jadi indikator kelemahan pengelolaan dana, potensi ketidakjelasan penggunaan kas, dan bahkan bisa memunculkan kecurigaan soal rekayasa struktur aset untuk mempertahankan neraca terlihat “sehat”. Bukan menuduh, tapi sangat masuk akal untuk waspada. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

PRIM punya semua alasan untuk dihargai murah oleh pasar. PBV 0,2x bukan cerminan undervalued, tapi cerminan kepercayaan pasar yang sudah luntur karena ada uang besar yang seharusnya menghasilkan, tapi justru jadi beban diam. Investor bukan cuma ingin tahu PRIM akan bangkit atau tidak, tapi juga berhak tahu: ke mana sebenarnya perginya Rp100 miliar itu? Dan kenapa sampai sekarang belum juga kembali jadi sesuatu yang nyata?

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$SIDO $PRDA

Read more...

1/2

testes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Kena marah guru 😭😭😭🥲🥲

$PRDA $ULTJ $AALI siap serok!!

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Krisis Adalah Anugerah Buat yang Cash Rich

Lanjutan dari postingan sebelumnya tentang saham yang rich cash di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Dalam sejarah pasar finansial dunia, krisis selalu menyimpan dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, krisis membawa kepanikan, harga saham jatuh bebas, utang perusahaan menumpuk, dan likuiditas mengering. Namun di sisi lain, krisis justru menghadirkan peluang emas bagi perusahaan-perusahaan dengan posisi kas kuat untuk mengakuisisi kompetitornya yang tengah tertekan, sering kali dengan harga yang jauh di bawah nilai wajarnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Mari mundur sejenak ke tahun 2008. Dunia finansial runtuh akibat skandal subprime mortgage yang dimulai dari Amerika Serikat. Pada saat itu, Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar di Wall Street, mengalami kebangkrutan spektakuler. Di tengah situasi kacau tersebut, JP Morgan memanfaatkan kekuatan finansialnya untuk membeli Bear Stearns—kompetitornya yang kolaps—dengan harga yang hampir tidak masuk akal: hanya USD 2 per saham, padahal saham Bear Stearns sebelumnya pernah berada di kisaran USD 170 per lembar. Warren Buffett, sang maestro investasi, juga menggunakan momen serupa dengan menyuntikkan dana segar sebesar USD 5 miliar ke Goldman Sachs melalui preferred shares, sambil menerima kupon tahunan sebesar 10% plus hak beli saham di harga diskon. Buffett pada akhirnya meraih keuntungan miliaran dolar dari keputusan tersebut.

Kisah-kisah ini bukan satu-satunya. Saat pandemi melanda pada 2020, banyak startup global mengalami kesulitan keuangan akut. Valuasi mereka merosot tajam karena investor menjadi ekstra hati-hati. Pada titik inilah perusahaan-perusahaan raksasa yang memiliki cadangan kas besar, seperti Meta (dulu Facebook), Google, dan Amazon, datang memborong perusahaan kecil yang menjanjikan namun terlilit kesulitan pendanaan. Meta membeli Giphy, Amazon mengakuisisi Whole Foods ketika retail konvensional sedang mengalami tekanan, dan Apple mengambil alih Beats. Mereka semua memiliki satu kesamaan: kas melimpah yang siap digunakan saat pasar sedang berdarah-darah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sekarang, pertanyaannya adalah bagaimana dengan potensi serupa di Indonesia?

Saat ini, Indonesia tengah menghadapi situasi ekonomi global yang bergejolak akibat kebijakan tarif baru dari pemerintahan Trump, yang mengenakan tarif total 42% untuk produk ekspor Indonesia ke AS. Kondisi ini tentu sangat menekan berbagai sektor seperti tekstil, produk kimia, minyak kelapa sawit (CPO), hingga elektronik. Tekanan ini akan berimbas pada cash flow perusahaan, margin keuntungan, dan kemampuan mereka membayar utang.

Namun, menariknya, di tengah situasi ini, Indonesia punya kelompok elite perusahaan dengan kondisi likuiditas luar biasa kuat. Mereka memiliki kas lebih besar dibandingkan total liabilitasnya, yang artinya mereka mampu melunasi semua utangnya hari ini juga dan masih menyisakan dana untuk ekspansi atau akuisisi.

Lihat saja contohnya Indo Tambangraya Megah (ITMG) duduk dengan kas Rp16 triliun, sedangkan liabilitasnya hanya Rp7,64 triliun—ini berarti surplus kas sebesar Rp8,36 triliun. Adaro Energy (ADRO) mengantongi Rp22,72 triliun kas dengan liabilitas Rp21,51 triliun. London Sumatra (LSIP) mencatatkan kas Rp5,45 triliun dengan liabilitas hanya Rp1,29 triliun, meninggalkan surplus Rp4,17 triliun. Mereka ini ibarat sultan-sultan kas yang siap untuk bergerak cepat jika ada kompetitor yang kolaps.

Sejarah telah membuktikan bahwa perusahaan di Indonesia yang memiliki kas kuat juga punya catatan sukses dalam mengambil langkah strategis ketika krisis. Adaro pada 2018 memanfaatkan momentum rendahnya harga komoditas untuk mengakuisisi tambang batu bara Kestrel dari Rio Tinto di Australia senilai USD 2,25 miliar. Mitra Keluarga (MIKA) di tengah pandemi COVID-19 tahun 2020 mengakuisisi Rumah Sakit Panti Abdi Dharma yang sedang kesulitan finansial akibat beban operasional yang melonjak. Sido Muncul ($SIDO) bahkan ekspansi pabrik ketika pesaing lain lebih memilih menunda belanja modal akibat pandemi. Telkom Indonesia, lewat anak usahanya MDI Ventures, juga agresif masuk ke berbagai startup digital seperti Gojek dan Halodoc saat valuasi sedang mahal sampai akhirnya nyangkut dan bisa pakai Kaos Pintar Nyangkut untuk Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jika situasi global ini terus menekan harga komoditas dan perdagangan internasional, maka perusahaan-perusahaan Indonesia yang memiliki surplus kas seperti ITMG, $ADRO, LSIP, MBAP, UNIC, MIKA, $PRDA, OMED, bahkan perusahaan properti seperti MKPI dan RDTX, berpotensi menjadi predator strategis di pasar domestik. Mereka bisa dengan mudah mengambil alih kompetitor atau aset produktif dengan harga jauh di bawah normal.

Di saat perusahaan lain terjebak dengan utang yang berat dan krisis likuiditas, perusahaan dengan kas berlebih ini memiliki kemewahan waktu dan pilihan. Mereka bisa menunggu, mengamati situasi, dan begitu ada peluang, langsung mengambil alih pasar. Sejarah selalu mencatat: yang bertahan dalam krisis bukanlah perusahaan paling inovatif, tetapi yang paling likuid. Dan dalam konteks ini, perusahaan Indonesia yang memiliki cadangan kas besar sudah sangat siap untuk mereplikasi kisah sukses seperti yang dilakukan Buffett atau JP Morgan saat krisis global 2008.

Pada akhirnya, krisis bukan sekadar ancaman tetapi sebuah momentum besar yang hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang siap secara finansial. Dan di dunia kapitalisme yang brutal ini, kas bukan sekadar raja; ia adalah kekuatan utama yang menentukan siapa yang tumbang dan siapa yang keluar sebagai pemenang setelah badai berlalu. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Saham Rich Cash

Donald Trump mengguncang dunia lewat perang tarif edisi terbaru. Kali ini, tak tanggung-tanggung: semua negara dikasih tarif dasar 10%, dan Indonesia, sebagai “favorit” baru, disapa dengan 32% tarif resiprokal. Total? 42% tarif ekspor ke AS. Dan kalau kamu pikir ini hanya ancaman kecil, silakan coba ekspor CPO, tekstil, atau elektronik hari ini dan tunggu invoice bea masuk dari pabean Uncle Sam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Akibatnya? Dunia mulai tersedak. Investor kalang kabut, produsen menjerit, dan pemerintah mulai menyusun kalimat manis semacam “kita sudah siapkan strategi jangka panjang” sambil diam-diam mengetuk meja World Bank. Tapi, di tengah gejolak ini, ada sekelompok emiten yang tampak... adem. Mereka bukan cuma bertahan, tapi duduk manis di atas tumpukan uang tunai. Ya, mereka adalah 25 saham dengan kas lebih besar dari total liabilitas—istilah kasarnya, perusahaan yang bisa bayar semua utangnya sekarang juga dan masih punya sisa buat ekspansi, dividen, bahkan beli kompetitor yang megap-megap.

$ITMG duduk di atas kas Rp16 Triliun dan utang Rp7,64 Triliun. Surplus? Rp8,36 Triliun.

$ADRO punya Rp22,72 Triliun kas dan utang Rp21,51 Triliun. Tipis? Ya, tapi tetap surplus.

LSIP bahkan lebih elegan: kas Rp5,45 Triliun dengan utang mini Rp1,29 Triliun—selisih Rp4,17 Triliun, cukup untuk beli satu pabrik baru plus renovasi kantor. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Tak berhenti di situ. Ada MBAP, UNIC, OMED, MSTI, SMSM, MIKA, $PRDA, dan puluhan lainnya yang juga punya kas ratusan miliar hingga triliunan, dengan liabilitas yang begitu kecil sampai bisa bikin iri auditor pajak.

Sekilas, mereka tampak tak terkalahkan. Perang tarif? Who cares. Tapi tentu, kita tidak hidup di dunia utopis. Pertanyaan penting berikutnya adalah: apakah semua emiten sultan kas ini benar-benar aman? Jawabannya, tidak selalu.

Mari kita klasifikasikan. Yang benar-benar aman dan bahkan bisa tumbuh di tengah kehancuran adalah mereka yang bermain di sektor tambang, kesehatan, properti, dan logistik domestik.

ITMG, ADRO, MBAP misalnya. Mayoritas ekspor ke India, China, dan Asia Tenggara. Perang dagang AS gak relevan bagi mereka. Justru mereka bisa manfaatin chaos global untuk ekspansi, beli aset diskonan, atau menegosiasikan kontrak lebih menguntungkan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

OMED, MIKA, PRDA yang bergerak di sektor kesehatan justru bisa makin subur, karena kebutuhan medis tidak mengenal resesi. Apalagi setelah pandemi, dunia tahu: jangan main-main sama rumah sakit dan farmasi.

MKPI dan RDTX, si pemain properti komersial, juga tak terdampak langsung. Harga lahan mungkin stagnan, tapi dengan kas mereka, mereka bisa akuisisi area baru, atau bahkan masuk ke kawasan industri yang akan booming setelah relokasi pabrik dari Tiongkok. Tapi sayangnya, tidak semua berada di taman bunga. Ada juga yang secara kas sehat, tapi secara sektor, berdiri di tengah ladang ranjau.

UNIC, produsen kimia, bisa kena efek bahan baku impor dari China atau ekspor produk ke AS yang makin mahal.

SMSM, si jagoan suku cadang otomotif, bisa kehilangan pasar ekspor dan margin karena bahan impor naik harga.

LSIP, pemain CPO, langsung masuk dalam daftar produk ekspor yang kena tarif Trump. Harga jual bisa turun, volume permintaan bisa anjlok, dan margin bisa menipis. Sialnya lagi, mereka adalah eksportir berat—dan ya, 42% bea masuk itu bukan angka yang bisa kamu senyumin begitu saja. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lalu muncul pertanyaan lanjutan dari meja rapat:
“Gimana kalau permintaan global ambruk dan harga komoditas jatuh bebas?” Bayangkan skenario, harga batu bara turun dari $150 ke $80. Harga CPO turun ke RM2.500. Harga logam, minyak, gas, dan karet ikutan rontok. Permintaan dari China dan India turun karena perang dagang bikin ekonomi mereka ngos-ngosan. Dan kita belum bicara resesi Eropa atau stagflasi AS.

Dalam skenario itu, bahkan perusahaan paling sehat pun akan goyah. Pendapatan menurun, margin tipis, laba berkurang drastis.
Tapi di situlah letak keistimewaan para sultan kas ini. Mereka tidak terpaksa menjual aset, tidak tergantung pinjaman bank, dan tidak khawatir gagal bayar utang. Mereka bisa duduk dulu, evaluasi situasi, dan pilih strategi Potong capex atau Tunda ekspansi atau Efisiensi operasional atau Akuisisi kompetitor atau Hedging harga Atau... beli kembali saham mereka sendiri waktu valuasi murah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sementara perusahaan lain udah mulai meeting darurat tiga kali seminggu, para sultan kas masih sempat jalan pagi, ngopi sore, dan kalau perlu, pura-pura stres biar investor tenang.

Kuncinya satu, mereka kas sehingga punya waktu. Dan waktu adalah kemewahan langka dalam krisis.

Kalau dunia ambruk karena perang tarif dan harga komoditas ikut runtuh, semua pasti terdampak. Tapi sultan kas adalah satu-satunya spesies yang tetap punya pilihan. Mereka bukan cuma bertahan. Mereka bisa mengambil alih. Bisa jadi predator di tengah darah dan reruntuhan. Mereka bukan cuma survive—mereka bisa pulang dari krisis ini dengan aset lebih banyak dan posisi lebih kuat.

Karena dalam dunia kapitalisme brutal ini, kas bukan sekadar raja.

Kas adalah dewa.
Dan para penyembah kas inilah yang akan menulis ulang peta pasar setelah krisis usai. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Ada yang analisa mendalam tapi sahamnya tetep turun karena emang $IHSG pengen turun aja.

Terus kenapa kita harus panik?. Kita itu sebetulnya trading atau investasi sih?.

Yah klo trading, konsisten dong sama aturan main yg kita buat. TP di unrealized profit di berapa persen, TS di unrealized loss di berapa persen. Simple kan.

Yah klo kita masuk untuk investasi, apalah arti pergerakan naik turunya bursa tiap hari. Stay calm, nikmatin perjalananya tiap kwartalan. Selama raport kwatalanya apik dan tidak ada perubahan fundamental, ya buat apa di pusingin naik dan turunya saham.

Tidak melihat apps trading tiap hari itu menyenangkan loh, coba deh.

Banyakin baca news aja tiap hari.

Tag : $PRDA $PTPS

Read more...
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$IRRA masuk ke bisnis baru, layanan cuci darah. $PRDA masuk ke bisnis rumah sakit

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA $IRRA saham nyungsep kok dibeli momen ya dah habis , nunggu copit jilid 2, tahun 2030

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA Ada yang tau cumdate untuk ikut rupsnya kapan?
Hospital tag: $HEAL $MIKA

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$DVLA semoga bisa sampai ke 1250, mengingat DPR nya kelewat tinggi . kalau $PRDA kisaran 60-80%

$PRDA in Bastian case, we trust

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

CARA PINTAR MEMILIH SAHAM - part 112


PERUSAHAAN DENGAN ASET TERSEMBUNYI (ASSET PLAYS)



Salah satu kriteria saham menurut peter lynch adalah asset plays, asset plays adalah suatu perusahaan yang memiliki sesuatu yang berharga yang kita ketahui dari analisa kita tetapi seringkali diabaikan oleh market


Aset tersembunyi bisa ditemukan di banyak tempat seperti cash yang besar (rich cash company), properti perusahaan yang sangat bernilai, cadangan tanah, persediaan tambang, cadangan minyak yang dimiliki, data nasabah dalam perbankan, hak paten dalam industri software, hak paten dalam perusahaan obat2an, dan lain sebagainya


Kesempatan perusahaan jenis asset plays ini ada dimana mana, tentu saja rekan2 investor perlu melakukan analisa lebih mendalam, tetapi jika sudah menemukan harta karun ini yang harus rekan2 lakukan adalah menunggu dengan sabar sampai pasar menyadari dan mengapresiasi harganya, selamat mencari perusahaan dengan aset tersembunyi ini.


Selamat bertransformasi menjadi smart investor

Salam cuan



F N
random tags
$BUMI $PANI $PRDA

Read more...
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Murah mana antara $DVLA dan $PRDA ?
$IHSG

https://cutt.ly/OrobW5Kb

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

"Sabar itu ilmu tingkat tinggi.
Belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat,
ujiannya sering mendadak,
sekolahnya seumur hidup."

$NISP
$GWSA
$PRDA

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PRDA semoga semakin jaya... jaya.. jaya... 🤩

2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy