$DVLA LK Q2 2025: Sengketa Pajak Ribet
Lanjutan dari postingan sebelumnya tentang saham di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PT Darya-Varia Laboratoria Tbk atau DVLA adalah salah satu perusahaan farmasi yang sudah lama malang melintang di industri kesehatan Indonesia sejak berdiri tahun 1976. Kantor pusatnya ada di Jakarta, sedangkan pabriknya ada di Bogor. Meski sudah IPO sejak 1994 dan sempat beberapa kali rights issue serta stocksplit, struktur modalnya kini tergolong bersih. Dari total modal dasar 4,48 miliar lembar saham, yang beredar baru 1,12 miliar lembar. Perusahaan ini juga sempat mengakuisisi penuh PT Prafa di tahun 2014, sehingga tidak perlu terbitkan saham baru karena memang sudah 100% dimiliki. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
DVLA beroperasi cukup lengkap dari hulu ke hilir. Mereka bukan cuma bikin obat resep dan produk kesehatan seperti suplemen, tapi juga punya lini bisnis jasa maklon dan ekspor. Bahkan mereka punya hubungan bisnis cukup kuat dengan raksasa global seperti Procter & Gamble, Pierre Fabre, sampai Concord Pharmaceuticals. Produk Vicks yang terkenal itu, misalnya, diproduksi oleh mereka. Tapi yang paling menarik justru ada di sisi distribusi. Sekitar 75% penjualan mereka datang dari satu distributor saja yaitu PT Anugerah Pharmindo Lestari. Ini angka yang besar banget, dan artinya perusahaan sangat bergantung pada satu pintu penjualan. Meski si distributor ini anak perusahaan grup besar multinasional, tetap saja ini adalah titik rawan.
Kalau bicara angka, pendapatan semester I 2025 tercatat Rp1,086 triliun, turun tipis 0,1% dibanding tahun lalu. Tapi COGS-nya justru turun 5,47%, bikin laba kotor naik 4,85% ke Rp592 miliar. Artinya mereka berhasil tekan biaya produksi. Laba usaha juga naik 4,05% ke Rp161 miliar. Tapi karena ada rugi selisih kurs Rp4,9 miliar dan pajak naik 14,63%, laba bersihnya cuma tumbuh 1,74% ke Rp121 miliar. Margin bersih stabil di 11,18%, dan ini masih sangat sehat. EPS juga naik tipis dari Rp107 ke Rp108 per lembar.
Yang patut diacungi jempol justru performa arus kasnya. Kas operasi mereka melonjak hampir dua kali lipat, dari Rp80 miliar jadi Rp154 miliar. Penerimaan dari pelanggan naik signifikan ke Rp1,059 triliun. Dengan belanja capex Rp48 miliar, mereka masih punya free cash flow Rp106 miliar. Ini angka yang bagus banget buat perusahaan manufaktur farmasi.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Dari sisi neraca, aset total naik 10,94% jadi Rp2,39 triliun, didorong aset lancar yang tumbuh 14,83%. Kas naik 31%, piutang naik 5%, dan persediaan naik 15%. Di sisi liabilitas, utang jangka pendek naik tajam 30% karena ada utang dividen Rp75 miliar. Total liabilitas naik 27% jadi Rp905 miliar, sedangkan ekuitas hanya tumbuh 3% ke Rp1,49 triliun. Rasio utang terhadap ekuitas naik dari 0,49x jadi 0,61x, tapi ini masih tergolong sehat.
Rasio lancar memang turun dari 2,69x jadi 2,37x, tapi tetap menunjukkan likuiditas solid. Modal kerja neto juga naik ke Rp1 triliun. Artinya meski utang jangka pendek naik, kas dan aset lancar mereka lebih dari cukup buat nutupin. Dividen yang diumumkan tahun ini Rp75 miliar, naik dari Rp72 miliar tahun lalu. Dengan free cash flow yang besar, dividen ini sangat aman.
Risiko utama DVLA ada di dua sisi. Pertama, risiko mata uang asing. Mereka enggak pakai lindung nilai alias hedging, padahal mereka punya eksposur besar ke dolar dan euro. Di semester I 2025, mereka rugi selisih kurs Rp4,9 miliar. Simulasi manajemen menunjukkan kalau dolar naik 10%, laba sebelum pajak naik Rp5,4 miliar. Tapi kalau euro naik 10%, laba justru turun Rp1,2 miliar. Kedua, sengketa pajak. DVLA lagi banding atas tagihan pajak senilai Rp92 miliar. Kalau kalah, dampaknya bisa menggerus kas mereka.
Lalu ada juga ketergantungan cukup tinggi ke pihak berelasi. Misalnya, biaya jasa manajemen ke induk usaha Blue Sphere Singapore sebesar Rp21,5 miliar, yang setara hampir 20% dari beban administrasi. Lalu ada royalti ke United Life Sciences sebesar Rp15,9 miliar, 5% dari beban pemasaran. Hubungan maklon dua arah dengan PT Medifarma juga lumayan besar. Ini semua transaksi legal, tapi nilainya cukup signifikan.
DVLA punya operasi yang efisien, marjin yang sehat, arus kas yang kuat, dan struktur modal yang stabil. Tapi mereka punya dua PR besar yaitu ketergantungan ke satu pelanggan dan risiko kurs. Kalau dua hal ini bisa dikelola, mereka punya peluang tumbuh stabil dan konsisten bagi investor. Namun kalau hubungan dengan distributor utama terganggu atau kurs berfluktuasi parah, itu bisa jadi batu sandungan. Sisanya, kinerja keuangannya solid dan layak dapat perhatian investor yang cari sektor farmasi dengan kas kuat dan margin tebal.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Valuasi saham DVLA saat ini, kalau dilihat dari berbagai sudut metrik, sebenarnya cukup menarik buat investor yang cari saham undervalued tapi tetap sehat. Dengan harga Rp1.670 dan EPS tahunan Rp216, PER-nya cuma 7,73x. Itu tergolong murah untuk sektor farmasi yang biasanya stabil dan punya margin tinggi. Tapi kalau kita lihat pertumbuhan laba yang cuma 1,74%, PEG-nya jadi tinggi di 4,44x, yang artinya valuasi rendah itu sebenarnya belum disertai growth yang signifikan.
PBV-nya ada di 1,25x, masih wajar dan belum terlalu premium. Kalau dihitung berdasarkan nilai buku berwujud alias tangible, nilainya jadi 1,29x. Bahkan kalau kita pakai nilai wajar properti dan aset tetap, NAV per saham sekitar Rp1.588, yang artinya harga sekarang Rp1.670 hanya sedikit premium. Dari sisi kas, DVLA terlihat sangat efisien. P/CFO cuma 6,05x, dan P/FCF cuma 8,80x. Artinya perusahaan ini kuat di arus kas, walaupun growth laba biasa saja.
EV/EBITDA 5,83x dan EV/EBIT 7,14x menunjukkan valuasi enterprise yang juga masih masuk akal. Bahkan EV/CFO dan EV/FCF masing-masing hanya 7,46x dan 10,85x, makin memperkuat bahwa perusahaan ini menghasilkan cukup banyak kas dibanding valuasinya. Dividend yield di 6,59% juga menarik, payout ratio 50,93% artinya separuh laba dibagikan ke investor. Jadi meski nggak agresif tumbuh, perusahaan ini tetap bagi hasil dengan konsisten.
Kalau mau ke valuasi ideal PBV 1,5x dan PER 15x, harga saham harus naik ke sekitar Rp2.000 untuk PBV dan Rp3.240 untuk PER. Biar bisa sampai situ, perusahaan harus naikin growth-nya. Caranya bisa dengan perbaikan strategi produk, masuk segmen baru, ekspansi pasar, sampai eksploitasi lini jasa konsultasi yang baru masuk AD/ART. Selain itu, mengurangi ketergantungan ke satu distributor dan mulai lindungi diri dari risiko kurs juga bisa bantu naikkan margin dan laba bersih. Kalau hal-hal ini dilakukan, investor bisa lihat prospek lebih cerah, valuasi bisa naik, dan target ideal pun bukan mimpi lagi.
Tapi kalau dibiarkan stagnan, harga sahamnya bisa stuck. Investor growth nggak tertarik, dan dividen saja belum tentu cukup jaga daya tarik. Apalagi kalau kurs makin volatile atau distributor utamanya bermasalah, risikonya bisa langsung kena ke pendapatan. Jadi bola sekarang di tangan manajemen. Kalau bisa unlock value yang selama ini tertahan, potensi ke valuasi ideal sangat terbuka. Kalau tidak, DVLA akan terus jadi saham stabil dan murah, tapi kurang seksi buat pasar yang lapar pertumbuhan.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Kalau DVLA pada akhirnya kalah dalam sengketa pajak yang sedang berlangsung, dampaknya akan langsung terasa di laporan keuangan, baik di sisi liabilitas maupun laba rugi. Sesuai kebijakan akuntansi yang mereka terapkan, seluruh kekurangan pembayaran pajak termasuk bunga dan sanksi akan diakui sebagai bagian dari beban pajak kini dan dicatat sebagai liabilitas di neraca.
Dalam kasus sengketa pajak tahun fiskal 2019, perusahaan awalnya menerima surat ketetapan pajak dengan total tagihan Rp118 miliar. Setelah mengajukan keberatan, sebagian ditolak dan sebagian dikoreksi, sehingga jumlahnya turun menjadi Rp92 miliar. Jumlah ini sekarang masih dalam proses banding ke Pengadilan Pajak. Kalau banding ini ditolak dan keputusan berkekuatan hukum tetap, maka DVLA harus mencatat seluruh Rp92 miliar sebagai utang pajak yang pasti dibayar. Ini akan menambah liabilitas di neraca, kemungkinan dicatat di akun “utang pajak” atau “liabilitas pajak lainnya”.
Dampaknya ke laba juga tidak main-main. Rp92 miliar itu akan dibukukan sebagai beban pajak di laporan laba rugi, tepatnya di pos “beban pajak penghasilan”. Artinya, laba bersih periode saat putusan final keluar akan tergerus sebesar itu. Kalau misalnya laba tahunan perusahaan di kisaran Rp240 miliar seperti proyeksi 2025, maka Rp92 miliar akan memangkas hampir 40% dari laba tersebut. Ini jelas akan berdampak negatif terhadap EPS, rasio profitabilitas, dan mungkin juga persepsi investor terhadap risiko fiskal perusahaan.
Manajemen memang menyatakan bahwa mereka membuat estimasi dan pertimbangan atas ketidakpastian pajak dan mengakui liabilitas hanya jika kemungkinan besar pajak tambahan akan dibayar. Tapi dalam praktiknya, sengketa seperti ini bisa berakhir dengan putusan di luar prediksi, dan kalau kalah, laporan keuangan harus segera disesuaikan. Oleh karena itu, sengketa ini bukan sekadar catatan tambahan, tapi bisa menjadi sumber perubahan besar dalam performa keuangan perusahaan jika hasilnya tidak memihak.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
DVLA memiliki kebijakan akuntansi umum untuk mengakui liabilitas atas ketidakpastian pajak berdasarkan estimasi apakah pajak tambahan akan dibayarkan. Jadi secara prinsip, mereka bisa mencatat provisi jika yakin akan ada kewajiban tambahan. Namun untuk kasus sengketa pajak tahun fiskal 2019 senilai Rp92 miliar yang masih dalam proses banding ke Pengadilan Pajak, tidak ada bukti eksplisit dalam laporan bahwa perusahaan sudah mencatat provisi khusus untuk nominal tersebut.
Yang tertulis di laporan posisi keuangan hanya estimasi utang pajak penghasilan tahun berjalan sebesar Rp17,5 miliar per 30 Juni 2025 dan Rp19,4 miliar per 31 Desember 2024. Ini adalah angka yang biasanya mencerminkan pajak tahun berjalan, bukan liabilitas potensial dari sengketa lama. Dengan kata lain, tidak ada penjelasan atau rincian yang menunjukkan bahwa Rp92 miliar dari hasil koreksi fiskal tersebut sudah dicatat sebagai provisi atau kewajiban kontinjensi di neraca. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Fakta bahwa perusahaan masih berencana mengajukan banding ke Pengadilan Pajak juga memperkuat kesimpulan bahwa mereka belum mencatat kewajiban itu secara penuh. Biasanya selama proses keberatan atau banding masih berjalan dan hasil akhirnya belum pasti, perusahaan memang belum wajib mengakui secara penuh jumlah tersebut sebagai liabilitas, selama mereka menilai peluang kalahnya tidak signifikan. Namun jika kalah di pengadilan, barulah perusahaan harus mengakui seluruh jumlah tersebut sebagai beban pajak dan liabilitas dalam periode laporan keuangan saat putusan keluar.
Singkatnya walaupun kebijakan pengakuan ketidakpastian pajak sudah ada, belum ada bukti bahwa perusahaan sudah membentuk provisi spesifik untuk sengketa pajak Rp92 miliar ini. Maka risiko ke depan tetap ada dan jika putusan banding tidak berpihak pada perusahaan, dampaknya akan langsung menghantam laba dan neraca.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Kalau kamu beli saham PT Darya-Varia Laboratoria Tbk atau DVLA sejak IPO tahun 1994 lalu disimpan sampai hari ini, hasilnya lumayan bikin senyum lebar. Saat IPO pada 12 Oktober 1994, harga saham DVLA dipatok di Rp6.200 per lembar dengan nilai nominal Rp1.000. Tapi setelah itu, perusahaan melakukan dua kali stocksplit. Pertama dari Rp1.000 ke Rp500 di tahun 1995, lalu dari Rp500 ke Rp250 di tahun 2010. Selain itu, mereka juga dua kali melakukan rights issue yaitu pada tahun 1996 dan 1998. Semua aksi korporasi ini membuat jumlah saham yang beredar jadi jauh lebih banyak.
Kalau dihitung total, sekarang jumlah saham yang beredar sudah 112 kali lipat dibanding saat IPO. Jadi kalau dulu kamu punya 1 lot, sekarang nilainya setara dengan 112 lot. Karena ada stocksplit dan rights issue, kita sesuaikan juga harga IPO-nya. Dari Rp6.200 tadi, kalau dibagi 112, maka harga adjusted IPO-nya jadi sekitar Rp55,36 per saham.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Sementara itu, harga DVLA sekarang ada di sekitar Rp1.670. Artinya dalam 31 tahun terakhir, harga saham ini naik dari Rp55,36 ke Rp1.670. Itu setara dengan kenaikan 2.916,9% secara total. Tapi untuk tahu pertumbuhan rata-rata tahunannya, kita bisa pakai rumus CAGR atau Compound Annual Growth Rate. Dari hitungan sederhana, CAGR DVLA sejak 1994 sampai 2025 ada di kisaran 14% per tahun. Dan itu baru dari kenaikan harga saja, belum masuk hitungan dividen yang rutin dibagikan tiap tahun.
Sebagai contoh, di tahun buku 2024 DVLA membagikan dividen Rp110 per saham. Kalau dibandingkan harga sekarang, yield-nya sekitar 6,59%. Artinya perusahaan ini bukan cuma kasih capital gain yang stabil, tapi juga rutin kasih dividen yang lumayan besar. Kombinasi antara capital gain 14% dan dividen 5 sampai 7% per tahun jelas bikin DVLA menarik buat investor jangka panjang.https://stockbit.com/post/13223345
DVLA memang bukan tipe saham yang bikin heboh naik ratusan persen dalam semalam. Tapi dia juga bukan saham yang bikin jantung deg-degan. Ibaratnya seperti nanam pohon di halaman rumah, tumbuhnya pelan tapi akarnya kuat. Buat investor yang sabar dan mau tahan lama, DVLA kasih cuan yang nyata dan bisa diandalkan.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$MDLA $PRDA
1/6