#9 : Laporan Posisi Keuangan (Neraca) -> Aset -> Aset Tetap
Aset tetap (fixed assets) adalah aset 'berwujud' yang digunakan untuk menunjang operasional sehari-hari perusahaan, bernilai cukup besar, serta memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun (tahan lama).
Karena bisa dipakai lebih dari satu tahun, maka Aset Tetap ini diklasifikasikan sebagai Aset Tidak Lancar di Neraca.
Walaupun namanya Aset Tetap, tapi bukan berarti hanya terbatas pada aset yang 'diam menetap' di lokasi perusahaan ya.
Ada aset tetap tidak bergerak / non moveable (misal tanah, bangunan, mesin pabrik, dll).
Tapi ada juga aset tetap yang bergerak / moveable (misal kendaraan, peralatan kantor yang bisa dipindah seperti laptop, dll)
........................................
Selanjutnya, untuk pembelian barang bernilai kecil, walaupun tahan lama, biasanya perusahaan akan langsung mencatatnya sebagai beban di laporan laba rugi, tidak dimasukkan ke Aset Tetap.
Perusahaan menetapkan minimal nominal tertentu supaya suatu benda dapat dicatat sebagai Aset Tetap, misal Rp 1 juta, di bawah itu akan langsung dicatat jadi beban saja.
Kemudian, Aset Tetap ini memang dipakai untuk operasional sehari-hari.
Jika suatu aset tidak digunakan untuk keperluan terkait bisnis utama perusahaan, misalnya untuk investasi (beli sekarang untuk disimpan dan dijual nanti di harga yang lebih tinggi), atau untuk disewakan, maka akan dicatat sebagai "Properti Investasi", bukan ke Aset Tetap.
.................................
Dalam pencatatan Aset Tetap juga dikenal istilah 'harga perolehan'. Artinya, Aset Tetap bukan dicatat sebesar harga belinya saja.
Tapi semua biaya yang dikeluarkan perusahaan misal ongkos kirim, jasa konstruksi, jasa instalasi, aksesoris, bea impor, pajak, dll hingga aset tetap itu siap dipakai, akan ditambahkan sebagai harga perolehan.
Ini tidak termasuk biaya perbaikan dan pemeliharaan ketika aset tetap sudah dipakai (ini langsung dicatat sebagai beban setiap periodenya).
Namun kalau biaya tersebut menambah masa manfaat (umur pakai) aset tetap melebihi perkiraan awal, maka bisa ditambahkan ke harga perolehan aset tetap.
..................................
Lalu jika suatu aset tetap sudah tiba (ada) di lokasi perusahaan, namun belum siap dipakai karena perlu konstruksi atau instalasi lebih lanjut, maka biasanya akan dicatat sebagai sub akun 'Aset dalam Pembangunan / Penyelesaian', masih dalam akun aset tetap juga.
Seluruh biaya yang timbul akan terus diakumulasi ke sub akun itu. Sampai aset tetap itu siap digunakan, barulah dipindah ke sub akun yang lebih jelas misal Bangunan, Mesin, Peralatan Kantor, dll.
Karena 'Aset dalam Pembangunan' ini sudah dalam kendali perusahaan cuma belum bisa dipakai, maka ini beda dengan Uang Muka Pembelian Aset Tetap yang pernah saya bahas di postingan ini
https://stockbit.com/post/16150756
Yang mana Uang Muka artinya kas sudah dibayarkan, tapi asetnya masih di tangan pihak lain, belum dalam kendali perusahaan.
....................................
Lalu aset tetap bukan berarti tetap selalu ada selama perusahaan berdiri.
Nilainya menurun seiring perkiraan masa manfaat / umur ekonomis yang sudah disinggung di atas.
Lama-lama fungsionalitas berkurang hingga tidak bisa dipakai lagi, kecuali Tanah ya.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang menyebabkan nilai aset tetap berubah atau berkurang di Neraca :
1. Depresiasi atau Penyusutan.
Nilai aset tetap perlahan-lahan akan disusutkan menjadi Beban di setiap periode hingga habis masa manfaatnya.
Perkiraan berapa lama masa manfaat aset tetap ini berbeda-beda tergantung jenis asetnya, tiap perusahaan beda kebijakan.
Akan diperkirakan pula di akhir masa manfaat apakah ada nilai tersisa (residu) dari aset tetap tersebut yang masih berharga untuk dijual lagi.
Contoh : perusahaan beli mesin Rp 100.000.000 (sudah bisa langsung pakai) dan diperkirakan bisa digunakan efektif selama 10 tahun.
Di akhir masa manfaat diperkirakan mesin itu sudah tidak berharga secara material (residu Rp 0), paling cuma bisa dijual jadi besi bekas.
Maka setiap tahunnya, perusahaan akan mencatat Beban Penyusutan Aset Tetap Rp 10 juta, sampai 10 tahun ke depan.
Beban Penyusutan ini akan masuk ke Beban Pokok Penjualan (karena berkaitan dengan produksi).
Selanjutnya perusahaan juga akan mengurangi nilai aset tetap Rp 10 juta setiap tahun sampai 10 tahun ke depan.
Hanya, dicatatnya tidak langsung dikurangi ke harga perolehan, melainkan dicadangkan ke akun Akumulasi Penyusutan.
Ini dilakukan supaya harga perolehan tetap bisa tampil sebagaimana mestinya karena barangnya memang masih ada, hanya nilainya saja yang diperkirakan menurun.
Di Neraca, yang ditampilkan adalah nilai "bersih" atau "net" yaitu Harga Perolehan dikurangi Akumulasi Penyusutan.
Akhir tahun 1 ->
Harga perolehan Rp 100 juta dikurang Akumulasi Penyusutan Rp 10 juta, nilai bersih yang tampil Rp 90 juta.
Akhir tahun 5 ->
Harga perolehan Rp 100 juta dikurang Akumulasi Penyusutan Rp 50 juta, nilai bersih yang tampil Rp 50 juta.
Bagaimana kalau mesin itu diperkirakan punya nilai residu Rp 10 juta di akhir tahun ke-10 ?
Maka perusahaan akan mencatat Beban Penyusutan dan juga Akumulasi Penyusutan Rp 9 juta setiap tahunnya.
Contoh di atas adalah penyusutan menggunakan "metode garis lurus / straight line", yang merupakan metode paling umum.
Ada pula praktik penyusutan dengan menghitung output produksi per tahun, kinerja per tahun, atau menggunakan asumsi fungsionalitas aset di tahun pertama lebih maksimal sehingga disusutkan lebih besar kemudian di tahun terakhir fungsionalitas sudah menurun sehingga disusutkan lebih kecil, dll.
Pencatatan aset tetap dan pengakuan penyusutan sebagai beban tiap periode ini juga bertujuan untuk menghindari pencatatan Beban yang terlalu besar di awal pembelian.
Kalau contoh di atas, beli mesin Rp 100 juta tidak dicatat aset tetap, tapi langsung dicatat jadi beban di tahun pertama. Maka bakal memberatkan catatan laba bersih, padahal mesinnya masih dipakai untuk 10 tahun ke depan.
Sehingga beban yang dicatat perlahan Rp 10 juta tiap tahun akan jadi lebih adil, relevan, dan smooth.
......................................
2. Reklasifikasi
Misal gudang yang awalnya ditujukan untuk menyimpan stok barang persediaan perusahaan, sudah dicatat aset tetap.
Tapi perusahaan bangun gudang baru yang lebih besar, jadinya gudang lama ini nganggur dan disewakan ke pihak lain.
Maka nilai gudang yang semula tercatat di Aset Tetap, akan dipindah ke akun Properti Investasi.
Jadi perubahan dari tujuan penggunaan aset, inilah yang menyebabkan reklasifikasi dilakukan.
..................................
3. Revaluasi Aset Tetap
Revaluasi atau penilaian kembali atas harga wajar (fair value) aset tetap seiring perkembangan kondisi.
Biasanya dilakukan oleh appraisal / aktuaris / KJPP / jasa penilai profesional.
Misal tanah dan bangunan perusahaan lokasinya strategis, maka setelah 15 tahun tentu nilai pasarnya naik. Hal ini dikonfirmasi berdasarkan penilaian dari KJPP.
Maka perusahaan akan melakukan revaluasi naik (menambah) nilai aset tetap, dan di sisi lain juga mencatat keuntungan (laba) dari revaluasi kenaikan nilai aset tetap ini di laporan laba rugi.
Sebaliknya, kalau ternyata harga wajar aset tetap dinilai turun oleh KJPP dibandingkan harga perolehan, maka perusahaan akan merevaluasi turun nilai aset tetap dan mencatat kerugian revaluasi.
Seringnya, perusahaan hanya mencantumkan perkembangan nilai wajar hasil valuasi dari KJPP sebagai informasi dalam catatan atas laporan keuangan bagian aset tetap.
Jadi pembaca / investor bisa membandingkan antara harga perolehan dan nilai wajarnya. Perusahaan tidak langsung utak-atik ke nilai aset tetap.
Namun dalam beberapa kasus, hasil valuasi oleh KJPP ini langsung dilakukan revaluasi ke nilai aset tetap perusahaan.
Tujuannya mungkin untuk keperluan pajak, atau keperluan peningkatan valuasi supaya bisa mendapat perhatian investor / fund / perbankan.
...................................
4. Kerusakan yang menyebabkan 'Penurunan Nilai Aset Tetap'
Misalnya mesin mengalami kerusakan parah, atau kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Setelah diperbaiki masih bisa digunakan, tapi kondisinya sudah tidak seprima dulu, kinerjanya menurun dan masa manfaatnya diperkirakan berkurang signifikan dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Maka perusahaan akan mencatat Beban Kerugian Penurunan Nilai, dan di sisi lain mencadangkan di akun Akumulasi Penurunan Nilai untuk secara tidak langsung mengurangi harga perolehan (nilai bersih aset tetap) yang tampil di neraca.
Hal ini juga bisa didukung penilaian dari KJPP.
Walaupun kasus ini terbilang jarang karena normalnya kerusakan yang masih bisa diperbaiki itu tidak akan mengurangi masa manfaat (hanya dicatat sebagai beban perbaikan saja). Ataupun kalau sudah rusak terlalu parah, biasanya langsung dijual / dimusnahkan saja.
..................................
5. Pemusnahan alias jadi rongsok (Penghapusan Aset Tetap)
Ada 2 kasus latar belakang pemusnahan aset tetap, yakni :
a.. Karena musibah yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan total.
Nilai aset tetap bersih yang tersisa (harga perolehan dikurangi posisi akumulasi penyusutan terakhir), dijadikan nol 0, lalu dipindah semua menjadi Beban Kerugian Penghapusan Aset Tetap.
Biasanya kalau kehilangan atau kerusakan total ini terjadi karena musibah kebakaran, pencurian, kecelakaan, dll. Perusahaan harusnya punya asuransi (info tentang asuransi disampaikan di catatan atas laporan keuangan).
Perusahaan bakal dapat klaim asuransi yang bisa dicatat sebagai Pendapatan / Keuntungan, membalikkan kerugian penghapusan aset tetap yang sudah dicatat tadi.
b.. Karena memang sudah habis masa pakai dan tidak bisa dijual sesuai fungsi awalnya lagi.
Nilai aset tetap bersih (residu), dicatat seperti poin 5a.
Tapi biasanya sudah tidak terlalu besar beban ruginya, karena nilai residu aset tetap yang habis masa pakai seringnya sudah mendekati 0.
Karena sudah tidak berfungsi sebagaimana fungsi awalnya, maka aset tetap itu bisa "dipreteli" dan dialih fungsi untuk kegunaan lain (biasanya perusahaan punya catatan internal walau tidak tampil di laporan keuangan).
Kalau masih memungkinkan ya dijual rongsok (scrap), misal limbah besi bekas parts mesin, yang bakal jadi Pendapatan Lain-lain bagi perusahaan.
..................................
6. Penjualan (Pelepasan) Aset Tetap.
Penjualan (Pelepasan) dilakukan terhadap aset tetap yang masih bisa berfungsi sesuai kegunaan awal kepada pihak lain.
Baik dalam kondisi masih tersisa umur manfaat, atau sudah habis umur manfaat.
Sama seperti poin 4 dan 5, nilai bersih aset tetap (harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutan) akan di-nol-kan.
Jika nilai penjualan melebihi nilai bersih, maka perusahaan akan mencatat Keuntungan Pelepasan Aset Tetap.
Jika nilai penjualan kurang dari nilai bersih, maka perusahaan akan mencatat Kerugian.
.....................................
Walaupun aset tetap ini ada wujudnya, bisa dilihat kasat mata dan bisa diinventarisir. Akan tetapi nilainya ini banyak yang berupa taksiran (perkiraan).
Misalnya dalam kasus pengakuan biaya-biaya apa saja yang dimasukkan ke harga perolehan, penetapan masa manfaat, penetapan nilai residu, penetapan harga jual aset tetap, kebijakan pemusnahan, apalagi kalau sudah ada praktik revaluasi.
Keuntungan dari revaluasi adalah keuntungan yang 'semu'. Tidak ada uang yang masuk bahkan potensi uang masuk pun hampir nihil, karena aset tetap yang dipakai sehari-hari oleh perusahaan ya harusnya tidak akan dijual.
Kalau asetnya tidak dijual, bagaimana perusahaan bisa riil dapat uang dari kenaikan nilai wajar hasil revaluasi ? 馃
................................
Kemudian banyak praktik perusahaan yang punya banyak aset tetap, tapi mangkrak dan hanya jadi penyebab inefisiensi saja.
Dipakai tidak, disewakan tidak (tidak dicatat jadi Properti Investasi), dijual pun tidak, dan kalaupun dijual belum tentu untung.
Lebih parahnya lagi ternyata dipakai untuk kepentingan owner (pengendali)-nya pribadi 馃
Maka harus dipastikan kalau perusahaan ini punya aset tetap yang "perlu-perlu saja", dan harus ada bukti dari sisi profitabilitas.
Return on Assets adalah salah satu indikator yang mencakup juga bagaimana perusahaan bisa menghasilkan laba dari penggunaan aset tetapnya.
Lebih spesifik lagi bisa pakai rasio RoFA (Return on Fixed Assets).
.................................
Kemudian semakin lama umur perusahaan beroperasi, harusnya bakal makin efisien dalam penggunaan aset tetap.
Banyak aset tetap yang umurnya sudah tua, yang harusnya sudah habis masa pakai, sudah dicatat penyusutan hingga sisa nilai residu saja.
Tapi ternyata masih efektif dan aman digunakan, sehingga perusahaan bisa menunda beli aset tetap yang baru.
Pengalaman kerja saya di suatu emiten yang sudah 30 tahun lebih beroperasi. Furniture seperti meja dan lemari kantor sudah ada sejak awal perusahaan berdiri.
Secara catatan sudah tinggal Rp 100 alias seratus perak (nilai bersih / residu sesuai kebijakan perusahaan rata-rata ditetapkan Rp 100), tidak ada lagi beban penyusutan yang dicatat tiap periode.
Silih berganti datang dan pergi pegawai baru, meja dan lemari sudah tak terhitung berapa kali berganti tangan, tapi masih gak diganti juga tuh barang, gak beli-beli perabot baru.
Untung banget tuh pokoknya emiten 馃槀
..............................
Series bahasan akun laporan keuangan sudah sampai ke-9
Terakhir kali ke-8 saya bahas Giro di Bank Indonesia
https://stockbit.com/post/16155184
Link series ke-1 sampai ke-7 sudah saya cantumkan lengkap di postingan ke-8 itu, atau bisa telusuri di stream postingan saya.
Jika ada yang perlu dikoreksi, mau ditanyakan, silakan di kolom komen.
Saya lampirkan contoh laporan keuangan terkait aset tetap dari $DMAS
$BKSL $INDF $ASII $SMGR
1/8