1,760

-5

(-0.28%)

Today

3.33 M

Volume

85.61 M

Avg volume

Company Background

PT Unilever Indonesia Tbk merupakan perusahaan yang bergerak dalam pembuatan, pemasaran dan distribusi barang konsumen yang laku keras (FMCG). Kegiatan bisnis utama Perusahaan terbagi ke dalam dua segmen operasi: Kebutuhan Rumah Tangga dan Perawatan Tubuh yang meliputi produk kosmetik, dan juga produk-produk pembersih rumah tangga dan tubuh seperti deterjen, sabun, sampo, obat gigi, deodoran, dan Makanan dan Minuman, yang meliputi produk-produk makanan dan minuman, seperti es krim, kantong teh, kecap, minuman sari buah, bumbu-bumbu masak dan margarin. Sebagian dari merek utama untuk produk kebutuhan rumah tangga dan perawatan tu... Read More

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR $GDYR $PWON akumulasi minggu ini

kalau gue sih reinvest ya, $DMAS $UNVR sama sama sering bagiin banyak laba, tapi DMAS valuasi nya lebih murah jadi lebih banyak dividen nya

besok dividen gue cair juga 🤤

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$DMAS yey besok duit dividend gw beli apa yaa 😆😆
$WIIM sdh naik
Keknya boleh nih $UNVR

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PGAS... ikut nanjak sampai dibawa ke Rp 1.800. Digendong juga boleh

Sembari nunggu ijo $UNVR dan $UNTR

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR bakal turun 1.600san ini

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR ada kemungkinan under 1700 gak ya kira2?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR
Masanya telah berakhir
$HMSP $GGRM

Rangkaian terakhir dari trilogi singkat memahami basic laporan keuangan dengan analogi abang nasi goreng.

Laba Rugi : https://stockbit.com/post/18561105
Arus Kas : https://stockbit.com/post/18562152
Versi visual di IG : Fadhilmenulis

Memahami Neraca dari cara
bisnis abang nasi goreng.

Setelah kita membaca cerita laba rugi dan mencocokkannya dengan arus kas, sekarang saatnya membuka halaman berikutnya: neraca. Kalau dua laporan sebelumnya bicara tentang aktivitas selama satu periode, neraca justru mencatat hasil akhirnya. Ini adalah foto diam yang menggambarkan kondisi keuangan perusahaan pada satu titik waktu, hasil akumulasi dari awal berdiri hingga hari laporan diterbitkan.

Neraca terdiri dari dua bagian utama dan satu bagian simpulan. Bagian pertama adalah aset, yaitu semua harta yang dimiliki perusahaan. Bagian kedua adalah liabilitas, yaitu semua kewajiban atau utang yang harus dibayar. Lalu bagian terakhir adalah ekuitas, yaitu selisih antara aset dan liabilitas. Banyak yang menyebutnya sebagai nilai buku, harta bersih, atau sisa kekayaan setelah semua utang dilunasi.

Strukturnya dibagi dua kategori: lancar dan tidak lancar. Lancar berarti bisa dicairkan, dipakai, atau jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun. Tidak lancar artinya di atas satu tahun. Sederhana saja.

Sekarang kita kembali ke si abang nasi goreng. Aset lancarnya misalnya uang tunai di laci gerobak, kasbon pelanggan, dan bahan-bahan seperti beras dan telur. Aset tidak lancarnya adalah gerobaknya itu sendiri. Di sisi liabilitas, kalau abang masih punya utang ke warung sembako yang harus dibayar minggu depan, itu liabilitas lancar. Kalau dia beli gerobak baru dengan cicilan lima tahun, itu masuk liabilitas tidak lancar.

Bagian ekuitas mencatat seberapa besar usaha ini bertumbuh. Di sana tercatat modal awal, misalnya saat pertama kali abang setor uang buat bangun gerobak, dan saldo laba, yaitu akumulasi dari semua untung-rugi selama ini. Kalau saldo laba terus defisit, artinya sejak dulu usaha ini rugi terus. Kalau modalnya besar tapi saldonya minus, bisa dibilang modal awal sudah terkikis, bukan karena investasi gagal, tapi karena setiap malam hasil jualan cuma cukup buat nutupin biaya.

Sering kali angka di neraca membuat aset terlihat besar. Tapi perlu ditanya, besar karena apa? Karena keuntungan yang ditahan? Atau karena utang menumpuk? Karena semua aset, mau itu dari hasil usaha, suntikan modal, atau utang koperasi, tetap tercatat sebagai aset. Itulah kenapa aset harus selalu sama dengan liabilitas ditambah ekuitas. Karena neraca tidak cuma mencatat apa yang dimiliki, tapi juga dari mana asalnya.

Setelah kita membaca laba rugi dan arus kas, selisih antara keduanya sering kali akan terlihat di neraca. Misalnya ada keuntungan tapi uangnya belum masuk, maka muncul di piutang. Atau kalau si abang beli minyak goreng banyak-banyakan karena diskon, uangnya keluar tapi belum diakui sebagai beban, maka muncul di persediaan. Atau kalau beli gerobak baru, nilainya akan muncul di aset tetap, dan cicilan pinjamannya di liabilitas. Semua titik-titik yang tadinya mengambang, di neraca bisa terlihat lebih utuh.

Dan dari neraca pula kita bisa mulai mencium hal-hal yang mencurigakan. Misalnya, perusahaan mengaku siap ekspansi ratusan juta, tapi kas cuma tersisa 20 juta sementara utang jangka pendek yang jatuh tempo ratusan juta juga. Atau asetnya besar, tapi isinya bukan alat-alat usaha, melainkan properti yang tidak ada hubungannya dengan bisnis. Bagi si abang nasi goreng, ini seperti tiba-tiba punya dua unit kontrakan di daerah sepi, padahal gerobaknya mulai reyot.

Memahami neraca melengkapi dua cerita sebelumnya. Kalau laba rugi adalah cerita perjuangan, dan arus kas adalah bukti uangnya berpindah, maka neraca adalah hasil akhirnya. Dari sini kita bisa lihat, usaha ini sehat atau hanya terlihat sibuk. Dan kalau ada yang bilang, “perusahaan ini kuat kok, asetnya besar,” kita bisa balik tanya, “itu aset dari hasil usaha atau hasil utang?”

Membaca neraca bukan soal bisa menghafal istilah, tapi soal bisa melihat gambaran besar. Karena semua laporan keuangan saling terhubung. Dan bagi pembaca yang cermat, setiap angka adalah jejak. Jejak yang bisa membawa kita pada kepercayaan, atau peringatan.

$UNTD $UNVR $UVCR

Read more...
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

🚨 HOT TOPIC ALERT! 🚨

Demo kok ricuh? Not in our dictionary! ✋😎

'AKSI MASSA TANPA KEKERASAN: Membaca Demonstrasi Lewat Kacamata Perdamaian' - webinar yang akan bikin kamu jadi aktivis next level!

Apa yang bakal kamu dapatkan?
✅ Diskusi langsung dengan ahlinya, Gunawan Lestari Elake, S.I.P., M.A.
🧠 Asah pikiran kritis tentang aksi sosial yang efektif
✨ Bangun relasi damai di tengah perbedaan
📚 Tambah wawasan & ilmu baru yang super valuable!

SAVE THE DATE
📅 21 Mei 2025
⏱️ 13.00 WIB
🖥️ Zoom Meeting

Dan ini literally GRATIS! (iya, in this economy masih ada yang gratis loh😧)

Daftar: https://cutt.ly/BrxLkYJ6
Contact: Malik (0812-6349-9229)

$AADI
$ADMR
$UNVR

Read more...

$UNVR lagi mencoba breakout dari area resistancenya sekarang. Kalo berhasil, kemungkinan terbang ke area yg dulu menjadi support classicnya di sekitar 2.350an bisa semakin terbuka

Potensial profit 1/4 bagger (25% wkwk)

random tag: $BBCA $ANTM

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Tahun-tahun sebelumnya juga banyak yang terperosok di $UNVR

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR sudah kelamaan, aseng siap borong

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

🚑 SEKTOR YANG KEBAL TERHADAP KRISIS EKONOMI !!!!

VOTEE !!!

$ANTM $ADRO $UNVR

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

IHSG - Hukum Entropi (Termodinamika II)

"Dalam sistem tertutup, entropi (ketidakteraturan) cenderung bertambah seiring waktu."

Maka

“Tanpa disiplin dan evaluasi, portofolio investor berubah jadi museum saham—makin banyak, makin tak teratur.”

$UNVR $HMSP $GGRM

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

📉 Saham Salah Harga:
Antara Ilusi Diskon dan Realita Distorsi

Abstrak

Konsep “mispricing” atau saham salah harga menjadi primadona di kalangan investor yang mencari peluang undervalued. Namun, tidak semua harga yang rendah berarti murah — bisa jadi cerminan risiko tersembunyi. Artikel ini membedah akar penyebab mispricing di pasar saham Indonesia, membongkar ilusi harga diskon, dan menyoroti bagaimana psikologi massa dan dinamika bandar menciptakan distorsi nilai.



1. Pengantar: “Murah” Itu Relatif

Di pasar saham, istilah “salah harga” sering dipakai sebagai alasan pembelian saham yang sedang turun. Tapi jangan buru-buru bilang “diskon”. Saham bisa salah harga karena dua hal:
• Salah harga sementara akibat volatilitas pasar.
• Salah harga permanen akibat perubahan fundamental.

Sayangnya, mayoritas investor lebih suka percaya yang pertama, karena lebih nyaman: “Pasti nanti naik lagi.”



2. Teori di Balik Salah Harga

Dalam teori efisiensi pasar (Efficient Market Hypothesis), semua informasi sudah tercermin di harga saham. Namun realitas di pasar berkembang, termasuk Indonesia, sering menyimpang dari teori ini. Mispricing muncul karena:
• Informasi tidak merata (asymmetric information)
• Aksi bandar atau investor institusi
• Efek euforia sosial media & stock cheering
• Kelambanan respon pasar terhadap berita fundamental

Contoh klasik? Saham tiba-tiba terbang hanya karena kabar “bakal akuisisi” padahal belum ada dokumen resmi.



3. Salah Harga ≠ Undervalued

Perlu dibedakan antara saham undervalued (berdasarkan fundamental) dengan saham salah harga (karena perilaku pasar).

🟢 Undervalued: Harga lebih rendah dari nilai intrinsik (analisis DCF, PBV, PER, dsb).
🔴 Salah harga: Harga tidak mencerminkan kenyataan, bisa naik atau turun secara irasional.

Saham yang “murah” secara angka belum tentu “layak” secara logika.



4. Realita Distorsi: Antara Ritel dan Real Player

Ritel sering tertarik pada saham dengan “label diskon”, padahal:
• Likuiditas rendah
• Banyak saham tidur yang hanya “dibangunkan” sebentar
• Fundamental buruk tapi tampil manis di chart

Bandar bisa memainkan narasi, mengatur waktu, bahkan menciptakan ilusi breakout teknikal. Dalam kasus ini, salah harga bukan peluang — tapi jebakan berjamaah.



5. Ilusi Diskon di Tengah Volatilitas

Banyak investor berpikir:

“Saham ini dulu 1.000, sekarang 300. Berarti diskon 70% dong?”

Padahal tidak ada jaminan harga 1.000 itu rasional. Mungkin dulu justru itu harga yang “salah”, dan 300 adalah harga wajarnya sekarang. Membeli berdasarkan masa lalu adalah bias paling umum yang menjebak ritel.


6. Studi Kasus: Saham IPO yang Salah Harga

Banyak saham IPO yang sengaja dibuat “salah harga” di awal:
• Harga perdana sengaja dipatok tinggi (karena narasi bagus)
• Listing langsung ARA beberapa hari (euforia ritel)
• Setelah itu dibebaskan jatuh ke harga “normal”

Kasus ini mencerminkan bukan hanya salah harga, tapi rekayasa harga. Bukan pasar yang membentuk harga, tapi pengatur narasi.

✍🏻 Kesimpulan: Jangan Beli Saham Hanya Karena Turun

“Sudah turun banyak” bukan alasan beli.
Yang penting adalah: mengapa harga itu turun? Apakah karena pasar panik? Atau karena NILAI perusahaan memang menurun?

Saham salah harga bisa jadi peluang emas, tapi lebih sering jadi pelajaran mahal. Maka jangan hanya belajar membaca harga — belajarlah membaca makna di balik harga.

$IHSG $BTPS $UNVR

Read more...

Main sabar. Mencoba serius investasi mulai 24 April 2025, tapi menurut saya sudah lumayan. Modal 29,5jt sudah take profit 1,7an (6%) dan diinvestasikan kembali. Random tag $UNVR $BIRD $BMRI

$UNVR apa senin bakal bisa ke 1800?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR $MYOR $ICBP pupus kebiasaan belanja bulanan

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR laba q1 besar dipengaruhi apa ?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR beberapa bulan yg lalu baru beli, lama ga cek ternyata sudah lumayan tergoreng

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR yok bisa ke 1,600 dulu pengen masuk

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR ada info naik?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR daripada daripada

@wijaya1998
Kalo $BSSR benar udah jatuh dalam, emang kamu yakin berani beli???🤔🤔🤔🤭🤣
Kalo berani, coba itu beli $MBAP ato $UNVR??🤔🤔🤔🤭🤣
Ada lagi GOTO, Bumi, SMDR, TLKM, apalagi tuh??🤔🤔🤭

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Minggu lalu kabar gelap dari sektor media dan konten, kali ini saya sajikan yang kabar baiknya. Pelanginya gitu ya.

Meski era viralnya mulai redup perlahan lahan, namun antusiasme penonton film Indonesia terhadap film animasi Jumbo, produksi Visinema Pictures, definisi masih kuat.

Film ini, yang akhirnya menjadi film animasi Indonesia pertama terlaris sepanjang masa, sekaligus menjadi top 3 film Indonesia terlaris sepanjang masa (di bawah KKN di Desa Penari ($FILM - MD Entertainment) dan Agak Laen), membuat film animasi asli Indonesia mulai menemukan momentum breakthroughnya, setelah sekian banyak percobaan dan hasilnya tidak terlalu memuaskan. Situasi ini makin heboh, mengingat lawan Jumbo adalah film film horor yang masih tetap saja ngetren di bioskop, meski - tentu saja - tidak semua film horor itu laku juga.

Belum selesai antusiasme, sudah ada yang buru buru terinspirasi bikin animasi serupa (Biasalah, latah wkwkwk). Produser KK Dheeraj, atau nama aslinya Dheeraj Kalwani, yang selama ini memproduksi film film horor dan kontroversial seperti Vina, Norma (menantu selingkuh dengan mertua) hingga film tentang Presiden Jokowi di masa lalu *eh, disebut sebut akan membuat animasi serupa bekerjasama dengan kreator Tung Tung Sahur. Hmmm…

Namun demikian, apakah memang ini benar benar momentum bagus untuk dunia animasi di Indonesia? Sebagai seorang penonton animasi semata, ini komentar saya.

======

Antusiasme penonton sudah ada. Ini kabar bagus memang, mengingat di antara banyak genre film di Indonesia, genre animasi ini ngga terlalu banyak berkembang. Yang berkembang, lagi lagi adalah film animasi dari luar, baik Asia maupun Amerika, yang industrinya sudah lebih kuat dan ada track recordnya dibandingkan dengan Indonesia. Dari Indonesia, yang menonjol paling hanya beberapa nama, misalnya Adit dan Sopo Jarwo (lagi lagi $ FILM). Dari grup $MNCN - Media Nusantara Citra, ada Kiko dan Si Entong (yang secara unik menguasai rating TV di bulan Ramadan beberapa tahun terakhir). Kiko maupun Adit dan Sopo Jarwo sempat dibuat versi filmnya, tapi kurang menggembirakan. Ngga seboom Jumbo. Ada sih yang cukup boom, tapi jauh di bawah Jumbo, semisal filmnya Si Juki (Falcon), karakter komik yang terkenal di media sosial.

Memang betul, satu teori utama di dunia konten, mau apapun mediumnya, adalah soal momentum. Momen ini ngga bisa sengaja dicari untuk seakurat mungkin berhasil dan dikejar dengan duit sebanyak-banyaknya. Ini yang membuat apakah sebuah konten, film, program TV, bisa menempati posisi teratas di industrinya atau tidak. Istilah kerennya adalah trendsetter. Jumbo memperoleh momen bagus, mengingat penayangan pertamanya di tanggal Lebaran (hari H) - hari dimana keluarga semua berkumpul, terutama anak anak yang jadi segmen utama film ini - dan film ini menjadi satu satunya film non drama dan non horor (meski di dalam Jumbo ada tokoh hantunya sih) yang menjadi pembeda sendiri. Sebuah kenekatan, karena kalau sekali flop (gagal), hancur sudah kerja keras timnya selama 5 tahunan terakhir + $UNVR - Unilever Indonesia - yang membuat produk produknya jadi cameo (muncul sekilas) di film ini.

Namun, upaya marketingnya yang cukup agresif, didukung promosinya oleh pemerintah, ditambah dengan adanya gimmick sejumlah nama aktor aktris terkenal yang ikut bermain dalam sejumlah adegan film ini (termasuk Chico Jericho yang cuma jadi kambing wkwkwk), rupanya cukup berhasil. Apalagi ketika lagu soundtrack film ini, yang kemudian diviralkan oleh sejumlah penyanyi, seperti pasangan Mahalini dan Rizky Febian, membuat keterkenalan film ini makin kuat. Saling memperkenalkan satu sama lain, intinya.

Oh ya, ternyata ada sebagian penonton yang baru menyadari bahwa anak anak menjadi potensi baru/pasar baru di dunia film. Hal ini sebenernya sudah terjadi duluan di televisi, dimana dengan maraknya stasiun TV yang fokus menayangkan kartun atau animasi, dari MNCTV-GTV hingga RTV, Mentari TV dan BTV, membuktikan bahwa pasar anak anak bener bener ada. Namun, yang sebenernya digarap bukan si anak anaknya, karena secara konsumen mereka belum bisa memutuskan pembelian, jadi yang ditargetkan adalah bapak atau ibu mereka yang digaet secara tidak langsung.

Itu alasannya kenapa $ UNVR memplacement di Jumbo bukan hanya Walls (untuk anak anaknya), tapi juga Buavita dan Bango (untuk keluarga). Begitupun strategi brand brand yang beriklan di televisi yang saya sebut tadi, dimana kebanyakan adalah pemain sektor konsumer (FMCG).

Meski demikian, gelombang viral film ini menurut saya masih ada unsur FOMOnya, sehingga tentu ini bukan menjadi 100% acuan untuk siapapun kreator film animasi berikutnya. Istilah kasarnya, kalaupun nanti ada lagi yang lain, jangan harap bisa setinggi ini lagi - bukan bermaksud menggagalkan mimpi, tapi realistis menjadi penting. Antusiasme belum tentu setinggi Jumbo, dan momentum sangat berpengaruh. Lagipula, menjaga antusiasme untuk film animasi selanjutnya menjadi lebih menantang, karena film animasi ngga bisa diproduksi secepat dan dalam jumlah masif seperti film live action (film yang menggunakan manusia sebagai pemainnya, seperti kebanyakan film yang kita tonton).

Untuk film Jumbo sendiri, keseluruhan produksinya butuh 5 tahun - yang kemungkinan menjadi lambat karena dampak pandemi. Sementara untuk animasi Adit dan Sopo Jarwo sendiri, membutuhkan waktu beberapa bulan untuk jumlah episode yang sedikit. Ngga heran pada saat penayangan di televisi, animasi ini kebanyakan direrun penayangannya. Apalagi Si Entong, yang tayangannya bener bener diulang terus menerus, karena MNC Animations tidak lagi memproduksi animasi ini dengan episode baru (setidaknya hingga post ini dibuat). Televisi yang sekarang “dipaksa” menayangkan stripping format (kejar tayang tiap hari) tentu berbeda dengan cara kerja animasi.

Kenapa produksi tayangan film animasi lambat dan tidak bisa banyak dalam waktu singkat?

Pertama, biaya produksi yang lebih besar dibanding live actions. Film Jumbo mengestimasikan biaya minimal sekitar Rp 20 Milyar atau lebih, yang meski sebenernya ini angka umum di perfilman sekarang, namun mengingat bahwa produksi animasi lebih rumit, maka biaya ini menjadi “besar” dan sulit dikompromikan seperti film live actions yang bisa dihemat di bagian bagian tertentu. Itu asumsinya kalau mau cerita bagus, animasi bagus dan kualitas bagus. Dalam skala lebih kecil, biayanya tentu tetep bisa milyaran juga.

Dengan biaya sebesar itu, maka target pengembalian investasi dari film ini menjadi lebih besar pula. Resiko menjadi besar, karena ngga semua film animasi itu bisa laku di penonton, dan ini lebih menyakitkan dibandingkan film live actions. Itulah sebabnya, pilihan pun harus diambil : produksi sekali kali (tidak bersifat rutin), tapi cari duitnya sekalian besar besaran atau produksi rutin dengan biaya yang lebih efisien, namun potensi pendapatan yang stabil. Ini juga alasan utama mengapa tidak banyak produksi film animasi di Indonesia.

Contoh menarik soal ini adalah bagaimana iklan Marjan, di televisi, yang beberapa tahun terakhir mulai memasukkan unsur animasi, tetap konsisten hanya hadir sekali setahun di bulan puasa. Selain menyesuaikan dengan peak season (musiman) Marjan laku di pasaran, tentu ini membuat biaya promosi bisa lebih besar dan maksimal, sehingga menyebabkan Marjan bisa memproduksi iklan dengan konten yang demikian.

Kedua, konten animasi membutuhkan tenaga ahli, kreator kreator dan teknologi yang mumpuni, dan jumlahnya banyak. Film Jumbo sendiri dikerjakan sekitar 400 orang. Rata rata film animasi umumnya bisa menyerap minimal 100 orang untuk berbagai kebutuhan produksi. Angka ini adalah angka rata rata maksimal untuk produksi film live action, sehingga dengan jumlah resources yang lebih banyak, artinya biaya produksi animasi untuk tenaga tenaga tersebut menjadi lebih besar. Belum lagi dengan tantangan mencari tenaga berpengalaman dan memiliki kekuatan yang dibutuhkan, dimana ini ngga mudah ditemukan, yang menghasilkan biaya yang lebih besar lagi dan waktu untuk mencari - yang mempengaruhi waktu produksi.

Ketiga, persepsi animasi hanya untuk anak anak. Bagi produser film, memproduksi animasi sering sering tentu akan dianggap kurang benefitnya, karena pasar anak anak tidak sebesar pasar orang dewasa. Sudahlah biaya besar, eh pendapatan tidak pasti (berbeda dengan animasi atau kartun di televisi yang cenderung pasti), tapi pangsanya kecil banget. Pasti akan kalah. Kenyataannya di luar negeri, kartun atau animasi justru pasarnya besar, hingga ke orang dewasa. Sayangnya, pasar penonton Indonesia sudah kadung menyebut animasi sebagai konten anak anak. Film Jumbo pun, juga disebut sebagai konten anak anak, meski dari sisi penceritaan masih bisa diikuti orang dewasa - dan kenyataannya semua film di bioskop secara experience memang lebih ramah buat orang dewasa, semisal sound system yang kencang + bergema yang sensitif buat anak kecil.

Karena itu, meski Jumbo bisa memantik motivasi dan momentum penting bagi para produser film untuk melakukan hal yang sama, namun demikian produser film tetap mesti realistis dari sisi strategi. Apalagi jika kondisi ekonominya seperti sekarang. Tinggal bagaimana produser produser tersebut melakukan strategi untuk bisa memenangkan penonton dan menemukan momentum pemutarannya. Begitu.

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

Read more...

1/2

testes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

@alfianstock masih banyak yang membandingkan dengan $UNVR

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$UNVR besok kudu bangkit sih

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

weekend ini bakal liburan di puncak gunung tau di dasar jurang ya
$UNVR $AMRT $MYOR

2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy