Volume
Avg volume
PT Siloam International Hospitals Tbk merupakan perusahaan swasta yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan dan Rumah Sakit. Perseroan merupakan bagian dari Lippo Group yang merupakan Anak Perusahaan Lippo Karawaci Tbk. Pertanggal 31 Desember 2012, menurut Frost & Sullivian, Siloam Hospital Group adalah grup Rumah Sakit swasta terbesar di Indonesia dalam jumlah kapasitas dan jumlah tempat tidur operasional. Siloam Hospitals juga menjadi Rumah Sakit Pertama di Indonesia yang mendapat akreditasi International dari lembaga akreditasi Joint Commission International Accreditation. Saat ini Siloam Hospitals mengoperasikan 20 Rumah Sa... Read More
SAHAM-SAHAM INI SEARAH PERGERAKAN IHSG PADA HARI TERAKHIR [3]
Diolah dari data perdagangan hari terakhir pada 16 Apr 2025
Arus Transaksi $JSMR
JSMR mengalami pelemahan ⏬ sebesar -4,26% dari Rp 4.230 menjadi Rp 4.050, dengan rentang perdagangan hari terakhir cukup lebar sebesar 5,68%, di mana terendah sebesar Rp 4.050 dan tertinggi sebesar Rp 4.280.
Perdagangan hari terakhir, keinginan Asing membeli lebih besar dari penjualan ⏫. Volume bid mencapai 48,48%, sementara volume offer mencapai 42,32% dari total volume yang diperdagangkan. Pembelian asing pada hari terakhir bursa melemah dengan penurunan volume ⏬1,19 juta dari hari sebelumnya. Saham ini cukup diminati Asing ⏫ dengan transaksi 48,48% dari volume transaksi.
Arus Transaksi $SILO
SILO mengalami pelemahan ⏬ sebesar -4,25% dari Rp 2.120 menjadi Rp 2.030, dengan rentang perdagangan hari terakhir cukup lebar sebesar 5,42%, di mana terendah sebesar Rp 2.030 dan tertinggi sebesar Rp 2.140.
Perdagangan hari terakhir, keinginan Asing untuk menjual saham lebih besar dari pembelian ⏬. Volume bid mencapai 39,45%, sementara volume offer mencapai 57,71% dari total volume yang diperdagangkan. Pembelian asing pada hari terakhir bursa melemah dengan penurunan volume ⏬0,55 juta dari hari sebelumnya. Saham ini cukup diminati Asing ⏫ dengan transaksi 39,45% dari volume transaksi.
Arus Transaksi $BBNI
BBNI mengalami pelemahan ⏬ sebesar -4,21% dari Rp 4.280 menjadi Rp 4.100, dengan rentang perdagangan hari terakhir tidak terlalu lebar sebesar 4,89%, di mana terendah sebesar Rp 4.090 dan tertinggi sebesar Rp 4.290.
Perdagangan hari terakhir, keinginan Asing untuk menjual saham lebih besar dari pembelian ⏬. Volume bid mencapai 10,29%, sementara volume offer mencapai 40,12% dari total volume yang diperdagangkan. Pembelian asing pada hari terakhir bursa melemah dengan penurunan volume ⏬6,65 juta dari hari sebelumnya. Porsi pembelian asing hanya 10,29% dari total volume transaksi.
© 2025, made with ☕️ for better data mining.
Saham menarik saya share via Channel : https://cutt.ly/Orgfv5QW
Pergerakan harga saham: https://stockbit.com/post/15454107
Cara beli harga murah: https://stockbit.com/post/15639981
Indikator gratis penghasil cuan 1: https://stockbit.com/post/17138254
Indikator gratis penghasil cuan 2: https://stockbit.com/post/17200072
Cara menentukan Target Harga Saham 1: https://stockbit.com/post/16301289
Cara menentukan Target Harga Saham 2: https://stockbit.com/post/16379770
Ingat!!
1. Catatan ini bukan pompom, hanya diolah dari data idx.
2. Trading terukur dengan cuan teratur, tidak grusa-grusu supaya cutloss bukan menjadi penentu.
3. Catatan ini hanya info singkat dan bukan rekomendasi jual-beli yang membuat anda bikin rugi.
Berharap informasi rutin setiap hari? beri saya semangat dengan "LIKE", "Comment" dan "FOLLOW"
$SILO Masih di dalam downtrend. Support adalah di 1950an. Dari situ, bisa naik lagi, coba mulai tren positif baru.
$SILO
...
ada yg belum di angkat bandar. salah satunya si SILO ini
TP kita cukup 10% saja, gak usah bagger baggeran. kelamaan.
cari yg setiap hari di atas 10% pastilah ada.
kecuali malam ini si Donald itu berulah lagi.
....
cuma besok pasar gak menarik. tapi siapa tau sama bandar di buat menarik, entah bagaimana caranya dia, kita follow saja.
$SILO mending bayar bunga drpd bayar sewa ke pemilik sebelumnya 🤣
https://cutt.ly/9rfX51Cu
klo publik ga mau ambil, kayanya tetep KMST yg ambil. walaupun ga ada keterangan resmi. tpi induknya $LPKR punya banyak cash hasil jualan $SILO
Apakah RI $LPCK Menarik?
Pertanyaan salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Rights issue PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) yang lagi digelar ini sebenarnya lebih mirip upaya pertolongan darurat buat menyelamatkan proyek Meikarta yang udah lama jadi beban. Lewat skema PMHMETD II, LPCK bakal menerbitkan maksimal 2,97 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp500 per lembar. Kalau semua rights ditebus, perusahaan bisa mengumpulkan dana segar sebesar Rp1,487 triliun. Tapi masalahnya, kondisi pasar nggak sedang bersahabat. Harga saham LPCK di bursa saat ini malah lebih rendah dari harga tebusan, cuma Rp472 per lembar. Artinya, investor yang nekat tebus rights justru langsung rugi di depan mata. Dari sudut pandang logika pasar, nggak ada insentif untuk ikut serta. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Yang udah pasti masuk cuma dana dari satu pemain: PT Kemuning Satiatama (KMST), pemegang saham mayoritas LPCK yang saat ini menggenggam 80,83% saham. Mereka berkomitmen penuh untuk menebus seluruh jatah rights-nya, yaitu sebanyak 2,4 miliar saham atau senilai Rp1,2 triliun. Bahkan, KMST sudah setor uang muka Rp750 miliar sebelum rights dibuka. Sementara itu, sisa dana sebesar Rp285 miliar yang seharusnya datang dari investor publik masih dalam status abu-abu. Tidak ada pembeli siaga, tidak ada waran bonus, dan tidak ada narasi pertumbuhan yang kuat. Kalau publik ogah tebus rights, ya sudah: sahamnya hangus, dan hanya KMST yang menyerap rights-nya sendiri. Dan itu berarti dana yang masuk hanya Rp1,2 triliun — yang mana masih belum cukup.
Karena apa? Karena proyek Meikarta yang sedang disuntik modal ini butuh dana Rp1,794 triliun untuk diselesaikan, berdasarkan hitungan manajemen LPCK. Rinciannya: Rp417 miliar buat District 1, dan Rp1,377 triliun buat District 2. Kalau semua rights laku, ya masih bisa. Tapi kalau hanya KMST yang setor, masih ada lubang sebesar Rp594 miliar yang harus ditambal entah dari mana. Rencananya sih mau nutup kekurangan itu dari penjualan unit apartemen. Tapi itu pun belum pasti. Karena dari total 14.266 unit apartemen yang dijanjikan Meikarta, baru 4.766 unit (alias 33%) yang benar-benar selesai dibangun sampai akhir 2024. Sisanya, 9.500 unit, ditargetkan rampung dan diserahterimakan bertahap sampai 2027. Tapi realistisnya, semua itu butuh modal besar, tenaga kerja, izin-izin, dan yang paling penting: kepercayaan pembeli — yang saat ini sudah remuk sejak skandal Meikarta mencuat di 2018.
Investor juga tahu bahwa LPCK sekarang bukan lagi perusahaan properti sehat. Laporan keuangannya per Q3 2024 menunjukkan rugi usaha Rp1,49 triliun dan rugi bersih Rp1,6 triliun. Penyebab utamanya adalah konversi Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA) yang sebelumnya jadi alat penyelamat MSU (entitas yang mengelola Meikarta) — diubah jadi ekuitas. Konversi ini membuat MSU tidak punya beban utang lagi, tapi seluruh kerugian langsung ditanggung LPCK secara konsolidasi. Selain itu, kas LPCK juga cuma tinggal Rp145 miliar, sementara utang bank jangka pendek masih Rp350 miliar dan total liabilitas sudah naik jadi Rp8,15 triliun. Bahkan meskipun arus kas operasional positif Rp110 miliar, itu belum cukup buat membayar bunga dan cicilan utang yang lebih besar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu bagaimana dari sisi valuasi? Di atas kertas, kelihatan menarik. Harga saham Rp472 dan ekuitas per Q3 2024 sebesar Rp5,2 triliun bikin PBV LPCK kelihatan murah — sekitar 0,51x. Tapi ini bukan undervalued, ini value trap. Karena ekuitas besar yang penuh utang, kerugian masif, dan kas cekak itu bukan kekuatan. Itu hanya catatan angka yang kelihatan bagus tapi nggak bisa dikonversi jadi kekuatan bisnis. Dan investor yang berpikir ini saham diskon kemungkinan besar cuma tertipu angka akuntansi.
Sekarang balik ke pertanyaan inti: apakah rights issue ini bisa laku? Jawabannya: hanya kalau sahamnya digoreng. Serius. Karena saat ini harga pasar lebih murah daripada harga rights. Kalau tidak ada penggorengan harga, tidak ada alasan investor publik mau setor uang tambahan. Rights ini baru menarik kalau harga saham naik ke atas Rp500, idealnya ke Rp550–600. Maka investor merasa, "tebus di Rp500, jual di pasar dapat untung." Tapi kalau harga tetap di bawah Rp500 sampai cum date (15 April 2025), maka bisa dipastikan publik ogah ikut rights, dan rights hanya diserap oleh KMST. Artinya, kepemilikan publik terdilusi dari 19,17% jadi tinggal 10,11%. Free float makin kecil, saham makin illiquid, dan itu bisa jadi awal menuju go private atau tender offer murah di masa depan.
Dan kalau rights ini gagal total di sisi publik, maka LPCK tetap kekurangan dana ratusan miliar untuk menyelesaikan Meikarta. Harus cari tambahan dana lagi? Harus. Dari mana? Entah. Yang jelas, publik makin nggak relevan. LPCK pelan-pelan berubah jadi kendaraan internal Grup Lippo buat menyelamatkan Meikarta. Bukan lagi perusahaan properti publik yang menarik untuk diinvestasikan.
Rights issue ini bukan langkah penyelamatan LPCK secara menyeluruh, tapi lebih ke upaya menunda krisis. Bahkan kalau dana KMST cair penuh, itu cuma cukup buat membiayai sebagian proyek Meikarta. Tanpa penjualan besar-besaran, tanpa sentimen positif, dan tanpa partisipasi publik, rights ini cuma akan jadi transfer dana internal yang memperpanjang napas — bukan menyembuhkan penyakit. Dan kalau kamu investor publik, pertanyaan terpenting bukan lagi “ini saham murah nggak?”, tapi: “emang proyek yang kayak gini masih layak ditolong pakai uang saya?” Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Meski kondisi LPCK dan proyek Meikarta kelihatan amburadul, bukan berarti sama sekali nggak ada potensi. Tapi potensi ini lebih ke arah kalau semua bintang di langit sejajar dan nasib lagi mujur. Artinya, ada kemungkinan LPCK bangkit, tapi dengan syarat yang berat, banyak “jika”, dan jalurnya sempit kayak lorong gang sempit penuh belokan. Bukan buat yang gampang panik.
Pertama, dari sisi aset, LPCK masih punya lahan luas di kawasan Cikarang, termasuk proyek non-Meikarta seperti kawasan CBD Cibatu yang katanya mau dikembangkan jadi mixed-use development. Nilai tanah mereka cukup besar, dan kalau kita percaya tren relokasi industri dari China ke ASEAN terus berlanjut, Cikarang bisa jadi salah satu daerah yang diuntungkan. Artinya, tanah itu bisa disulap jadi cash flow kalau ada investor besar yang masuk atau proyek baru yang jalan. Tapi selama tanah itu belum dikembangkan dan belum dijual, ya tetap aja cuma angka di neraca — nggak bisa dipakai buat bayar utang atau bangun apartemen.
Kedua, proyek Meikarta itu sendiri sebenarnya masih punya sisa potensi revenue. Dari total 14.266 unit apartemen yang ditargetkan, baru 4.766 unit (33%) yang rampung. Masih ada sekitar 9.500 unit yang akan dibangun dan diserahterimakan bertahap hingga 2027. Kalau kita anggap harga jual rata-rata per unit Rp300 juta (konservatif banget), potensi revenue dari unit sisa itu sekitar Rp2,85 triliun. Bahkan kalau yang laku hanya separuhnya, itu masih bisa kasih pemasukan lebih dari Rp1,4 triliun ke MSU (anak usaha LPCK). Tapi ini baru terjadi kalau pasar percaya lagi sama Meikarta, dan itu PR besar. Trauma konsumen dari gagal serah terima, kasus OTT, sampai citra proyek yang mirip ghost town bikin masyarakat masih ogah balik beli.
Ketiga, dari sisi teknikal pasar saham, LPCK masih punya peluang untuk digoreng. PBV-nya sekarang cuma sekitar 0,51x dengan harga saham Rp472 dan ekuitas Rp5,2 triliun. Secara angka, terlihat “murah”. Tapi bukan berarti undervalued, karena kerugiannya masih besar dan arus kas minim. Tapi buat trader yang doyan cuan cepat, saham kayak gini kadang justru menarik — tinggal dikasih sentimen positif dikit, bisa naik kencang dalam waktu pendek. Misalnya, kalau saham LPCK bisa ditarik ke atas Rp500 sebelum cum date, rights issue-nya bisa jadi laris karena publik jadi semangat tebus rights. Dan begitu dana masuk lebih besar, bisa mempercepat progres Meikarta — minimal dari sisi konstruksi.
Keempat, ada kemungkinan rights issue ini jadi titik balik kalau dananya beneran dipakai sesuai janji, proyek berjalan lancar, dan unit mulai diserahterimakan. Kalau ini terjadi, laporan keuangan LPCK bisa mulai sehat lagi tahun depan. Rugi berkurang, kas masuk dari pembeli unit, dan beban proyek turun. Tapi semua ini cuma terjadi kalau manajemen jalan lurus dan tidak ada penundaan pembangunan lagi. Dan sekali lagi, itu kalau semuanya berjalan sesuai rencana — yang selama ini jarang banget kejadian di proyek ini.
Jadi ya, potensi itu memang ada. Tapi bukan potensi buat semua orang. Buat investor jangka panjang yang sabar dan siap tahan tekanan, LPCK bisa jadi bangkai yang satu hari nanti hidup lagi. Tapi buat investor yang maunya jelas-jelas untung dan nggak mau ikut drama, saham ini lebih cocok dipantau dari jauh sambil minum kopi. Karena realitanya, potensi itu bukan berarti pasti. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$LPKR $SILO
1/2
HOW COMPANY GENERATE INCOME
( Sankey Chart Series )
$LPKR in 12M24
✅ GPM 43.0% 😱 MAGNIFICENT ‼️
✅ OPM 179.5% 😱 HOW ❓
✅ NPM 162.8% 😱 SERIOUSLY ❓
Catatan (PENTING):
⚠️ Gross profit pada chart tertulis 5.903.695 (juta IDR) karena mengikuti nilai OPEX yang lebih besar. GP seharusnya adalah 4.951.272 (juta IDR), akibatnya terjadi arus negatif dari GP (arah chart ke kiri) ke EBIT senilai -952.423 (juta IDR). Namun, EBIT LPKR tertolong oleh Other Income (OOI) jumbo. Ini merupakan dampak dari penjualan sebagian saham $SILO di tahun 2024. Untuk gambaran saja: OPM without OOI -8.3% 😵💫
⚠️ Non-Operating Expenses (beban bunga) yang mencapai 1.534.327 (juta IDR) adalah penyebab NPM tanpa OOI menjadi terbebani. Untuk gambaran saja: NPM without OOI -25% 😵💫
Berita bagus pasca penjualan jumbo dari SILO:
✅ LPKR sangat mudah melakukan pelunasan hutang. Beban bunga semestinya akan turun signifikan pada LK selanjutnya
✅ Selain itu, LPKR jadi memiliki ruang gerak fiskal yang sangat lega untuk CA kedepannya. Misalnya, menyerap RI dari $LPCK untuk genjot kembali proyek Meikarta. Hanya saja, entah jadi entah tidak itu RI LPCK.
$PRIM: Semurah Apa?
PRIM, alias PT Royal Prima Tbk, lagi-lagi jadi salah satu saham paling absurd yang bisa kamu temui di papan bursa. Di satu sisi, valuasinya kelihatan kayak diskon cuci gudang—PBV cuma 0,2x, kas masih ada Rp20,7 miliar, tanpa utang berbunga, dan perusahaan ini masih sanggup nyetak arus kas operasional positif Rp47 miliar tahun 2024. Kalau cuma lihat angka itu doang, kamu mungkin mikir, “Wah, ini hidden gem.” Tapi tunggu dulu. Karena di balik angka-angka kelihatannya murah itu, tersimpan tumpukan masalah yang bikin sakit kepala bahkan sebelum kamu sempat beli sahamnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pertama, mari kita bahas yang bagus dulu biar nggak langsung depresi. PRIM ini punya aset tetap besar, total Rp576 miliar net, dan nggak ditumpangi utang bank. Ekuitasnya masih tebal di Rp962 miliar, dan semua liabilitasnya jangka pendek. Arus kas dari pelanggan naik jadi Rp297 miliar (naik dari Rp240 miliar), artinya revenue yang mereka catat itu beneran masuk ke rekening, bukan cuma angka di kertas. Cash conversion-nya mendekati 100%, dan cash conversion cycle (CCC) turun drastis dari 167 hari jadi 59 hari. Kenapa bisa begitu? Karena mereka tunda bayar ke vendor alat medis sampai DPO-nya meledak ke 153 hari. Iya, ini taktik yang lumayan manjur buat jaga likuiditas jangka pendek.
Mereka juga lagi ekspansi. Capex gede banget, tembus Rp102 miliar—mayoritas buat beli alat medis dan bangun rumah sakit baru. Gaji rata-rata karyawan juga naik 8,5%, jadi sekitar Rp11,1 juta/bulan, mungkin karena beban SDM makin fokus ke dokter dan perawat. PRIM bahkan nambah satu direktur baru di 2024, seolah-olah bersiap jadi rumah sakit yang lebih profesional. Arus kas operasional pun positif, dan proyek bangun guna serah (BOT) senilai Rp186 miliar sedang berjalan. Jadi ya, dari permukaan, kelihatan kayak ada harapan.
Tapi di balik itu semua, risiko yang mereka hadapi brutal. Tahun 2024, PRIM rugi Rp18,42 miliar, naik tajam dari rugi Rp1,77 miliar tahun sebelumnya. Rugi operasional pun makin dalam: dari minus Rp6,6 miliar jadi minus Rp20,3 miliar. Gross margin jeblok dari 28% ke 24,8%, dan operating margin hancur lebur di -6,8%. Pendapatan memang naik 13% jadi Rp299 miliar, tapi beban naik lebih cepat. Tambah parah, tunjangan pascakerja melonjak hampir 5x lipat jadi Rp3,87 miliar, dan PRIM justru menaikkan gaji direksi dan komisaris sebesar 46%, padahal perusahaan lagi berdarah-darah. Ini bikin kamu garuk kepala: perusahaan rugi, tapi bosnya malah naik gaji. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu ada utang usaha. Tahun 2023 cuma Rp25,6 miliar, 2024 langsung meledak jadi Rp94,3 miliar, mayoritas ke vendor alat kesehatan. Itu artinya PRIM ngutang ke pemasok buat beli barang, tapi belum bisa bayar. Persediaan juga makin numpuk, dari Rp54,6 miliar ke Rp68 miliar, tapi revenue nggak tumbuh sebanding. Belum lagi piutang—Rp83,35 miliar, dan 52% di antaranya sudah lewat 120 hari. Ini dominan berasal dari BPJS dan Kemenkes. Masalahnya? BPJS dan Kemenkes itu bayar lambat, bahkan PRIM sendiri ngaku dalam CALK bahwa ini jadi fokus risiko audit utama. Tapi cadangan piutang macetnya? Cuma Rp1,93 miliar. Artinya, manajemen anggap itu masih aman, padahal seharusnya kamu curiga—itu rawan overstatement aset dan bisa jeblok sewaktu-waktu.
Soal likuiditas? Jelas bahaya. Semua utang jatuh tempo dalam 12 bulan, total Rp99 miliar, tapi kas cuma Rp20,7 miliar. Artinya PRIM sekarang hidup dari nafas utang ke vendor, sambil nunggu piutang BPJS cair. Nggak ada fasilitas pinjaman standby, nggak ada rencana konkret cari dana, nggak ada dividen, dan sahamnya stagnan. Kalau BPJS makin lama bayarnya, vendor minta cash, dan proyek baru belum menghasilkan, PRIM bisa kesulitan bayar operasional. Itu krisis kas potensial.
Jadi, PRIM itu semacam cigar butt yang nempel di trotoar. Masih ada sisa asapnya, tapi kamu harus nekat buat ngisep, sambil siap mental kalau tiba-tiba batuk dan muntah. Potensinya? Kalau BPJS cair, proyek jadi, dan revenue loncat, valuasinya bisa multibagger. Tapi bahayanya? Kalau cash kering dan piutang nggak tertagih, ini saham bisa mentok di gocap, atau lebih parah: out dari papan.
Kalau kita gabungkan semua analisis valuasi PRIM dari berbagai pendekatan—baik yang standar kayak PER, PBV, sampai yang super konservatif gaya Benjamin Graham (NCAV & NNCW), bahkan yang lebih ke skenario stress-test kayak write-off piutang BPJS dan Kemenkes—maka hasilnya bukan cuma menunjukkan bahwa saham ini murah, tapi juga menjelaskan kenapa pasar memberi harga semurah itu. Dan spoiler alert: bukan karena undervalued, tapi karena fundamentalnya memang rusak.
Mulai dari yang paling umum: PBV. Secara permukaan, PRIM memang kelihatan kayak hidden gem. PBV-nya cuma 0,2x, artinya harga saham cuma 20% dari nilai bukunya. Tapi kalau kita koreksi nilai buku itu dengan pendekatan konservatif—misalnya dengan menulis habis piutang yang udah >120 hari atau bahkan piutang dari BPJS dan Kemenkes—maka PBV-nya tetap rendah, sekitar 0,21x hingga 0,22x. Tetap kelihatan murah? Sekilas iya. Tapi kita belum selesai.
Lanjut ke PER. PRIM mencatat rugi bersih Rp18,42 miliar di 2024. Itu bikin PER-nya jadi negatif -10,7x. Tapi begitu kita coret piutang macet yang gak jelas itu dari laba, kerugian membengkak jadi Rp63,19 miliar kalau hanya exclude piutang >120 hari, atau bahkan Rp83,5 miliar kalau kita coret juga piutang dari BPJS dan Kemenkes. Hasilnya? PER makin memburuk jadi -3,1x atau -2,36x. Intinya, saham ini gak bisa diukur pakai PER karena bisnisnya masih merugi berat, bahkan makin parah kalau kita realistis soal piutangnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sekarang kita lihat dari kacamata Graham, lewat NCAV dan NNCW. Setelah kita bersihin piutang tua >120 hari, NCAV PRIM cuma Rp87,13 miliar, artinya per lembar saham hanya Rp25,70. Harga pasar saat ini Rp58. Jadi saham diperdagangkan 2,26x dari NCAV-nya, jelas gak lolos kriteria deep value. Lebih parah lagi, NNCW cuma Rp5,11 miliar (atau Rp1,51/lembar)—dan dengan market cap Rp197 miliar, berarti PRIM dihargai 38,5x dari nilai net-net bersihnya. Buat investor Graham, ini udah sinyal merah besar.
Jadi meskipun PBV kelihatan menarik, pendekatan valuasi lainnya bilang sebaliknya:
PER? Minus dan makin dalam
NCAV? Gak lolos
NNCW? Sangat jauh dari murah
Valuasi aset? Rapuh karena piutang gak likuid dan persediaan menumpuk
Cashflow? Positif tapi cuma bisa dipakai buat nutup lubang vendor, bukan investasi
Singkatnya, PRIM kelihatan murah karena memang pantas dikasih harga diskon. Bukan karena undervalued, tapi karena bisnisnya penuh risiko struktural—mulai dari ketergantungan pada piutang pemerintah yang lambat bayar, ekspansi tanpa hasil, sampai tekanan likuiditas dan potensi gagal bayar ke vendor. Jadi kalau ada yang bilang “PBV-nya murah banget”, ya memang betul. Tapi yang harus ditanya: “Murah karena kesempatan, atau murah karena pasar sudah nyerah?” Dan semua data yang kita bongkar barusan menjawab dengan cukup jelas: murah karena pasar udah nyerah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Meskipun laporan keuangan PRIM tampak seperti daftar luka-luka korporasi—mulai dari piutang macet, rugi operasional, hingga tekanan likuiditas yang nyata—anehnya saham ini masih bertahan di bursa dan bahkan masih ada investor yang memegangnya. Bukan karena mereka tidak baca laporan keuangan, tapi karena ada beberapa potensi tersembunyi yang, kalau semua berjalan mulus (dan itu big if), bisa jadi penyelamat dan alasan kenapa PRIM tetap eksis.
Pertama, kita lihat dari aset. PRIM bukan perusahaan ecek-ecek dari segi skala. Mereka punya aset Rp1,08 triliun, tanpa utang berbunga, dan basis utamanya adalah rumah sakit—bukan startup khayalan. RSU Royal Prima Medan jadi tulang punggung utama, menyumbang Rp229 miliar revenue (77% total), dan masih dikunjungi pasien. Di saat banyak bisnis gak jelas, PRIM setidaknya masih punya bangunan, alat medis, dan pasien nyata. Bahkan proyek bangun-guna-serah di Marelan menyumbang aset Rp186 miliar. Jadi kalau investor lihat neraca, ada sesuatu yang nyata dan bisa dikelola.
Kedua, revenue PRIM masih tumbuh. Dari Rp265 miliar naik ke Rp299 miliar (+12,8%). Bukan cuma angka, tapi cash dari pelanggan juga nyaris setara, yaitu Rp297 miliar. Artinya, layanan rumah sakit mereka memang dipakai dan dibayar—terutama oleh BPJS dan Kemenkes. Masalahnya bukan revenue fiktif, tapi lambatnya pencairan dan tingginya biaya. Ini penting, karena banyak perusahaan lain bahkan gak bisa nyetak cash walau omzet naik. PRIM masih bisa. Kalau suatu saat piutang pemerintah cair (yang sekarang totalnya Rp60 miliar lebih), maka cash langsung terisi, dan krisis likuiditas bisa tertolong.
Ketiga, PRIM sedang ekspansi. Mereka habiskan lebih dari Rp100 miliar buat beli alat medis dan bangun RS baru. RS Marelan memang masih rugi besar (Rp11,7 miliar di 2024), tapi revenue-nya tumbuh 16,5%. Jadi meski sekarang kelihatan seperti beban, Marelan sebenarnya sedang masuk fase “bakar uang sebelum balik modal”. Sama seperti RS Jambi yang dulu rugi, lalu sempat untung, dan sekarang drop lagi. Kalau Marelan bisa break even di 1–2 tahun ke depan, itu bisa mengubah profil keuangan PRIM secara total.
Lalu kenapa masih dipertahankan? Karena buat investor spekulatif, PRIM itu seperti proyek properti terbengkalai—harganya murah banget (PBV 0,2x), bangunannya masih berdiri, dan kalau ada tukang yang bener, proyeknya bisa selesai dan dijual mahal. Kalau piutang cair, Marelan sukses, dan beban ditekan, PRIM bisa balik cetak laba. Bahkan kalau cuma untung Rp10 miliar setahun, market cap bisa lompat 2x lipat. Tentu, itu skenario optimis. Tapi justru di situlah potensi PRIM—bukan karena sekarang bagus, tapi karena ekspektasi masa depan belum mati total.
Jadi singkatnya, PRIM itu bukan saham indah. Tapi seperti rokok terakhir di bungkus: gosong, tipis, tapi buat sebagian orang yang butuh harapan, masih layak disulut. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$MIKA $SILO
1/2
LPKR - PT. Lippo Karawaci Tbk Rp 82 +2 (+3,00%) Info Selengkapnya! JAKARTA – PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), pengelola real estate dan mall, mencatatkan laba bersih melonjak 31 kali lipat lebih tinggi di 2024, meski pendapatannya menyusut 32% year-on-year (yoy). Berdasarkan laporan keuanga...
idnfinancials.com
rugi di $SILO gua cek di fb harga tanah ga smpe sgtu permeter. klo di rata2in harga belinya 17 Juta/meter. untung di $GMTD $LPKR
JAKARTA – PT Siloam Internasional Hospitals Tbk (SILO) akan membeli aset milik anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) yaitu PT Sentra Karya Sarana (SKS) dan PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (GMTD). Corporate Secretary SILO, Ratih Hadiwinoto, mengatakan kedua aset itu berupa lahan selua...
idnfinancials.com
Apakah $LPKR Laba Melonjak Itu Real?
Request dari salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Laporan keuangan LPKR tahun 2024 adalah salah satu contoh paling elegan bagaimana perusahaan bisa menampilkan citra kesuksesan luar biasa melalui mekanisme yang sepenuhnya legal, terstandarisasi, dan… kalau boleh dibilang, cukup teatrikal. Laba bersih Rp18,7 Triliun yang dicetak LPKR bukan datang dari lonjakan penjualan rumah, mal yang penuh penyewa, atau township yang laku keras. Tidak, ini bukan cerita properti booming. Ini adalah kisah bagaimana menjual anak sendiri—Siloam Hospitals—dan menyulap sisa sahamnya menjadi pundi-pundi laba akuntansi. Bukan uang, tapi angka. Bukan cash, tapi “kekayaan bersyarat”. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kisah ini dimulai ketika LPKR melepas 28,97% saham Siloam dalam dua transaksi kepada investor strategis Sight Investment Company dengan total hasil Rp10,74 Triliun. Ini adalah uang sungguhan, masuk ke kas, dan tercermin di laporan arus kas sebagai bagian dari aktivitas investasi. Tidak ada yang ilegal di sini. Bahkan, sangat sehat. Perusahaan memang berhak menjual sebagian kepemilikan demi merapikan struktur, memperkuat likuiditas, atau mengurangi eksposur. Sampai sini, semuanya berjalan wajar.
Tapi kemudian datang bagian yang menarik. Karena porsi kepemilikan LPKR di Siloam jatuh menjadi 34,73%—dan kontrol terhadap operasional hilang—maka berdasarkan PSAK 65 dan PSAK 22, status kepemilikannya berubah dari “anak usaha” menjadi “entitas asosiasi”. Di sinilah permainan akuntansi naik panggung. PSAK secara tegas menyatakan bahwa sisa saham yang masih dimiliki itu harus dinilai ulang ke nilai wajar pada saat tanggal kehilangan kontrol. Jika nilai bukunya Rp5 Triliun dan nilai pasar saham di bursa membuatnya sekarang Rp10 Triliun, maka selisih Rp5 Triliun itu boleh dicatat sebagai laba.
Dan LPKR melakukannya. Mereka mencatat penghasilan lainnya sebesar Rp21,6 Triliun, yang mayoritas berasal dari pelepasan pengendalian Siloam dan revaluasi sisa saham. Ini langsung menetes ke bawah sebagai laba sebelum pajak, dan setelah pajak (yang sebagian besar juga non-kas), muncullah laba bersih Rp18,7 Triliun—angka yang mengesankan, apalagi dibandingkan laba tahun sebelumnya yang hanya Rp0,65 Triliun.
Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: berapa dari Rp18,7 Triliun itu yang benar-benar masuk kas? Jawabannya: hanya Rp10,74 Triliun, dari penjualan saham. Sisanya? Tidak ada kas masuk. Tidak ada transaksi jual beli nyata. Tidak ada transfer dana. Hanya perubahan status kepemilikan di laporan keuangan dan selisih harga buku vs harga pasar yang dihitung sebagai “laba”. Ini bukan penipuan. Ini bukan rekayasa. Ini adalah PSAK versi eksplorasi maksimal. Dan LPKR memainkannya dengan sempurna. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau angka-angka one-off ini dihapus, dan kita hanya fokus pada operasional bisnis inti, maka laba bersih LPKR hanya tersisa sekitar Rp59,9 Miliar. Angka yang tidak akan membuat siapa pun berdiri dan bertepuk tangan di RUPS. Bahkan, revenue LPKR justru anjlok dari Rp16,85 Triliun ke Rp11,5 Triliun, turun hampir 32%, karena Siloam tak lagi dikonsolidasi. Artinya: bisnis inti LPKR tahun ini justru mengecil, bukan membesar. Arus kas operasi pun hanya Rp1,74 Triliun, relatif flat dan tak menunjukkan gejala “kebangkitan”.
Namun, untuk bersikap adil: kas dari penjualan saham digunakan dengan baik. LPKR melunasi utang, termasuk obligasi Rp6,6 Triliun yang sekarang sudah nol. Total liabilitas turun dari Rp29,9 Triliun ke Rp22,8 Triliun. Ini adalah perbaikan nyata. Ini bukan sulap. Ini benar-benar terjadi dan merupakan hasil dari keputusan strategis yang cerdas. Tapi apakah laba bersih Rp18,7 Triliun itu hasil langsung dari keputusan tersebut? Tentu tidak. Itu adalah hasil dari interpretasi akuntansi terhadap status saham yang berubah.
Lalu apakah semua ini ilegal? Tidak. Sama sekali tidak. Apa yang dilakukan LPKR sepenuhnya legal, sesuai dengan PSAK, dan juga sesuai dengan ketentuan OJK dan BEI. Tidak ada pelanggaran hukum. Tidak ada manipulasi. Tidak ada rekayasa. Yang ada hanyalah perusahaan memanfaatkan aturan yang berlaku untuk menampilkan performa yang tampak optimal. PSAK 65 bahkan mewajibkan revaluasi sisa saham ketika pengendalian hilang. LPKR hanya mengikuti perintah standar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Namun, dari perspektif investor, ini menimbulkan satu dilema klasik: apakah angka laba bisa dipercaya sebagai cerminan kinerja perusahaan? Jawabannya: tidak selalu. Dalam kasus LPKR, angka laba terlalu didominasi oleh transaksi satu kali yang tidak berulang dan tidak menggambarkan kekuatan fundamental. Ketika kamu melihat laba naik 28x lipat, kamu mungkin membayangkan bisnis sedang booming. Padahal, kenyataannya: bisnis menyusut, cash dari operasional stagnan, dan yang bikin angka terlihat bagus hanyalah revaluasi saham yang belum dijual.
Jadi, LPKR tahun ini bukan kisah pertumbuhan. Ini kisah tentang monetisasi aset dan optimalisasi akuntansi. Saham Siloam dijual, sisa saham dihitung ulang, dan hasilnya ditaruh di laporan laba rugi. Investor awam yang hanya melihat angka bawah tanpa baca catatan kaki bisa langsung salah paham. Maka, di dunia akuntansi keuangan, pelajaran pentingnya jelas: angka tidak pernah berbohong, tapi bisa dengan sangat mudah disusun untuk menceritakan kisah yang kamu ingin dengar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dan LPKR 2024 adalah kisah itu—kisah legal, elegan, penuh angka besar, tapi pada dasarnya: laba besar tanpa pertumbuhan revenue, tanpa ekspansi bisnis, dan tanpa penambahan nilai riil dari operasional. Sebuah drama akuntansi yang dimainkan dengan sempurna, dan tidak melanggar hukum sedikit pun.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$SILO $LPCK
1/10
penghasilan terbesar krna jual saham $SILO tp kinerja penjualannya juga terbilang meningkat . Kalau memang direksinya pintar, pastinya kedepan akan makin bersinar ni saham
Kalau baca lagi LK 2024, di Catatan atas Laporan Keuangan butir 1.c (halaman 35) dan butir 40 (halaman 133) ada other income atas divestasi sebagian saham $SILO sehingga kepemilikannya berkurang menjadi hanya 47% sehingga yang dimana tahun sebelumnya LK $SILO dikonsolidasikan ke LK $LPKR maka tahun 2024 ini diperlakukan hanya sebagai investasi di SILO tidak lagi dikonsolidasikan.
Nah, impact dari tidak dikonsolidasikan tersebut, secara akuntansi ada gain yang harus dibukukan di tahun 2024 akibat perubahan perlakuan akuntansi tersebut sebesar Rp21T walaupun nilai transaksi divestasinya hanya sebesar Rp3,8T.
Demikian semoga membantu menjelaskan
SILO - PT. Siloam International Hospitals Tbk Rp 2.470 +60 (+2,49%) Info Selengkapnya! JAKARTA - PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) membukukan laba bersih Rp1,25 triliun pada 2024, naik tipis 0,9% dari tahun 2023 sebesar Rp1,24 triliun. Capaian tersebut berkat kenaikan pendapatan s...
idnfinancials.com