Bitcoin Rupiah Indonesia
Cryptocurrency
Follow
1,713,878,000.00
▴ 452,000.00 (0.03)
As of Mon 00:00
28
Volume
NA
Avg Volume
terus aja pompom $BTCIDR , toh nanti nyungsep juga. makanya kamu jangan fomo dan jangan telan bulat bulat omongan konten-konten yt bocil
Era Baru Udah Dimulai. Kamu Masih Cuma Jadi Penonton?
Ini Bukan Soal Teknologi. Ini Soal Kamu Mau Jadi Siapa.
Kamu sadar gak sih… dunia berubah cepet banget? Baru kemarin kita ramein soal NFT, terus meledak. Eh sekarang udah basi. Terus muncul AI dan bukan cuma chatbot yang bisa bantu jawab soal. Ini udah masuk ke semua lini hidup: konten, bisnis, kesehatan, hukum, bahkan urusan cinta.
Dan kalau kamu masih nganggep AI itu cuma “teknologi canggih buat perusahaan besar”, jujur aja kamu bakal kegilas zaman.
Aku ngomong gini bukan buat nakut-nakutin kamu. Tapi supaya kamu sadar satu hal penting: kalau kamu gak ikut bergerak bareng zaman, zaman bakal ninggalin kamu.
Sebagai investor atau kamu yang baru mau nyemplung ke dunia investasi ini saatnya buka mata lebar-lebar. Karena sekarang kamu lagi berdiri di pinggir jurang. Mau lompat ke masa depan, atau jatuh ke lubang masa lalu, itu pilihan kamu.
1. AI Itu Bukan Masa Depan, Tapi Udah Jadi Sekarang
Tahu gak kenapa banyak orang gagal lihat peluang? Karena mereka selalu nunggu segalanya “jelas”. Mereka maunya semua aman, pasti, tanpa risiko. Padahal, di dunia investasi, yang namanya jaminan itu cuma ilusi buat yang takut rugi.
AI sekarang bukan konsep. Bukan eksperimen. Udah jadi alat produksi. Udah jadi buruh yang gak tidur. Udah jadi karyawan terbaik tanpa gaji.
Contohnya nih, ada anak 15 tahun di luar negeri, pake AI buat bikin konten TikTok. Dia gak pernah nunjukin mukanya. Semua full generated. Tapi viewnya jutaan. Sekarang dia jual produk digital lewat konten yang dia sendiri gak bikin dari nol. Adil? Enggak. Tapi kenyataannya begitu. Dan kamu bisa marah... atau kamu bisa ngikutin.
2. Dunia Lama Udah Mati. Masih Mau Investasi Kayak Tahun 2010?
Kalau kamu masih berpikir investasi itu harus saham bluechip, properti, atau emas, aku gak bilang itu salah. Tapi kalau itu satu-satunya hal yang kamu pikirin, berarti mindset kamu masih kejebak di era analog.
Hari ini, investasi gak lagi soal tempat. Tapi soal momentum.
Kamu bisa punya uang miliaran, tapi kalau kamu taruh di tempat yang stagnan, kamu cuma nunggu uang itu pelan-pelan dimakan inflasi. Sementara di luar sana, ada orang yang cuma modal sejuta, ngulik AI, bikin produk digital, jualan lewat funnel otomatis dan dalam waktu singkat, penghasilannya udah ngalahin gaji PNS senior.
AI itu bukan sekadar alat. Dia leverage. Pengungkit.
Sebagai investor, kamu harus nanya ke diri sendiri:
“Aku naruh uang di mana? Di masa lalu, masa kini, atau masa depan?”
3. Investasi Cerdas di Era AI
Kalau kamu mau jadi investor yang gak cuma cari cuan, tapi juga tahan lama, kamu harus ngerti: investasi terbaik di era ini bukan cuma uang. Tapi insight, posisi, dan adaptasi.
A. Investasi ke Skill yang Relevan
AI gak akan ganti semua orang, tapi dia bakal ganti orang-orang yang gak mau berubah. Kamu gak perlu jadi programmer buat cuan dari AI. Tapi kamu harus ngerti gimana AI bisa bekerja buat kamu, bukan menggantikan kamu.
Kamu bisa invest waktu buat belajar prompt engineering, content automation, video scripting, bahkan sekadar ngerti AI tools mana yang bisa bantu turunin biaya operasional bisnis kamu.
B. Investasi ke Aset Digital
Sekarang orang ngomongin real estate digital: website, akun media sosial, NFT produktif, lisensi digital, bahkan “influencer AI”. Ini semua bentuk aset yang bisa kamu miliki, rawat, dan monetisasi.
Orang kaya di era lama punya pabrik. Orang kaya di era sekarang punya trafik.
Dan AI bisa bantu kamu bangun “pabrik konten” tanpa harus jadi selebriti.
C. Investasi ke Mindset Fleksibel
Ini yang paling penting. Dunia berubah. Model bisnis berubah. Pasar berubah. Kalau kamu masih keras kepala tetap lakuin cara lama karena “udah nyaman” ya silakan. Tapi jangan heran kalau beberapa tahun lagi, kamu minta tolong ke orang yang dulu kamu anggap “kerjaannya mainan AI gak jelas.”
4. Siapa Cepat, Dia Dapat. Siapa Nunggu, Jadi Penonton
Coba jujur sama diri sendiri sekarang. Kamu termasuk yang nunggu semuanya matang? Nunggu AI jadi “mainstream”? Nunggu tutorial bahasa Indonesia? Nunggu ada mentor yang ngajarin dari A sampai Z?
Kalau iya, maaf, kamu udah kalah dari sekarang.
Karena sekarang, di era ini:
Yang lambat bukan cuma kalah. Tapi gak kebagian.
Kenapa perusahaan-perusahaan gede sekarang berani gelontorin milyaran buat riset AI? Karena mereka ngerti satu hal:
"Yang dapet panggung, adalah yang paling awal masuk dan paling cepat belajar."
Bukan yang paling pintar.
Bukan yang paling kaya.
Tapi yang paling berani nyemplung, trial-error, dan konsisten.
5. Kamu Gak Harus Ngerti Semua, Tapi Harus Mulai dari Sesuatu
Mungkin kamu mikir, “Aku gak ngerti AI, aku bukan anak IT, aku orang biasa aja.”
Justru karena kamu orang biasa, kamu gak punya kemewahan buat gak belajar.
Orang kaya bisa nyewa konsultan, bisa hire expert, bisa beli tools mahal.
Kamu? Satu-satunya senjata kamu sekarang adalah kecepatan belajar dan keberanian coba.
Mulai dari hal kecil. Coba tools AI yang gratis. Bikin satu konten pake bantuan AI. Lihat respon pasar. Coba automate satu bagian bisnis kamu. Jual produk digital pake AI. Lihat hasilnya.
Jangan semua ditunda. Jangan tunggu sempurna dulu.
Kamu harus mau berantakan dulu sebelum jadi tajam.
6. AI Itu Bukan Saingan Kamu Tapi Partner Baru yang Gak Pernah Tidur
Aku gak nyuruh kamu jadi budak teknologi. Tapi aku mau kamu sadar: AI bukan musuh kamu kecuali kamu terus nolak buat kerja sama sama dia.
Aku punya kenalan, dulunya desainer grafis. Sekarang? Dia pake AI buat bantu generate konsep desain, moodboard, bahkan desain draft awal. Dia fokus di koreksi akhir dan komunikasi ke klien. Yang dulu butuh 10 jam, sekarang cuma 2 jam. Gaji tetap. Waktu lebih banyak. Value lebih tinggi.
Itulah maksudnya: AI itu leverage.
Kalau kamu gunain dengan benar, hasil kamu bakal berlipat.
Tapi kalau kamu lawan, ya AI tetap jalan. Tanpa kamu.
7. Dunia Gak Nungguin Kamu. Tapi AI Ngebuka Jalur Kalau Kamu Mau
Kita hidup di zaman paling brutal sekaligus paling penuh peluang.
Dulu, kamu harus punya modal besar buat bikin perusahaan. Sekarang? Kamu bisa pake AI buat jadi solopreneur dengan sistem yang rapi. Dulu kamu butuh tim buat bikin konten. Sekarang? Bisa sendiri. AI jadi tim kamu.
Sekarang tinggal satu pertanyaan: Kamu mau jadi investor yang nonton, atau investor yang main?
8. Kamu Nggak Bisa Cuan dari Sesuatu yang Kamu Takutin
Aku paham. Banyak orang takut sama AI karena kelihatan rumit. Tapi justru karena itu, yang berani ngebongkar dan belajar bakal dapet kuenya duluan.
Investasi itu bukan cuma soal uang. Tapi juga soal nyali.
Dan zaman ini butuh investor yang punya dua hal: visi dan aksi.
Visi buat lihat masa depan. Aksi buat mulai hari ini juga.
9. Kamu Bisa Mulai Sekarang. Atau Kamu Bakal Jadi Cerita Lama
Beberapa tahun lagi, kamu bakal lihat banyak orang yang kamu kenal jadi “seseorang” berkat AI. Dan kamu juga bakal lihat banyak yang dulu stabil, tiba-tiba jadi korban disrupsi.
Kamu mau yang mana?
Kalau kamu bilang kamu investor, buktikan.
Cari sektor AI yang kamu ngerti. Pelajari use case-nya. Coba masukin sebagian kecil portfolio kamu.
Atau kalau belum bisa investasi uang, ya investasiin waktumu buat belajar. Bikin satu produk digital dengan bantuan AI. Bangun akun media sosial AI-generated. Coba dulu.
Karena AI bukan tren. Dia revolusi.
Dan revolusi gak nunggu semua orang siap.
Dia cuma nyisain dua jenis manusia: yang siap nyambut, dan yang siap digilas.
Kalau kamu udah baca sampai sini, aku yakin satu hal: kamu belum mati rasa. Kamu masih pengen tumbuh.
Tinggal satu pertanyaan terakhir:
Mau kamu apain peluang dan potensi kamu hari ini?
Kamu bisa tutup tulisan ini, scroll TikTok, dan lanjut hidup kayak biasa.
Atau kamu bisa nyalain otak, buka tools AI, dan mulai jadi bagian dari generasi investor baru yang gak cuma nunggu tapi nyeruduk langsung ke masa depan.
Penutupan
Jadi sekarang tinggal satu pertanyaan:
Kamu mau jadi penonton... atau jadi pemain yang bikin sejarah?
Karena dunia gak peduli kamu siap atau enggak.
Teknologi gak nanya kamu mau ikut atau enggak.
AI gak berhenti nunggu kamu ngerti dulu baru jalan.
Dia terus lari. Dan cuma yang lari bareng yang bakal bertahan.
Yang diam? Bakal ditinggal. Dilindas. Dihapus dari peta persaingan.
Kalau kamu masih mikir AI itu buat teknisi dan anak IT, kamu udah salah dari awal.
AI itu bukan tren. Dia gelombang.
Dan kamu cuma punya dua pilihan: surfing di atasnya, atau tenggelam di bawahnya.
Kamu gak harus jago.
Kamu cuma harus mau mulai.
Karena yang nunggu, pasti kalah.
Tapi yang mulai, walau masih bego, punya peluang buat menang lebih cepat.
Ingat ini baik-baik:
AI gak akan ngebunuh kamu.
Tapi rasa takut kamu buat gerak,
itu yang bakal ngebunuh kamu pelan-pelan.
Sekarang, tutup tulisan ini kalau kamu mau jadi biasa-biasa aja.
Atau buka satu tools AI. Lakuin satu hal.
Dan mulai langkah pertama kamu menuju masa depan.
Karena yang bikin kaya bukan cuma uang. Tapi keputusan.
Dan kamu baru aja dikasih pilihan.
Konteks: https://cutt.ly/crzBsjh9
$IHSG $BTC $BTCIDR
Cicil bitcoin 100 ribu per hari
10 - 13 mei 2025
Total $BTC : 0,00391274 BTC
Total Modal : Rp 5.800.000 ( hari ke 54 )
Nilai Portfolio : Rp 6.676.437
Average Price : $89.838
$BTCIDR $ETH
🥜🍒== FRUGAL LIVING 101 ==🍒🍟
Playbook 2025... Peacemaker 2025...
seperti yang dibahas pada post pertama, hidup frugal tidak harus membosankan atau pelit. Intinya adalah mengoptimalkan nilai dari setiap uang dan sumber daya.
Satu hari , satu sharing ilmu, bisa ilmu teknikal , bisa ilmu hidup lainnya, dan pengalaman.
1. Semua tentang mindset... Ubah mindset: “Bukan hemat, tapi pintar”.
Frugal bukan berarti pelit, tapi fokus pada nilai jangka panjang, bukan hanya harga murah.
Misalnya: investasi pada barang berkualitas tahan lama, daripada murah tapi cepat rusak. Bisa juga, pengalaman dan pengetahuan > barang fisik.... Ikut kursus yang gratis lebih bermanfaat daripada beli gadget baru. Apalagi ampe beli gadget harganya itu sampai 25 jutaan?
2. Hidup minimalis secara strategis.
coba deh kalian terapkan aturan 1 in, 2 out: kalau beli satu barang baru, buang atau jual dua barang lama. Saya sampai sejauh hari ini melangkah, saya selalu menerapkan pertimbangan sebelum beli suatu barang. Apa dampaknya, apa keunggulannya, apa yang bisa di substitusi dll.
Ada satu kalimat saya lupa, tapi saya ingat dan jadi pedoman saya, kira kira begini: Jika kita membeli barang yang atas dasar keinginan, dan bukan barang yang atas dasar kebutuhan. maka suatu saat kita akan menjual barang yang atas dasar keinginan tersebut untuk membeli barang yang atas dasar kebutuhan. Ajaran lama seingatnya saya. Maklum....
lalu, gunakan juga prinsip “Capsule Wardrobe” : punya sedikit baju yang bisa dicampur padan secara fleksibel. saya itu penampilan biarin lancai, tapi saya yang penting ekuitas bertumbuh, indomie lancar, dan tidak minta makan sama orang......
3. Rajin cek harga dan paham kondisi di luar.
Sebelum membeli barang, selalu lakukan usaha untuk perbandingan harga. saya terkesima saat dulu kuliah , ada itu website, luar negeri, lupa namanya. misalnya kita mau beli kamera DLSR. nanti dia bisa jebretin dilayar tuh harga2 di berbagai online shop. Jadi, user bisa tahu toko mana yang lebih murah. Tinggal klik, nanti nyambung ke web dia. ini zaman dulu, sebelum dunia menjadi Ubiquitous Computing.....
Jadi uda ada pengalaman sedari dini saya, jadi seperti orang Purchasing 😄.
4. Catat pengeluaran yang dilakukan. Dengan mencatat, kita jadi tahu mana expenses yang sejatinya itu ga bermanfaat dan bisa di efisiensikan. Rekan rekan juga bisa memanfaatkan berbagai promo, untuk mendapat harga murah.
Sekian ,
salam
Nantikan bahasan berikutnya. Saya pengen nulis tentang bagaimana membangun porto investasi untuk pemula. Saya lihat banyak follower masih angka tahun baru yah. Mungkin adik adik bisa belajar belajar dulu.
disclaimer on, dyor.
random: $IHSG
$BTCIDR $USDIDR
$BTC $TELE $BTCIDR
https://cutt.ly/brzzgjMn
Just sharing experience dan berbagi ilmu:
Bollingerband GOAT TF 1 jam terpantau Meruncing dan siap naik keatas, apakah harga akan benar2 bullish to the moon lagi...
Probabilitasnya memang Up tapi market tidak mudah diprediksi sebab itu bisa saja nanti koreksi dulu sebelum meneruskan trend bullishnya.
Pergerakan BTC pun juga sudah mecotot kenceng keatas di TF 1 jam.
$BTCIDR $BTC $GOAT
Note: Not Financial Advice,
#DYOR
1/6
Gambar 1 adalah view $BTC dalam jangka panjang. Terlihat pola Inverted HnS sudah di breakout pada november 2024 dan sudah kembali meretest support neckline pada maret 2025.. 84 rb sampai 75 ribu adalah area ideal untuk memulai cicil bitcoin
Gambar 2 dan 3 adalah view btc dalam jangka menengah. Terlihat btc sudah mendekati di resistance all time high nya.
Saya berekspektasi harga akan terkoreksi terlebih dahulu ke 91 - 90 ribu. Setelah itu harga akan kembali rebound dengan target mencapai 140 rb - 150 rb.
Not financial advice
Analisa ini tidak 100% valid. Tetap do your own reseach
$BTCIDR $ETH
1/4
Danantara Ngikutin Tren atau Jaga Stabilitas? Negara Nggak Boleh FOMO.
Halo kamu yang lagi baca ini, hari ini aku mau ajak kamu ngobrol soal sesuatu yang katanya keren banget: usulan biar Danantara, lembaga pengelola dana investasi negara, beli Bitcoin buat cadangan strategis. Iya, kamu nggak salah baca. Negara disuruh beli Bitcoin! Awalnya aku juga mikir, “Wah, keren nih idenya!” Tapi makin dibaca, makin digali, makin banyak hal yang justru bikin dahi berkerut.
Bagaimana Ceritanya Bisa Sampai ke Bitcoin?
Jadi gini, ceritanya ada masukan dari beberapa tokoh ada dari HIPMI, dari pelaku industri kripto, bahkan CEO bursa kripto lokal. Mereka ngasih usulan ke pemerintah, lewat Danantara, buat masukin Bitcoin sebagai bagian dari cadangan strategis. Alasannya? Karena rupiah terus melemah, terus juga karena katanya negara-negara lain udah mulai melirik Bitcoin. Dan pastinya, biar Indonesia “nggak ketinggalan kereta”.
Pihak OJK juga kasih komentar diplomatis banget katanya mereka “menghargai usulan inovatif” itu. Tapi ya nggak langsung bilang setuju juga sih. Maklum, badan pengawas pasti harus kalem.
Nah, ini nih yang menarik. Karena pas kita denger kata “Bitcoin”, otak kita tuh langsung lompat ke kata “cuan”. Rasanya kayak ada alarm di kepala: “Wah, jangan sampai kelewatan nih! Negara-negara kaya aja mulai nyicil beli BTC, masa kita enggak?”
Bahkan tokoh-tokoh yang kelihatan keren dan berpengaruh mulai angkat suara. Ada juga yang bilang, “Liat dong, BlackRock aja beli Bitcoin, masa Danantara enggak?” Wah, sekilas kayaknya masuk akal banget ya. Tapi yuk kita coba bedah bareng-bareng dengan kepala dingin dan logika sehat. Kadang, hal yang kelihatannya canggih, justru bisa menjerumuskan kalau dasar berpikirnya salah.
Jadi gini, kita mulai dari awal ya. Danantara ini apa sih? Gampangnya, Danantara itu semacam lembaga pemerintah non-kementerian yang bertugas menyalurkan dan mengelola investasi negara, semacam "super holding" BUMN. Tugasnya bukan cuan doang, tapi juga jaga kepentingan ekonomi nasional.
Nah, yang lagi rame itu kan karena ada usulan supaya Danantara punya cadangan Bitcoin. Katanya bisa jadi strategi buat memperkuat rupiah dan juga melunasi utang negara. Di atas kertas? Keliatannya keren. Tapi ayo kita cek satu per satu, kira-kira ini logis enggak sih?
1. Kesalahan Berpikir: Bandwagon Effect “Karena BlackRock beli, maka Danantara juga harus beli.”
Ini tuh kayak logika "temen aku beli sepatu model itu, berarti aku juga harus beli." Padahal konteksnya beda banget. BlackRock itu perusahaan investasi swasta terbesar di dunia, dan mereka beli Bitcoin bukan buat jadi “cadangan strategis negara.” Mereka beli buat produk ETF jadi itu bagian dari strategi diversifikasi buat klien mereka, bukan keputusan negara.
Sementara Danantara? Dia bukan fund manager pribadi. Dia itu entitas yang tugasnya strategis banget buat masa depan bangsa. Ngikutin tren kayak BlackRock tanpa mikirin konteks lokal itu ibarat kamu ikut-ikutan gaya hidup orang super kaya, padahal kondisi keuanganmu beda jauh.
2. Kesalahan Berpikir: False Analogy “Kalau Bitcoin bisa naik terus, artinya pasti aman buat cadangan.”
Ini bahaya banget. Mikir kayak gini tuh kayak bilang, “Karena emas mahal, berarti berlian sintetis juga aman.” Padahal beda banget. Bitcoin itu masih volatil banget. Turun 10%-20% dalam seminggu itu biasa. Dan ini yang orang suka lupa: cadangan strategis negara itu tugasnya menjaga kestabilan, bukan berspekulasi.
Bayangin kalau Danantara taruh 100 triliun di Bitcoin, lalu harganya jeblok 30% dalam sebulan. Negara rugi 30 triliun. Mau ditutupin pakai apa? Dibilang ke rakyat, “Maaf ya, uang kita lenyap karena Bitcoin merah?” Gak lucu, bro.
3. Kesalahan Berpikir: Overconfidence Bias “Bitcoin pasti naik karena jumlahnya terbatas.”
Yes, jumlah Bitcoin memang cuma 21 juta. Tapi kamu tahu enggak, nilai suatu aset itu bukan cuma soal kelangkaan, tapi juga soal persepsi pasar. Sekarang mungkin banyak orang percaya Bitcoin itu emas digital. Tapi lima tahun lagi? Siapa yang jamin?
Overconfidence itu bikin orang merasa dia pasti benar. Padahal, sejarah pasar udah penuh dengan contoh aset “terbatas” yang akhirnya nggak bernilai lagi. Ingat tulip mania di Belanda abad 17? Atau dot-com bubble tahun 2000-an? Semua orang yakin banget waktu itu. Tapi akhirnya? Rontok juga.
4. Kesalahan Berpikir: Cherry Picking “Lihat dong, Bitcoin udah naik ribuan persen!”
Ini tuh ngambil data yang sesuai narasi doang, terus nutupin sisi buruknya. Ya, Bitcoin naik luar biasa sejak awal. Tapi itu enggak menjamin bakal terus naik. Kamu juga harus lihat masa-masa kelam Bitcoin: kayak 2018, atau 2022 pas FTX bangkrut, dan harga ambrol lebih dari 70%.
Kita harus adil dong. Kalau mau lihat potensi naiknya, ya liat juga potensi turunnya. Apalagi kalau ini soal uang negara. Gak bisa main untung-untungan doang kayak beli token meme di grup Telegram.
5. Kesalahan Berpikir: Salah Kaprah Tentang “Cadangan Strategis”
Nah ini. Cadangan strategis itu biasanya dalam bentuk aset yang stabil, likuid, dan diterima secara global: kayak emas, dolar, surat utang negara lain yang bonafid. Tujuannya apa? Buat jaga kestabilan moneter, lindungi ekonomi dari krisis, atau buat bayar utang darurat.
Bitcoin? Stabil aja belum. Diterima secara global juga belum. Likuid di pasar dalam negeri? Apalagi. Jadi kalau kita sebut Bitcoin sebagai “cadangan strategis,” ini kayak kamu nyebut celengan koin receh sebagai tabungan pensiun. Gak nyambung, bro.
6. Kesalahan Berpikir: Solusi Sederhana untuk Masalah Kompleks
Masalah utang Indonesia itu besar banget dan kompleks. Kita ngomongin angka Rp 8.400 triliun. Nah, ada yang bilang, “Beli Bitcoin biar bisa bantu bayar utang.” Ya ampun, ini kayak bilang, “Nabung di koin kripto biar bisa beli rumah tahun depan.”
Kita harus fair. Nggak ada satu instrumen ajaib yang bisa menyelesaikan masalah struktural ekonomi. Solusi utang ya perbaikan APBN, pajak, efisiensi belanja, reformasi fiskal. Bukan beli aset volatil yang harganya kayak roller coaster.
7. Kesalahan Berpikir: Mengabaikan Regulasi dan Risiko Sistemik
Kalau Danantara beli Bitcoin dalam skala besar, kamu tahu gak efek dominonya? Bayangin kalau harganya jatuh dan laporan keuangan Danantara merah. Lalu publik panik. Kepercayaan pasar hancur. Pemerintah bisa kehilangan kredibilitas.
Dan lebih parah lagi, kalau ini dijadikan contoh oleh daerah-daerah atau BUMN-BUMN lain. “Wah, pusat aja beli Bitcoin, kita juga ah.” Bisa-bisa nanti negara kita berubah jadi komunitas trader kripto.
8. Kesalahan Berpikir: Menyamaratakan Bitcoin dengan Emas
Ada yang bilang, “Kan Bitcoin kayak emas digital, jadi bisa jadi cadangan.” Tapi gini ya, emas itu udah ribuan tahun dipercaya, bisa dipakai buat jaminan, bisa dilebur, disimpan fisik, dan diterima di mana-mana. Bitcoin? Masih tergantung server, internet, dan sistem blockchain yang kompleks.
Lagipula, emas itu gak bisa diretas. Gak bisa di-hack. Bitcoin? Sudah banyak kasus dompet kripto dibobol. Dan pemerintah gak punya jaminan kayak di bank. Jadi risiko teknologinya masih tinggi.
9. Kesalahan Berpikir: Ketahanan Rupiah Akan Kuat karena Bitcoin
Ini lucu sih. Bitcoin itu berfluktuasi terhadap dolar, bukan terhadap rupiah. Kalau rupiah melemah, Bitcoin bisa naik, tapi itu bukan karena Bitcoin kuat, tapi karena rupiah yang lemah.
Kalau negara taruh Bitcoin, terus harganya naik, dan rakyat lihat, “Wah, mata uang kita kalah dong sama aset negara sendiri?” Gimana nggak makin bikin kepercayaan publik ke rupiah makin turun?
10. Kesalahan Berpikir: Ilusi Keamanan Teknologi
Banyak yang merasa karena Bitcoin berbasis blockchain, maka otomatis aman. Tapi mereka lupa: keamanan itu bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal governance dan kontrol manusia.
Kamu bisa bikin sistem blockchain super canggih, tapi kalau orang yang ngelola salah ambil keputusan atau disusupi kepentingan politik, ya tetap aja bisa berantakan. Gak ada sistem yang bisa 100% kebal dari kebodohan manusia.
11. Kesalahan Berpikir: Teknologi Baru Pasti Lebih Baik
Nah, ini juga sering kejadian. Banyak orang percaya bahwa karena Bitcoin itu teknologi baru, maka otomatis harus lebih baik dari sistem lama kayak emas atau dolar. Pola pikir ini sering banget ngebuat orang buru-buru ngadopsi sesuatu tanpa mikir panjang.
Padahal, gak semua yang baru itu selalu lebih bagus. Banyak teknologi baru yang ternyata gak matang dan gagal di pasar. Kayak Google Glass dulu hype banget, tapi akhirnya bubar. Atau Segway katanya bakal jadi transportasi masa depan, nyatanya malah gak kemana-mana.
Bitcoin itu masih muda banget dibanding sistem moneter global. Dia belum terbukti tahan uji dalam krisis ekonomi global, belum terbukti aman dari manipulasi teknologi, dan belum diakui secara resmi sebagai cadangan devisa oleh negara-negara besar. Jadi jangan mentang-mentang “baru” langsung disimpulkan “pasti lebih baik.”
12. Kesalahan Berpikir: Negara Gagal kalau Tidak Ikut Tren
Ada juga yang bilang, “Kalau Indonesia gak ikut beli Bitcoin, nanti ketinggalan zaman!” Wah, ini tuh pola pikir FOMO alias Fear of Missing Out. Seolah-olah kalau kita gak ikut beli sekarang, besok-besok bakal nyesel.
Padahal negara itu bukan influencer TikTok. Tugasnya bukan jadi yang paling update atau keren, tapi jadi yang paling stabil, hati-hati, dan berorientasi jangka panjang. Negara gak bisa ambil keputusan karena takut dibilang kudet (kurang update).
Kalau urusan pribadi sih silakan, kamu mau FOMO beli token kripto, itu risiko sendiri. Tapi kalau uang negara yang dipakai dan kebijakannya diambil hanya karena takut “ketinggalan zaman,” itu berbahaya banget. Karena efeknya bisa jangka panjang dan melibatkan jutaan orang.
13. Kesalahan Berpikir: Bitcoin Anti Inflasi, Jadi Pasti Cocok Buat Negara
Ini juga perlu dikritisi. Memang banyak penggemar Bitcoin yang bilang Bitcoin itu “hedge against inflation” alias pelindung dari inflasi. Tapi kenyataannya? Data gak selalu mendukung.
Contohnya waktu inflasi naik di AS tahun 2022, apa yang terjadi? Bukannya Bitcoin naik, malah jeblok. Emas justru relatif stabil. Kenapa? Karena Bitcoin itu belum cukup dewasa untuk benar-benar jadi pelindung nilai. Investor masih ngelihatnya sebagai aset spekulatif, bukan store of value sejati.
Jadi kalau alasan beli Bitcoin karena pengen lindungin negara dari inflasi, itu logika yang terlalu sederhana dan belum terbukti. Gak semua teori di forum Reddit bisa langsung diterapkan ke kebijakan negara.
14. Kesalahan Berpikir: Bitcoin = Desentralisasi = Aman
Banyak juga yang bilang, “Bitcoin itu sistem terdesentralisasi, jadi gak bisa dimanipulasi.” Kedengarannya keren, ya? Tapi kita harus bedain antara teori dan praktik.
Betul bahwa Bitcoin itu tidak dikontrol oleh satu entitas, tapi bukan berarti bebas dari manipulasi. Kamu tahu kan soal whale? Orang-orang atau institusi yang punya Bitcoin dalam jumlah besar bisa ngegerakin pasar hanya dengan satu transaksi.
Dan belum lagi soal mining pool. Sebagian besar kekuatan mining Bitcoin saat ini terkonsentrasi di beberapa kelompok besar. Kalau mereka berkolusi, bisa aja terjadi serangan 51% yang ngerusak jaringan. Jadi desentralisasi itu bukan berarti kebal dari risiko sistemik.
15. Kesalahan Berpikir: Semakin Banyak yang Pakai, Semakin Aman
Kamu pernah dengar kalimat ini: “Sekarang semua orang udah punya Bitcoin, jadi ini teknologi yang aman dan mapan.” Ini tuh ilusi popularitas. Hanya karena sesuatu banyak dipakai, bukan berarti itu aman atau cocok buat semua.
Banyak hal yang dulu populer, tapi akhirnya jatuh juga. Contohnya MySpace, Friendster, atau Blackberry. Dulu itu raja. Sekarang? Tinggal sejarah.
Popularitas itu bisa dibentuk oleh tren jangka pendek, bukan karena nilai jangka panjang. Jadi kita gak boleh ngelihat Bitcoin cuma dari banyaknya pengguna atau pemberitaan. Kita harus lihat apakah teknologi itu stabil, kuat, dan cocok untuk dijadikan fondasi keuangan negara. Dan sejauh ini, jawabannya masih belum meyakinkan.
16. Kesalahan Berpikir: Satu Solusi Untuk Semua Masalah
Ada juga yang mikir, “Kita punya banyak masalah ekonomi, jadi kita butuh satu solusi radikal yang bisa menyelesaikan semuanya.” Dan Bitcoin sering dijadikan “pahlawan tunggal.”
Tapi gini ya, masalah negara itu kompleks banget. Dari defisit anggaran, ketimpangan, subsidi, hingga utang luar negeri semua itu butuh pendekatan yang sistemik, terukur, dan realistis.
Bitcoin mungkin bisa jadi bagian dari portofolio pribadi atau instrumen investasi jangka panjang untuk individu, tapi bukan silver bullet buat menyelesaikan persoalan fiskal dan moneter negara. Kita gak bisa ngarep ada satu alat ajaib yang bisa nyelametin semuanya.
17. Kesalahan Berpikir: “Gak Nyoba Gak Tau”
Ada juga yang bilang, “Ya udah dicoba aja dulu, kalo rugi juga gak apa-apa, yang penting belajar.” Hmm… ini sih kalau uangnya pribadi ya silakan. Tapi kalau ini uang negara? Gak bisa dong.
Bayangin kamu jadi bendahara keluarga, lalu kamu bilang, “Kita taruh tabungan keluarga di kripto ya, biar kita belajar.” Terus harga turun 60%. Gimana tuh rasanya? Marah, kan?
Nah, apalagi ini levelnya negara. Negara gak boleh coba-coba pakai uang rakyat. Semua harus berdasarkan data, riset, dan pertimbangan jangka panjang. Gak bisa cuma karena penasaran atau pengen ikut tren.
18. Kesalahan Berpikir: Pemerintah Pasti Bisa Kendalikan Risiko
Kadang ada yang terlalu percaya bahwa pemerintah kita pasti bisa atasi risiko. “Tenang aja, toh kalau rugi, negara bisa atur ulang.”
Wah, ini sih ilusi kontrol. Negara itu bukan pesulap. Sekali uang hilang, reputasi rusak, atau kepercayaan publik anjlok, susah banget buat balikin. Dan kalau pemerintah terlalu banyak ikut main di aset berisiko tinggi, bisa-bisa dianggap tidak profesional sama investor asing. Implikasinya? Biaya utang naik, mata uang tertekan, dan efek dominonya ke seluruh rakyat.
19. Kesalahan Berpikir: Bitcoin Pasti Masa Depan
Sering juga ada klaim, “Bitcoin itu masa depan keuangan dunia, jadi kita harus masuk sekarang.” Tapi, ingat ya, masa depan itu gak pernah pasti. Dulu orang juga bilang Netscape browser itu masa depan internet. Atau Yahoo itu masa depan bisnis digital. Mana sekarang mereka?
Bitcoin bisa jadi punya peran penting di masa depan. Tapi bisa juga kalah oleh teknologi baru. Bisa juga digantikan oleh Central Bank Digital Currency (CBDC) yang dikeluarkan negara. Atau bisa juga diregulasi habis-habisan oleh pemerintah dunia.
Intinya, jangan terlalu yakin sama satu narasi. Selalu ada kemungkinan berubah. Dan negara gak boleh bertaruh segalanya ke satu kemungkinan aja.
20. Kesalahan Berpikir: Bitcoin = Sovereign Wealth Fund Baru
Beberapa orang punya ide ekstrem: “Kenapa Danantara gak jadiin Bitcoin sebagai dasar Sovereign Wealth Fund (SWF)?” Waduh, ini sih ngaco total. SWF itu dibentuk buat stabilitas, investasi jangka panjang, dan ketahanan ekonomi negara.
Kalau dasarnya Bitcoin? Yang bisa turun 20% dalam sehari? Lalu balik naik lagi? Itu bukan fondasi, tapi roller coaster. Bayangin kamu bangun rumah di atas trampolin. Gak bakal stabil.
21. Kesalahan Berpikir: Kalau Untung Gede, Negara Pasti Diuntungkan
Ini mirip kayak main judi. Emang kalau untung, untungnya besar. Tapi risikonya juga sepadan. Negara gak boleh ikut main spekulasi. Karena begitu negara ikut untung-untungan, lalu tiba-tiba rugi besar, yang nanggung itu seluruh rakyat.
Ingat kasus 1MDB di Malaysia? Negara ikut main investasi aneh-aneh, ujungnya malah jadi skandal dan beban politik. Kita jangan sampai ulangin hal yang sama hanya karena pengen “cuan instan.”
Penutup
Jadi gini, bro...
Aku bukan anti kripto. Aku juga paham kenapa orang tertarik sama Bitcoin, ada potensi, ada teknologi baru, dan narasinya kuat banget. Tapi kita harus bisa bedain mana ranah pribadi dan mana ranah negara.
Kalau kamu beli Bitcoin buat investasi pribadi? Sah-sah aja. Kamu tanggung sendiri untung ruginya. Tapi kalau Danantara atau institusi negara beli Bitcoin? Risikonya ditanggung bersama, dan keputusannya gak boleh didasari nafsu ikut tren.
Apalagi dengan dalih “karena BlackRock beli.” Itu sih udah kesalahan berpikir dari awal. Bandingin institusi beda negara, beda misi, beda aturan main, itu kayak bandingin Ferrari sama traktor. Sama-sama kendaraan, tapi fungsinya beda jauh.
Negara itu gak butuh keren, gak butuh viral, gak perlu punya aset paling nyentrik. Negara butuh stabil, dipercaya rakyat dan investor, dan punya pijakan ekonomi yang kuat.
Aku gak bilang Bitcoin itu jelek. Enggak sama sekali. Tapi kita harus jernih: Bitcoin sebagai aset spekulatif beda banget fungsinya dengan Bitcoin sebagai cadangan strategis negara. Kita harus hati-hati banget naruh uang publik. Risiko besar, volatilitas tinggi, dan belum ada preseden yang jelas bikin langkah ini jadi sangat berbahaya kalau dijadikan kebijakan.
Kalau kamu pribadi mau beli Bitcoin? Silakan. Tapi kalau negara yang pegang uang ratusan triliun mau ikutan beli pakai alasan “biar kayak BlackRock” atau “biar rupiah kuat,” nah itu sih logika yang perlu dipertanyakan.
Dan justru karena kita sayang sama negeri ini, kita harus bisa kritik dengan bijak. Gak semua yang kelihatan canggih itu baik buat negara. Jangan sampai karena salah berpikir, uang rakyat yang dikorbankan.
Jadi yuk, kita kritis. Jangan gampang terbuai sama narasi “pahlawan baru” yang seolah bisa menyelamatkan segalanya. Lebih baik pelan tapi aman, daripada ngebut tapi jatuh di tikungan.
Konteks: https://cutt.ly/HrzrKUOo
$IHSG $BTC $BTCIDR
Cicil bitcoin 100 ribu per hari
6 mei - 9 mei 2025
Total $BTC : 0,00368067 BTC
Total Modal : Rp 5.400.000 ( hari ke 54 )
Nilai Portfolio : Rp 6.243.794
Average Price : $88.916
$BTCIDR $ETH
@Cashedin betul bang udah gak wajar grafiknya, lihat juga noh $BTCIDR udah gak wajar naiknya asing kabur lagi ada sentimen apa dari dalam negeri kita yah?
buat ikut saya pakai avg aja sabar karena ada grafik gak wajar di kripto $BTCIDR karena sudah 2 hari asing akum di harga saya hold
$ANTM saya melihat grafik gak wajar antara saham Indonesia dengan $BTCIDR kalaupun naik gak masalah rezeki saya sampai sini mau serakah tapi takut bahaya
$BTC $BTCIDR $USDIDR
kl bener ke 90k high probability for long entry with 1:5 rr or more if u expect btc will hit 150k this bullrun.
Cicil bitcoin 100 ribu per hari
3 mei - 5 mei 2025
Total $BTC : 0,00343305 BTC
Total Modal : Rp 5.000.000 ( hari ke 50 )
Nilai Portfolio : Rp 5.377.012
Average Price : $87.895
$BTCIDR $ETH
Analisa Teknikal Itu Bukan Jalan Menuju Pencerahan
Ngaku trader?
Setiap hari kamu buka chart. Layar penuh candle merah hijau yang berkedip seperti lampu disko. Indikator memenuhi layar MACD, RSI, stochastic, Bollinger Bands, moving average dari berbagai periode, fibo retracement, volume profile, parabolic SAR, Ichimoku cloud.
Ada satu masalah: kamu bahkan sering lupa harga sekarang ada di mana.
Kamu bangga bisa baca pola. Kamu hapal semua formasi:
Cup and handle.
Double top.
Descending triangle.
Head and shoulders.
Flag, wedge, pennant.
Lalu kamu analisa. Tarik garis. Coret-coret chart. Dan kamu merasa sudah melakukan sesuatu yang hebat. Kamu merasa “bisa baca pasar.”
Padahal, jujur aja…
Yang kamu lakukan bukan analisa. Tapi pembenaran.
Kamu sudah naksir satu saham. Entah karena rekomendasi influencer, obrolan grup, atau karena kamu merasa “saham ini murah”. Lalu kamu buka chart, bukan buat menimbang objektif. Tapi buat mencari satu alasan saja agar bisa bilang:
“Oke, ini waktunya entry.”
Dan ketika chart belum menunjukkan sinyal yang kamu harapkan?
Kamu ganti timeframe.
Lihat 1 jam, 4 jam, harian, mingguan.
Kamu utak-atik indikator.
Ganti parameter.
Cari satu sinyal yang bisa kamu tafsirkan sebagai bullish.
Dan ketika akhirnya kamu menemukannya, kamu bilang ke diri sendiri:
“Yes, saatnya cuan.”
Padahal itu bukan hasil dari sistem.
Bukan hasil dari perhitungan risiko.
Bukan hasil dari strategi teruji.
Itu cuma hasil dari harapan.
Kamu memanipulasi chart demi memenuhi ekspektasi pribadi. Kamu memaksa market untuk mengikuti narasi yang kamu buat sendiri. Dan kamu menyebutnya analisa.
Padahal yang kamu lakukan adalah self-confirmation bias.
Kamu trading bukan berdasarkan data.
Tapi berdasarkan keinginan.
Kamu bukan menganalisa chart.
Tapi memohon petunjuk dari chart.
Analisa teknikal itu bukan bola kristal.
Bukan peta harta karun.
Bukan kitab suci.
Bukan jalan pencerahan.
Analisa teknikal itu cuma cermin.
Dia memperlihatkan apa yang sudah terjadi bukan apa yang akan terjadi.
Kalau kamu pakai cermin untuk memutuskan ke mana langkah berikutnya tanpa pakai logika, tanpa sistem, tanpa rencana… ya siap-siap aja nabrak.
Market itu bukan rumus matematika kaku. Market adalah makhluk hidup yang digerakkan oleh emosi manusia: takut, serakah, panik, euforia. Dan semua emosi itu tercermin di chart.
Tapi teknikal tidak mengontrol emosi itu.
Teknikal hanya membantu melihat emosi itu.
Coba aku tanya...
Berapa kali kamu beli karena golden cross, tapi besoknya langsung merah?
Berapa kali kamu lihat flag pattern dan berharap terbang, tapi malah longsor?
Berapa kali kamu tahan saham karena masih di atas MA 200, tapi akhirnya jebol juga?
Kamu tahu kenapa?
Karena kamu lupa satu prinsip dasar:
Sinyal teknikal itu bukan jaminan.
Itu cuma probabilitas.
Dan trading itu bukan soal siapa yang paling pintar baca chart. Tapi siapa yang paling paham bagaimana menghadapi kemungkinan.
Trader yang baik bukan cari sinyal pasti. Tapi tahu cara bertahan meskipun sinyal gagal.
Banyak trader teknikal bangkrut bukan karena kurang ilmu, tapi karena terlalu percaya sama chart. Kamu narik garis support-resistance kayak bikin karya seni. Chart-mu rapi, estetik. Tapi portofoliomu berdarah-darah.
Kenapa?
Karena kamu lupa fungsi teknikal yang sebenarnya.
Teknikal itu cuma alat bantu.
Bukan pengganti otak.
Bukan pengganti logika.
Bukan pengganti manajemen risiko.
Kalau kamu nggak tahu apa itu stop loss,
nggak ngerti position sizing,
nggak ngerti risk-reward ratio...
Maka cepat atau lambat, teknikal lah yang akan membunuhmu.
Bukan karena indikator salah.
Tapi karena kamu maksa chart menjawab pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh sistem.
Dan ini kesalahan fatal yang umum terjadi:
Semakin kamu bingung, semakin banyak indikator kamu tumpuk.
Kamu pasang MA 20, MA 50, MA 200.
RSI 14. Stochastic 5-3-3.
VWAP. Volume profile. Fibo retracement.
Ichimoku cloud. Parabolic SAR.
Semuanya kamu aktifkan. Layar penuh warna-warni.
Kamu pikir semakin banyak indikator, semakin kuat konfirmasi.
Padahal:
Semakin banyak indikator, semakin besar kebingunganmu.
Semakin banyak sinyal, semakin banyak kontradiksi.
Semakin banyak analisa, semakin lambat kamu ambil keputusan.
Dan akhirnya?
Kamu nggak entry sama sekali atau entry saat udah telat.
Itu bukan analisa. Itu paralysis by analysis.
Dan itu lebih berbahaya daripada entry yang salah.
Karena kamu kehilangan peluang. Kehilangan momentum.
Tapi tetap merasa “sibuk”.
Kalau kamu masih baca sampai sini, berarti kamu mulai sadar.
Bahwa selama ini kamu bukan jadi analis, tapi jadi pemimpi teknikal.
Kamu bukan cari sistem.
Tapi cari pelarian.
Kamu berharap candle bisa nunjuk jalan.
Padahal arah itu harus datang dari strategi.
Dari sistem.
Dari perencanaan.
Bukan dari sinyal.
Dan kalau kamu belum punya sistem,
maka teknikal cuma jadi alat pembenaran untuk keputusan impulsif.
Contohnya gini:
Kamu lihat satu saham breakout.
Volume naik. Candle hijau panjang.
Langsung FOMO.
Langsung masuk. Tanpa pikir panjang.
Besoknya? Gap down.
Support jebol. Harga turun.
Kamu panik. Tapi kamu buka chart lagi.
Cari pembenaran.
“Ini cuma retest.”
“Mungkin throwback ke breakout zone.”
Lalu kamu tahan.
Padahal itu bukan retest. Tapi reversal.
Sakit? Sakit.
Tapi siapa suruh kamu percaya candle lebih dari percaya proses?
Yang kamu perlukan bukan hafalan 100 pola teknikal.
Tapi pemahaman 3 hal penting ini:
1. Kenapa kamu beli.
Bukan cuma karena sinyal. Tapi karena kamu tahu logika di baliknya.
Ada sistem. Ada alasan. Ada rencana.
2. Kapan kamu keluar.
Jangan tunggu chaos untuk menentukan titik exit.
Sebelum masuk, kamu harus tahu di mana akan take profit dan di mana akan cut loss.
3. Seberapa besar kamu berani rugi.
Karena semua sinyal bisa gagal. Tapi kamu bisa tetap hidup kalau kamu bisa kelola risiko.
Itu prinsip dasar yang sering diabaikan.
Trader yang survive bukan trader yang paling pintar,
tapi trader yang paling disiplin.
Dan terakhir…
Ingat ini baik-baik:
“Analisa teknikal bukan untuk mencari kepastian. Tapi untuk membaca kemungkinan.”
Kalau kamu masih berharap candle kasih jawaban pasti,
berarti kamu belum siap jadi trader.
Kamu masih jadi pemuja sinyal.
Bukan pengambil keputusan.
Dan pasar itu nggak butuh pemuja.
Pasar hanya menghargai mereka yang:
Punya sistem.
Punya kendali emosi.
Paham bahwa kalah itu bagian dari permainan.
Kalau kamu menganggap chart bisa menyelamatkanmu dari kerugian,
maka kamu akan terus terjebak dalam lingkaran harapan kosong.
Yang kamu butuhkan bukan candle hijau,
tapi mindset yang tahan banting.
Mindset yang ngerti bahwa nggak semua sinyal harus dituruti.
Mindset yang tahu bahwa kadang, posisi terbaik adalah nggak ambil posisi.
Mindset yang sadar bahwa profit itu bukan hasil dari sekali klik, tapi hasil dari disiplin berulang.
Dan kalau kamu bisa mulai dari situ…
maka akhirnya kamu benar-benar menjadi trader.
Bukan pemimpi.
Bukan pemuja.
Tapi pengambil keputusan yang bertanggung jawab.
$IHSG $BTC $BTCIDR
Strategi Investasi Buat yang Siap Menang
Kamu pasti udah denger nasihat klasik kayak: “jangan panik, saham itu jangka panjang,” “cuan datang buat yang sabar,” atau “dividen itu bukti cinta perusahaan ke pemegang saham.” Kedengeran bijak, ya? Tapi kalau kamu cuma ngangguk dan langsung percaya, tanpa mikir dalam, kamu udah kena bullshit pertama dari dunia investasi.
Aku gak bakal jual mimpi di sini. Aku juga gak bakal nyuruh kamu ikut kelas premium atau beli e-book. Yang aku mau kamu bangun cara mikir sebagai investor. Tapi syaratnya satu: kamu harus siap mental buat denger yang gak enak.
Karena kebenaran itu pahit. Tapi bisa bikin kamu sembuh dari kebodohan.
Kalau kamu pikir jangka panjang itu cuma soal beli saham, terus tinggal nunggu bertahun-tahun, ya maaf, kamu belum ngerti cara mainnya. Aku bakal ajak kamu ngobrol tentang itu. Siap?
1. Jangka panjang itu bukan nunggu, tapi tahan banting
Banyak orang bilang, “ah, tinggal beli terus tahan aja.” Padahal kenyataannya, selama nahan itu kamu bakal disiksa mental. Harga naik turun, berita jelek muncul, semua orang bilang jual… dan kamu harus tetap tenang.
Jangka panjang bukan soal waktu, tapi mental. Bayangin kamu lagi di arena adu kekuatan. Kalau kamu cuma berharap bisa bertahan sampai lawan kelelahan, kamu keliru. Jangka panjang itu lebih mirip pertarungan, di mana kamu harus siap dengan segala guncangan yang datang tanpa kehilangan fokus. Banyak orang yang berharap bisa untung cuma dengan menunggu, padahal yang mereka lupakan adalah proses perjalanan yang penuh gejolak.
Kamu harus kuat saat market ambruk, bahkan pas portofoliomu merah. Nggak semua orang tahan lihat uangnya “hilang” 30-50% di layar, padahal sebenarnya belum benar-benar hilang. Itu cuma angka yang bergerak naik turun seiring emosi pasar yang berubah-ubah. Yang terpenting, kamu tahu kalau angka itu nggak mewakili keseluruhan nilai bisnis yang kamu pegang.
Kamu harus belajar jadi orang yang tahan panas dalam jangka panjang. Karena yang bikin kamu gagal bukan marketnya, tapi pikiranmu sendiri. Banyak orang yang akhirnya menjual sahamnya pas harga turun karena ketakutan, padahal seharusnya itu adalah waktu terbaik untuk menambah posisi. Belajar mengontrol emosi adalah kunci utama bertahan.
2. Market itu gak peduli sama perasaanmu
Ini yang kadang orang lupa. Kamu bisa udah riset semalaman, belajar laporan keuangan, nonton semua video YouTube tentang saham… tapi tetap bisa rugi. Market gak punya empati. Gak ada yang peduli kamu baru mulai belajar. Kalau kamu salah ambil keputusan, ya kamu kena. Begitulah kerasnya dunia investasi.
Pasar tidak mengenal kasihan, tidak peduli seberapa keras kamu berusaha, dan tidak punya waktu untuk memikirkan situasi pribadi kamu. Keputusan kamu adalah segalanya. Itulah mengapa kamu harus terus belajar, terus mengasah kemampuan, dan jangan pernah merasa bahwa kamu sudah cukup pinter. Seperti seorang petarung, kamu harus selalu siap menghadapi apapun yang datang, tanpa peduli seberapa banyak kamu sudah mempersiapkan diri.
Dan justru karena itu, kamu harus belajar terus. Harus terus nambah ilmu, belajar strategi, dan jangan pernah ngerasa udah cukup pinter. Dunia pasar saham bergerak cepat. Kalau kamu gak terus belajar dan beradaptasi, kamu akan tertinggal. Jangan berhenti hanya karena kamu merasa sudah paham. Sebaliknya, selalu cari kesempatan untuk memperdalam pengetahuan dan memahami lebih dalam lagi cara kerja pasar.
3. Gak usah pegang banyak saham, pegang yang kamu ngerti
Dulu aku juga semangat banget, beli semua saham yang kayaknya bagus. Tiba-tiba udah punya 15 saham. Tapi ternyata malah bingung sendiri. Kamu gak perlu banyak-banyak. 3-5 saham yang kamu ngerti betul jauh lebih baik daripada 15 saham yang kamu beli cuma karena ikut-ikutan.
Ini adalah salah satu kesalahan paling umum di dunia investasi. Gak perlu ambil banyak saham untuk merasa keren atau terlihat pintar. Yang penting adalah pemahaman yang dalam tentang bisnis yang kamu pilih. Lebih baik kamu fokus ke beberapa saham yang benar-benar kamu pahami dan punya keyakinan kuat tentang masa depan bisnisnya. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, kamu bisa menghadapi gejolak pasar dengan lebih tenang dan percaya diri.
Pilih yang kamu ngerti bisnisnya, kamu tahu cara mereka cari uang, dan kamu percaya perusahaannya kuat buat jangka panjang. Gak semua yang murah layak dibeli. Dan gak semua yang populer itu aman. Banyak orang yang beli saham hanya karena harga murah atau karena semua orang bicara tentangnya. Padahal, kalau kamu nggak paham bagaimana cara perusahaan itu menghasilkan uang, itu adalah perjudian, bukan investasi.
4. Mulai dari bisnisnya, bukan dari harganya
Kebanyakan orang kebalik. Lihat harga dulu, baru cari tahu itu saham apa. Padahal harusnya kamu mulai dari: “perusahaan ini ngapain sih?” Bikin apa? Jual ke siapa? Gimana cara mereka cari untung?
Terlalu banyak orang yang hanya fokus pada harga saham dan naik turunnya tanpa memperhatikan apa yang terjadi di balik layar. Harga saham itu hanya cerminan dari reaksi pasar terhadap berbagai faktor, termasuk emosi. Untuk menjadi investor yang sejati, kamu harus memulai dari hal yang jauh lebih fundamental: bisnisnya. Dengan begitu, kamu bisa memahami secara lebih baik bagaimana pasar menghargai saham tersebut dan apakah harga saham itu sejalan dengan nilai sesungguhnya dari perusahaan.
Kalau kamu ngerti bisnisnya, kamu bisa lebih tenang saat harga naik turun. Karena kamu tahu yang kamu pegang itu bukan cuma angka di layar, tapi bagian dari bisnis nyata. Harga itu cuma cermin dari emosi pasar. Tapi nilai bisnis itu yang bakal bertahan. Dan nilai itu yang bakal ngangkat harga suatu hari nanti.
5. Jangan kejar untung, kejar cara mikir jadi investor
Banyak orang masuk dunia saham cuma karena pengen cuan cepat. Ya, siapa sih yang nggak pengen? Tapi kalau kamu cuma fokus ke uangnya, kamu bakal keblinger. Coba ubah mindsetnya dari “gimana cara cepet kaya” jadi “gimana cara mikir kayak investor beneran”.
Di dunia investasi, yang penting bukanlah seberapa cepat kamu bisa kaya, tapi seberapa baik kamu mengelola portofolio dan membuat keputusan berdasarkan analisis yang matang. Investor sejati bukan hanya melihat angka, tapi juga memahami dinamika perusahaan dan pasar secara lebih luas. Mereka tahu kapan saatnya membeli, kapan harus sabar menunggu, dan kapan saatnya untuk menjual.
Investor itu bukan tukang tebak-tebakan. Mereka ngerti angka, ngerti psikologi, ngerti bisnis. Mereka punya sabar. Dan mereka tahu kapan harus diam, kapan harus ambil langkah. Kamu harus belajar baca laporan keuangan. Harus ngerti apa itu margin, cash flow, utang, growth. Karena di situlah kekuatanmu sebagai investor dibentuk.
6. Kamu pemilik, bukan spekulan
Kalau kamu beli saham cuma karena rame dibicarain, atau karena grafiknya cakep, ya kamu spekulan. Tapi kalau kamu beli karena kamu ngerti bisnisnya, percaya sama manajemennya, dan yakin dia bakal tumbuh, itu baru investor.
Bayangin aja kamu beli 30% warung kopi deket rumah. Kamu gak bakal mikir tiap hari soal harga sahamnya. Kamu bakal mikir: laku berapa gelas hari ini? Kualitasnya bagus gak? Ada pesaing baru gak?
Nah, logika itu yang kamu pakai juga buat saham di bursa. Karena di balik layar, itu semua adalah bisnis beneran, bukan cuma angka.
7. Jangan telan mentah semua “rekomendasi”
Kamu bakal nemu banyak banget info, entah dari YouTube, Twitter, grup Telegram, TikTok, apa pun. Tapi jangan langsung percaya. Selalu tanya: “Orang ini ngomong karena dia tahu, atau karena dia pengen gue beli biar dia bisa jual?”
Informasi yang kamu terima itu perlu disaring dengan hati-hati. Banyak orang yang hanya ingin menjual saham mereka atau menciptakan hype. Yang perlu kamu pahami adalah bahwa tidak semua informasi itu relevan atau akurat. Penting untuk membangun kemampuan analisis pribadi dan mengandalkan sumber yang kredibel.
Belajar saring informasi. Makin banyak kamu tahu, makin kamu sadar bahwa banyak orang di luar sana cuma cari perhatian, bukan kasih nilai. Dan kalau kamu gak punya filter, kamu cuma akan jadi korban.
8. Cuan besar datang dari disiplin, bukan hoki
Kadang kamu bisa hoki beli saham acak, terus naik 100%. Tapi itu bukan prestasi. Itu kebetulan. Kalau kamu bisa ulang itu 5 kali, 10 kali, baru itu skill. Investor yang beneran bisa cuan gede itu karena disiplin. Mereka punya strategi. Mereka gak panik saat turun, gak serakah saat naik. Mereka ikuti sistem, bukan emosi.
Keberuntungan itu bukan yang bisa diandalkan. Yang paling penting adalah strategi yang konsisten. Seorang investor sejati bisa menjalankan rencana investasi dengan disiplin, tanpa dipengaruhi oleh kegembiraan jangka pendek atau ketakutan yang timbul karena volatilitas pasar. Mereka tahu bahwa cuan besar itu datang dari keputusan yang rasional, dan bukan dari keputusan yang diambil karena emosi sesaat. Jadi, jika kamu serius ingin sukses, kunci utamanya adalah memiliki sistem yang teruji dan disiplin untuk mengikuti sistem itu. Jangan tergoda oleh godaan jangka pendek yang mungkin tampak menggiurkan.
Jadi kuncinya bukan cari saham paling hot. Tapi bangun kebiasaan berpikir dan bertindak yang konsisten. Karena yang tahan lama bukan feeling, tapi disiplin. Dengan disiplin, kamu tidak akan mudah terjebak dalam hype pasar. Kamu akan tetap berjalan sesuai dengan rencana yang telah kamu buat, meskipun harga saham naik turun.
9. Emosi itu musuh dalam selimut
Kamu gak bisa pura-pura gak punya emosi. Kita semua punya. Tapi bedanya, kamu harus bisa sadar dan ngatur.
Emosi adalah bagian dari diri kita, tapi dalam dunia investasi, emosi bisa jadi senjata makan tuan. Takut bisa bikin kamu jual terlalu cepat, serakah bisa bikin kamu beli terlalu cepat, dan ego bisa bikin kamu gak mau ngaku salah saat keputusanmu keliru. Semua itu bisa merusak keputusan investasi kamu.
Mulai sekarang, setiap kamu mau beli atau jual, coba tanya dulu: “Gue ngelakuin ini karena analisis, atau karena takut/serakah/panik?”
Mengenali emosi yang mempengaruhi keputusanmu sangat penting. Salah satu cara untuk mengontrol emosi adalah dengan memiliki jurnal keputusan. Catat setiap alasan mengapa kamu membeli, menjual, atau mempertahankan saham. Seiring waktu, kamu akan bisa melihat pola emosional yang muncul dan mulai belajar untuk mengontrolnya.
Punya jurnal keputusan bisa bantu. Catet semua alasan kamu beli, jual, tahan, tambah. Di situ kamu bakal nemu pola pikirmu dan cara ngontrolnya.
10. Jangka panjang itu... membosankan. Dan itu bagus
Kebanyakan orang salah kira. Mereka pikir saham itu harus deg-degan, seru, tiap hari mantengin chart. Padahal investor beneran malah bosen.
Kenapa bisa bosen? Karena kalau kamu udah punya portofolio solid, kamu gak perlu utak-atik tiap hari. Justru itu tandanya kamu udah di jalan yang benar. Kalau kamu benar-benar memahami apa yang kamu pegang, dan percaya dengan potensi bisnis yang ada, kamu gak akan merasa perlu untuk terus-menerus mengecek harga saham setiap saat.
Sebaliknya, kamu akan merasa lebih tenang, karena kamu tahu bahwa harga saham itu hanya fluktuasi sesaat. Yang penting adalah fundamental perusahaan yang kamu beli. Jika bisnis tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik, harga saham akan mengikuti seiring waktu.
Kamu tinggal review tiap kuartal. Baca laporan tahunan. Nikmati hidup. Sambil nunggu waktu bekerja buat kamu.
Jika kamu merasa bosan karena tidak ada aktivitas cepat yang terjadi, itu pertanda kamu sedang menjalani investasi yang benar. Fokus pada jangka panjang dan terus pertahankan disiplinmu. Kalau kamu pengen seru, main game aja. Investasi gak harus bikin jantung copot tiap hari.
11. Makin pinter, makin rendah hati
Ini yang kadang bikin orang jatuh: ngerasa udah ngerti semua. Padahal di market, semua orang bisa salah. Bahkan yang udah puluhan tahun pun bisa kepleset.
Semakin banyak kamu belajar, semakin kamu sadar betapa luasnya dunia investasi. Ini adalah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, dan bahkan yang paling berpengalaman pun bisa salah. Di pasar saham, tidak ada yang tahu segalanya dengan pasti. Bahkan para profesional sekalipun.
Makin kamu belajar, makin kamu sadar bahwa investasi adalah perjalanan panjang yang memerlukan kedewasaan dan sikap rendah hati. Kamu harus selalu siap menerima kenyataan bahwa meskipun kamu merasa pintar atau berpengalaman, pasar tetap bisa mengejutkanmu kapan saja.
Dan makin kamu rendah hati, makin kamu terbuka buat belajar.
Ego itu mahal. Tapi belajar itu gratis. Jadi pilih yang mana?
12. Risiko itu bukan buat ditakutin, tapi dikendalikan
Banyak orang takut rugi, jadi gak berani mulai. Padahal rugi itu bagian dari proses. Yang bahaya bukan rugi, tapi gak ngerti kenapa rugi.
Investasi memang melibatkan risiko. Tidak ada yang namanya investasi tanpa risiko. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kamu mengelola risiko tersebut. Rugi itu bukan akhir dunia, yang penting adalah kamu bisa belajar dari setiap kerugian dan mengambil langkah-langkah yang lebih bijak di masa depan.
Mulai dari kecil. Pakai uang dingin. Jangan minjem. Jangan pakai uang buat bayar listrik atau makan.
Membatasi jumlah uang yang kamu investasikan dan hanya menggunakan dana yang tidak akan mengganggu kebutuhan hidup adalah langkah pertama yang bijak. Ini akan mengurangi tekanan psikologis saat pasar mengalami volatilitas.
Bikin rencana. Tentuin tujuan. Mau investasi buat apa? 5 tahun ke depan? 10 tahun?
Dengan menetapkan tujuan yang jelas, kamu akan lebih mudah bertahan ketika pasar mengalami kemunduran. Ingat, jangka panjang itu membutuhkan kesabaran, dan yang paling penting adalah jangan terburu-buru. Investasi yang bijak itu tidak pernah terburu-buru.
Terakhir
Jangka panjang itu bukan buat semua orang. Ini jalan yang sunyi. Kadang kamu disindir karena kelihatan pasif. Kadang kamu diragukan. Tapi kalau kamu kuat, sabar, dan terus belajar, kamu bakal sampai di tempat yang orang lain cuma bisa mimpiin.
Dalam dunia investasi, kesuksesan sering datang kepada mereka yang tidak terlihat mencolok di luar. Mereka yang tahu kapan harus bertindak, kapan harus diam, dan yang tidak tergoda dengan godaan sesaat.
Ingat, dunia investasi gak peduli siapa kamu. Mau kamu jenius, punya prestasi banyak, atau kepintaran di atas rata-rata, pasar tetap gak peduli. Yang peduli cuma satu: Siapa yang kuat bertahan? Siapa yang tahu cara bermain? Siapa yang siap jadi pemenang?
Kepintaranmu, gelar-gelar yang kamu punya, atau segala prestasi yang kamu raih di luar sana itu gak ada artinya di pasar. Yang diukur di pasar cuma satu: Mentalitas dan kemampuanmu untuk bertahan serta mengambil keputusan yang tepat di saat yang tepat.
Gak ada yang namanya shortcut atau keajaiban cuma karena kamu merasa lebih pintar dari orang lain. Pasar itu buta dan dingin. Kamu bisa jadi orang tercerdas di sini, tapi kalau mentalmu gak teruji, pasar akan ngajarin kamu pelajaran yang lebih keras dari yang bisa diajarin oleh siapapun. Jangan sampai jatuh ke dalam jebakan "aku lebih pintar dari ini." Itu cuma jalan pintas menuju kegagalan.
Jadi, meskipun kamu punya kepintaran, tetap ingat: Di pasar saham, yang bertahan lama itu bukan yang paling pintar, tapi yang paling sabar dan punya kemampuan untuk belajar dari setiap kekalahan.
Aku gak bilang ini mudah. Tapi aku bisa janjiin, ini bisa. Kalau kamu udah baca sampai sini, aku tahu kamu bukan orang biasa dan siap untuk jadi pemenang.
$IHSG $BTC $BTCIDR
Cicil bitcoin 100 ribu per hari
30 april - 2 mei 2025
Total $BTC : 0,00324611 BTC
Total Modal : Rp 4.700.000 ( hari ke 47 )
Nilai Portfolio : Rp 5.236.345
Average Price : $86.960
$BTCIDR $ETH
Jika $BTCIDR adalah sebuah saham, maka jumlah saham beredar hanya 210,000 lot dan harga 1 lot nya mahal sekali hampir 160 Milyar Rupiah , untungnya punya 10rb rupiah aja kita bisa beli btc secara ketengan 😂🔥🤣
KSEI
Aku gak tahu kamu gimana, tapi kalo aku buka aplikasi KSEI (AKSes), aku langsung mikir: “Hah? Ini aplikasi resmi? Masa tampilannya gini amat?” Kayak bukan aplikasi yang ngurusin data investasi ratusan ribu bahkan jutaan orang. Terus pas udah login? Lemot. Mau klik ini itu, kadang loadingnya lama banget. Buka data-data aja bisa makan waktu segelas kopi. Nah, di sini aku mau ajak kamu ngobrol, kenapa sih aplikasi KSEI ini bisa kayak gini? Apa emang gak ada niat buat dibenerin?
1. KSEI Itu Apa Sih Sebenernya?
Oke, biar ngobrol kita nyambung, aku jelasin dikit ya. KSEI itu singkatan dari Kustodian Sentral Efek Indonesia. Intinya, mereka yang nyimpen dan ngatur data kepemilikan efek di Indonesia. Kayak bank-nya saham. Jadi kalau kamu punya saham, reksa dana, atau surat berharga lainnya, data kepemilikannya itu disimpen dan dikelola sama KSEI.
Nah, aplikasi AKSes (Acuan Kepemilikan Sekuritas) itu dibuat supaya kita bisa ngecek data investasi kita secara langsung, tanpa harus nunggu laporan dari broker atau manajer investasi. Harusnya ini keren dong ya? Tapi sayangnya… yah, kamu tahu sendiri.
2. Tampilan Kayak Aplikasi Zaman BBM Masih Hits
Kamu masih inget BBM? Aplikasi chatting zaman dulu sebelum WhatsApp nguasain dunia. Nah, tampilan AKSes tuh kayak aplikasi zaman BBM. Flat, kaku, dan gak ada desain yang user-friendly. Warna-warnanya juga membosankan. Kadang hurufnya kekecilan, kadang posisinya aneh, terus navigasinya bikin bingung. Udah kayak buka file Excel yang udah error formatting-nya.
Padahal sekarang kan orang udah terbiasa sama aplikasi yang smooth dan estetik. Bahkan aplikasi e-wallet aja udah kayak social media: penuh warna, animasi, dan gampang dipakai. Masa KSEI yang ngurusin data miliaran malah tampilannya kayak tugas kuliah anak IT semester satu?
3. Lemot, Sabar Aja Gak Cukup
Tampilan bisa dimaafin lah ya, tapi performa? Wah ini yang paling nyebelin. Bayangin kamu pengen ngecek portofolio investasi karena harga saham lagi gonjang-ganjing. Kamu buka AKSes, terus… loading muter-muter. Udah gitu kadang malah logout sendiri. Kadang error, terus disuruh login ulang. Kadang berhasil login tapi data gak muncul. Hadeuh.
Masalah ini udah lama banget dan kayaknya gak kunjung diperbaiki. Aku pribadi sampe males buka AKSes dan akhirnya lebih sering ngandelin aplikasi broker atau platform lain buat ngecek investasi. Padahal ya, KSEI itu sumber data aslinya. Ironi gak sih?
4. Fitur Minim, Gak Ada Inovasi
Kamu pernah gak sih ngerasa, “Udah cuma bisa cek portofolio, masa itu doang fiturnya?” Bener, di AKSes tuh kita cuma bisa lihat data SID, daftar efek, sama histori transaksi. Udah. Gak ada grafik interaktif, gak ada ringkasan performa, gak ada reminder, gak ada insight. Bahkan yang paling dasar kayak “total keuntungan/rugi” aja gak dikasih.
Buat aplikasi yang fungsinya jadi pintu utama investor buat lihat data, AKSes itu terasa… kosong. Gak ada upaya buat bikin kita betah. Padahal kalau mau, mereka bisa tambahin fitur analisis sederhana, atau bahkan integrasi dengan berita keuangan biar investor awam bisa ikut belajar. Tapi ya gitu. Gak ada tanda-tanda mau update besar-besaran.
5. Kenapa Bisa Gini? Gak Ada Dana? Gak Ada Desainer?
Pertanyaan besarnya: kenapa sih aplikasi ini gak dibenerin? Aku gak percaya KSEI kekurangan dana. Mereka institusi besar, dan bagian penting dari pasar modal Indonesia. Logikanya, mereka pasti punya anggaran buat pengembangan teknologi. Jadi masalahnya mungkin di niat. Mungkin juga di birokrasi.
Kadang instansi pemerintah atau lembaga keuangan yang semi-publik itu terlalu kaku. Mereka terlalu fokus ke fungsi, bukan ke pengalaman pengguna. Padahal sekarang UX (user experience) itu segalanya. Tapi ya gimana, mungkin di dalam organisasinya gak ada tekanan buat berubah. Selama sistemnya jalan dan gak crash, ya dianggap aman.
6. Bandingin Sama Aplikasi Keuangan Lain deh…
Coba kamu bandingin sama aplikasi investasi lain. Bareksa, Bibit, Ajaib, Stockbit, semuanya punya tampilan yang enak dilihat, performa cepet, dan fitur lengkap. Bahkan aplikasi bank sekarang aja udah jauh lebih pintar dan ramah pengguna.
Mereka itu berlomba-lomba bikin pengalaman terbaik buat pengguna, karena tahu persaingan ketat. Sementara AKSes? Gak ada pesaing, jadi kayak merasa gak perlu berinovasi. Monopoli emang gitu sih, gak ada saingan jadi bisa leha-leha.
7. Ujung-Ujungnya, Investor yang Rugi
Yang dirugiin siapa? Ya kita-kita ini, investor retail. Harusnya kita bisa dapet akses cepat dan akurat ke data kepemilikan efek kita. Tapi malah disuruh sabar sama aplikasi lemot yang gak berkembang.
Kalau investor pemula lihat aplikasi kayak AKSes, bisa-bisa langsung ilfeel sama dunia investasi. Dikira ribet dan gak transparan. Padahal niat awalnya kan justru biar kita punya kendali atas data kita sendiri.
8. Harapan Tinggal Harapan? Atau Masih Bisa Diubah?
Sebenernya masih bisa banget kok diubah. KSEI tinggal hire tim UI/UX designer profesional, rebuild aplikasinya dari nol dengan framework modern, dan dengerin feedback pengguna. Bahkan lebih bagus lagi kalau mereka bikin versi web yang ringan dan responsif, bukan yang loading-nya kayak nyari sinyal di gunung.
Jangan cuma mikir, “Yang penting bisa diakses.” Tapi pikirin juga, “Apakah orang nyaman makainya?” Itu kunci utamanya.
9. Solusi Sementara Buat Kamu yang Kesel
Kalau kamu sering kesel pake AKSes, aku saranin dua hal:
1. Gunakan aplikasi broker buat cek investasi harian. Misalnya kalau kamu pake Mirae, IndoPremier, Bibit, dll biasanya mereka punya data real-time dan ringkasan portofolio yang lebih user-friendly.
2. Cek AKSes hanya untuk verifikasi bulanan. Jadi gak tiap hari buka, biar gak stres. Misalnya sebulan sekali aja kamu pastiin semua portofolio tercatat dengan benar di sana.
10. Mungkin Perlu Ditekan dari Publik
Kadang lembaga kayak gini baru gerak kalau ada tekanan publik. Kalau kamu aktif di media sosial, coba deh suarakan masalah ini. Bikin orang lain aware, tag akun resmi mereka, kasih saran yang konstruktif. Makin banyak yang nyuarain, makin besar kemungkinan mereka denger dan akhirnya bergerak.
Soalnya gini, kalau kita diem aja, ya mereka bakal mikir semuanya baik-baik aja. Padahal jelas-jelas aplikasinya jauh dari kata layak untuk zaman sekarang.
Terakhir
Aku ngerti banget kalau bikin aplikasi bagus itu gak gampang. Tapi ini KSEI lho. Institusi sentral di pasar modal. Aplikasinya harusnya bisa jadi panutan, bukan malah jadi bahan keluhan. Masa aplikasi yang tugasnya nyimpen data miliaran malah kalah sama aplikasi startup yang baru berdiri?
Yuk sama-sama dorong perubahan. Karena kita punya hak buat dapet layanan yang baik, apalagi kalau itu menyangkut uang dan investasi. KSEI harusnya bisa lebih baik. Dan aku yakin, kalau mereka pasti bisa.
$IHSG $BTC $BTCIDR
1/3
$BTCIDR kapan naiknya? ini pajak BTC emang mahal kah di Ajaib? aku beli 1580 ini malah harus dijual 1610 baru balik modal apa emang gitu?
mohon bantuan infonya senior $BTC$IHSG
Cicil bitcoin 100 ribu per hari
26 - 29 april 2025
Total $BTC : 0,00305848 BTC
Total Modal : Rp 4.400.000 ( hari ke 44 )
Nilai Portfolio : Rp 4.907.605
Average Price : $85.378
$BTCIDR $ETH
Di awal perjalanan investasi, kita sering diceramahi soal pentingnya diversifikasi. Tapi, saat modal kita masih terbatas (seperti saya yang masih sekitar $4.000), justru fokus itu lebih penting daripada coba-coba banyak aset. Makanya, Saya memilih untuk fokus sepenuhnya pada crypto khususnya $BTC. Kenapa? Karena dunia crypto punya potensi pertumbuhan yang besar, dan dengan modal kecil, kita masih bisa nambah aset secara signifikan, terutama kalau kita pintar dalam mengelola risiko.
Bukan berarti asal pilih crypto ya, tetap harus pilih yang punya fundamental bagus dan aman. Jangan lupa, investasi ini bukan buat cepat kaya, tapi buat berkembang pelan-pelan dan disiplin. Fokusnya buat bangun pondasi yang kuat dulu.
Nanti kalau modal udah gede, baru deh bisa diversifikasi ke aset lain, tapi sekarang saatnya untuk fokus. Jadi, di tahap awal, bukan soal seberapa banyak yang kamu punya, tapi seberapa fokus kamu bisa arahkan investasi.
random tag $BTCIDR $ETH