50

0.00

(0.00%)

Today

657,300

Volume

21.03 M

Avg volume

Company Background

PT Wulandari Bangun Laksana Tbk (“Perseroan”) adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan di Jakarta dengan nama PT Dwipagriya Lestari sebagaimana termaktub dalam Akta Perseroan Terbatas PT Dwipagriya Lestari No. 21 tanggal 07 September 1994 yang di buat di hadapan Linda Ibrahim SH., Notaris di Jakarta yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam suratnya No. C2-2.490 HT.01.01 TH.05 tanggal 16 Februari 1995 serta telah diumumkan dalam Tambahan No. 12890 Berita Negara Republik Indonesia No. 100 tanggal 16 Desember 2005. Nama Perseroan diubah menjadi PT Wulandari Bangun ... Read More

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK kinerja naik tpi sahamnya diem bae ini

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK senin 🔥🚀🚀🚀

@Hoki11 Pertanyaannya. Kenapa dri 2023 Sahamnya tidur di 50 ..
itu maksudnya
$BSBK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK itu mksdnya apakah deviden bakal segitu?? Ada yg bisa jelaskan?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK Ops HUMI akan Delisting..Sayonara..Hehe

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK ada yg bisa jelaskan , gak ngerti aku
$ACRO

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK klo besok RUPS ga bagi deviden alamat tidur sampe tahun depan

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK Chia cs saham nya pada ambruk penjahat BEI

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK Chia cs penjahat bursa ga ada niat buy back.

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$HUMI
Beberapa hari volume mulai ada
$BSBK
Jika 2 saham gocap ini bangkit , saham gocap lainnya akan nyusul $TOSK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK broker CP beli d pasar nego di hrg 66...kenapa ga beli langsung d pasar reguler ya hrg lebih murah di gocap🤔

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

ada yg pernah ikut rups $BSBK ? ada suvenirnya ga hehe

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK
Matsunggih
Matur Suwun Nggih

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK TIDAK BERGEMING Index MERAH DALEM ato IJO PEKAT ..........TETAP TEGUH di 50 GOCAP xixixi

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK ada dividen lagi ga yaaa?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK Tumben jumlah pemegang sahamnya turun 1000-an.. Ritel pada kapok kah?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK bersyukur megang bsbk... untung ngk dengar tukang satu yg banyak anisa🤪🤣

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK $HUMI $TOSK
Tak tergoyahkan

Apa itu trading halt

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BSBK JGLE REAL MTFN $NTBK $EPAC BUKANNYA 🪃 rebound 🪃 🪃 🪃 bullish 🔥🚀🚀🚀😇🌹DI SUSPEND 🤣😂

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

@hendip Mock Up Trading
https://stockbit.com/post/18099532
$TFAS $BSBK $WIRG

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

@Molasnov Mock Up Trading
https://stockbit.com/post/18099532
$BMRI $BSBK $CBDK

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Tentang Metode Pengakuan Persediaan $HRTA

Di postingan sebelumnya ada user Stockbit yang tanya tentang metode pengakuan persediaan HRTA. Pertanyaan yang sama juga diajukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Kalau kita bongkar laporan keuangan HRTA lebih dalam, khususnya soal persediaan emas, banyak orang termasuk saya awalnya mungkin bingung dan bilang, “Lho, ini HRTA kayaknya punya dua metode pengakuan persediaan ya?” Padahal, setelah ditelusuri baik-baik, jawabannya: enggak. HRTA hanya menggunakan satu metode yang konsisten, yaitu metode rata-rata tertimbang (weighted average) dan dicatat berdasarkan prinsip nilai terendah antara biaya perolehan atau nilai realisasi neto (NRV), sesuai dengan PSAK 14. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kenapa kesannya seperti ada dua metode? Karena HRTA punya dua lini bisnis yang karakternya sangat berbeda: satu di sisi ritel perhiasan dan satunya lagi di refinery logam mulia. Model operasionalnya beda, alur produksinya beda, jadi ritme pengakuan persediaannya pun tampak beda. Tapi secara prinsip akuntansi, tetap satu metode: weighted average + lower of cost or NRV.

Contohnya begini. Di lini ritel, prosesnya lebih cepat dan simpel. Misalnya HRTA beli 1 kg emas kadar tinggi seharga Rp950 juta, diproses jadi 100 kalung dengan tambahan biaya produksi Rp50 juta. Total biaya Rp1 miliar, berarti satu kalung senilai Rp10 juta. Kalau 20 kalung dijual ke toko seharga Rp12 juta dan sudah dikirim serta diterima pembeli, maka HRTA akui revenue Rp240 juta, COGS Rp200 juta, dan laba kotor Rp40 juta. Sisanya 80 kalung senilai Rp800 juta masih jadi inventory barang jadi. Prosesnya lurus dan jelas.

Tapi di sisi refinery, prosesnya lebih teknis dan panjang. Misalnya HRTA terima 10 kg dore (campuran logam) dari tambang rekanan seperti Nusa Halmahera seharga Rp1,5 miliar. Setelah dilebur, dimurnikan, dan diuji, hasil akhirnya jadi 8,5 kg emas murni dan 1 kg perak. Tambah biaya refinery Rp100 juta, total nilai inventory jadi Rp1,6 miliar. Saat HRTA jual 5 kg emas ke LP Commodities seharga Rp1 miliar, maka revenue baru diakui saat pengendalian barang berpindah ke pembeli, bukan saat dibayar. COGS-nya berdasarkan biaya rata-rata (Rp188 juta/kg), jadi Rp940 juta, dan laba kotor Rp60 juta. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Secara akuntansi, baik kalung maupun emas batangan dicatat dengan cara yang sama. Tapi karena alur bisnisnya beda, kelihatannya seperti dua metode. Padahal tidak. Semuanya tetap konsisten dengan PSAK 14.

Bahkan HRTA menyatakan secara eksplisit dalam laporan keuangan:
“Persediaan dinyatakan sebesar nilai yang lebih rendah antara biaya perolehan dan nilai realisasi neto. Biaya perolehan ditentukan dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang.”

“Biaya perolehan meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam lokasi dan kondisi saat ini.”

Sementara nilai realisasi neto (NRV) dijelaskan sebagai:
“Estimasi harga penjualan dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan penjualan.”

Dalam praktik, ini artinya HRTA tidak boleh menaikkan nilai inventory kalau harga emas naik. Misalnya mereka beli 0,5 kg emas di Rp900 juta dan 0,5 kg lagi di Rp950 juta → rata-rata Rp925 juta. Kalau harga pasar naik jadi Rp1 miliar (NRV Rp990 juta), HRTA tetap catat Rp925 juta. Tapi kalau NRV turun jadi Rp900 juta, HRTA wajib write-down ke Rp900 juta dan catat rugi. Ini sesuai prinsip konservatif dalam PSAK 14 yang mencegah pengakuan keuntungan sebelum direalisasi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini sering disamakan dengan floating profit—selama belum dijual, untungnya belum nyata dan belum boleh diakui sebagai laba. Bahkan, kalau harga naik dan belum dijual, tidak ada revaluasi naik yang diperbolehkan, berbeda dengan aset tetap.

Lho, kenapa beda sama properti yang bisa direvaluasi naik?

Nah, inilah poin pentingnya. Di PSAK, aset tetap seperti properti diatur oleh PSAK 16, yang memberikan dua pilihan model pencatatan:
1. Model biaya (cost model)
2. Model revaluasi (revaluation model)

Kalau perusahaan pilih model revaluasi seperti yang dilakukan $BSBK dan RAFI, mereka boleh catat properti berdasarkan nilai wajar (fair value) dan akui kenaikan nilainya ke ekuitas (surplus revaluasi), asal konsisten dan disertai penilaian independen KJPP. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sementara persediaan seperti emas diatur oleh PSAK 14, dan tidak ada opsi revaluasi. Nilai persediaan harus dicatat berdasarkan nilai yang lebih rendah antara biaya perolehan dan NRV. Bahkan kalau harga naik drastis, tidak boleh dicatat naik. Ini karena persediaan:
1. Bukan untuk digunakan jangka panjang

2. Tujuannya dijual

3. Perputarannya cepat dan fluktuatif

4. Harus dicatat secara konservatif (prudence)

Jadi, bukan HRTA yang salah. Memang PSAK-nya yang memperlakukan properti dan inventory berbeda, karena tujuannya berbeda.

HRTA menggunakan metode tunggal untuk inventory: rata-rata tertimbang + nilai terendah antara biaya atau NRV, sesuai PSAK 14. Tidak boleh ada revaluasi naik, walaupun harga emas global naik.

Properti boleh direvaluasi naik karena diatur oleh PSAK 16 yang memperbolehkan model revaluasi, berbeda dengan PSAK 14.

Revenue HRTA diakui saat pengendalian barang berpindah ke pembeli, bukan saat uang masuk. Ini sesuai PSAK 72, bukan menunggu pembayaran.

Dengan semua ini, investor harus jeli. Jangan cuma lihat angka besar inventory, lalu mikir itu semua sudah bisa jadi uang tunai. Banyak dari itu masih bahan mentah, belum diasuransikan, atau belum bisa dijual langsung. Tapi kalau emas itu asli, berkualitas, dan ada pembelinya maka potensi HRTA memang besar. Selama tetap patuh PSAK dan transparan, fondasinya kuat.

Tapi tetap saja, emas hanya berharga kalau bisa diuangkan atau kecuali metode barter barang dengan emas kembali dilegalkan seperti zaman dulu. Beli rumah pakai emas. Beli nasi goreng pakai emas. Bayar karyawan pakai emas. Buat masyarakat mungkin no problem apalagi emas terus mengalami apresiasi sedangkan duit rupiah terus mengalami depresiasi dan makin tidak berharga karena 1 juta rupiah di 10 tahun yang lalu beda harganya dengan 1 juta rupiah tahun ini. Berapa banyak bakso Pak Toto yang bisa kamu beli dengan duit 1 juta rupiah 10 tahun lalu vs duit 1 juta rupiah tahun ini? Berapa banyak nasi goreng yang bisa kamu beli dengan emas 1 gram 10 tahun yang lalu vs 1 gram emas tahun ini? Bagi pemerintah, metode barter emas seperti itu merepotkan mereka kalau mau tracking pajak dan itu artinya surat utang negara bisa tidak laku kalau masyarakat memilih emas sebagai store of value. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI

Read more...

1/6

testestestestestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Apakah Persediaan Emas Dianggap Laba?

Pertanyaan salah satu user Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138. Apakah kenaikan nilai emas yang disimpan HRTA di gudang alias inventory itu bisa langsung dianggap sebagai pendapatan? https://stockbit.com/post/13223345

Jawabannya singkatnya enggak bisa.

Dalam dunia akuntansi yang patuh PSAK, kenaikan nilai barang dagangan belum jadi pendapatan sampai benar-benar dijual. Jadi meskipun harga emas global naik dari Rp900 ribu per gram ke Rp1 juta per gram, selama emasnya masih tidur manis di gudang, $HRTA gak boleh buru-buru ngakuin ada untung Rp100 ribu per gram. Semua itu cuma potensi, belum realisasi. Pendapatan hanya diakui ketika ada transaksi, barang keluar, dan pembeli sudah terima. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Anggap saja HRTA beli emas 1 kg seharga Rp900 juta, dan tiga bulan kemudian harga emas naik jadi Rp1 miliar. Di atas kertas, kelihatan untung Rp100 juta. Tapi selama belum ada pembeli yang angkut emas itu keluar, HRTA tetap mencatat nilai inventory di harga perolehan (Rp900 juta), bukan harga pasar. Akuntansi tidak mengenal “ngaku untung sebelum dijual” kecuali di sektor investasi atau revaluasi properti, yang memang punya aturan khusus seperti yang pernah dilakukan $BSBK dan $RAFI yang melakukan revaluasi aset sehingga labanya meroket pakai bantuan appraisal KJPP. Jadi kalau inventory HRTA naik dari Rp3,3 Triliun ke Rp3,86 Triliun, itu belum tentu karena harganya naik. Bisa jadi memang mereka belanja emas lebih banyak buat stok dagang, bukan karena harga pasar naik.

Nah, baru setelah emasnya laku, barulah HRTA boleh mencatat selisih harga beli dan harga jual sebagai laba. Misalnya mereka jual emas yang dibeli Rp900 juta menjadi Rp1 miliar, maka selisih Rp100 juta itu masuk sebagai laba kotor, dan otomatis jadi bagian dari pendapatan usaha. Dan di situlah mereka kena pajak. Tapi bukan PPh 21 ya, karena itu pajak untuk gaji atau penghasilan pribadi. Yang dikenakan ke HRTA adalah PPh Badan sebesar 22%, langsung dihitung dari laba kena pajak mereka di akhir tahun. Jadi, setiap rupiah keuntungan yang mereka cetak dari jualan emas akan ikut disetor ke negara sesuai tarif pajak perusahaan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Singkatnya, HRTA gak bisa tiba-tiba ngaku makin kaya hanya karena harga emas dunia naik. Selama emasnya belum dijual, semua keuntungan masih di atas kertas dan tidak dikenai pajak. Tapi begitu transaksi terjadi dan revenue dicatat, barulah laba masuk dan pajak dipotong. Jadi emas itu seperti tabungan yang nilainya naik terus, tapi belum bisa dipakai belanja sebelum dicairkan. Dan kalau kamu investor, penting banget tahu perbedaan antara “emas di neraca” dan “laba di laporan rugi”. Yang satu potensi, yang satu realisasi. Dan negara cuma pungut pajak dari yang udah jadi kenyataan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
ANTM BRMS

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy