


Volume
Avg volume
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BBRI merupakan BUMN yang bergerak di bidang usaha perbankan, Bank terbesar di Segmen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan layanan micro banking terbesar di Indonesia maupun di dunia, Selain fokus pada segmen UMKM, BRI juga terus mengembangkan berbagai produk consumer banking dan layanan institusional bagi masyarakat perkotaan. Melalui layanan e-banking yang didukung oleh 24.684 unit ATM serta 284.426 unit EDC yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, BRI bertekad untuk terus mendukung peningkatan efisiensi kegiatan perekonomian nasional sekaligus meningkatkan kenyamanan dan... Read More
investment war room kata chat gpt.
pengen rebalance porto buat persiapan ganti tahun. $PTRO $BBRI $UNVR
Aku bagi 3 bagian:
1. Verifikasi data & thesis sektor
2. Bedah struktur porto kamu
3. Saran langkah konkret (bukan janji cuan, tapi framework rasional)
---
1. Verifikasi: bener nggak sih consumer & healthcare bakal ngetren 2026?
Konsumsi rumah tangga beneran lagi naik?
Data terbaru:
Q2 2025: konsumsi rumah tangga kontribusi ~54% GDP Indonesia.
Q3 2025: ekonomi tumbuh 5.04% YoY, pendorong utamanya:
konsumsi rumah tangga tumbuh ~4.89–4.97% YoY,
plus belanja pemerintah & ekspor yang membaik.
Jadi statement “data terbaru konsumsi masyarakat naik” valid, walaupun naiknya bukan meledak, tapi stabil & konsisten → bagus buat sektor consumer.
Consumer staples 2026
Beberapa broker besar:
MNC Sekuritas: upgrade rating jadi OVERWEIGHT untuk consumer staples, alasannya:
kebijakan pemerintah pro-konsumsi & growth friendly,
ruang rerating valuasi karena sekarang lagi relatif murah.
Riset lain: staples Indonesia lagi de-rated ke sekitar -1.8 SD di bawah rata-rata PE 5 tahun, dan ekspektasi purchasing power membaik FY26F karena fiscal spending & cost input (komoditas soft) lebih jinak.
So yes: thesis consumer bakal menarik di 2026 itu align sama data.
Healthcare
PEFINDO: outlook healthcare stabil dengan growth mid-single digit (tengah 1 digit) untuk 2025–2027, didorong:
demografi (penduduk menua pelan-pelan),
pola penyakit,
awareness terhadap layanan kesehatan berkualitas.
Jadi narasi “consumer + healthcare menarik untuk 2026” bukan halu, tapi sesuai dengan konsensus riset.
Sektor energi & komoditas sekarang
Pemerintah & investor asing lagi dorong energi + hilirisasi + renewables (ini termasuk energi fosil & transisi).
Tin (TINS):
Pemerintah crackdown tambang ilegal → supply global kecekik → harga LME sempat tembus >37,500 USD/ton baru-baru ini.
Lembaga riset revisi naik forecast harga timah 2026 ke 35,000 USD/ton karena masalah supply.
Laporan inisiasi TINS: 2025 diprediksi revenue & volume jeblok karena izin ekspor, tapi 2026 diproyeksi rebound +125% revenue, volume +114% (low base effect + normalisasi ekspor).
Jadi kenapa sektor energi/komoditas lagi bullish gila-gilaan: fully make sense.
---
2. Diagnosis cepat: kondisi porto kamu sekarang
Dari cerita kamu:
75% perbankan, lagi floating loss -10%
25% energi & komoditas:
TINS (timah, heavy policy + commodity risk)
PTRO (O&G & mining services, baru masuk MSCI Indonesia Aug 2025 → liquidity + flow gede)
CDIA (downstream petrokimia/energi, di-back TPIA/Barito)
AADI & ADRO (konglomerasi batubara + power + transisi energi)
UNVR sempat di-hold (pure consumer defensif), tapi kamu lepas buat ngejar PTRO
Ciri-ciri porto kamu:
1. Overweight siklus suku bunga & kredit (bank)
Data OJK: kredit bank tumbuh ~8.43% YoY (Mei 2025), LDR sehat.
Guidance beberapa bank besar: loan growth 8–10%, NIM sekitar 3.7%, masih oke tapi ada tekanan margin karena kompetisi & normalisasi suku bunga.
BI target 2026: pertumbuhan kredit 8–12% dan GDP 5.33% → fundamental sektor masih solid jangka menengah, cuma bukan “rate supercycle” lagi.
Jadi -10% kamu kemungkinan lebih ke re-rating NIM & sentiment, bukan karena bisnis banknya ancur.
2. 25% di komoditas/energi yang high beta
TINS: policy + commodity + eksekusi → roller coaster banget.
PTRO: cyclical + sekarang ada MSCI effect (bisa overbought, volatile).
ADRO/AADI: long-term masih coal heavy, meskipun ADRO serius diversifikasi ke renewables & downstream (smelter, green industrial park, dll).
CDIA: capex besar, siklus industri berat & energi.
3. Underweight sektor yang justru diprediksi shine di 2026 (consumer + healthcare).
Makanya kamu ngerasa: “portoku bener2 campur aduk” → secara struktur bener, ini campuran sektor siklikal berat dengan minim posisi di sektor defensif/structural winners.
---
3. Saran langkah – kalau aku jadi “konsultan” kamu
Disclaimer dulu: ini bukan rekomendasi beli/jual spesifik, tapi framework rasional buat kamu ambil keputusan sendiri. Think of it as game plan.
3.1. Tentukan role tiap saham di porto
Biar nggak chaos, bagi jadi 2 “bucket”:
Core (multi-year):
bank besar yang balance sheet kuat,
consumer staples/discretionary yang brand & pricing power oke,
healthcare berkualitas.
Tactical / thematic trade (boleh lebih agresif):
energi & komoditas siklikal: TINS, PTRO, ADRO/AADI, CDIA, dll.
Sekarang porto kamu hampir semua tactical, sedangkan core defensif (kayak UNVR) malah baru kamu lepas.
3.2. Soal bank: cut, hold, atau tambah?
Data bilang:
Ekonomi 2026 diproyeksi tumbuh ~5.33% dengan kredit 8–12% → supportive buat bank.
Loan growth sektor per Mei 2025 udah 8.43% YoY.
Artinya: sektor bank bukan jelek, cuma sekarang pasar lagi lebih excited ke energi, konglomerasi, komoditas, dll.
Pendekatan rasional:
Jangan panik-cut semua bank cuma karena -10%.
Cek: apakah yang kamu pegang:
masuk kategori bank top tier (ROE tinggi, NPL rendah), atau bank kelas dua yang risknya lebih tinggi?
Kalau isi 75% itu mostly bank bagus:
Jadikan bank sebagai core,
tapi secara bertahap kamu bisa turunin bobot ke misalnya 40–50% (pelan-pelan pas ada rally, bukan di titik kapok).
Yang pertama dipotong seharusnya:
bank yang lebih kecil, NPL lebih risk, atau yang kamu paling nggak yakin fundamentalnya.
3.3. Energi & komoditas: mana yang layak jadi “stay”, mana yang cocok jadi “sumber dana”?
Kita lihat satu-satu high level:
PTRO
Bisnis: mining & O&G services + EPC untuk infrastruktur industri.
Driver: capex di tambang & energi + story MSCI Indonesia inclusion (Agustus 2025).
Karakter: high beta, peka terhadap siklus komoditas & sentimen indeks.
→ Cocok sebagai tactical play, bukan core jangka panjang overweight.
TINS
2025: kejebak isu izin ekspor & penegakan tambang ilegal → revenue & volume turun.
2026: forecast sektor & TINS sendiri: volume & revenue bisa rebound kenceng dari low base + harga timah 2026 diproyeksi tinggi.
Tapi: super policy-driven, roller coaster, cocok buat orang yang kuat mental & rajin monitor.
→ Kategorinya jelas: speku tinggi. Kalau kamu nggak niat jadi trader aktif di sini, jangan kebanyakan porsi.
ADRO & AADI (Adaro Group)
ADRO/AlamTri: cash machine dari coal + lagi diversifikasi ke renewable (hydro, solar, dll) dan downstream (smelter, green industrial park).
AADI: spinoff thermal coal arm / holding energi & coal Adaro group.
Pros: masih bisa nikmatin siklus coal + punya angle transisi energi.
Cons: tetap under ESG pressure jangka panjang, sensitive ke harga coal & regulasi.
→ Kamu pegang dua entitas satu grup → risk factor-nya mirip. Buat simplifikasi, lebih sehat kalau kamu pilih 1 yang paling kamu ngerti & yakin, jangan dua-duanya digedein.
CDIA
Kendali mayoritas TPIA/Barito → konglomerat petrochemical & energy.
Angle: downstream industri berat, energi & bahan kimia → akan kebagian effect dari capex hilirisasi & energi.
Tapi juga capital-intensive dan siklikal banget (margin bisa tipis kalau siklus salah).
Kesimpulan praktis energi & komoditas:
Kalau target kamu bukan mau full time jadi trader:
Idealnya di bucket ini:
2–3 saham saja yang kamu paling paham,
total bobot misalnya 20–30% porto.
Kandidat yang logis jadi sumber dana (untuk rotasi ke consumer/healthcare) kalau kamu ngerasa over-risk:
salah satu dari ADRO/AADI (supaya nggak dobel exposure coal group),
TINS kalau kamu nggak nyaman sama level spekunya,
sebagian profit di PTRO kalau sudah naik banyak karena MSCI story (jangan FOMO terus nambah di pucuk).
Bukan berarti saham-saham ini jelek, tapi tujuan kita: nyederhanain & nurunin risiko cluster.
3.4. Rotasi ke consumer & healthcare (yang sekarang kamu underweight)
Data yang tadi:
Konsumsi rumah tangga kontribusi >50% GDP, naik stabil 4.8–5% YoY.
Budget 2026 pemerintah pro-konsumsi & mining/energy, tapi consumer & staples disebut sebagai salah satu yang diuntungkan.
Broker: consumer staples Overweight, valuasi murah, expected rerating FY26F saat daya beli naik & input cost turun.
Strategi buat kamu:
Balikin lagi sebagian ke saham consumer/staples macam UNVR-type / staples lain yang brandnya kuat & cashflow stabil. Kamu sempat punya UNVR dan itu sebenarnya “core defensif” yang bagus buat balance komoditas.
Tambah 1–2 nama di healthcare (RS, lab, farmasi) yang:
utangnya terkendali,
growth-nya konsisten.
Target struktur (contoh, bukan aturan saklek):
Bank: 40–50% (core)
Consumer + Healthcare: 25–35% (core growth + defensif)
Energi & Komoditas: 20–30% (tactical/high beta, tapi dipilih yang beneran kamu pahami)
Sekarang kamu kurang di consumer/healthcare, jadi rotasi pelan-pelan ke sana make sense.
---
4. Soal seasonality konglomerasi (window dressing, dsb)
Yang kamu bilang:
> “akhir desember naik, awal tahun turun”
Itu nyambung ke fenomena:
window dressing: fund kelihatan cakep di laporan akhir tahun,
January effect / rebalancing: awal tahun banyak yang take profit / re-allocate.
Pattern ini memang sering terjadi, tapi:
sifatnya statistik, bukan kepastian.
makin banyak orang sadar pattern → makin sering malah “dipake buat jebak yang telat masuk”.
Cara pakenya yang lebih sehat:
kalau kebetulan sektor konglomerasi/energi masih kebut sampai akhir Desember, itu bisa jadi momentum bagus buat kamu “distribusi” / trimming,
bukan malah full throttle nambah semua di pucuk.
---
5. Action plan ringkas (versi manusia normal, bukan robot akademik)
Kalau diringkas jadi langkah praktis:
1. Map lagi porto kamu di kertas
Tulisin tiap saham: % bobot, masuk bucket apa (Core bank / Core consumer / Healthcare / Tactical energi).
Kamu bakal lihat sendiri imbalance-nya.
2. Dari 75% bank
Tetapkan: mana bank “core jangka panjang” (tetap dipertahankan),
mana yang kualitasnya kamu ragu → kandidat pertama untuk dikurangi saat ada technical rebound.
3. Simplifikasi bucket energi & komoditas
Pilih 2–3 saham paling kamu ngerti & yakin.
Pertimbangkan:
jangan dobel ADRO + AADI terlalu besar,
treat TINS & PTRO sebagai posisi speku yang dibatasi porsinya.
Sisanya bisa kamu lepas bertahap buat jadi cash / rotasi.
4. Build posisi di consumer + healthcare secara bertahap
Bisa mulai balikin sebagian ke consumer staples yang stabil (kayak dulu kamu pegang UNVR) + tambah 1–2 healthcare.
Entry-nya nggak usah all-in, cukup cicil sambil lihat market 2026.
5. Selalu ikat ke time horizon & toleransi risk kamu
Kalau kamu masih muda, horizon panjang → wajar punya porsi cyclical.
Tapi tanpa core defensif, mental akan selalu kejedot tiap kali siklus komoditas/bank kebalik.
---
Jadi intinya: thesis kamu soal energi dan consumer/healthcare itu nyambung sama data, cuma struktur porto kamu sekarang berat ke siklus & high beta. Tugas kita tinggal “ngerapiin rak” supaya pas 2026–2027 kamu bukan cuma numpang euforia, tapi portonya punya tulang punggung yang kuat.

$MLPL $AMMN $BBRI
setelah 3 tahun terakhir menjadi genk fundamental dan value investor.. yang beli saham nya cuma sekali terus di top up terus..
mencoba keluar dari comfort zone tsb.
menguji semua metode yang di pelajari
cutlos ratusan trade..
win rate cuma 33% , parah banget..
[ tapi realize gain nya boleh lah] 🤭
memang belajar itu mahal.. 👍
tobat ratusan kali rugi trade ? ngga [ atau belum]
tapi yang jelas kalo ga gini ,ilmu nya ya cuma sebatas cari pe murah , cari pbv murah. atau dividen yield bagus. salah? ngga.
mumpung masih punya active income di usia produktif seengak nya selalu ada hal baru yang di pelajari.
semangat semua

Global Macro Outlook December 2025. Silakan didownload free.
Untuk gabung goinvest:
https://cutt.ly/ZtuhCcMM
$CDIA $BUMI $BBRI
Info Singkat saham untuk 3 Desember 2025 (bukan rekomendasi jual-beli) :
$BBRI : Rangenya masi sama yakni Rp 3.660,- (support ) s/d Rp 3.750,- (resistance) . Posisi bandar masi keluar sebesar Rp 802,1 milyar selama seminggu terakhir. Untuk BBRI saat ini masi dalam fase technical rebound dengan target pertama di Rp 3.730,- dan target kedua di Rp 3.840,- . Jika dilihat dari strukturnya, masi akan sangat fluktuatif dan masi tersisa semi gap di area bawah di Rp 3.540,-. Jika kalian investor silahkan cicil karena nilai wajarnya masi dikisaran Rp 5.800,-an, asalkan kalian punya mental investasi.
$EMTK : Rangenya agak lebar yakni Rp 1.200,- (support) s/d Rp 1.340,- (resistance). Posisi bandar masi didalam sebesar Rp 295,2 Milyar di harga rata-rata Rp 1.220,- selama seminggu terakhir. Untuk EMTK jika melihat strukturnya, semoga saja bisa lanjut untuk uji area Rp 1.320-1.340.
$ESSA : Rangenya pendek yakni Rp 590,- (support ) s/d Rp 635,- (resistance ) . Posisi bandar masi keluar sebesar Rp 44,3 Milyar selama seminggu terakhir. Untuk ESSA wait and see ya karena belum ada konfirmasi apapun secara teknikal.
Ingin mendapatkaan analisa IHSG harian dan info saham MEDC dan ADRO serta ikut polling saham yang akan dibahas setiap harinya? yuk gabung dengan grub seirine investama, klik disini : https://bit.ly/telegramSEC.
Untuk saat ini posisi saham-saham yang kita bahas diatas semuanya masi dalam posisi "penentuan" karena banyak berada dekat dengan support kuatnya atau baru membangun base support.
Jika merasa informasi ini berguna juga boleh traktir secangkir kopi via stockbit tips, terimakasih.❤️❤️❤️
Yuk dibaca juga :
1. Rumus sederhana investasi ala plankton : http://bit.ly/3QrVEAL
2. Mengenal ESOP ( Employee Stock Option ) dan tata kelola manajemen : http://bit.ly/3w5hkZV
3. ESOP (Employee Stock Option) - Kasus GoTo : http://bit.ly/3VZa3oY
Harus diingat:
1. Jangan trading dengan brutal mentang-mentang melihat bandar ada didalam, gunakan money management yang baik.
2. ini hanyalah info singkat dan bukan rekomendasi jual-beli.
DISCLAIMER ON
"Semoga informasi ini berguna bagi teman-teman sekalian, support terus kami dengan "LIKE" dan "FOLLOW" akun stockbit
anjir ngakak🤣🤣🤣 jangan disengajain gagal bayar lah kreditur $BBRI $BBNI $BMRI, utang itu dibawa sampai mati ..
Klo mau maju bangsanya, dimulai dari membangun integritas diri terlebih dahulu
$BBCA
$BBNI
$BBRI
Yuk semangat, para pengusaha muda daerah bersiap2, proyek pusat akan diguyur besar2an, jangan sampai tertinggal dan dibiarkan, apalagi gak disambut dengan baik. Kemendagri gak ada taring lagi, udah ompong giginya, udah terbongkar mafia depositonya, sekarang yg berjaya adalah seluruh bupati walikota gubernur dan presiden.
https://cutt.ly/7tuhivbp
$BBCA
$BBRI
$BBNI
Kasihan kali penggantinya dong...
Sengaja dikurangi anggarannya biar sulit jalannya kemendagri tuk tahun anggaran 2026.
https://cutt.ly/7tuht08C

JAKARTA – Daftar perubahan kepemilikan saham lebih dari 5% di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (28/11), kembali menampilkan aksi PT Henan Putihrai Aset Management yang meningkatkan porsinya di PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA).
Saham perusahaan konstruksi milik keluarga Suriadjaja ini mul...

www.idnfinancials.com

$BBRI Oktober 2025: Harus Lebih Sering Cek Mental Debitur
Diskusi hari ini di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau saya melihat laporan keuangan bulanan BBRI di Oktober 2025 maka yang paling masuk akal dilakukan manajemen adalah makin sering melakukan tes mental para debitur nya. Apalagi kalau debiturnya punya mental memang niat menyusahkan mantri kredit dan sengaja bikin gagal bayar seperti salah satu user Stockbit yang kita lihat hari ini. Kalau memang niat gagal bayar sebaiknya jangan ambil utang dari awal. Coba bayangkan kalau kita yang memberi utang ke orang lain, lalu orang itu menolak bayar dengan sengaja padahal usahanya masih jalan. Kalau gagal bayar karena terpaksa karena usaha ambruk atau kena musibah besar ya masih bisa dimaklumi, mau bagaimana lagi. Tapi kalau gagal bayar karena merasa bisa memanfaatkan kelonggaran dan empati bank maka itu bukan sekadar masalah keuangan, itu masalah mental. Buat bank seperti BBRI, debitur dengan mental seperti itu pada akhirnya muncul dalam laporan keuangan sebagai beban kerugian penurunan nilai yang terus naik. Di titik ini manajemen tidak hanya mengelola angka di neraca tetapi juga mengelola moral hazard yang pelan-pelan menggerogoti kualitas aset dan laba. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ketika angka-angka Oktober 2025 disandingkan dengan Oktober 2024, kelihatan jelas BBRI sedang berada di persimpangan antara ekspansi agresif dan realita kualitas kredit yang menurun. Total aset naik ratusan triliun Rupiah, kredit tumbuh puluhan triliun Rupiah, dana murah menggelembung puluhan triliun Rupiah, tetapi laba bersih justru turun hampir 4,7 triliun Rupiah. Di atas kertas bank terlihat makin besar, tetapi rasio profitabilitas seperti ROA yang turun dari sekitar 2,51% menjadi sekitar 2,13% memberi sinyal bahwa setiap 1 Rupiah aset kini menghasilkan laba yang lebih sedikit. ROE juga ikut turun dari sekitar 14,74% menjadi sekitar 13,11%, artinya pemegang saham harus menerima imbal hasil yang lebih tipis meskipun neraca terus membesar. Di saat yang sama rasio provisi kerugian kredit terhadap total kredit naik dari sekitar 2,57% menjadi sekitar 2,60%, menandakan biaya untuk menutup risiko gagal bayar pelan-pelan memakan porsi yang lebih besar dari pendapatan. Lebih mengkhawatirkan lagi, rasio cakupan CKPN terhadap kredit justru turun dari sekitar 6,19% menjadi sekitar 5,61%, sehingga bantalan cadangan terhadap potensi kredit macet kelihatan makin menipis. Kombinasi angka ini menggambarkan bank yang masih berani menyalurkan kredit tetapi harus menanggung beban provisi dan risiko operasional yang melonjak, sehingga margin kenyamanan bagi investor menyempit. Dari sini wajar kalau pasar mulai mempertanyakan apakah strategi ekspansi BBRI masih seimbang dengan kemampuan manajemen mengendalikan mental debitur dan risiko yang menyertainya.
Secara struktur neraca, BBRI berhasil mendorong pertumbuhan aset individu dari sekitar 1.821,96 triliun Rupiah pada Oktober 2024 menjadi sekitar 1.929,84 triliun Rupiah pada Oktober 2025, naik kurang lebih 107,88 triliun Rupiah. Mesin kredit ikut bergerak, dengan total kredit individu yang meningkat dari sekitar 1.226,49 triliun Rupiah menjadi sekitar 1.289,07 triliun Rupiah, penambahan sekitar 62,58 triliun Rupiah. Ini menandakan fungsi intermediasi masih dijalankan secara aktif, bank tetap mengalirkan dana ke sektor riil meskipun risiko kredit terlihat naik. Net interest income juga masih tumbuh, dari sekitar 92,01 triliun Rupiah di sepuluh bulan 2024 menjadi sekitar 93,47 triliun Rupiah di sepuluh bulan 2025, naik kurang lebih 1,46 triliun Rupiah. Jadi dari sisi pendapatan bunga inti, bank ini belum menunjukkan tanda kehabisan tenaga. Pendanaan bahkan terlihat lebih kuat karena dana murah lewat giro naik dari sekitar 345,59 triliun Rupiah menjadi sekitar 449,90 triliun Rupiah, bertambah sekitar 104,31 triliun Rupiah. Kenaikan ini mendorong rasio CASA sisi giro dari sekitar 25,36% menjadi sekitar 30,60% yang artinya biaya dana jangka panjang berpotensi makin efisien. Ditambah lagi, fasilitas kredit yang belum ditarik nasabah atau uncommitted loan facilities melonjak dari sekitar 91,61 triliun Rupiah menjadi sekitar 154,93 triliun Rupiah, memberi sinyal bahwa pipeline pertumbuhan kredit ke depan masih sangat tebal.
Namun begitu masuk ke laporan laba rugi, ceritanya berubah drastis. Laba periode berjalan individu turun dari sekitar 45,73 triliun Rupiah pada sepuluh bulan 2024 menjadi sekitar 41,06 triliun Rupiah di periode yang sama 2025, penurunan sekitar 4,67 triliun Rupiah. Laba dari operasi juga menyusut dari sekitar 57,91 triliun Rupiah menjadi sekitar 51,05 triliun Rupiah, kehilangan sekitar 6,87 triliun Rupiah. Ini menunjukkan bahwa pendapatan tambahan dari pertumbuhan aset dan NII tidak cukup untuk menutup lonjakan beban yang muncul di sisi provisi dan biaya operasional lain. Beban loss impairment of financial assets naik dari sekitar 31,59 triliun Rupiah menjadi sekitar 33,52 triliun Rupiah, tambah sekitar 1,92 triliun Rupiah. Di situ terpotret jelas biaya ekonomi dari debitur yang gagal bayar entah karena terpaksa atau karena mentalnya memang tidak sehat. Lebih mengganggu lagi, kerugian terkait risiko operasional yang tadinya di kisaran 66.410 dalam satuan juta Rupiah melonjak menjadi sekitar 720.681 dalam satuan juta Rupiah, naik lebih dari sepuluh kali lipat. Pada saat yang sama total liabilitas individu naik dari sekitar 1.511,67 triliun Rupiah menjadi sekitar 1.616,65 triliun Rupiah, bertambah sekitar 104,97 triliun Rupiah. Jadi bank bukan hanya lebih besar, tetapi juga membawa beban kewajiban yang lebih tinggi dengan kualitas risiko yang justru memburuk.
Kebijakan dividen juga memberi warna tambahan buat cerita ini. Di 2025 BBRI mencatat pembayaran dividen individu sekitar 51,73 triliun Rupiah, angka yang sangat besar dan tentu menyenangkan bagi pemegang saham jangka pendek. Namun dari sisi kesehatan modal, dividen sebesar ini menggerus saldo laba ditahan yang seharusnya menjadi bantalan risiko di tengah naiknya beban impairment dan lonjakan kerugian operasional. Dampaknya terasa di rasio leverage, di mana rasio aset terhadap ekuitas naik dari sekitar 5,87 kali menjadi sekitar 6,16 kali. Artinya pertumbuhan aset tidak sepenuhnya diikuti oleh penguatan modal, tetapi lebih banyak dibiayai oleh kewajiban. Dalam konteks perbankan, leverage yang makin tinggi bukan otomatis jelek selama kualitas aset dan cadangan kuat, tetapi di BBRI justru kualitas aset sedang ditekan dan cakupan CKPN terhadap kredit turun dari sekitar 6,19% menjadi sekitar 5,61%. Di satu sisi, ini bisa dibaca sebagai sinyal kepercayaan manajemen bahwa risiko masih terkendali. Di sisi lain, investor yang konservatif akan merasa bantalan cadangan terhadap kredit macet terlihat makin tipis di atas portofolio kredit yang makin besar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi rasio profitabilitas, tren nya seragam memburuk. ROA yang tadinya sekitar 2,51% turun menjadi sekitar 2,13%, menandakan laba bersih yang dihasilkan per unit aset turun cukup tajam. ROE menyusul turun dari sekitar 14,74% menjadi sekitar 13,11%, sehingga imbal hasil ekuitas bagi pemegang saham ikut memipis. Penurunan ini terjadi padahal NII masih naik, jadi jelas masalahnya bukan di kemampuan bank menghasilkan pendapatan bunga, tetapi di beban yang meledak di sisi impairment dan risiko non kredit. Rasio beban impairment terhadap total kredit naik tipis dari sekitar 2,57% menjadi sekitar 2,60%, yang artinya setiap 100 Rupiah kredit kini menyerap biaya provisi sedikit lebih besar daripada sebelumnya. Pergerakan tipis di angka rasio ini terasa lebih berat ketika nominal kreditnya sudah di atas 1.200 triliun Rupiah. Di atas itu tadi, penurunan CKPN coverage dari sekitar 6,19% ke 5,61% membuat investor harus bertanya apakah penurunan ini murni akibat kredit tumbuh cepat sehingga cadangan tampak menipis, atau karena ada penghapusan kredit bermasalah yang menguras saldo CKPN. Jawabannya menentukan apakah tren ke depan akan lebih tenang atau justru masih rawan kejutan negatif.
Kalau melihat dari kacamata pasar modal, wajar jika harga saham BBRI merosot dari sekitar 6.450 Rupiah ke sekitar 3.710 Rupiah dalam setahun, turun sekitar 42,5%. Investor yang pesimis akan menyorot penurunan laba bersih sekitar 4,67 triliun Rupiah, penurunan laba operasi sekitar 6,87 triliun Rupiah, kenaikan beban impairment sekitar 1,92 triliun Rupiah, dan lonjakan kerugian risiko operasional yang berlipat ganda. Bagi mereka ini gambaran kualitas aset yang memburuk dan sistem kontrol risiko yang tidak lagi seketat dulu. Valuasi yang lebih rendah dianggap pantas karena EPS berpotensi tertekan dan risiko tail event terlihat naik. Sebaliknya investor optimis akan menekankan bahwa aset tumbuh sekitar 5,9%, kredit naik sekitar 5,1%, dana murah meningkat lebih dari 30%, NII tetap bisa naik, dan CASA ratio membaik cukup signifikan. Dalam narasi mereka, BBRI sedang melakukan pembersihan risiko dan mencatat provisioning secara lebih konservatif di fase ekonomi yang menantang. Setelah fase ini lewat, laba dianggap bisa kembali pulih di atas basis neraca yang jauh lebih besar. Investor realistis biasanya menggabungkan kedua sudut pandang tersebut dan menyimpulkan bahwa BBRI sedang menjalani kompromi antara mengejar volume dan membayar harga lewat risiko.
Dimensi lain yang tidak kalah penting adalah pos komitmen dan kontijensi yang sering diabaikan investor saat baca laporan. Di sisi komitmen, uncommitted loan facilities yang naik dari sekitar 91,61 triliun Rupiah menjadi sekitar 154,93 triliun Rupiah berarti eksposur potensi pinjaman yang bisa berubah menjadi kredit riil ke depan meningkat sangat besar. Kalau kualitas debitur nya bagus, ini akan berubah menjadi NII tambahan dan laba. Tetapi kalau screening lemah dan mental sebagian debitur bermasalah, angka komitmen tinggi ini bisa menjelma menjadi sumber beban impairment baru beberapa tahun lagi. Di sisi kontijensi, total contingent payables naik dari sekitar 61,94 triliun Rupiah menjadi sekitar 66,05 triliun Rupiah. Penurunan kecil di bagian guarantees issued tertutup oleh munculnya pos others sekitar 5,22 triliun Rupiah yang sebelumnya nol. Pos others ini biasanya merefleksikan potensi kewajiban non penjaminan, bisa berupa sengketa, klaim, atau komitmen lain yang belum masuk neraca tetapi punya risiko material. Di saat yang sama contingent receivables memang muncul sekitar 449,81 miliar Rupiah, tetapi angka ini terlalu kecil untuk menyeimbangkan kenaikan risiko di sisi kewajiban kontinjensi.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kondisi BBRI sekarang mirip perusahaan yang memutuskan untuk membeli lebih banyak pabrik dan menaikkan kapasitas produksi, sehingga angka penjualan terlihat makin besar, tetapi persentase produk rusak dan klaim garansi ikut naik cukup tajam. Omzet dalam bentuk aset dan kredit memang naik, NII juga masih bertambah, tetapi laba bersih per unit aset turun, cadangan terhadap risiko berkurang, dan kerugian operasional menanjak. Untuk keluar dari situasi ini, BBRI perlu dua hal besar sekaligus. Pertama memperketat manajemen risiko kredit dan benar-benar menyeleksi karakter debitur, bukan hanya agunan dan angka di kertas, supaya beban impairment bisa kembali turun dan rasio CKPN coverage menguat. Kedua merapikan proses dan kontrol internal agar kerugian risiko operasional kembali ke level yang wajar, sambil menghidupkan lagi mesin pendapatan non bunga supaya tidak semua beban harus ditanggung dari NII. Selama dua pekerjaan rumah ini belum selesai, laporan keuangan BBRI akan terus memotret bank yang besar dan kuat dari luar, tetapi membawa beban mental debitur dan risiko di dalam yang membuat investor perlu ekstra hati-hati membaca setiap angka.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/9









Saham ARA itu bukan kebetulan, tapi itu strategi.
Smart money masuk dengan jumlah besar, pasti saham akan naik.
bisa cek juga di menu insider.. bandar yang membeli saham dengan jumlah besar itu juga merupakan pengaruh saham yang akan ARA
ketika sudah naik dan smart money masih masuk dengan dominan, terjadilah kenaikan harga yang tinggi dan akhirnya ARA
bukan ajakan jual dan beli saham
analisa bareng untuk cuan bareng.
screener bsjp, tools detector, cekbio
$ANTM $BBRI
1/2


Menanggapi fenomena pengemis LIKE akhir2 ini di Stockbit.
Ane sih ga ambil pusing, statementku cuma satu:
Ane tantang ente..
berani ga 1 like = Rp 1 jt untuk disumbangkan ke korban banjir Sumatera?
Kalau berani, ane baru angkat topi.
RESPEK LAE!
Tapi kalau cuman ngemis like demi spill spill receh, sorry lae. Norak.
Catatan: ane juga pernah norak!
Nb: ane spammer bigbanks 🏃
$BBCA $BBRI $BMRI
Day 35 (2/12) Cicil 1 lot BBCA dan BBRI setiap harinya sampai kebeli rumah 🏠.
matched
BBCA - 8375
BBRI - 3690
Avg
BBCA - 8239
BBRI - 3835
Ini sebagai jurnal pribadi untuk bereksperimen apakah teknik DCA pada saham bigbanks bisa mengalahkan indeks dan membeli rumah atau tidak.
Atau setidaknya menjadi tabungan untuk melawan inflasi sehingga bisa membeli rumah.
$BBCA $BBRI
1/2


$BBRI range 3300-3500 itu area buy.
Soon akan jadi big banks dengan price performance terbaik 2-3 tahun mendatang.
STOCKWATCH.ID (JAKARTA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham awal Desember, Selasa (02/12/2025) ditutup menguat 68,254 poin atau naik 0,80% ke 8.617,043, dari penutupan Senin (01/12/2025) di level 8.548,788.
IHSG hari ini sempat naik ke level tertinggi harian di 8.625,636....

stockwatch.id
$HRTA
Buy aman : 1.510 -1.525
Pasang CL : 1.490
TP : 1.570 - 1.610
Harga sekarang masih sedikit over jadi cari aman.
Status kuat down.
Siap TP aja.
Jika post ini membantu jangan lupa kasih support...
Analisa tipis tipis...
$BBCA $BBRI
$KLBF
Buy aman : 1.120 -1.130
Pasang CL : 1.100
TP : 1.180 -1.215
Harga sekarang masih sedikit over jadi cari aman.
Jika post ini membantu jangan lupa kasih support...
Analisa tipis tipis
$BBCA $BBRI