2,200

0.00

(0.00%)

Today

4.99 M

Volume

4.74 M

Avg volume

Company Background

Sebelumnya dikenal sebagai PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO), kami memasuki era baru di 2019 dengan adanya perubahan pemegang saham pengendali. Di 2020, kami berganti nama menjadi PT Bank Jago Tbk. Selanjutnya di tahun yang sama, Gojek, melalui bisnis layanan keuangan dan pembayaran digital Gopay, masuk menjadi pemegang saham. Pada 2021, GIC Private Limited memberikan komitmen dengan menyuntikkan dana untuk memperkuat Jago dalam berinovasi memberikan solusi keuangan digital terbaik. Dengan total modal Rp8 triliun, Jago kini masuk kategori bank dengan peluang tumbuh dan inovasi yang besar dan kuat. Jago adalah aplikasi finansi... Read More

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI mirip $ARTO waktu dari 20.000 ke 10.000 semua optimis yakin HODL 🤣🤣🤣
tapi ini versi yg properti ya guyss, welcome ritel ritel polossssss

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Garibaldi Tohir..

$ADMR ini Saham Siapa tau nanti nya The Next $PANI


PANI the Next $ARTO

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

NASIB saham $PANI mirip $ARTO

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

iya, $ARTO ga da pager lautnya.
sementara $PANI kita nggk tau.
🤣🤣😂

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

📈 Direktur Allo Bank Borong Saham $BBHI , Tanda Bullish?
Direktur Allo Bank kembali menambah kepemilikan saham BBHI! 🚀 Aksi ini langsung menarik perhatian investor, mengingat BBHI sering jadi incaran spekulan dan investor jangka panjang. Apakah ini sinyal kuat bahwa saham BBHI undervalued? Atau ada strategi bisnis yang belum terungkap? Simak analisisnya dan potensi pergerakan BBHI ke depan.
🔗 https://cutt.ly/Se75t4me

$ARTO $PANI

Read more...
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

4800 bisa
$ARTO dalam kenangan

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

betul sampe skrang $ARTO ngk pernah naik lagi ke 19.000

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Sadari Diri: Kita Adalah Investor Ritel yang Lemah

Sebagai investor ritel, kita harus sadar diri. Kita bukan pemain besar, kita bukan bandar, kita bukan institusi yang punya dana tak terbatas. Kita cuma rakyat jelata di bursa, yang sering kali cuma jadi pelengkap dalam permainan para pemilik modal besar. Tapi masalahnya, banyak ritel yang tidak menyadari kelemahan mereka sendiri, sehingga akhirnya malah jadi tukang cuci piring bursa, menanggung beban dari mereka yang sudah lebih dulu exit dengan cuan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Institusi dan bandar punya modal besar, mereka bisa menggoreng saham, mengatur likuiditas, bahkan mengontrol sentimen pasar. Kita? Modal terbatas, informasi telat, dan sering kali cuma ikut arus. Saat harga naik, kita buru-buru masuk karena takut ketinggalan, padahal yang punya saham sejak awal malah lagi jualan.

Ketika mereka sudah selesai jualan dan harga mulai turun, kitalah yang tertinggal di puncak, berharap harga naik lagi, padahal bandar udah pindah ke saham lain. Kalau gak sadar kelemahan ini, ya siap-siap aja jadi tukang cuci piring selamanya.

Saat ritel mulai heboh ngomongin saham di forum, grup, atau media sosial, biasanya itu sudah terlambat. Berita bagus yang muncul di publik, sering kali sudah diantisipasi pemain besar jauh-jauh hari. Mereka beli sebelum berita keluar, dan mereka jual saat kita masih sibuk ngebahas prospek cerahnya.

Kalau ritel gak sadar diri, kita akan terus terjebak dalam siklus ini: masuk setelah harga naik, keluar setelah harga turun. Ujung-ujungnya ya nyangkut, dan akhirnya pasrah nunggu “balik modal” yang entah kapan.

Investor ritel itu gampang FOMO, gampang panik. Begitu harga naik dikit, langsung takut ketinggalan dan ikut beli. Begitu harga turun dikit, langsung panik dan buru-buru jual. Bandar tahu ini, dan mereka memanfaatkan psikologi ritel untuk mengontrol pergerakan harga.

Mereka goreng harga supaya ritel masuk, lalu mereka jual pelan-pelan. Begitu harga turun, mereka tunggu sampai ritel cut loss dalam kepanikan, baru mereka beli lagi di harga murah. Dan siklus ini terus berulang.

Kalau kita gak sadar kelemahan ini, kita akan terus jadi korban permainan psikologi pasar, dan akhirnya selalu berada di posisi yang salah: beli di puncak, jual di dasar.

Investor besar bisa tahan harga turun bertahun-tahun karena mereka punya modal dan strategi. Ritel? Biasanya modalnya pas-pasan, dan mentalnya gak cukup kuat buat nunggu lama. Akhirnya, saat harga turun sedikit, udah mulai gelisah. Begitu turun lebih dalam, mulai panik. Dan saat udah gak tahan, cut loss di titik terendah—tepat sebelum harga mulai naik lagi.

Kalau kita sadar diri, kita harus tahu bahwa kesabaran adalah aset yang harus kita bangun. Jangan cuma ikut beli tanpa rencana, lalu panik sendiri saat harga turun. Kalau gak bisa sabar, jangan main saham yang volatil, nanti malah makin stress.

Investor ritel harus sadar bahwa kita bukan pemain utama di bursa. Kita selalu masuk belakangan, selalu dapat informasi telat, dan sering kali cuma jadi pelengkap bagi big money. Kalau kita gak sadar kelemahan kita sendiri, kita akan terus jadi tukang cuci piring bursa, selalu menanggung beban di akhir siklus.

Tapi bukan berarti kita gak bisa sukses. Kalau kita paham bagaimana pasar bekerja, tahu kapan harus masuk, kapan harus keluar, dan gak gampang panik, kita bisa menghindari jebakan yang dibuat bandar. Kita gak harus jadi pemain besar untuk cuan, yang penting kita tahu posisi kita di bursa, dan gak gampang dikendalikan oleh euforia dan ketakutan pasar.

Karena pada akhirnya, yang paling penting di bursa bukan seberapa besar modal kita, tapi seberapa sadar kita terhadap permainan yang sedang terjadi.

Bandar di pasar saham bukan sekadar mitos, mereka adalah pemain besar yang memiliki modal besar, akses informasi lebih cepat, dan kemampuan untuk mengontrol pergerakan harga saham tanpa disadari investor ritel. Mereka tidak hanya membeli dan menjual saham seperti investor biasa, tetapi juga menciptakan tren, membentuk likuiditas, dan mengatur skenario pasar sesuai rencana mereka. Ritel sering kali berpikir bahwa pergerakan pasar terjadi secara alami, padahal di balik layar, banyak skenario yang sudah diatur agar menguntungkan bandar.

Permainan bandar biasanya dimulai dari fase akumulasi, di mana harga saham masih sepi, volume rendah, dan ritel belum banyak tertarik. Pada tahap ini, bandar mulai mengumpulkan saham secara diam-diam dalam jumlah besar tanpa menarik perhatian. Mereka membeli perlahan-lahan agar harga tidak melonjak drastis, sementara ritel yang bosan dengan saham ini perlahan menjual. Ciri-ciri fase ini adalah saham bergerak sideways dalam waktu lama, volume perdagangan meningkat sedikit demi sedikit, dan tidak ada berita besar tentang perusahaan. Tujuan bandar pada fase ini adalah mendapatkan stok saham sebanyak mungkin di harga rendah sebelum memulai skenario berikutnya.

Setelah mengumpulkan cukup saham, bandar mulai mengangkat harga melalui fase mark up. Mereka mulai membeli dalam jumlah besar dan cepat untuk menarik perhatian trader. Berbagai strategi digunakan untuk menciptakan euforia, seperti menyebarkan rumor atau berita positif tentang prospek perusahaan, menggiring opini melalui influencer pasar, dan menciptakan pola teknikal yang menarik minat trader ritel. Di fase ini, harga saham mulai naik perlahan, lalu meningkat lebih cepat, volume perdagangan melonjak drastis, dan saham mulai ramai diperbincangkan di berbagai forum dan media sosial. Ritel yang awalnya ragu mulai tertarik untuk ikut masuk karena melihat harga yang terus naik. Bandar tetap ikut membeli di fase ini, tetapi mereka juga mulai mendistribusikan saham yang telah mereka akumulasi sebelumnya ke investor ritel yang baru masuk.

Begitu harga sudah naik cukup tinggi, bandar memasuki fase distribusi, di mana mereka mulai mengurangi kepemilikan saham tanpa membuat harga langsung anjlok. Mereka menjual dalam jumlah kecil tapi terus menerus, menciptakan pola naik-turun agar terlihat seperti koreksi sehat, dan tetap menyebarkan berita positif untuk menjaga minat ritel tetap tinggi. Ciri khas fase ini adalah saham mulai naik dengan volatilitas tinggi, tetapi kenaikannya mulai melemah, volume perdagangan tetap tinggi, namun harga tidak naik signifikan lagi. Banyak investor ritel yang masih optimis dan terus membeli saham di fase ini, percaya bahwa kenaikan masih akan berlanjut, padahal bandar sudah mulai keluar dari permainan.

Setelah bandar selesai mendistribusikan saham mereka, tibalah fase mark down, di mana harga mulai turun drastis karena tidak ada lagi permintaan besar yang menopang pasar. Permintaan dari ritel semakin lemah, dan aksi panic selling mulai terjadi ketika investor mulai menyadari bahwa tren kenaikan telah berakhir. Ciri-ciri fase ini adalah harga saham turun tajam dalam waktu singkat, volume tetap tinggi tetapi mayoritas adalah aksi jual, serta masih adanya berita positif tetapi harga terus turun. Di titik ini, ritel yang masih bertahan resmi menjadi tukang cuci piring bursa, menanggung beban distribusi bandar yang sudah keluar lebih dulu. https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Setelah penurunan besar, saham akan memasuki fase bottom, di mana harga menjadi sangat murah dan pasar kembali sepi. Ritel yang terjebak masih menunggu harga naik kembali, sementara bandar mulai mengamati apakah sudah waktunya untuk kembali masuk. Ciri-ciri fase ini adalah saham bergerak sideways dalam waktu lama, volume perdagangan sangat kecil, dan saham mulai terlupakan dari pembahasan publik. Begitu kondisi mulai stabil dan bandar merasa harga sudah cukup rendah untuk memulai siklus baru, mereka kembali melakukan akumulasi, dan skenario berulang dari awal.

Investor ritel yang tidak memahami cara kerja bandar akan terus menjadi korban dalam siklus ini. Mereka cenderung masuk saat harga sudah naik tinggi karena tergoda oleh euforia pasar, lalu keluar dalam kepanikan saat harga turun, menjadikan mereka sebagai penyedia likuiditas bagi bandar yang sudah mengambil keuntungan lebih dulu. Cara menghindari jebakan bandar adalah dengan tidak masuk saat saham sudah naik tinggi secara tidak wajar, memperhatikan volume perdagangan untuk melihat apakah ada tanda-tanda distribusi, tidak terpengaruh berita bagus tanpa analisis mendalam, serta bersabar untuk masuk di fase akumulasi, bukan di fase distribusi. Pada akhirnya, investor ritel harus lebih pintar membaca pergerakan bandar, daripada hanya ikut arus tanpa tahu kapan harus keluar.

Bandar tidak pernah bermain secara langsung dengan nama mereka sendiri. Untuk menyembunyikan jejak dan mengecoh pasar, mereka menggunakan nominee, yaitu akun-akun yang mereka kontrol untuk melakukan transaksi dalam jumlah besar tanpa terdeteksi sebagai satu entitas. Dengan sistem ini, bandar bisa mengatur pergerakan harga, membuat ilusi permintaan dan penawaran, serta membingungkan investor ritel yang hanya mengandalkan broker summary untuk membaca pergerakan pasar.

Di pasar saham, banyak ritel yang mencoba membaca pergerakan bandar melalui broker summary, dengan melihat broker mana yang paling banyak membeli atau menjual suatu saham. Tapi masalahnya, bandar tahu bahwa ritel mengandalkan informasi ini, sehingga mereka menggunakan nominee untuk memanipulasi data yang terlihat di broker summary. Misalnya, bandar bisa membagi order mereka ke beberapa akun nominee di berbagai sekuritas, sehingga ritel tidak bisa langsung melihat pola akumulasi atau distribusi yang sedang terjadi. Saat mereka ingin membeli dalam jumlah besar, mereka bisa menyebarkan order ke berbagai broker agar terlihat seperti pembelian ritel biasa, padahal itu sebenarnya satu entitas yang sama.

Manipulasi harga dengan nominee juga sering digunakan untuk menciptakan kesan false breakout atau false breakdown. Jika bandar ingin membuat kesan bahwa harga akan naik, mereka bisa menggunakan beberapa akun nominee untuk melakukan aksi beli besar-besaran dari berbagai broker, sehingga ritel yang melihat broker summary akan berpikir bahwa saham tersebut sedang diakumulasi oleh banyak pihak. Begitu ritel ikut masuk karena merasa ada pergerakan positif, bandar bisa mulai menjual sahamnya secara bertahap kepada mereka tanpa terlihat jelas di satu broker tertentu.

Sebaliknya, jika bandar ingin menurunkan harga atau membuat panic selling, mereka bisa menggunakan nominee untuk melakukan penjualan bertahap di beberapa broker sekaligus, menciptakan ilusi bahwa saham tersebut sedang didistribusikan oleh banyak investor besar. Ritel yang melihat broker summary akan panik dan ikut menjual saham mereka, padahal harga turun bukan karena ada tekanan jual yang alami, tetapi karena bandar sengaja menciptakan kepanikan agar bisa membeli kembali di harga lebih murah.

Selain itu, bandar juga bisa menggunakan nominee untuk melakukan wash trading, yaitu transaksi yang terjadi antara akun-akun yang mereka kendalikan sendiri. Mereka bisa membeli saham dari satu akun nominee dan menjualnya ke akun nominee lain dalam jumlah besar untuk meningkatkan volume perdagangan tanpa ada perubahan kepemilikan sebenarnya. Dengan cara ini, bandar bisa menciptakan kesan bahwa saham sedang aktif diperdagangkan, menarik perhatian investor ritel yang sering mengecek volume untuk mencari saham yang sedang "bergerak."

Manipulasi dengan nominee ini memungkinkan bandar untuk bermain dengan lebih leluasa tanpa terdeteksi. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka bisa membuat fake accumulation, di mana mereka membeli saham dalam jumlah besar di satu broker sementara menjual dalam jumlah lebih kecil di beberapa broker lain. Ritel yang melihat broker summary akan mengira bahwa saham sedang dalam fase akumulasi, padahal sebenarnya bandar hanya sedang memancing ritel agar masuk sebelum mereka benar-benar melakukan distribusi dalam jumlah besar.

Pada akhirnya, penggunaan nominee ini membuat bandar selalu selangkah lebih maju dibanding investor ritel. Ritel yang hanya mengandalkan broker summary sebagai satu-satunya indikator pergerakan bandar sering kali tertipu dan justru masuk ke dalam jebakan yang sudah mereka siapkan. Untuk bisa menghindari permainan ini, ritel harus lebih berhati-hati dalam membaca pola perdagangan, tidak hanya bergantung pada satu indikator seperti broker summary, tetapi juga melihat pola harga, volume, dan pergerakan teknikal yang lebih luas sebelum mengambil keputusan investasi.

Bandar tidak hanya bermain di order book dan broker summary, tetapi juga di ruang opini dan sentimen pasar. Salah satu alat yang paling sering mereka gunakan adalah kaki tangan influencer pasar modal yang bertugas untuk pompom saham, menciptakan hype, dan menggiring ritel agar masuk ke saham yang sudah mereka siapkan.

Cara kerja ini sangat halus dan sering kali tidak disadari oleh investor ritel yang percaya bahwa mereka menemukan peluang investasi sendiri, padahal mereka sebenarnya sedang diarahkan secara sistematis. Bandar tahu bahwa pasar saham bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang psikologi. Ritel yang panik akan cut loss dengan harga murah, sementara ritel yang euforia akan membeli tanpa berpikir panjang. Bandar menggunakan influencer untuk mengontrol kedua emosi ini.

Pada fase akumulasi, bandar masih diam-diam mengumpulkan saham, jadi pada titik ini influencer belum banyak bergerak. Namun, begitu bandar sudah memiliki cukup saham dan siap untuk mengerek harga, mereka mulai mengaktifkan jaringan influencer mereka.

Influencer pasar modal yang bekerja untuk bandar tidak selalu berbentuk akun besar dengan jutaan pengikut. Kadang mereka adalah akun kecil tetapi banyak, yang menyebarkan narasi yang sama di berbagai komunitas saham, media sosial, dan forum investasi. Mereka bisa berupa trader independen, analis teknikal, atau bahkan "investor sukses" yang membagikan screenshot portofolio mereka sebagai bukti bahwa saham yang mereka promosikan adalah "peluang emas."

Mereka mulai dengan membangun narasi bahwa saham yang digoreng memiliki fundamental bagus, valuasi murah, atau ada berita besar yang akan mendongkrak harga. Kadang mereka menggunakan analisis teknikal untuk meyakinkan ritel bahwa saham ini "baru mulai naik" atau "sedang dalam fase breakout." Yang lebih manipulatif, mereka bisa menggunakan berita yang sudah lama atau tidak relevan untuk membuat kesan bahwa ada sentimen positif baru.

Ketika cukup banyak ritel yang percaya dan mulai membeli, harga saham mulai naik, dan di sinilah pompom saham semakin masif. Para influencer akan membagikan chart dengan target harga yang tinggi, membuat polling di media sosial yang menunjukkan bahwa mayoritas percaya saham ini masih akan naik, atau bahkan mulai memposting screenshot profit besar dari saham tersebut. Mereka tahu bahwa ritel lebih mudah percaya pada angka-angka visual daripada analisis fundamental yang sebenarnya.

Begitu bandar mulai mendistribusikan sahamnya dan ingin keluar, influencer juga mulai mengubah narasi. Mereka tidak lagi mengatakan "saham ini akan terbang," tetapi mulai menggunakan kata-kata seperti "wajar ada koreksi sehat," "take profit dulu kalau sudah untung besar," atau "masih ada peluang, tapi hati-hati." Ini adalah kode keras bahwa bandar sudah mulai keluar, tetapi banyak ritel masih tidak sadar.

Ketika saham akhirnya mulai turun dan bandar sudah keluar sepenuhnya, influencer akan berpindah ke saham lain. Mereka tidak akan membahas kegagalan saham sebelumnya atau investor yang nyangkut, tetapi langsung beralih ke saham baru yang siap digoreng. Ritel yang masih tertinggal dengan saham lama mereka hanya bisa menonton harga turun, sementara pompom baru sudah dimulai di tempat lain.

Permainan ini terus berulang karena ritel selalu mudah terjebak dalam euforia dan FOMO, terutama jika mereka mengikuti influencer tanpa berpikir kritis. Mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari "komunitas investasi," padahal sebenarnya mereka hanya sedang digiring untuk menjadi likuiditas bagi bandar yang ingin keluar.

Investor ritel yang ingin menghindari jebakan ini harus mulai lebih kritis dalam menilai informasi. Jika sebuah saham tiba-tiba banyak dipompom di media sosial, apalagi oleh akun-akun yang biasanya tidak membahas saham tersebut, maka itu adalah tanda bahwa sesuatu sedang terjadi di balik layar. Tidak ada saham yang tiba-tiba menjadi peluang emas hanya karena beberapa akun Twitter atau Telegram mengatakan demikian. Ritel harus melihat volume perdagangan, histori pergerakan harga, dan bagaimana pola transaksi terjadi di balik hype yang sedang dibangun. https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Pada akhirnya, bandar dan kaki tangannya akan selalu mencari mangsa baru. Jika ritel tidak berhati-hati dan terus mengikuti pompom tanpa berpikir, mereka hanya akan berpindah dari satu jebakan ke jebakan berikutnya, tanpa pernah benar-benar memahami permainan yang sedang dimainkan.

Kasus ARTO, BBHI, BBYB, dan AGRO adalah contoh sempurna bagaimana bandar dan influencer bekerja sama untuk menciptakan hype, menggiring ritel masuk, dan kemudian meninggalkan mereka di puncak sebelum sahamnya nyungsep tanpa ampun. Dulu, saham-saham ini sempat dielu-elukan sebagai "saham bank digital masa depan," dengan narasi pertumbuhan luar biasa, ekspansi besar-besaran, dan potensi revolusi industri perbankan. Kini, setelah bandar dan influencer sudah cuan besar, saham-saham ini diabaikan dan ditinggalkan begitu saja, membuat harga mereka ambruk ke titik yang menyakitkan bagi investor ritel yang masih bertahan.

Sebelum saham-saham ini dikenal luas, bandar sudah lebih dulu masuk. Mereka mulai mengakumulasi saham ini ketika masih murah, saat belum ada banyak yang memperhatikan. Kemudian, secara perlahan, narasi bank digital mulai dibangun di media sosial, grup Telegram, forum saham, dan berbagai kanal investasi.

Banyak influencer tiba-tiba membahas bagaimana perbankan konvensional akan tergantikan oleh bank digital, bagaimana fintech akan mengubah industri keuangan, dan bagaimana saham-saham seperti ARTO, BBHI, BBYB, dan AGRO akan menjadi pemenang besar dalam transformasi ini.

Yang menarik, sebagian besar dari mereka yang mempromosikan saham ini bukan analis fundamental, melainkan trader teknikal dan influencer investasi yang sering muncul dengan postingan bombastis. Mereka mulai menyebar analisis teknikal bullish, target harga tinggi, dan membandingkan valuasi bank-bank digital dengan bank-bank besar, seakan-akan kenaikan harga adalah sesuatu yang pasti terjadi.

Begitu ritel mulai tertarik, harga saham-saham ini naik dengan kecepatan luar biasa. ARTO, misalnya, pernah mencapai Rp19.000, sementara BBHI, BBYB, dan AGRO juga sempat terbang tinggi. Saat harga naik, pompom semakin masif.

Influencer mulai membagikan screenshot keuntungan besar mereka dari saham ini, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa "kalau kalian tidak ikut masuk sekarang, kalian akan ketinggalan." Media juga mulai meliput fenomena bank digital, menambah bahan bakar untuk hype yang semakin besar.

Di balik layar, bandar mulai distribusi saham mereka secara bertahap, menjual pelan-pelan ke investor ritel yang masih optimis harga akan naik lebih tinggi. Mereka tahu bahwa begitu momentum ini berakhir, harga akan turun tajam karena tidak ada pembeli besar lain yang bisa menopang harga setinggi itu.

Saat harga sedang di puncak, influencer masih aktif mengatakan bahwa ini hanyalah "koreksi sehat," bahwa harga masih akan naik lebih tinggi, bahwa valuasi bank digital masih jauh lebih murah dibanding bank-bank besar. Semuanya dilakukan untuk memastikan ritel tidak panik dan tetap membeli saham yang sedang didistribusikan oleh bandar.

Begitu bandar selesai distribusi, mereka menghilang, dan harga saham mulai turun drastis. Yang tadinya dipompa habis-habisan, sekarang ditinggalkan begitu saja. Ritel yang dulu yakin ini adalah "investasi jangka panjang" mulai panik melihat harga turun, tetapi banyak yang tetap bertahan karena masih berharap harga akan naik kembali.

Pada fase ini, influencer yang dulu mempromosikan saham-saham ini mulai diam. Mereka tidak lagi membahas ARTO, BBHI, BBYB, atau AGRO di media sosial, dan mereka beralih ke saham lain yang masih bisa mereka pompom. Kalau pun mereka bicara soal saham-saham ini, mereka akan mengatakan sesuatu seperti "Sabar aja, ini memang lagi masa transisi, nanti juga naik lagi."

Kenyataannya, harga saham-saham ini terus turun, dan turun, dan turun, hingga ke level yang tidak masuk akal dibanding harga tertingginya.

ARTO, yang dulu hampir menyentuh Rp19.000, kini hanya sekitar Rp2.000-an, kehilangan lebih dari 80% nilainya.

BBHI, yang sempat terbang tinggi, sekarang kembali ke level rendah yang membuat banyak investor ritel merugi besar.

BBYB, yang dulunya disebut-sebut akan menjadi pesaing bank besar, sekarang kehilangan momentumnya dan turun drastis.

AGRO, yang sempat dikatakan sebagai "saham bank digital murah," sekarang lebih mirip saham nyangkut yang tidak jelas masa depannya.

Ritel yang masih bertahan di saham-saham ini akhirnya sadar bahwa mereka telah dijebak. Mereka masuk di harga tinggi karena terpancing oleh pompom influencer dan hype di media sosial, sementara bandar sudah lebih dulu keluar dengan keuntungan besar. Sekarang, mereka hanya bisa berharap ada gelombang baru yang bisa mengangkat harga kembali, tetapi tanpa adanya bandar yang siap menggoreng ulang, peluang itu semakin kecil.

Ini adalah pelajaran berharga bagi investor ritel. Setiap kali saham tiba-tiba banyak dibahas, dipompom, dan disebut-sebut sebagai "saham masa depan," selalu tanyakan satu hal: Siapa yang sedang butuh pembeli? Karena sering kali, yang paling keras berteriak "beli sekarang!" adalah mereka yang sebenarnya sedang mencari jalan keluar.

Kasus BUKA (Bukalapak) adalah salah satu contoh paling jelas bagaimana pompom influencer bekerja dalam IPO, membangun ekspektasi besar, menarik investor ritel, dan kemudian meninggalkan mereka saat harga mulai anjlok. Dari awal, IPO BUKA sudah didesain untuk menjadi hajatan besar, bukan hanya untuk menarik modal, tetapi juga untuk memastikan bahwa ada cukup banyak ritel yang masuk dan menjadi "tukang cuci piring bursa" di harga tinggi.

Sebelum IPO, narasi tentang BUKA sudah mulai dimainkan di berbagai media, influencer saham, dan analis pasar modal. BUKA disebut sebagai "Decacorn pertama yang melantai di BEI," "Marketplace berbasis UMKM yang siap menyaingi Shopee dan Tokopedia," serta "Tech company dengan potensi pertumbuhan luar biasa."

Pompom influencer mulai bergerak, membandingkan IPO Bukalapak dengan IPO teknologi besar seperti Alibaba, Amazon, atau perusahaan digital lain yang mengalami kenaikan besar setelah IPO. Mereka menciptakan ilusi bahwa membeli saham BUKA di IPO adalah seperti membeli Amazon di harga awal—padahal, realitas bisnisnya sangat berbeda.

Di media sosial dan forum investasi, influencer mulai mengarahkan opini bahwa BUKA adalah "saham masa depan," bahwa ini adalah "kesempatan sekali seumur hidup," dan bahwa investor yang tidak ikut akan "menyesal karena ketinggalan." Mereka tidak banyak membahas fundamental perusahaan yang masih merugi, tetapi fokus pada buzzword seperti "growth," "digital economy," dan "unicorn."

Di titik ini, bandar yang sudah mendapat alokasi IPO mulai mempersiapkan exit strategi, sementara ritel yang terpengaruh pompom mulai antri untuk mendapatkan sahamnya di harga tinggi.

Ketika BUKA resmi listing, harganya langsung melonjak signifikan di hari pertama perdagangan. Ini adalah taktik klasik yang sering terjadi dalam IPO besar. Bandar dan institusi yang sudah mendapatkan harga IPO murah tidak langsung menjual dalam jumlah besar, tetapi mereka memastikan bahwa harga naik dulu agar ritel FOMO dan ikut masuk.

Influencer semakin gencar menyebarkan narasi bahwa BUKA akan menjadi "saham teknologi pertama yang akan membawa Indonesia ke era digitalisasi perbankan dan e-commerce." Mereka membagikan chart dengan target harga tinggi, membandingkan valuasi BUKA dengan startup global lain, dan meyakinkan ritel bahwa saham ini masih punya "room to grow."

Pada fase ini, ritel berbondong-bondong masuk, percaya bahwa mereka sedang membeli "saham emas masa depan." Harga yang naik tajam di hari pertama semakin memperkuat keyakinan bahwa ini adalah keputusan yang tepat, tanpa sadar bahwa mereka sebenarnya sedang membeli dari institusi dan bandar yang sudah mulai menjual pelan-pelan.

Setelah beberapa hari atau minggu, harga mulai stabil dan tidak lagi naik setinggi sebelumnya. Ini adalah fase distribusi bandar, di mana mereka menjual saham dalam jumlah besar tetapi tetap menjaga harga agar tidak langsung anjlok.

Influencer masih terus bekerja, mengatakan bahwa ini hanya "koreksi wajar," bahwa saham ini "masih undervalued," dan bahwa investor harus "tetap sabar karena ini adalah investasi jangka panjang." Mereka tahu bahwa jika mereka langsung berhenti membahas BUKA, ritel akan mulai panik lebih cepat. Jadi mereka menahan ritel untuk tetap percaya, agar bandar bisa keluar dengan tenang tanpa menyebabkan panic selling.

Salah satu narasi yang sering dimainkan adalah "Institusi besar masih memegang saham ini, artinya mereka masih percaya dengan potensi jangka panjangnya." Yang tidak diberitahu kepada ritel adalah bahwa institusi ini bisa saja memiliki lock-up period dan tidak bisa langsung jual, atau mereka sudah jual secara bertahap melalui nominee dan berbagai broker.

Pada fase ini, harga mulai turun secara perlahan, tetapi ritel masih berharap ada pantulan. Banyak yang masih averaging down, percaya bahwa ini adalah "harga murah untuk jangka panjang," padahal bandar sedang melakukan distribusi secara bertahap.

Begitu bandar selesai distribusi dan tidak ada lagi yang menopang harga, saham mulai jatuh lebih dalam. Koreksi kecil berubah menjadi downtrend yang lebih panjang, dan di titik ini influencer yang dulu semangat pompom mulai menghilang.

Tidak ada lagi analisis teknikal optimis. Tidak ada lagi target harga tinggi. Media sosial yang dulu ramai membahas BUKA tiba-tiba sepi, karena influencer sudah pindah ke saham lain yang lebih menarik untuk dipompom.

Ritel yang masih bertahan mulai panik. Banyak yang sudah terlanjur nyangkut di harga tinggi, tetapi tidak mau cut loss karena merasa harga akan kembali naik. Narasi mulai bergeser dari "growth stock" menjadi "saham ini butuh waktu," "harga sekarang sudah undervalued," atau "mungkin akan naik lagi dalam 5-10 tahun ke depan."

Pada titik ini, BUKA bukan lagi saham favorit, melainkan saham yang diabaikan. Harga terus turun karena tidak ada pembeli besar yang tertarik, dan ritel yang masih bertahan akhirnya menjadi tukang cuci piring bursa, menanggung beban dari mereka yang sudah exit di harga tinggi.

Kasus BUKA adalah contoh nyata bagaimana IPO bisa menjadi skenario pompom yang sempurna untuk bandar dan institusi. Mereka menggunakan media, influencer, dan analis pasar modal untuk menciptakan hype sebelum listing, memastikan harga naik saat debut, lalu secara bertahap menjual saham mereka ke ritel yang masih optimis.

Bagi ritel, ini adalah pelajaran penting untuk tidak mudah terjebak dalam hype IPO dan pompom influencer. Jangan membeli saham hanya karena euforia atau karena "semua orang membicarakannya." Perhatikan bagaimana saham diperdagangkan, siapa yang membeli, siapa yang menjual, dan apakah narasi yang dibangun benar-benar didukung oleh fundamental yang solid.

Karena di pasar modal, yang paling sering berteriak "beli sekarang!" adalah mereka yang sudah lebih dulu masuk dan sedang mencari pembeli untuk mengambil alih beban mereka.

BBKP (Bank KB Bukopin) pernah menjadi salah satu saham yang dipompom habis-habisan dengan narasi bahwa masuknya KB Kookmin Bank dari Korea Selatan akan menyelamatkan perusahaan dan mengubahnya menjadi bank besar yang lebih modern. Harapan yang dibangun sangat tinggi, seakan-akan dengan hadirnya pemegang saham baru, BBKP akan langsung berubah menjadi pesaing kuat di industri perbankan. Namun, kenyataan berkata lain. Setelah bandar dan influencer berhasil menggiring investor ritel masuk dengan narasi tersebut, harga saham BBKP malah terjun bebas, meninggalkan ritel dalam posisi nyangkut tanpa harapan.

Di awal, narasi penyelamatan ini terdengar sangat meyakinkan. KB Kookmin Bank sebagai salah satu bank terbesar di Korea Selatan masuk sebagai pemegang saham mayoritas, sehingga muncul ekspektasi bahwa BBKP akan mendapatkan suntikan modal besar dan transformasi digital yang akan menjadikannya lebih kompetitif. Media keuangan, analis pasar modal, dan influencer saham ikut menyebarkan optimisme ini dengan berbagai perbandingan yang dibuat-buat. Mulailah muncul opini bahwa dengan masuknya Kookmin, BBKP akan mengikuti jejak bank digital sukses lainnya, padahal kondisi keuangan perusahaan saat itu masih penuh tantangan.

Narasi ini diperkuat dengan berbagai berita dan analisis teknikal yang menggiring opini publik bahwa saham BBKP adalah peluang emas yang masih undervalued. Di berbagai media sosial dan forum saham, influencer mulai membagikan grafik harga dengan target yang tinggi, seakan-akan BBKP baru memulai fase kenaikannya. Mereka membandingkan valuasi BBKP dengan bank digital yang lebih maju, tanpa memperhitungkan perbedaan mendasar dalam fundamental bisnisnya. Seiring dengan meningkatnya ekspektasi ini, harga saham mulai naik, dan semakin banyak investor ritel yang tergoda untuk masuk. Mereka percaya bahwa ini adalah momen yang tidak boleh dilewatkan, apalagi dengan keyakinan bahwa bank sebesar Kookmin tidak mungkin membiarkan BBKP gagal.

Di balik layar, bandar yang sudah masuk lebih dulu mulai memanfaatkan euforia ini untuk melakukan distribusi saham secara bertahap. Mereka tidak serta-merta menjual dalam jumlah besar agar tidak menciptakan panic selling, tetapi melepas sahamnya sedikit demi sedikit di harga tinggi kepada investor ritel yang masih optimis. Untuk mempertahankan momentum, influencer terus meyakinkan publik bahwa ini hanya awal dari perjalanan BBKP menjadi bank digital masa depan. Kata-kata seperti "sabar, ini masih undervalued" dan "fundamentalnya semakin solid" terus diulang-ulang untuk menjaga sentimen positif tetap hidup.

Namun, seiring waktu, harga mulai menunjukkan tanda-tanda melemah. Meski berita bagus masih terus bermunculan, harga saham tidak lagi naik setinggi sebelumnya. Ini adalah tanda klasik bahwa bandar sudah mulai keluar, tetapi influencer masih berusaha menenangkan investor ritel agar mereka tidak panik. Ketika harga mulai turun lebih tajam, narasi yang dimainkan pun berubah. Tidak lagi soal pertumbuhan pesat, tetapi lebih ke arah "ini koreksi sehat" atau "kesempatan averaging down sebelum naik lagi."

Investor ritel yang masih terbuai dengan narasi ini tetap bertahan, berharap bahwa harga akan kembali naik seperti sebelumnya. Mereka bahkan mulai menambah kepemilikan mereka dengan harapan bahwa ini hanya sementara. Namun, tanpa adanya dorongan beli dari bandar yang sudah keluar, harga terus melemah. Pada titik ini, banyak yang mulai menyadari bahwa Kookmin tidak datang untuk menyelamatkan harga saham BBKP, melainkan hanya untuk menjalankan bisnis mereka sendiri.

Saat harga semakin jatuh, influencer yang dulu aktif mempromosikan BBKP mulai menghilang satu per satu. Mereka tidak lagi membahas saham ini dengan antusiasme yang sama, dan perhatian mereka beralih ke saham lain yang sedang naik daun. Ritel yang masih bertahan akhirnya sadar bahwa mereka telah masuk ke dalam jebakan pompom yang kini sudah selesai dimainkan. Tidak ada lagi lonjakan harga, tidak ada lagi sentimen positif baru, dan Kookmin sendiri tidak memiliki kewajiban untuk mengangkat harga saham demi kepentingan investor ritel.

Setelah semuanya terlambat, barulah banyak investor menyadari bahwa mereka telah salah menafsirkan kehadiran Kookmin. Kookmin masuk bukan untuk menyelamatkan harga saham BBKP di bursa, melainkan untuk memperbaiki operasional bank dan memastikan bisnisnya berjalan dengan lebih baik di masa depan. Mereka tidak peduli apakah harga saham naik atau turun, selama strategi bisnis mereka tetap berjalan sesuai rencana. Ini adalah pelajaran keras bagi investor ritel yang mengira bahwa masuknya investor besar otomatis akan membuat harga saham terus naik.

Kasus BBKP mengajarkan bahwa tidak semua berita besar yang terlihat positif akan berdampak baik bagi harga saham. Narasi penyelamatan sering kali hanya menjadi alat bagi bandar dan influencer untuk menarik investor ritel agar masuk, sementara mereka yang lebih dulu memiliki saham dapat keluar dengan nyaman di harga tinggi. Setiap kali ada hype besar seperti ini, investor harus selalu bertanya: siapa yang sebenarnya paling diuntungkan dari berita ini? Jika jawabannya bukan investor ritel, maka kemungkinan besar mereka sedang diarahkan untuk menjadi likuiditas bagi bandar yang ingin keluar.

Pada akhirnya, investor ritel harus lebih waspada terhadap skenario yang berulang seperti ini. Jika suatu saham tiba-tiba banyak dipromosikan dengan alasan "ada investor besar masuk," jangan langsung percaya bahwa itu berarti harga saham akan naik selamanya. Lihat bagaimana bandar bergerak, perhatikan volume perdagangan, dan yang terpenting, jangan membeli hanya karena merasa takut ketinggalan. Karena di pasar saham, mereka yang paling keras berteriak "beli sekarang!" sering kali adalah mereka yang sudah siap keluar di harga tinggi.
Sejarah selalu berulang di pasar saham, dan yang paling tragis adalah investor ritel yang tidak pernah belajar. Setiap kali ada saham yang naik tinggi, mereka langsung FOMO, takut ketinggalan pesta, buru-buru masuk tanpa berpikir panjang, dan akhirnya menjadi tukang cuci piring bursa yang selalu terlambat sadar bahwa mereka hanya alat untuk bandar exit.

Kita sudah melihatnya berkali-kali. Ketika ada narasi baru, apakah itu bank digital, decacorn lokal, startup revolusioner, atau penyelamatan investor besar dari luar negeri, ritel langsung menyerbu tanpa ragu. Mereka tidak peduli apakah perusahaan itu untung atau rugi, apakah valuasinya masuk akal atau tidak, selama harga masih naik, mereka akan meyakinkan diri sendiri bahwa ini adalah "saham masa depan." Bandar yang sudah lebih dulu mengumpulkan saham di harga murah hanya perlu duduk manis, menunggu ritel berbondong-bondong masuk, dan ketika harga sudah cukup tinggi, mereka mulai jualan pelan-pelan sambil tetap memastikan influencer pompom masih bekerja keras menjaga optimisme ritel tetap hidup. https://cutt.ly/ge3LaGFx

Di media sosial, euforia semakin liar. Ada influencer yang mendadak jadi "analis saham," menggambar garis-garis teknikal yang seolah-olah menunjukkan bahwa harga akan terus naik. Ada yang membandingkan saham yang sedang mereka pompom dengan perusahaan besar di luar negeri, seolah-olah perbandingan itu masuk akal. Dan tentu saja, ada screenshot profit besar yang dibagikan untuk membuat ritel yang masih ragu-ragu semakin percaya diri untuk ikut membeli. Mereka yang baru masuk di harga tinggi merasa bahwa mereka jenius karena harga naik sedikit setelah mereka beli. Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa harga naik itu bukan karena sahamnya memang bagus, tapi karena mereka sendiri yang datang membeli di harga tinggi, memberikan kesempatan bagi bandar untuk jualan lebih banyak.

Lalu tibalah fase distribusi, di mana harga mulai melambat, tetapi ritel masih percaya bahwa ini hanya koreksi sehat. Influencer mulai mengubah narasi, dari "saham ini akan terbang tinggi!" menjadi "sabar, ini baru awal perjalanan!" Ritel masih belum sadar bahwa bandar sudah mulai keluar secara bertahap, menjual saham ke mereka yang masih optimis. Bahkan ketika harga mulai turun lebih dalam, ritel tetap bertahan, menolak cut loss, dan malah averaging down seperti seorang pahlawan tanpa tahu bahwa yang mereka lakukan hanyalah memperbanyak piring kotor yang harus mereka cuci.

Ketika harga akhirnya benar-benar runtuh, influencer yang dulu berteriak paling keras tiba-tiba menghilang. Tidak ada lagi analisis teknikal penuh harapan, tidak ada lagi target harga tinggi, tidak ada lagi ajakan beli. Mereka sudah pindah ke saham lain yang sedang naik, meninggalkan ritel untuk menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka sudah masuk di harga puncak dan sekarang harus menerima kenyataan bahwa saham ini sudah kehilangan momentumnya. Ritel yang tadinya sombong karena "untung cepat," sekarang hanya bisa terdiam melihat portofolio mereka merah tanpa harapan.

Dan di sinilah ironi terbesar terjadi. Mereka yang dulu yakin bahwa mereka adalah investor pintar, sekarang terjebak dalam fase penyangkalan, berharap, dan pasrah. Beberapa masih mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa harga akan kembali naik, meskipun semua indikator menunjukkan bahwa bandar sudah tidak lagi peduli. Beberapa akhirnya menyerah dan cut loss, tetapi mereka cut loss bukan karena strategi, melainkan karena kehabisan kesabaran setelah berbulan-bulan menunggu harga yang tidak pernah kembali.

Lucunya, setelah mengalami ini, ritel tetap tidak belajar. Begitu ada saham lain yang tiba-tiba naik tinggi, mereka langsung FOMO lagi, masuk lagi, percaya bahwa kali ini pasti berbeda. Mereka tidak sadar bahwa mereka hanya berpindah dari satu jebakan ke jebakan lain, menjadi tukang cuci piring bursa berkali-kali tanpa pernah memahami bahwa mereka selalu datang terlambat ke pesta dan selalu pulang terakhir dengan kantong kosong.

Sejarah selalu berulang, bukan karena pasar saham kejam, tetapi karena ritel selalu sama: serakah saat harga naik, takut saat harga turun, dan selalu percaya bahwa kali ini pasti berbeda. Tapi tidak, kali ini sama saja. Bandar selalu menang, influencer selalu dapat komisi, dan ritel selalu tinggal sendirian di akhir pesta, membersihkan sisa-sisa perayaan yang tidak pernah mereka nikmati.

Setiap kali harga saham turun, investor ritel selalu dihadapkan pada dilema. Haruskah mereka cut loss untuk menyelamatkan modal, ataukah lebih baik bertahan dengan harapan harga akan kembali naik? Beberapa memilih untuk bersabar dan ikhlas, meyakini bahwa ini adalah bagian dari perjalanan investasi, sementara yang lain mulai mempertanyakan keputusan mereka sendiri.

Pada awalnya, ketika harga mulai turun, sebagian besar investor masih bersikap optimis. "Ini hanya koreksi sehat," kata mereka. Namun, seiring waktu, koreksi yang dianggap sementara mulai berubah menjadi penurunan yang terus berlanjut. Di tahap ini, banyak investor mulai mengalami fase penyangkalan. Mereka mencari pembenaran dengan menyatakan bahwa saham yang mereka pegang masih undervalued dan hanya menunggu momentum untuk naik kembali.

Ada dua tipe investor yang muncul dalam situasi seperti ini. Tipe pertama adalah mereka yang panik dan segera melakukan cut loss di titik terendah. Begitu harga saham anjlok, mereka menjual seluruh kepemilikannya tanpa mempertimbangkan fundamental perusahaan. Beberapa hari kemudian, harga saham kembali naik, dan mereka pun menyesal karena telah menjual terlalu cepat. Mereka mulai menyalahkan bandar, influencer, pasar, hingga ekonomi global, tetapi tidak pernah menyalahkan keputusan mereka sendiri yang membeli saham di harga puncak tanpa analisis yang matang.

Tipe kedua adalah mereka yang memilih untuk bertahan dengan prinsip sabar dan ikhlas. Mereka tidak panik meskipun harga saham mereka merah. Namun, sabar tanpa strategi juga bukan keputusan yang bijak. Jika saham yang mereka pegang memiliki fundamental yang kuat, laba yang terus tumbuh, dan secara konsisten membagikan dividen, maka bertahan dalam investasi tersebut bisa menjadi pilihan yang tepat. Namun, jika perusahaan tersebut tidak memiliki prospek yang jelas, bertahan tanpa alasan hanya akan memperpanjang kerugian.

Investor yang lebih cerdas memahami bahwa tidak ada yang bisa memprediksi pergerakan harga saham dengan pasti. Oleh karena itu, mereka tidak pernah menginvestasikan seluruh modal mereka sekaligus. Mereka lebih memilih untuk mencicil pembelian saham secara bertahap agar bisa mendapatkan harga rata-rata yang lebih baik. Strategi ini lebih aman dibandingkan dengan all-in di satu harga, yang sering kali berakhir dengan kerugian besar jika pasar bergerak berlawanan dengan ekspektasi.

Pada akhirnya, investor yang lebih bijak menyadari bahwa mengejar saham gorengan dan mengikuti pompom influencer hanya akan berujung pada kekecewaan. Mereka mulai mengalihkan perhatian mereka ke saham yang memiliki fundamental yang kuat, membagikan dividen secara konsisten, dan memiliki pertumbuhan laba yang sehat. Dengan cara ini, mereka tidak hanya menunggu harga saham naik, tetapi juga mendapatkan penghasilan pasif dari dividen yang mereka terima setiap tahun.

Keputusan selalu ada di tangan investor. Apakah mereka ingin terus menjadi korban pompom yang nyangkut dan akhirnya cut loss dalam kepanikan? Ataukah mereka ingin menjadi investor yang sabar, disiplin, dan fokus pada pertumbuhan laba serta dividen? Satu hal yang pasti, sejarah selalu berulang. Mereka yang serakah dan gegabah akan terus menjadi tukang cuci piring bursa, sementara mereka yang sabar dan memiliki strategi investasi yang jelas akan menikmati hasilnya di masa depan.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Dan jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://bit.ly/3YGX6Dc

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$PANI $BBRI $ARTO

Read more...

1/3

testestes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$NAYZ the next $PANI


PANI The Next $ARTO


PANI SEREEM.....

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$AMMN sama dengan cerita $ARTO.

Kepentingan owner sudah selesai - toh sudah berhasil exit ke MSCI di harga tinggi. Tugas mereka sekarang tinggal buy tipis2 saat turun banyak.

Kalo masih ada ritel yang berharap ini bisa naik lagi ke ATH, kalian harus sadar diri. Lebih baik pensiun dari saham saja - simpen uang di deposito atau obligasi.

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI apakah jadi $ARTO 2

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

apakah chart $PANI akan menjadi seperti $ARTO? 🥶
#mirip

1/2

testes
imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

pingin tahu aja apakah disini ada yang dulu nyangkut di $ARTO sekarang nyangkut lagi di $PANI , chart nya mirip sekali, soalnya yang banyak beli PANI itu sobat stockbit kode XL,

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI coba tebak akhir bulan jadi apa? 🙈

random Tags $ARTO $DATA

Banyak yang bilang kalau $PANI itu mirip sama $ARTO dulu. Sempat hampir 20,000 lalu dibawa turun.

Kalau ARTO itu turun karena kinerja nya menurun juga. Kalau PANI kinerja nya itu bagus, bahkan tahun kemarin penjualan melebihi target. Cuma memang ada isu pagar laut, ditambah saham-saham dunia juga lagi pada turun.

Jadi saham yang turun karena kinerja nya menurun, sama turun karena market crash itu beda.

$CBDK

Read more...

$PANI mirip $ARTO ( SEREEEM dan Mengerikan Otw 1000 an- 2000 an )
Sangat Sangat MIRIP ini...
Berhati Hati lah sayangi duit Kalian




$BBRI BAGI BAGI DUIT THR LEBARAN MARET atau APRIL


DEVIDEN BBRI

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI sekilas mirip $ARTO

kebetulan sama sama di pompom oleh . . .
jadi klo nanti pani ngikut jejak arto , yah gk usah heran

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI $CBDK sama kayak cerita $ARTO di 2021-2022. bandar jg mau cuan, memang nya retail doank yg ngarep cuan.

@Rams123 jdi inget jaman $ARTO, $LPPF sama $INKP dulu sempet di markup sampe 20rb an semua akhirnya anjlok dalam semua skrg dan tidak pernah kembali lagi ke harga tertinggi😅

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI dan $ARTO adalah sodara yang sudah lama berpisah merka akan bertemu segera wkwkwk 🤣🤣🤣🤣👻☠️

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI akan kah begini, seprti $ARTO

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

salahkan $ARTO

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

🤣 🤣 🤣 🤣 🤣 🤣 ritel ga pernah belajar... $PANI $ARTO.... kalean yg dulu pernah nyangkut di arto... sekalian nyangkut di pani..

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI the next $ARTO dari 19k jadi 2000 an

$PANI THE NEXT $ARTO

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Pucuk $ARTO 19K
Pucuk $PANI 19K

Kok sama 19K yha?
Apakah ini kode alam?

mau brp kali lg retail dijadikan keset kaki exit liquidity?

$IHSG

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

@ariseptian lah gimanaa..harga sudah gak masuk akal gitu... buy by hope? atau fomo? klu fundamental ok...management ok...gpp lah... lah ini? banyak masalah.... "sayangi modal/peluru" mirip saham $ARTO.... dari 18k++ ambrolll 😵‍💫 klu lebih parah bakal seperti $POLL🤮

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Bagaimana holder $ARTO $BBHI, sudah pernah rasain multibagger seperti holder $PANI?

imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$PANI kan sudah banyak yang bilang , the next $ARTO

Surat terbuka untuk holder $PANI & $CBDK

Saya miris banyak sekali orang main saham karena mau cepet beli ferrari, tapi ujung2nya boncos. Apalagi bila bapak2 sampai menggadaikan uang sekolah anaknya untuk jadi pemegang saham PIK 2.

Ini beberapa poin yang saya mau jelaskan bagi teman2 di stockbit secara gratis:

NGIKUT BELI KARENA INFLUENCER PERNAH MULTIBAGGER BERKALI2 -> Ya memang di bursa indo bisa saja cuan multibagger. Tapi di satu titik kalian perlu TP kan? Kalian tau kalian bakal TP dimana? Atau setiap kali hit, TP nya dinaikin sampai kalian tidak pernah jualan? PANI TP di brp? 20rb, 45 rb, nanti juga jadi 100 rb? Coba saja kalian liat nasib BBHI, $ARTO, dan KARW kalo kalian selalu hold keras tanpa pernah jualan. Apa kalian tau orang yang suruh kalian beneran masih hold atau sudah TP?

ASET PANI MASIH BANYAK, SAHAM MASIH MURAH -> Kalian pernah liat saham property yang lain kah? BKSL, CTRA, dan SMRA juga murah kalo dibandingkan dengan landbank nya. Kalo mau cari yang PSN, BSDE juga PSN. Pertanyaannya perusahaan ini mahal atau murah?

OWNER GA PERNAH JUALAN -> Emang kalian tau owner jualan atau tidak. Semua orang bisa pakai nominee. Influencer pun bisa banyak pakai nominee - bisa nama istri, supir, mbak di rumah, dll. Kalian cuma modal broksum, emang kalian ga tau bisa pindah broker tanpa keliatan di broksum. Ini yang jual banyak apa bukan bandar? Siapa yang tampungin, mungkin teman2 kalian sendiri juga yang masih percaya bisa ke 45 rb.

BANDAR MASIH NYANGKUT -> Avg kalian berapa? Avg bandar jauh di bawah kalian. Dia jual sedikit sudah balik modal. Sisanya bisa buat bingkai foto juga mereka sudah senang.

HAPUS APLIKASI, TUTUP MATA, NANTI TIBA2 100 rb -> kalo main seperti ini, berarti kalian judi. Kalo sudah floating loss, tidak usah cari pembenaran. Coba introspeksi diri sendiri. Apa kalian main saham atau sedang berjudi? Emangnya tidak sayang duit makin hari makin tergerus? Emang sudah pasti nanti satu hari bisa naik lagi? Coba liat lagi ARTO BBHI KARW.

Ini opini pribadi. Saya sharing karena kasian masih banyak orang denial

Jual beli di tangan masing2. Silahkan tentukan strategi kalian masing2.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy