Volume
Avg volume
PT Akasha Wira International Tbk (“Perseroan”) didirikan dengan nama PT Alfindo Putrasetia pada tahun 1985. Nama Perseroan telah diubah beberapa kali, terakhir pada tahun 2010, ketika nama Perseroan diubah menjadi PT Akasha Wira International Tbk. Perseroan memiliki beberapa kegiatan usaha dan produk yang dihasilkan, diantaranya adalah industri air minum dalam kemasan dengan merek Nestlé Pure Life dan Vica Royal; industri kosmetika dengan merek Makarizo; industri food & beverage dengan merek Pureal dan Wonhae; serta distribusi produk kosmetika professional merek Wella and Clairol di Indonesia.
$AISA - Menguji Efisiensi Laba pada Turnaround Company
Semua orang tahu bahwa laba bersih itu penting. Tapi nggak semua orang sadar: seberapa besar ongkos yg harus dibayar perusahaan untuk mencetak angka laba itu? Kadang kita melihat laporan keuangan yg tampak kinclong—labanya naik, margin membaik—tapi kasnya justru makin tipis. Di sisi lain, ada juga emiten yg labanya belum spektakuler, tapi saldo kasnya tetap tebal. Di sinilah kita mulai curiga: jangan-jangan ada yg tersangkut di piutang, numpuk di gudang, atau malah dibayarkan duluan ke vendor. Makanya, membaca kinerja keuangan gak bisa berhenti di angka laba doang. Harus dilihat juga, apakah untuk menghasilkan laba itu, perusahaan harus mengorbankan terlalu banyak modal kerja?
Dari pertanyaan itu lahir satu pendekatan sederhana tapi relevan: membandingkan mutasi laba bersih dengan mutasi modal kerja operasional bersih. Kalau laba naik lebih besar dari tambahan modal kerja operasional, berarti perusahaan efisien: bukan hanya bisa menutup kebutuhan operasional, tapi masih menyisakan kas—itulah yg disebut surplus. Tapi kalau modal kerja yg nambah lebih besar dari pertumbuhan laba, bahkan bikin kas jadi defisit, kita perlu hati-hati. Bisa jadi itu tanda kalau tiap kenaikan omzet justru makin bikin napas keuangan makin pendek.
Tapi lebih jauh dari itu, pendekatan ini juga memberi sinyal soal kualitas pertumbuhan. Karena dalam dunia usaha, idealnya setiap tambahan modal kerja bukan cuma dibayar balik, tapi juga bisa melipatgandakan laba di masa depan. Jadi, saat kita menemukan perusahaan yg cuma butuh sedikit tambahan modal kerja tapi bisa mendongkrak laba secara signifikan, di situlah kita melihat bentuk kinerja yg paling efisien. Dan itulah yg seharusnya dicari investor: bukan cuma angka laba besar, tapi laba yg lahir dari mesin usaha yg hemat bahan bakar. Kita bisa menyebutnya laba yg efisien.
Pendekatan ini secara teknis perhitungannya mengikuti kerangka:
--------------------------------------------------------------------------------
Surplus (Defisit) Kinerja Operasional = Mutasi Laba Bersih – Mutasi Modal Kerja Operasional Bersih
Modal kerja Operasional bersih sendiri dihitung sebagai:
(Aset Lancar – Kas & Setara Kas) – (Liabilitas Lancar – Utang Bank & Kewajiban Sewa)
--------------------------------------------------------------------------------
Kalau hasilnya positif, berarti mesin usaha menghasilkan kas yg berlebih. Kalau negatif, ya berarti pasaknya masih lebih besar dari tiangnya. Inilah cara paling jujur untuk menilai apakah suatu perusahaan benar-benar menghasilkan surplus dari dalam, atau sekadar terlihat menguntungkan karena piutang dan stok numpuk di gudang.
Pendekatan ini makin relevan kalau kita mengulik emiten yg sedang berubah arah—entah itu baru bangkit dari masa kelam, atau lagi transisi jd perusahaan yg lebih sehat. Salah satu contoh nyata ya AISA, alias PT FKS Food Sejahtera Tbk. Dulu namanya sering muncul gara-gara drama beras dan skandal utang, tapi sekarang mulai dilirik lg krn story turnaroundnya. Seperti diceritakan oleh gambar 3 yg sy lampirkan, lewat uji efisiensi laba ini, cerita AISA yg tadinya penuh kabut bisa jd jauh lebih kelihatan terang.
AISA sebenarnya bukan pendatang baru. Dulu pernah jd jagoan di pasar beras nasional, sambil jg menjual produk makanan ringan dan pokok yg sangat familiar—dari mie, bihun, sampai merk Taro dan Gulas. Tapi seperti banyak cerita emiten yg terlalu ambisius, ekspansi AISA malah jd bumerang. Sekitar 2014, utangnya mulai bengkak, lini bisnis berasnya mulai merugi, dan reputasi mulai kusut karena skandal. Sampai akhirnya di 2017, segmen beras resmi tumbang. Yang tersisa hanya bisnis makanan ringan—ibarat kapal besar yg terpaksa jalan pakai dayung karena mesinnya rusak.
Tapi kejatuhan nggak selalu jd akhir. Tahun 2020, FKS Group datang sebagai penyelamat—bukan cuma suntik dana Rp329 miliar lewat private placement, tapi jg ambil alih kendali. Di akhir tahun, tercatat mereka pegang 70% saham. Dan sejak saat itu jg, arah AISA berubah total. Bisnis beras ditutup rapat, strategi dirombak, dan perusahaan difokuskan ke produk consumer goods yg lebih ramping dan scalable. Produk makanan ringan seperti Mie Kremezz dan Taro, serta aneka produk bihun (Bihunku, Cap Tanam Jagung & Superior) jadi andalan utama. Ekuitas yg sebelumnya minus Rp1,6 triliun—ya, minus, bukan salah ketik—berubah jadi positif Rp828 miliar cuma dalam waktu satu tahun. Tapi tentu sj, laporan ekuitas belum bisa memberikan jawaban lengkap. Apa pemulihan ini beneran kokoh? Atau baru sebatas tambal sulam neraca?
Nah, di titik inilah analisis efisiensi laba mulai punya tempat. Tahun 2020 jadi momen tak lazim bagi AISA. Dari sisi arus kas, ini bukan sekadar tahun pulih—tapi anomali positif yg sulit diulang. Laba bersih melonjak drastis, bukan krn kenaikan penjualan atau operasional yg efisien, tapi lebih karena efek pengurangan kewajiban utang dan penyesuaian neraca. Tapi menariknya, di saat yg sama manajemen jg berhasil melepas beban modal kerja secara signifikan—dari inventory, piutang, sampai liabilitas jangka pendek ikut menyusut. Hasil akhirnya, AISA bukan cuma tampak untung di atas kertas, tapi jg menghasilkan kas dlm jumlah besar. Surplus operasionalnya tembus lebih dr Rp1 triliun—angka yg luar biasa untuk perusahaan sekelas ini. Ibaratnya, mereka dapat "bensin penuh" justru saat baru keluar dr bengkel krisis.
Tahun 2021 jd masa transisi awal yg belum memberi banyak ruang bernapas. Laba bersih memang sempat berbalik positif ke Rp9 miliar—cukup untuk menandai bahwa AISA mulai bergerak dari zona krisis. Tapi kalau dilihat dari sisi efisiensi kas, sinyalnya blm meyakinkan. Modal kerja bersih naik sekitar Rp17 miliar, menandakan perusahaan harus menyuntik dana tambahan utk menopang kegiatan operasional hariannya. Dan ketika dibandingkan dgn tahun sebelumnya, muncul satu fakta penting: laba AISA di 2020 memang besar, tp sebagian besar berasal dr proses restrukturisasi utang dan penyesuaian kewajiban, bukan dr kinerja usaha inti. Bisa dibilang, angka Rp1,2 triliun itu adalah hasil dari perombakan neraca—bukan buah dari penjualan, margin, atau rotasi bisnis normal.
Maka wajar jika di 2021, ketika seluruh efek itu menghilang, performa AISA terlihat seperti menurun drastis. Padahal sebenarnya ini hanya menunjukkan bahwa perusahaan sedang kembali berdiri di atas kaki operasionalnya sendiri. Hasil akhirnya, selisih antara mutasi laba bersih dan kenaikan modal kerja menyebabkan defisit kinerja kas hingga Rp1,21 triliun—bukan karena bisnis makin lemah, tapi karena pembanding tahun sebelumnya terlalu istimewa untuk dijadikan patokan berulang.
Memasuki 2022, kondisi justru memburuk. Bukannya membaik, AISA kembali mencatat rugi bersih sebesar Rp62 miliar. Di sisi lain, beban modal kerja makin menguat—piutang usaha membengkak, persediaan naik, sementara utang dagang hanya tumbuh tipis. Total mutasi modal kerja bersih tercatat naik Rp51 miliar, yg artinya perusahaan masih harus mengikat lebih banyak uang untuk menopang aktivitas operasional, meski tak menghasilkan laba. Kombinasi antara rugi operasional dan kebutuhan modal kerja yg makin besar ini menyebabkan defisit kinerja kas mencapai Rp122 miliar. Bukan sekadar angka negatif, tp sinyal bahwa sistem kerja belum bisa mengubah pertumbuhan jd efisiensi. Kalau di 2021 bensinnya bocor, maka di 2022, mesinnya jg mulai tersendat.
Tahun 2023 jd titik balik yg lebih konstruktif bagi AISA. Laba bersih mulai pulih ke Rp19 miliar—masih kecil, tp cukup jd sinyal bahwa roda usaha mulai bergerak ke arah yg lebih sehat. Meskipun kebutuhan modal kerja naik Rp69 miliar—sebuah injeksi tambahan agar bisnis tetap berputar. Tapi di sinilah menariknya: meski harus nambah modal kerja, AISA masih bisa mencetak surplus kinerja sebesar Rp12 miliar. Kondisi ini mencerminkan efisiensi awal—karena tambahan modal kerja bukan sekadar diserap sistem, tapi bisa mendorong laba yg proporsional.
Lebih dari itu, bila kita perhatikan posisi modal kerja sejak 2020 itu angkanya negatif. Hal ini sendiri bukan sinyal bahaya, tp justru bs dibaca sebagai kekuatan struktur bisnis. Dengan kas tetap tumbuh dan utang dagang tetap tinggi, AISA menunjukkan bahwa mereka punya daya tawar terhadap pemasok—bisa menunda pembayaran tanpa mengganggu distribusi. Ini model kerja yg mirip dgn pemain besar: barang keluar duluan, supplier dibayar belakangan, sementara kas sudah masuk lebih awal. Strategi ini hanya bisa dilakukan oleh emiten yg dipercaya rantai pasoknya. Dan memang, pd tahun 2023 itu AISA mulai menata ulang sistem fondasinya: ekspansi ke pasar ekspor seperti Spanyol, perkuat brand “Bihunku”, dan mengadopsi sistem SDM digital Darwinbox. Artinya, mereka nggak cuma mengejar laba, tapi juga membangun ekosistem kerja yg memungkinkan efisiensi itu berulang di tahun-tahun mendatang.
Masuk 2024, arah pemulihan AISA makin matang dan terstruktur. Gerry Mustika—eks direktur $SIDO, emiten FMCG yg dikenal hemat dan disiplin kas—resmi menjabat direktur utama. Penunjukan ini bukan sekadar ganti orang, tapi sinyal bahwa perusahaan mulai membangun budaya efisiensi dari pucuk pimpinan. Dan hasilnya langsung terasa di angka. Laba bersih melonjak 270% ke Rp69 miliar, kas naik lebih dari 250%, kapasitas produksi diperluas, dan struktur ekuitas menguat. Tapi yang paling menarik? AISA berhasil mencatat pertumbuhan laba tanpa perlu menyuntik tambahan modal kerja.
Modal kerja bersih justru berkurang Rp35 miliar dibanding tahun sebelumnya. Artinya, perusahaan bisa menghasilkan pertumbuhan tanpa mengunci dana lebih besar di piutang atau persediaan. Ini kondisi langka—karena biasanya laba naik itu dibayar mahal lewat kas yang tertahan di aset lancar. Tapi di 2024, AISA malah melakukan sebaliknya: menurunkan beban kerja harian sambil tetap mengerek pendapatan dan profitabilitas. Piutang usaha memang melonjak—khususnya dari pihak ketiga, yg menunjukkan ekspansi penjualan lebih sehat dan lepas dari potensi benturan kepentingan. Tapi di sisi lain, perputaran utang dagang dan manajemen inventory berjalan efisien, sehingga secara net keseluruhan modal kerja malah longgar. Kombinasi ini bikin AISA mencetak surplus kas operasional Rp85 miliar, bukti bahwa pertumbuhan mereka tahun ini bukan cuma agresif, tapi juga sangat hemat bahan bakar. Dan dari sinilah, AISA mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai emiten yg bukan cuma bangkit, tapi juga mulai layak dipercaya kembali.
Transformasi AISA dalam lima tahun terakhir memang membentuk story turnaround yg pantas diperhatikan. Mereka bertahan di 2020 lewat suntikan modal dan momentum restrukturisasi besar-besaran, lalu tersandung di 2021–2022 saat kas kembali tersedot, baik karena laba yg tipis maupun beban modal kerja yg membengkak. Titik balik baru muncul di 2023, ketika efisiensi mulai terlihat—bukan lewat pertumbuhan omzet, tapi dari cara mereka mengelola modal kerja. Dan di 2024, arah itu makin jelas. Laba melonjak dan yg lebih penting: modal kerja menyusut. Untuk pertama kalinya sejak lama, AISA bukan hanya mencetak laba, tapi melakukannya dgn efisiensi yg menghasilkan surplus nyata. Ini bukan sekadar pemulihan di laporan laba rugi, tapi pertanda bahwa perusahaan mulai mengerti irama sehat antara ekspansi dan cashflow.
Tapi kalau bicara konsistensi, kita tetap harus jujur. Dari lima tahun terakhir, hanya dua yg benar-benar mencatat surplus kas operasional secara wajar—sementara dua lainnya mengalami defisit berat, dan satu tahun lagi dibantu oleh efek luar biasa restrukturisasi. Jadi meskipun arah perbaikannya menjanjikan, rekam jejaknya belum cukup panjang utk dibilang stabil. Strategi efisiensi SDM, ekspansi ke pasar ekspor, penguatan brand awareness dan pembenahan supply chain memang layak diapresiasi. Tapi pasar nggak cuma menilai usaha, pasar menunggu pola. Karena pada akhirnya, turnaround bukan sekadar soal bisa untung atau tidak. Tapi soal: apakah tiap kenaikan laba bisa lahir dari mesin usaha yg efisien, dan bukan dari pembengkakan modal kerja yg terus-menerus. Kalau jawabannya “iya”, maka kita patut senang atas progres AISA—tapi tetap waspada agar euforianya nggak keburu mendahului hasil nyatanya.
Akhir kata, kalau teman-teman stockbitor tertarik menguji emiten lain dgn pendekatan serupa, ada baiknya mulai dari $ADES (Akasha Wira International Tbk.). Barangkali teman-teman bisa menemukan story turnaround yg berbeda.
Disclaimer: Lakukan analisis ulang secara pribadi, keputusan investasi merupakan hasil penilaian masing-masing. Bila ada salah data atau angka, mohon dikoreksi.
1/3
@IPOhunter2 Dividen menurut saya bukan satu-satunya ukuran kinerja. Bukan begitu? @vedanta @ramlangustian
Saat ini $ADES sedang dalam fase gencar-gencarnya ekspansi. Laba ditahan (retained earnings) dipakai untuk pendanaan internal, bukan berarti PSP "kenyang duluan". Perusahaan growth-oriented sering menunda dividen demi reinvestasi (contoh: Amazon, Tesla di awal).
**Struktur Kepemilikan ≠ Red Flag**
- Banyak emiten berkualitas punya holding company di Singapura/BVI (contoh: $UNVR, $ICBP). Ini biasa untuk efisiensi pajak & global exposure.
- Andy PYW bisa jadi pemilik legit yang memilih tidak terekspos media.
*Distribusi ADES Sudah menggunakan Permendag 66/2019 . Permendag ini adalah perubahan atas Permendag 22/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang, dengan tujuan utama menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi distribusi barang di Indonesia. Regulasi ini menghapus larangan tegas bagi produsen skala besar/menengah untuk mendistribusikan langsung ke pengecer, sehingga produsen seperti ADES secara hukum kini bisa melakukan distribusi internal, selama tetap memenuhi syarat administratif seperti izin usaha (NIB/SIUP).
Jadi, selama ADES punya izin usaha yang sah, distribusi satu atap oleh internal perusahaan tidak melanggar aturan.
$ADES sebuah langkah cerdas dari marketing aquaviva
https://cutt.ly/0rWXxrrU
Klo $ADES ngikutin langkah ini sales bisa naik tinggi 🚀🚀
$ADES Parah ini sih, udah banyak posting negatif ini saham it is what it is, tetep aja gak turun… Malah naek saat ihsg merah, padahal ngarep banget😫😫
$ADES - Strategi Gesit atau Lubang Gelap Regulasi?
PT Akasha Wira International Tbk (ADES) mulai ramai diperbincangkan lg—enggak rame-rame jg sih. Bukan semata krn penjualan galonnya yg melejit atau laba bersihnya yg lompat tiga kali lipat dlm tiga tahun terakhir. Tapi karena satu pertanyaan sederhana: siapa sebenarnya yg mendistribusikan produk-produk ADES ke pasar?
Tidak seperti SIDO atau CLEO yg secara terbuka menyebutkan entitas PT anak usaha atau terafiliasi sebagai distributor resmi, ADES tidak pernah menyebut secara eksplisit siapa pihak yg menangani distribusinya. Nama distributor tak muncul di laporan keuangan, tak disebut dalam laporan tahunan. Sekilas, seolah tdk penting. Tapi bagi investor kritis, justru di situlah petunjuk penting dimulai. Thx to om @ipohunter2 🙏
Setelah ditelusuri, muncul satu dugaan kuat: bahwa distribusi dilakukan langsung oleh divisi internal ADES, bukan oleh anak usaha berbadan hukum terpisah. Satu atap. Satu PT. Produksi dan distribusi dijalankan bersama-sama.
Nah, praktik ini seperti minum air dari gelas bening: tampak jernih, tapi bisa dua rasa—rasa melon (green flag) atau rasa semangka (red flag).
Pertama-tama, ini bisa jd strategi cerdas. Bisa jadi lho yaa. Jd dengan tdk memecah struktur distribusi ke dlm anak usaha tersendiri, ADES berpotensi memotong biaya overhead, mempercepat pengambilan keputusan, dan lebih responsif terhadap dinamika pasar, khususnya di ranah digital dan omnichannel.
Strukturnya: satu sistem ERP, satu manajemen inventaris, satu tim sales, semua di bawah satu payung hukum. Lincah, hemat, dan sangat sesuai dgn tren distribusi modern, khususnya di FMCG yg harus cepat beradaptasi dgn e-commerce, marketplace, dan direct-to-consumer platform—termasuk salon kecantikan? 💆
Dan jika benar divisi distribusi ADES telah memiliki izin resmi (NIB/SIUP) sbg unit usaha internal, maka dr sisi hukum dan audit, tidak ada pelanggaran. Akuntan publik pun mungkin jd tak berkewajiban mencatat sebagai transaksi pihak berelasi karena semua berlangsung di dalam satu badan hukum yg sama.
Maka justru ini bisa jd keunggulan kompetitif ADES dibanding FMCG lain yg masih terjebak dalam model distribusi konvensional yg gemuk dan lambat.
Namun, sisi lain dr dugaan ini tak kalah penting. Jika ternyata distribusi dilakukan tanpa legalitas resmi, tanpa izin usaha dagang terpisah, maka potensi masalahnya cukup serius. Ditambah dari hasil pencarian pribadi, sy pun belum menemukan perusahaan publik yg terbukti—dengan dokumen valid—menggunakan metode distribusi seperti ADES. Mungkin teman-teman ada yg bisa menemukan?
Permendag No 22 Tahun 2016 secara eksplisit melarang produsen berperan sekaligus sebagai distributor, kecuali memenuhi syarat tertentu. Memang, regulasi ini telah direvisi lewat Permendag No 29 Tahun 2019, yg memberi beberapa relaksasi untuk produsen tertentu, terutama UMKM atau skala terbatas. Tapi apakah ADES termasuk yg diberi pengecualian? Ini masih perlu klarifikasi.
Pasal 19 ayat 4 yg menjadi sorotan memang sudah dirombak, “Produsen skala usaha besar dan menengah serta Importir dilarang mendistribusikan Barang kepada Pengecer” direvisi menjadi “Importir yang tidak bertindak sebagai Distributor dilarang mendistribusikan Barang secara langsung kepada pengecer.” Frasa tentang produsen skala besar/menengah dihapus. Dengan kata lain: larangan utk produsen distribusi langsung ke pengecer dihilangkan.
Namun tetap saja, jika distribusi tidak memiliki entitas legal yg sah dan tidak dijelaskan ke publik, maka investor akan sulit menilai apakah margin keuntungan ADES benar-benar berasal dr efisiensi, atau ada distribusi laba internal yg tidak terungkap secara transparan.
Ditambah lagi, fakta bahwa ADES belum pernah membagikan dividen terutama sejak diambil alih oleh Sofos Pte Ltd—membuat investor bertanya-tanya: apakah keuntungan perusahaan dinikmati seluruhnya oleh pihak internal, sementara pemegang saham publik hanya menggenggam kertas tanpa arus kas?
Ketiadaan dividen, distribusi internal yg tidak transparan, dan struktur kepemilikan melalui entitas luar negeri seperti BVI menambah lapisan pertanyaan. Apakah ini hanya strategi fiskal? Atau justru penghindaran dari kewajiban keterbukaan?
Pada RUPS ADES nanti, investor ritel—meski hanya punya kurang dari 10% saham—masih punya hak suara. Memang tak bisa menentukan hasil, tapi bisa menentukan nada.
Investor bisa (dan sebaiknya) mengajukan pertanyaan resmi, baik melalui:
- Email ke bagian investor relations
- Kehadiran langsung di RUPS atau menitipkan pertanyaan lewat kuasa
- Melapor ke OJK atau BEI jika dirasa perlu
Beberapa pertanyaan yg patut diajukan misalnya:
Apakah distribusi dilakukan oleh divisi internal atau pihak ketiga?
Jika internal, apakah divisi tersebut memiliki izin usaha resmi (NIB/SIUP)?
Apakah ada pengecualian dari Permendag No 29/2019 yg membolehkan model distribusi ini?
Keterbukaan bukan sekadar formalitas. Ini bagian dr perlindungan investor, dan pondasi tata kelola yg sehat. Dan investor publik punya hak penuh untuk tahu—bukan hanya soal berapa laba yg tercatat, tapi ke mana laba itu benar-benar mengalir.
Kisah ADES adalah potret menarik dr transformasi FMCG lokal. Bisa jd ini cerita sukses tentang efisiensi. Bisa juga ini sinyal bahwa kita harus lebih kritis terhadap struktur tersembunyi di balik kinerja kinclong.
Yang jelas, kita tak boleh puas hanya karena airnya tampak bening. Sebelum diteguk, pastikan itu benar-benar air, bukan ilusi dari galon kosong yg sudah diteguk lebih dulu oleh pihak yg tak terlihat.
Jangan sampai haus akan cuan membuat kita lupa bahwa di pasar modal, yg paling cepat bukan selalu yg paling untung. Tapi yg paling teliti, itulah yg paling selamat.
Kalau kamu setuju, bantu dorong keterbukaan.
Kalau kamu ragu, tahan dulu dana kamu.
Karena dalam dunia investasi, pertanyaan itu gratis. Tapi diam? Bisa mahal bayar risikonya.
Disclaimer: artikel ini bukan ajakan membeli atau menjual saham. Gunakan penilaian sendiri sebelum membuat keputusan investasi.
Sayonara $ADES
Emiten ini menjadi bagger pertama saya, sejak 2021 membuat saya bersemangat dengan value investing
Perusahaan yang terus berkembang dari from minus to zero to hero, disaat penjualan menurun, manajemen berhasil mencatatkan +ve profit growth dengan efisiensi bahan baku. Disaat emiten FMCG turun profitnya, emiten ini terus konsisten memunjukkan pertumbuhan. Maka saya amat senang ketika dalam seumur hidup mencapai bagger dalam kurang lebih 1 tahun.
Hanya saat ini disaat harga sudah meberikan bagger 4x, saya rasa cukup dan uangnya dapat saya diversifikasikan ke instrumen lainnya
wahh bagus sekali tulisannya gan. Ultimate Beneficial Owner dari $ADES adalah ANDY PE YONG WOON. tidak ada satupun orang yang tahu siapa dia, dimana keberadaannya, dan bagaimana sejarah hidup nya. mirip mirip seperti Satoshi Nakamoto gan.
IHSG — Di Balik Galon Kosong, Siapa yang Minum Duluan
Kemarin ada yang posting menjelaskan $ADES, tulisannya lugas, komprehensif, menggugah iman finansial. Tapi insting saya berkata lain. Too good to be true…
Ketika sang penulis menjabarkan kenaikan penjualan, disusul lonjakan laba bersih hingga tiga kali lipat dalam tiga tahun terakhir, maka muncul pertanyaan saya apakah emiten yang fokus pada pasar niche mampu mempertahankan tren kinerja positif dalam waktu panjang dalam pasar niche yang terbatas, kecuali, tentu saja, jika ADES berhasil bertransformasi menjadi pemain nasional ke pasar mainstream. Dan itu pun harus dilakukan tanpa kehilangan efisiensi serta akal sehat manajerial.
Sebenarnya saya tidak sedang ingin berdebat kusir di jalan tol, terlalu cepat dan tak kemana-mana. Saya percaya setiap entitas profesional seperti ADES, pasti punya peta pertumbuhan yang berkelanjutan. Tapi naluri saya seperti biasa ingin mencari tau lebih dalam tentang emiten ini.
Saya pun membuka laporan keuangan. Tapi tenang, saya tak akan mengulang narasi tentang performa ADES, karena itu sudah dibahas panjang dalam tulisan yang dibuat oleh rekan investor lainnya di forum ini. Intinya, secara historis, ADES memang hebat. Dari bertahun-tahun mencatat retained earnings negatif, menjadi positif sejak 2023. Dari lubuk minus ke permukaan surplus. Layak diapresiasi. Jadi fokus saya tertuju pada Pemegang Saham Pengendali (PSP).
Seperti yang sering saya tulis, dividen itu kunci, bukan sekadar angka. Ia adalah cermin dari niat. Jika dividen tak dibayar, bisa jadi PSP sudah kenyang duluan. Dan kita, investor receh puasa berkepanjangan. Menunggu berkah yang tak kunjung tiba. Ya memang hipotesis ini receh, tapi menggiurkan. Seperti nasi uduk jam enam pagi. Sederhana, tapi bikin lapar.
Lalu muncul hal yang membagongkan.
Saya telusuri struktur pemegang saham hingga ke langit ketujuh. Dan saya menemukan kepemilikan PSP melewati dua lapisan Perusahaan berjenjang. Mulai dari Singapura dan berlanjut ke British Virgin Islands, dan berakhir pada sosok Andy PYW yang berlokasi di Singapura. Berputar-putar seperti air galon yang terkocok ketika dipasang.
Awalnya saya kira ini Perusahaan-perusahaan itu adalah private equity. Tapi setelah saya selidiki, lebih mirip private entity. Kalau ada yang bisa membuktikan salah satunya adalah private equity sungguhan, saya janji bikin tulisan lanjutannya. Tapi kalau tidak? Ya cukup sampai di sini. Tulisan ini sudah seperti galon isi ulang. Berat dibawa, tapi kalau dibiarkan, bisa mengeringkan sumur opini kita sendiri.
Saya lanjut Googling. Siapa Andy PYW?
Saya berharap dia adalah “somebody”. Bukan “no body” atau sekedar orang asing yang kebetulan lewat. Tapi dengan riset seadanya, saya harus menerima nasib sebagai investor receh. Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Harus terima nasib. It is as it is.
Karena di pasar modal, bukan cuma harga saham yang bisa naik turun.
Harapan juga.
Saya kembali ke hipotesis utama:
jika PSP sudah kenyang duluan, maka investor receh harus puasa berkepanjangan.
Untuk mengujinya, saya bandingkan dengan emiten sejenis:
• $SIDO: distributor utama adalah PT Muncul Mekar (entitas anak)
• $CLEO: distributor utama adalah PT Sentralsari Primasentosa (entitas anak)
• ADES? Tidak disebutkan. Baik di laporan tahunan maupun laporan keuangan.
Pengujian ini penting, sebab menurut Permendag Nomor 22 Tahun 2016, produsen (pabrikan) tidak boleh sekaligus menjadi distributor.
Jadi jika tidak disebut, apakah artinya tidak ada? Atau sengaja tidak diungkap?
Mungkin volumenya kecil.
Atau mungkin… saya, investor kecil, memang tak cukup penting untuk diperhitungkan.
Padahal, PSAK 1 dan PSAK 7 mewajibkan pengungkapan transaksi yang signifikan, baik dengan pihak ketiga apalagi kepada pihak berelasi. Apakah transaksi dengan distributor tidak signifikan? Saya tidak ditemukan jawabanya dalam laporan keuangan maupun laporan tahunan.
Apalagi auditornya bukan dari empat besar. Tidak seperti SIDO yang diaudit oleh KAP big four. Tapi ya sudah. Auditornya telah memberi opini bahwa semuanya baik-baik saja.
Dan saya pun kembali pada mantra yang sering diucapkan ketika logika tak lagi menang:
“It is as it is. Suka? Silakan beli. Tidak suka? Ya diam aja… gitu aja kok repot.”
Atau, siapa tahu, aturan memang sudah berubah.
Mungkin ada pengecualian. Mungkin ada dispensasi.
Mungkin ADES mendapat izin khusus untuk menjual langsung ke rakyat yang kehausan. Entah karena cuaca. Entah karena beban hidup.
Karena ya, ini negeri tropis sekaligus utopis.
Tempat di mana emiten bisa menjual air...
kepada investor yang justru gagal membasahi return mereka sendiri.
Jika aturan membolehkan ADES menjalankan fungsi distribusi, artinya ini urusan internal.
Transaksi dalam negeri. Tak perlu diungkap. Tak wajib disampaikan. Ya memang sah.
Ah... lagi-lagi... saya hanya bisa berkata: Saya tidak tahu.
Akhirnya, saya hanya bisa mengutip satu teori lama:
"The greater fool theory says you can make money by buying overvalued assets,
as long as there's a greater fool willing to pay more for them later."
Sayangnya…
Jika semua orang sudah sadar…
Tak ada lagi “greater fool” yang tersisa.
Dan kamu pun akan sadar, mungkin ketika semuanya sudah terlambat…
Bahwa yang kamu pegang selama ini bukan galon berisi harapan…
Tapi galon kosong.
Yang sudah diteguk duluan.
Jauh sebelum kamu meneguk setetes pun.
Untuk tulisan lanjutannya silahkan mampir di https://cutt.ly/mrWnwQQJ
@rizkiabdurozak nahh kalo berhasil hit 1.2T laba artinya dividend yield kali 2 juga~~ awal dapet yield dividend 4% bisa jadi 8%… re rate market cap hampir pasti terjadi karena dari dividend aja udah ngalahin almost risk free rate asset yaitu obligasi 10 tahun.
temen temen ane yang suka itung valuasi alien tapi juga investor long termm suka juga tuh pake analogi diatas.. jadi asumsinya 2-3 tahun gak usah ada dividend biar growth terus biar nanti pas bagi langsung berasa dapet consumer rasa coal yieldnya…..woyy $ADES ayoo bagi sikiit lah dividendnya wkwkwk
$ADES – Bertumbuh di Tengah Gejolak
Siapa sangka, di tengah gempuran pandemi, fluktuasi daya beli masyarakat, sampai konflik geopolitik global yg bikin harga energi jungkir balik, ada satu emiten barang konsumsi yg justru melesat tajam dalam sunyi? PT Akasha Wira International Tbk, atau yg lebih dikenal dgn kode saham ADES, barangkali bukan nama yg sering muncul di headline forum-forum saham atau masuk top ten most active. Tapi justru di situlah menariknya—ketika banyak perusahaan besar terseok-seok mempertahankan profit, ADES malah mencatat pertumbuhan penjualan hingga nyaris dua kali lipat dalam empat tahun terakhir. Dari Rp935 miliar pd 2021 melonjak ke Rp1,96 triliun pd 2024. Nggak main-main, laba bersihnya pun ikut naik hampir dua kali lipat, dari Rp266 miliar jadi Rp527 miliar. Kinerja ini nggak cuma hasil hoki atau angin surga. Ada transformasi mendalam di belakangnya.
Salah satu cerita besar di balik lonjakan ini adalah strategi ekspansi organik ADES, terutama lewat peningkatan nilai aset tetap. Bukan sekadar belanja mesin ala kadarnya, tapi investasi jangka panjang yg terukur. Mulai dari pembelian mesin produksi makanan Mujigae pd 2021, lalu tanah dan pabrik baru di Cikande pd 2022, ekspansi bangunan pabrik dan akuisisi mesin tambahan pd 2023, sampai akuisisi lahan strategis utk gudang dan ekspansi pabrik di Daan Mogot dan Cibinong pd 2024. Kalau ada investor yg suka liat pabrik berdiri megah dgn mesin berderu keras—itulah ADES sekarang. Nggak cuma menjual mimpi, tp menunjukkannya lewat neraca.
Yang lebih menarik, pertumbuhan ini ditopang oleh pergeseran portofolio yg cukup ciamik. Segmen makanan & minuman berhasil jadi motor utama dgn CAGR 33,5%, unggul jauh dari segmen kosmetik yg "hanya" tumbuh 21,5%. ADES paham bahwa selera konsumen berubah. Mereka nggak sekadar menjual air kemasan dan produk rambut, tapi mulai masuk ke ranah F&B kekinian. Mujigae misalnya, makanan siap saji rasa Korea yg bikin anak muda auto-checkout di e-commerce. Belum lagi Wonhae, minuman berasa yg cukup viral di sosial media. Di saat perusahaan besar lain masih kelimpungan menyesuaikan produk dgn gaya hidup post-pandemi, ADES sudah gaspol dr awal.
Tentu aja, semua ini nggak lepas dr strategi distribusi mereka. ADES jeli melihat tren. Distribusi tradisional ttp dipelihara, tapi porsi digital dinaikkan habis-habisan. Mereka manfaatkan e-commerce, live streaming, sampai media sosial utk meningkatkan visibilitas. Pendekatan omnichannel ini bikin produk ADES makin gampang dijangkau siapa pun—baik di mall, warung, atau layar HP. Makanya, ekspansi penjualan mereka terasa organik tapi gesit.
Nah, kita coba sandingkan dgn pemain lain di sektor yg sama. $UNVR, sang raksasa, sempat tumbuh 0,3% doang pas pandemi. $MYOR malah sempat turun laba bersihnya. Wajar sih, perusahaan besar cenderung lambat adaptasi, apalagi kalau core mereka terlalu terikat pd pola konsumsi klasik. Di sisi lain, ADES punya keunggulan lincah—organisasi ramping, keputusan cepat, dan leadership yg agresif. Mereka bs nyalip di tikungan saat yg lain lagi sibuk rapat direksi.
Tapi, tentu sj, kita nggak bisa cuma lihat sisi gemerlapnya aja. ADES tetap punya risiko. Pertama, margin mereka bisa kecekik kalau harga bahan baku naik atau ada tekanan biaya logistik. Lalu, karena mereka juga ada ekspor produknya, nilai tukar bisa jadi pedang bermata dua. Selain itu, sektor makanan dan kosmetik tuh sangat sensitif terhadap tren. Kalau konsumen tiba-tiba bosen atau muncul pemain baru dgn produk lebih kekinian, ADES harus siap pivot cepat.
Sekarang, soal valuasi. Kalau pakai pendekatan Peter Lynch, ADES cenderung masuk kategori “fast grower”—saham yg pertumbuhannya di atas rata-rata industri, dan biasanya dihargai lebih tinggi. Lynch suka cari saham model begini, tapi dia jg hati-hati: fast grower itu bagus, tapi valuasinya harus masuk akal. Dari data terakhir, ADES punya EPS TTM sebesar Rp919,1. Dgn harga saham Rp10.525, berarti PER-nya sekitar 11,45x. Murah? Relatif. Dibanding sektor consumer goods yg kadang PER-nya bisa 20–30x, ini tentu terjangkau. Tapi kita jg mesti bandingkan dgn pertumbuhannya. Dgn CAGR laba 23% selama empat tahun terakhir, rasio PEG-nya kurang dari 0,5—artinya ini termasuk undervalued kalau kita ikut logika Lynch.
Kalau pakai EV/EBITDA? Nah ini menarik. Enterprise value (EV) ADES saat ini sekitar Rp5,3 triliun, dgn EBITDA TTM sekitar Rp697 miliar. Jadi EV/EBITDA-nya di kisaran 7,7x. Di industri consumer goods, angka ini termasuk moderat. UNVR misalnya pernah tembus 12–14x. Jadi lagi-lagi, ADES masih kelihatan punya ruang utk rerating valuasi.
Tapi, jangan senang dulu. Dunia lagi nggak damai. Ketegangan antara Iran dan Israel meledak jadi konflik terbuka. Dampaknya? Harga minyak bisa naik, ongkos logistik bisa melonjak, dan daya beli konsumen bisa terganggu. ADES, meski bukan emiten yg langsung tergantung pada harga energi, tetap bisa kena getahnya. Biaya distribusi bisa naik, ekspor bisa terganggu, dan permintaan domestik bisa melambat kalau inflasi ikut merangkak. Meski begitu, pengalaman mereka survive di masa pandemi bisa jd bekal penting. Kalau strategi mereka tetap fleksibel dan efisien, ADES berpeluang ttp bertahan bahkan tumbuh di tengah gejolak.
Kita lihat apakah strategi bertahan ADES mampu menandingi emiten besar lainnya yg sudah lebih dulu menguasai pasar. UNVR mungkin kuat di merek, tapi lemah di kecepatan inovasi. MYOR punya diversifikasi luas, tapi lebih rigid. ADES, dgn fleksibilitas dan fokus pada segmen niche yg cepat bertumbuh, bisa jadi kuda hitam baru sektor consumer goods.
Tapi tentu saja, jadi kuda hitam nggak cukup hanya bermodalkan kecepatan. Di dunia saham, investor bukan cuma cari yg lari cepat, tapi juga yg bisa tahan maraton. Pertanyaannya sekarang, apakah ADES punya stamina utk bertahan dalam jangka panjang? Nah, di sinilah kita mulai bicara soal kualitas pertumbuhan dan arah strategis perusahaan.
Salah satu sinyal yg layak diperhitungkan adalah bagaimana ADES membangun daya tahan struktural lewat penguatan fundamental. Gak cuma dari sisi operasional dan distribusi, tapi jg dari sisi keuangan. Rasio utang mereka tetap rendah, bahkan hampir nggak ada pinjaman berbunga di neraca. Ini penting banget, apalagi di tengah era suku bunga tinggi kayak sekarang. Banyak emiten sektor consumer yg jebol margin gara-gara beban bunga—ADES bisa selamat dari jebakan ini.
Lalu dari sisi ekspansi, kita lihat bahwa ADES gak sekadar ‘jualan rame’ di depan aja. Mereka bangun pondasi produksi dan logistik yg kuat. Sejak 2021 sampai 2024, aset tetap mereka tumbuh hampir 100%, naik dari sekitar Rp500-an miliar ke hampir Rp1 triliun. Ini bukan sekadar angka, tapi bentuk konkret dari visi jangka panjang. Pabrik di Cikande dan Cibinong, gudang logistik baru, sampai belanja mesin dan peralatan produksi, semua ini menunjukkan niat kuat utk terus scaling up. Dan seperti yg kita tahu, di industri barang konsumsi, siapa yg menang logistik dan efisiensi, dia yg bertahan lama.
Sisi lain yg patut diperhatikan adalah positioning pasar. ADES tahu betul mereka nggak bisa head-to-head langsung dgn raksasa macam Unilever atau Mayora dalam hal volume. Maka mereka pilih jalur zigzag: masuk ke niche market yg sedang naik daun, utamanya segmen Gen-Z dan milenial. Lewat Mujigae, mereka tangkap tren makanan Korea yg lagi hits. Lewat Wonhae, mereka masuk ke pasar minuman rasa-rasa yg disukai anak muda. Ini bukan cuma soal selera, tapi juga soal pola konsumsi baru. Dan ADES kelihatan cukup lihai menyesuaikan tone brand mereka dgn media sosial dan e-commerce—tempat di mana milenial dan Gen-Z nongkrong tiap hari.
Kalau bicara daya saing, ya jelas mereka belum bisa nandingin distribusi segede Unilever. Tapi ADES menang di kelincahan. Kayak startup, mereka cepat uji pasar, cepat pivot kalau nggak works, dan cepat eksekusi kalau nemu ceruk baru. Di saat brand besar harus ngelalui rantai birokrasi panjang buat ngeluncurin produk, ADES udah duluan jualan live shopping. Dan di dunia FMCG yg makin digital dan segmented, itu adalah senjata penting.
Tentu semua strategi ini nggak imun dari risiko. Kita udah bahas dampak perang Iran-Israel sebelumnya, tapi perlu diperluas sedikit. Di luar risiko biaya energi dan logistik, ada risiko lanjutan berupa tekanan inflasi dan perubahan pola belanja masyarakat. Kalau inflasi global meningkat, konsumen bisa shifting ke produk-produk yg lebih murah, atau bahkan mengurangi belanja discretionary kayak kosmetik dan minuman rasa. Di titik ini, ADES harus benar-benar menjaga harga jual agar tetap kompetitif tanpa mengorbankan margin. Untungnya, dgn investasi aset tetap yg udah dilakukan, mereka berpeluang tekan cost produksi di masa depan.
Di samping itu, ADES tetap punya PR besar di sisi brand equity. Meskipun mereka udah punya portofolio produk yg menarik, awareness dan loyalitas konsumen masih perlu ditingkatkan. Mereka belum sebesar Pepsodent, Sunsilk, Roma, atau Le Minerale dalam hal top-of-mind branding. Tapi justru di sinilah letak potensi upside mereka. Kalau ke depan ADES bisa konsisten jaga kualitas produk sambil bangun brand identity yg kuat, maka valuasi mereka bisa naik bukan cuma karena EPS, tapi jg karena rerating persepsi pasar.
Berbicara valuasi, kita perlu kembali refleksikan bahwa ADES saat ini masih dihargai di kisaran PER 11–12x dan EV/EBITDA 7x-an. Kalau mereka bisa pertahankan pertumbuhan EPS di kisaran 20%–25% per tahun, maka fair value mereka bisa lebih tinggi dari harga sekarang. Bahkan, menggunakan pendekatan DCF dan asumsi pertumbuhan konservatif, valuasi wajar ADES bisa tembus Rp14.000–Rp15.000 per saham, memberi potensi upside menarik dari posisi Rp10.525 saat ini (data per 13 Juni 2025). Apalagi kalau efek perang Iran vs Israel bisa membuat harganya semakin terdiskon. 🤩
Jadi, apa pelajaran dari ADES? Mereka bukan perusahaan besar dgn sejarah panjang macam Unilever. Bukan jg pemilik portofolio global macam Coca-Cola atau Danone. Tapi mereka punya sesuatu yg gak semua punya: kelincahan, keberanian, dan timing yg pas. Mereka bukan pelari 100 meter, tapi lebih ke pelari 800 meter yg tahu kapan harus sprint dan kapan jaga napas. Dan sejauh ini, mereka cukup tahu kapan harus belok, kapan harus rem, dan kapan harus gaspol.
Buat nyubi impostor seperti saya, ADES layak masuk radar. Bukan cuma karena angka pertumbuhannya, tapi karena mereka sedang membangun sesuatu yg lebih besar dari sekadar laporan keuangan bagus. Mereka sedang membentuk narasi baru: bahwa di sektor barang konsumsi yg katanya padat modal dan kompetitif, masih ada ruang bagi pemain lokal yg kreatif, gesit, dan berani ambil risiko. Dan selama mereka bisa menjaga arah, bukan nggak mungkin ADES jd emiten consumer goods berikutnya yg naik kelas—dari ikan teri jadi ikan salmon.
Disclaimer: Tetap lakukan riset secara mandiri, ini bukan ajakan menjual atau membeli saham.
$RAJA
Saya masih pemula di saham, coba menggambar potensi cup and handle yang kebentuk.
Salam,
random: ingin digambarkan chart apalagi di $IHSG ? apakah ingin digambarkan chart $ADES ?
disclaimer on, dyor
@kokogiovanni jirr kalau $NCKL ke 1000 kemarin kemarin, di RUPS cuma disuguhin botol $AQUA atau $ADES 100 ML jg ane rela..
Yg penting harga saham bukan souvenirnya.
5 emiten blindbuy versi Glimpse
$ADES
MTDL
$ERAL
BBRI
$MPMX
sc ; https://cutt.ly/SrmDTtuy
Fenomena suntik "vitamin C" yang populer di kalangan sebagian wanita berkulit gelap di Indonesia (dan beberapa negara Asia lainnya) sering kali dimaksudkan untuk memutihkan atau mencerahkan kulit. Namun, yang disuntikkan biasanya bukan hanya vitamin C, melainkan campuran beberapa zat, di antaranya:
---
✅ Komposisi Umum Suntik "Vitamin C" untuk Memutihkan Kulit:
1. Vitamin C (Ascorbic Acid)
Dosis tinggi (kadang sampai 1000–5000 mg).
Antioksidan, membantu mencerahkan kulit dengan menghambat enzim tyrosinase (yang berperan dalam pembentukan melanin/pigmen kulit).
2. Glutathione
Antioksidan kuat yang diproduksi tubuh secara alami.
Diiklankan sebagai “pemutih kulit” karena menghambat produksi melanin.
Efek mencerahkan kulit dari glutathione masih kontroversial dan belum disepakati dalam dunia medis.
Dosis tinggi bisa membahayakan liver atau ginjal.
3. Kollagen (kadang ditambahkan)
Untuk elastisitas dan kesehatan kulit, bukan untuk memutihkan.
4. Vitamin Lain (misalnya: Vitamin E, B complex)
Sebagai antioksidan tambahan dan nutrisi untuk kulit.
---
⚠️ Risiko & Efek Samping:
Reaksi alergi / anafilaksis
Gangguan ginjal dan liver (terutama jika glutathione disuntik dalam dosis tinggi dan rutin)
Infeksi jika tidak disuntik dengan standar steril yang baik
Efek mencerahkan kulit biasanya hanya sementara, dan tidak selalu berhasil untuk semua orang
Bisa mengganggu keseimbangan pigmen kulit, menyebabkan hipopigmentasi (kulit belang).
---
📌 Catatan Penting:
Suntik vitamin C dengan tujuan mencerahkan kulit belum disetujui secara luas oleh FDA (Amerika) maupun BPOM (Indonesia) untuk indikasi skin whitening.
Di beberapa negara, suntik glutathione untuk kosmetik bahkan dilarang karena potensi efek samping jangka panjang.
---
Kesimpulan:
Suntikan “vitamin C” yang dimaksud sebenarnya adalah campuran vitamin C dosis tinggi + glutathione + vitamin tambahan, bukan vitamin C murni. Tujuannya adalah untuk mencerahkan kulit secara artifisial, meski secara medis efektivitas dan keamanannya masih diperdebatkan.
Kalau kamu ingin penjelasan atau alternatif yang lebih alami dan aman untuk perawatan kulit gelap atau kusam, aku bisa bantu juga.
___
$VICI $ADES $PYFA
$ADES dividen -100
holders diminta setor 100 perak per lembar
sebab : laporan keuangan palsu, 100 perak per lembar untuk sinkronisasi fiktif jadi riil