Belajar dari Warren Buffett (part 1): Apa itu Value Investing?
Bagaimanapun, Warren Buffett adalah investor yang paling populer di dunia yang pantas dijadikan mentor. Ia dikenal sebagai sosok yang terus ingin belajar dan tidak terlalu kaku untuk mengembangkan gaya investasi yang cocok dengan kepribadiannya. Dalam artikel ini dan beberapa artikel berikutnya akan dibahas pelajaran berharga yang tak lekang oleh waktu dari Mr. Buffett yang bersumber dari surat tahunan Berkshire-nya. Pada artikel part 1 ini, kita akan membahas pandangan Mr. Buffett tentang apa itu value investing.
".. we think the very term "value investing" is redundant. What is "investing" if it is not the act of seeking value at least sufficient to justify the amount paid? Consciously paying more for a stock than its calculated value - in the hope that it can soon be sold for a still-higher price - should be labeled speculation (which is neither illegal, immoral nor - in our view - financially fattening).
Whether appropriate or not, the term "value investing" is widely used. Typically, it connotes the purchase of stocks having attributes such as a low ratio of price to book value, a low price-earnings ratio, or a high dividend yield. Unfortunately, such characteristics, even if they appear in combination, are far from determinative as to whether an investor is indeed buying something for what it is worth and is therefore truly operating on the principle of obtaining value in his investments. Correspondingly, opposite characteristics - a high ratio of price to book value, a high price-earnings ratio, and a low dividend yield - are in no way inconsistent with a "value" purchase." (Warren Buffett - 1992)
Kita tahu bahwa Mr. Buffett telah beralih dari investor yang awalnya suka membeli perusahaan yang biasa saja dengan harga yang sangat murah menjadi investor yang senang membeli perusahaan yang luar biasa dengan harga yang wajar. Transformasi ini terjadi berkat pertemuannya dengan Charlie Munger dan insight yang ia dapatkan dari Philip Fisher. Baginya, perusahaan yang wonderful memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya dari waktu ke waktu dengan Return on Capital yang tinggi. Beberapa contoh akuisisi yang dilakukan oleh Mr. Buffett termasuk membeli See's Candy pada PBV 4x, Scott Fetzer di PBV 2,8x, dan juga Iscar di PBV 5x.
"In GEICO, we paid 20 times earnings and a fairly sized multiple of book value." (Warren Buffett, Berkshire 2013 Meeting).
Kesuksesan value investing ditentukan oleh apa yang kita dapatkan dari apa yang dibayarkan. Sebelum memutuskan untuk membeli saham, pastikan terlebih dahulu bahwa perusahaan memiliki value yang berpotensi tumbuh dari tahun ke tahun, setelah itu barulah kita pikirkan berapa harga yang pantas untuk dibayarkan.
Beberapa orang yang mengklaim dirinya value investor namun gagal paham tentang apa itu value investing. Mereka menganggap value investing hanya sekedar membeli perusahaan yang murah atau undervalue, atau yang rasio PE dan PBV nya rendah namum mengabaikan faktor kualitas yang melekat pada perusahaan.
Jika ada yang membeli perusahaan yang pertumbuhannya tinggi, PE rationya agak
tinggi dan PBV nya juga agak tinggi, maka jangan menganggap orang tersebut tidak menerapkan value investing dengan benar. Bisa jadi perusahaan yang dibeli memiliki kualitas yang luar biasa dan growth rate-yang sepadan dengan kelipatan PE-nya. Pada saat yang sama, banyak juga saham yang diperdagangkan dengan PE rendah, PBV rendah, dan dividen yield yang tinggi ternyata merupakan investasi yang buruk dalam jangka panjang, mereka umumnya disebut sebagai "value trap".
Jadi, jangan membeli saham hanya berpatokan pada rasio PE dan PBV, apalagi Anda berniat suatu saat menjualnya jika PE dan PBV nya sudah tinggi dan mencari kembali saham lain yang PE dan PBV nya rendah lalu menjualnya saat mahal dan terus mengulanginya. Karena itu sama saja Anda terlalu fokus pada harga saham, bukan kinerja bisnisnya. Orang yang sering berpindah-pindah dari saham satu ke saham yang lain dengan tools PE dan PBV menurut saya tidak pantas disebut seorang value investor, lebih tepatnya disebut sebagai ‘value trader’.
Memburu perusahaan yang undervalue itu tidak salah, tapi jangan sampai kita mengabaikan faktor kualitas perusahaan apalagi tidak paham bisnisnya. Sekali lagi, value investing bukan hanya sekedar membeli saham yang harganya lebih murah dibandingkan value perusahaan atau membeli saham hanya berpatokan pada rasio PE dan PBV yang rendah, tetapi membeli perusahaan yang value-nya berpotensi untuk bertumbuh dari tahun ke tahun lalu dibeli dengan harga yang sesuai atau lebih rendah dari valuenya saat ini.
Untuk mendorong pertumbuhan value perusahaan dalam jangka panjang, maka dibutuhkan kualitas bisnis dan manejemennya. Namun tentu saja dalam memprediksi dengan pasti pertumbuhan perusahaan ke depan itu cukup sulit, maka untuk memberikan tambahan keamanan bagi kita, selain kualitas perusahaannya baik lalu pastikan pula harga yang kita bayarkan tidak terlalu mahal dibandingkan valuenya (dual Margin of Safety).
Kita memahami fenomena yang terjadi pada saham $HMSP $GGRM $MYOR $ACES $UNVR dan ICBP dimana mereka adalah perusahaan yang berkualitas tinggi. Namun harga sahamnya mengalami downtrend dalam 3 tahun terakhir. Banyak investor yang kecewa dengan hasil yang tidak sesuai harapan, apalagi ada yang sudah bersusah payah hold sahamnya hingga 5 tahun lamanya.
Tidak ada yang salah dengan keenam perusahaan tersebut, tidak ada yang salah dengan sahamnya. Yang salah adalah mereka yang berani membeli sahamnya dengan harga yang terlalu mahal dan berharap ada orang lain yang mau membayar lebih mahal, atau mereka berharap perusahaan terus menorehkan pertumbuhan yang tinggi untuk membenarkan pembelian mahal yang mereka lakukan. Perlu diingat selalu, musuh terbesar seorang investor itu adalah dirinya sendiri.
Pada artikel berikutnya (part 2), saya akan mengulas pandangan Mr. Buffett tentang book value.
Semoga bermanfaat.
Further reading:
Perusahaan Berkualitas dengan Harga yang Wajar: https://stockbit.com/post/7778944