https://stockbit.com/post/23144504
Lanjutan -> PART 2

$ICBP

Adit masuk tanpa mengetuk, meletakkan secangkir esspresso kental yang asapnya mengepul tipis di atas tumpukan dokumen Laporan Keuangan Kuartal III 2025.

"Masih merah, Bu?" tanya Adit, nadanya datar, seolah sudah terbiasa melihat ketidakadilan pasar. Rika tidak menjawab, ia justru menarik dokumen laporan keuangan itu, membalik halamannya dengan gerakan cepat namun presisi, seakan mencari pembenaran atas keyakinannya yang teguh. Jari telunjuknya berhenti di satu angka yang mencolok pada bagian aset lancar.

"Kamu lihat ini, Dit?" Rika menunjuk angka Rp25,89 triliun di pos kas dan setara kas. "Orang-orang di luar sana sibuk berteriak tentang likuiditas dan tren saham konglo, tapi mereka lupa kalau kita sedang duduk di atas gunung uang tunai yang nyata. Ditambah investasi jangka pendek dua triliun lebih, total likuiditas kita tembus Rp28 triliun. Ini bukan angka main-main." Suaranya naik 1 oktaf, bukan karena marah, tapi karena gairah seorang fundamentalis klasik yang melihat emas di kubangan lumpur.

Adit mengernyit, mencoba mencerna optimisme bosnya. "Tapi pasar memperlakukan saham ini seperti saham lapis ketiga, Bu. Valuasi nya dianggap murah, tapi harga tak kunjung lari."
"Justru itu seninya," potong Rika cepat. Ia berdiri, berjalan ke jendela kaca, memandang hiruk pikuk jalanan Jakarta. "Kita ini sedang mengalami fenomena aneh. Ini adalah raksasa berkapitalisasi besar, blue chip sejati, tapi dihargai dengan logika small cap yang sedang terdiskon. Ingat $ASII? Dulu mereka juga pernah dianggap lamban, membosankan, terlalu konservatif karena menumpuk kas dan enggan bermanuver liar. Tapi lihat akhirnya? Gajah yang sehat pasti akan berjalan, dan ketika ia berjalan, tanah bergetar."

Rika kembali ke meja, mengambil pulpen dan mencoret-coret kertas buram. "Coba kita hitung kasar. Laba bersih yang bisa diatribusikan ke pemilik induk sudah Rp7,1 triliun hanya dalam sembilan bulan. Kalau mesin pabrik kita terus menderu stabil sampai Desember, proyeksi konservatif saya kita bisa membukukan laba bersih tahunan di angka Rp9,47 triliun. Perusahaan mana yang bisa mencetak uang hampir sepuluh triliun setahun tapi masih diragukan solvabilitasnya?"

Adit terdiam, matanya mulai berbinar menangkap logika itu. Rika melanjutkan, kali ini dengan nada lebih lembut, seolah menceritakan rahasia. "Dan jangan lupa di mana kita berpijak. Kita tidak jualan mimpi teknologi yang bisa usang besok pagi. Kita jualan makanan. Data terakhir menunjukkan industri ini tumbuh 9,8% dalam 5 tahun, melampaui pertumbuhan PDB negara bahkan sektor perbankan manapun. Kita ada di perahu yang paling kokoh di lautan yang sedang badai."

Rika kemudian menunjuk layar televisi yang tergantung di sudut ruangan, menampilkan berita terkini tentang bencana alam yang melanda saudara-saudara kita. Truk-truk bantuan sedang menurunkan muatan logistik. "Lihat kotak-kotak itu, Dit. Saat krisis terjadi, saat bencana melanda, apa yang pertama kali dicari orang untuk bertahan hidup? Kardus-kardus mi instan kita selalu ada di garda terdepan bantuan kemanusiaan. Bahkan toko $AMRT sempat dijarah dan yg diincar adalah produk mie instant, bahkan ada bapak yg minta maaf karena menjarah toko demi indome. Itu adalah bukti paling otentik tentang seberapa vitalnya posisi emiten ini di negeri ini. Kita bukan sekadar emiten di papan bursa; ICBP adalah napas logistik bangsa ini."

Situasi ini, bagi Rika, hanyalah soal waktu. Pasar boleh saja irasional dalam jangka pendek, terbutakan oleh kilau emiten baru yang valuasinya tidak masuk akal. Namun, gravitasi finansial tidak pernah bohong. Dengan PBV di kisaran 1,89x saat ini, ICBP bukan lagi barang rongsokan seperti saat pasar panik menilai utang akuisisi Pinehill dulu. Ini adalah barang mewah yang dijual di harga wajar, sebuah anomali yang cantik.

"Jadi, apa yang harus kita tulis di rilis internal?" tanya Adit, kini sudah memegang tabletnya, siap mencatat.

Rika tersenyum simpul, menyeruput kopinya yang mulai hangat kuku. "Tulis bahwa kita tidak sedang menunggu keajaiban. Kita hanya sedang menunggu pasar sadar. Pondasi kita sekeras beton, kas kita melimpah ruah, dan laba kita mendaki tanpa banyak drama. Seperti Astra di masa lalunya yang hening sebelum melesat, kita hanya perlu bersabar sedikit lagi untuk kembali ke singgasana. Biarkan mereka bermain dengan hype, kita simpan value-nya."



Menutup tulisan ini, hati kami tertuju pada saudara-saudara kita di Sumatera yang sedang diuji oleh musibah bencana alam. Duka kalian adalah duka kami, dan doa kami menyertai setiap langkah pemulihan di sana. Semoga ketabahan senantiasa memeluk hati para korban. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

"Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kekhawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya sekalipun, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya karenanya." (HR. Bukhari dan Muslim).



Semoga musibah ini menjadi penggugur dosa dan pengangkat derajat bagi saudara-saudara kita di sana. Aamiin.

Pesan untuk pemerintah sebaiknya introspeksi diri dan lebih berempati dgn warganya. Satu nyawa bahkan tidak sebanding dgn trilyunan uang dari hasil membalak kayu liar atau tambang apapun yg merusak ekosistem.

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy