imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

🧭 Harga dan Harta

Jakarta Selatan, Pukul 07.15 WIB

Di teras kantor kecil yang menghadap jalanan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, udara pagi masih membawa sedikit embun, meski sudah tercemar bising klakson. Rika, seorang manajer investor relation di sebuah perusahaan makanan kemasan besar, sedang menyesap kopi pertamanya. Matanya lelah. Di tangannya, selembar kertas print-out dari hasil rebalancing MSCI terbaru terasa dingin.
Rika menarik napas panjang. Nama perusahaannya, $ICBP tertulis jelas di kolom yang salah: 'DELLETION'.
Ia sudah tahu sejak semalam, tetapi melihatnya tercetak di kertas tetap menyakitkan.

Perusahaan ini, dengan produk-produk yang mengisi setiap warung dan rumah di pelosok negeri, yang menghasilkan arus kas sekuat sungai yang tak pernah kering, harus dinyatakan tidak lagi layak berada di keranjang investasi global utama. Ironisnya, alasan keluarnya bukan karena kerugian atau utang. Ini semua tentang metrik: ukuran likuiditas, kapitalisasi pasar free float yang mungkin direvisi, atau pergerakan harga yang dianggap kurang signifikan dibandingkan pendatang baru.

"Lagi-lagi 'gerbang tol' itu, ya, Bu?" Suara Adit, asistennya, memecah keheningan. Adit membawa setumpuk press release yang harus mereka revisi.
Rika hanya tersenyum tipis, melankolis. "Gerbang tol global, Dit. Ia tidak peduli seberapa bernilai bus yang kita bawa, selama bus lain yang lebih besar dan cepat bisa melewati gerbang itu. Dan kali ini, busnya adalah $BREN."

Kita tinggalkan sejenak aroma kopi dan kekecewaan Rika. Mari kita putar jarum waktu sangat jauh, ke London, tepatnya tahun 1720. Suasana di Exchange Alley kala itu, jauh lebih ramai dan kacau dari Antasari hari ini.
Kegilaan saat itu bernama The South Sea Company. Sebuah perusahaan dengan janji surga: monopoli perdagangan di koloni Spanyol. Padahal, perdagangan itu nyaris mustahil. Namun, Parlemen Inggris, dalam upaya genius dan licik untuk mengelola utang negara, memberikan restu. Mereka meyakinkan publik, "Tukarlah obligasimu dengan saham ini!"

Seketika, saham Laut Selatan menjadi aset paling eksklusif dan didukung di dunia.
Harga saham melesat dari £128 menjadi £1.000. Setiap orang ingin ikut. Bahkan pria paling cerdas di muka bumi, Sir Isaac Newton ( penemu teori gravitasi), tergoda. Awalnya ia untung, lalu keluar. Namun, melihat arus modal tak terbendung, ia kembali masuk di puncak gelembung. Ketika akhirnya gelembung itu pecah pada September, Newton kehilangan kekayaan setara £20.000. Ia berkata dengan nada getir: "Saya bisa menghitung gerakan benda-benda angkasa, tapi tidak kegilaan orang banyak."

Tragedi Newton bukanlah tragedi angka. Itu adalah tragedi kebutaan terhadap nilai akibat silau oleh popularitas dan dukungan sistem.
Kisah Laut Selatan adalah refleksi sempurna dari apa yang terjadi di bursa hari ini. MSCI, dalam fungsi modernnya, bertindak sebagai Gerbang Likuiditas Global. Ia bukan dewan penilai nilai intrinsik seperti yang diyakini value investor. Fungsinya tunggal yaitu memastikan dana pensiun dan Endowment Fund triliunan Dolar dari New York atau London bisa masuk dan keluar dari pasar Indonesia tanpa mengguncang harga secara ekstrem.

Untuk masuk ke MSCI Global Standard Index, saham harus sangat besar (kapitalisasi pasar) dan sangat likuid (mudah diperdagangkan). Ketika emiten seperti BREN masuk, itu adalah pengakuan bahwa nilai pasarnya sudah terlampau besar dan free float-nya memenuhi ambang batas global. Itu adalah fakta arus, bukan fakta nilai.

"Tapi, bagaimana mungkin? Produk kita ada di mana-mana, laba kita stabil. Kenapa kita yang keluar, Bu?" tanya Adit, matanya memantulkan kebingungan.
Rika memutar print-out itu di tangannya. "Karena mereka, MSCI, tidak menghitung berapa bungkus mi yang kita jual di Papua, Dit. Mereka menghitung seberapa besar total free float kita dibandingkan yang lain. Mungkin kita terlalu konservatif, mungkin likuiditas kita kurang melonjak, atau mungkin, ya... saham lain didorong oleh faktor-faktor yang tak bisa kita ukur dengan laba bersih."

Di pasar kita, saham likuid dan berkapitalisasi besar sseringkali digerakkan oleh sentimen konglomerasi, isu backdoor listing, atau manuver bandar yang sangat jauh dari logika value investing. Saham ICBP adalah perusahaan makanan yang menghasilkan uang tunai nyata. Tetapi karena harga sahamnya relatif tenang dan tidak hype, ia dianggap kurang relevan dalam peta perburuan momentum global.

Kita harus sadar, bahwa MSCI bukanlah anjuran beli atau jual. Ia adalah foresight bagi kita, peta yang menunjukkan ke mana arus dana panas global akan mengalir. Jika arus itu membawa saham yang overvalued, kita harus waspada. Jika arus itu menjauhkan saham yang undervalued, itu bisa jadi adalah peluang emas bagi kita, Kaum Stoik modern.

Malam itu, Rika mengirimkan press release revisi. Di akhir surat, ia menambahkan satu kalimat singkat, ditujukan bukan untuk pers, melainkan untuk dirinya sendiri dan Adit: "Harga adalah apa yang dibayar; Nilai adalah apa yang diterima. Kami akan terus bekerja keras untuk nilai yang nyata."

Sinar mentari pagi memantul di layar ponselnya. Ia merenung. Bukankah ironis, bahwa di tengah hiruk pikuk pasar yang modern, kita masih harus diingatkan oleh kekalahan seorang jenius dari abad ke-18? Kapan kita akan berhenti menghitung gerakan benda-benda angkasa, dan mulai menghitung nilai manusiawi di balik setiap lembar saham?

-kerak bumi-

$KLBF

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy