Meskipun saya menganjurkan agar investor lebih fokus pada ROIC dalam memvaluasi saham non-finansial dan non-properti, tapi start awal kita menjaring emiten potensial menggunakan screener saya anjurkan untuk tidak pakai ROIC, melainkan ROE.
Mengapa demikian?
Pada kebanyakan negara berkembang (emerging market) seperti China, India, Brazil, dan tentu saja Indonesia, problem utama dalam memvaluasi sebuah perusahaan adalah banyaknya cross-holding dan aset-aset non operasi lainnya. Sehingga, valuasi sering kali baru dimulai setelah proses DCF nya selesai.
Apa itu cross holding? Jadi emiten A memegang 10% kepemilikan pada emiten B, atau emiten C punya saham 35% di perusahaan non tbk D. Ini kalau dalam akuntansi, keuntungannya tidak termasuk sebagai laba operasi. Demikian juga cash flow nya jika ada dividen, masuknya di arus kas investasi. Jadi kalau kita pakai screener ROIC, akan ada emiten yang luput dari jaringan kita, kalau labanya yang besar itu adalah porsi laba dari non-operasi. Contohnya seperti $CITA
Pada postingan https://stockbit.com/post/23931627 , saya bilang langsung ke ROE seperti memutar film tapi langsung lompat ke endingnya. Menerapkan screener ROE, ini seperti kita sudah saring dulu mana film-film yang endingnya baik. Dari situ baru kita telusuri satu per satu ceritanya. Bagaimana ROIC nya, struktur permodalannya, dst.
Screener ROE bisa dikombinasikan juga dengan metrik-metrik lain seperti revenue, income from operation, harus positif. PE harus di bawah 20 umpama, atau minimal ada dividennya, dsb.
Jadi ROIC penting, tapi screener awalnya tetap pakai ROE dulu. baru dicek ROIC nya satu per satu. Nanti akan ketemu mana yang layak untuk dibeli, sesuai selera masing-masing.
$TAPG $ABMM