Modus Kejahatan Baru di @Stockbit: Jual Beli Akun Centang Abu-abu Verified untuk Goreng Saham dan Promosi Scam Hanya Dengan 50.000 Rupiah Saja
Di postingan sebelumnya tentang kejahatan kloningan di Stockbit yang berpotensi membobol rekening nasabah Pak @WellsonLo sempat mengomentari bahwa di Stockbit memang tidak ada kasus pembobolan rekening seperti yang terjadi di sekuritas sebelah. Yang ada justru nasabah atau user Stockbit sendiri yang secara sadar memberikan akses Username, Password dan PIN Online trading ke pihak lain yang kemudian digunakan untuk promosi scam di Stockbit. Dan katanya itu hanya dibayar 50rb - 100rb aja. Serem sih. Segitu niatnya pengen scamming. Sangat niat.
Kasus pembobolan akun sekuritas sebelah bisa lihat di sini
1. Kasus 1
https://stockbit.com/post/20848432
1. Kasus 2
https://cutt.ly/br0AbdVO
2. Kasus 3
https://cutt.ly/Fr0AbdZH
Di Stockbit memang tidak ada kasus pembobolan seperti itu tapi yang ada adalah kasus jual beli akun rekening nasabah. Itu pun dijual murah banget.
Jual beli akun rekening RDN dan rekening sekuritas sebagai nominee itu jelas melanggar hukum dan sejak dulu jadi modus favorit bandar saham di Indonesia. Sistem pasar modal sebenarnya sudah diatur ketat dengan identitas tunggal berupa SID, SRE, dan RDN yang melekat langsung ke pemilik manfaat. Artinya akun hanya boleh digunakan oleh orang yang namanya tercatat. Begitu akun dijual atau dipinjamkan, maka seluruh prinsip pengawasan runtuh dan jalur untuk manipulasi harga maupun pencucian uang terbuka lebar.
Pada masa kasus Jiwasraya dan Asabri, praktik ini dilakukan secara besar-besaran. Benny Tjokro dan Heru Hidayat sampai berani membayar 400 juta rupiah hanya untuk satu akun nominee. Tujuannya jelas, untuk membentuk pasukan goreng saham yang bisa mengendalikan ribuan order semu secara serentak. Akun-akun ini dipakai menciptakan ilusi permintaan sehingga harga saham tertentu bisa digiring naik lalu dijual ke investor yang masuk belakangan. Bahkan penyedia akun seperti Joko Hartono Tirto akhirnya ikut dipenjara karena terbukti menyediakan jaringan nominee bagi skema tersebut.
Setelah dua tokoh besar itu ditangkap, modus tidak hilang begitu saja. Bandar saham hanya mengganti strategi dengan cara lebih murah dan lebih halus. Di era platform digital seperti Stockbit, akun nominee tidak lagi dihargai ratusan juta, cukup 50 ribu sampai 100 ribu rupiah. Akun-akun retail yang sudah terverifikasi KTP lewat KYC justru dijual murah oleh pemiliknya sendiri, lengkap dengan username dan password. Operator jaringan kemudian mengendalikan ratusan hingga ribuan akun ini untuk kembali menjalankan skema goreng saham.
Stockbit sendiri sebenarnya sudah melakukan KYC sesuai aturan OJK. Identitas diverifikasi melalui KTP, selfie, dan rekening bank pribadi. Namun masalah justru datang dari sisi nasabah yang rela menjual aksesnya demi uang kecil. Celah inilah yang dieksploitasi bandar. Dari luar, akun tersebut tampak sah, padahal kendali sudah berpindah tangan. Dengan begitu, prosedur KYC yang seharusnya melindungi pasar justru dijadikan pintu masuk kejahatan pasar modal.
Sulit bagi regulator mendeteksi modus ini hanya dari data formal. Semua akun terlihat valid, semua transaksi tercatat atas nama investor retail. Biasanya tanda-tanda baru muncul ketika pola perdagangan aneh terlihat, misalnya lonjakan volume pada saham kecil atau order identik dari banyak akun sekaligus. Lebih jelas lagi ketika akun yang sudah verifikasi mulai aktif mempromosikan scam, menitip trading, atau ajakan ikut tim goreng di media sosial. Banyak akun centang abu-abu yang ternyata menjadi bagian dari jaringan kejahatan yang sama.
Jika ditarik ke sisi hukum, pelanggaran ini tumpang tindih. Pertama, melanggar aturan KSEI dan SEOJK yang mewajibkan RDN hanya dipakai pemilik sah. Kedua, melanggar aturan APU PPT karena menyamarkan beneficial owner. Ketiga, masuk kategori manipulasi pasar berdasarkan UU Pasar Modal Pasal 91–93 dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda 15 miliar rupiah. Keempat, bila dana yang diputar berasal dari hasil kejahatan lain, maka sekaligus menjadi tindak pidana pencucian uang menurut UU 8/2010 dengan ancaman hingga 20 tahun penjara.
Praktik ini sebenarnya identik dengan layering dalam skema money laundering. Dana dimasukkan ke banyak RDN atas nama berbeda, kemudian digoreng lewat transaksi semu hingga tampak sah, lalu ditarik kembali ke rekening tujuan seolah sebagai keuntungan investasi. Inilah mengapa kasus Jiwasraya dan Asabri bukan hanya perkara manipulasi pasar, tapi juga dikaitkan dengan TPPU karena adanya upaya menyamarkan asal-usul dana.
Risiko bagi setiap pihak juga besar. Penjual akun bisa dianggap turut serta membantu kejahatan. Operator bandar jelas pelaku utama manipulasi pasar sekaligus pencucian uang. Perusahaan sekuritas dan bank penyedia RDN yang lalai bisa kena sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pembekuan izin. Sementara investor retail yang masuk tanpa tahu apa-apa sering kali jadi korban paling besar, nyangkut di saham yang digoreng lalu ditinggalkan bandar.
Fenomena zaman sekarang jadi lebih ironis. Kalau dulu harga akun nominee mahal karena risikonya berat, sekarang harganya murah karena banyak retail yang rela melepas akun. Padahal risiko hukumnya tetap sama. Contoh nyata sudah ada, Joko Hartono Tirto yang hanya penyedia akun nominee tetap dijebloskan ke penjara. Artinya baik bandar maupun penyedia sama-sama bisa kena jerat hukum, tidak peduli seberapa besar atau kecil perannya.
Jika penyidik OJK dan kejaksaan serius memantau aktivitas di stream Stockbit atau platform serupa, potensi panen massal sebenarnya besar. Banyak akun kloningan yang aktif promosi scam bisa langsung diciduk. Dengan analisis pola perdagangan, IP address, dan jejak transfer dana, satu klaster jaringan bisa terbongkar sekaligus. Praktik jual beli akun nominee bukan lagi sekadar pelanggaran kecil, tapi sudah masuk ranah kejahatan pasar modal terorganisir yang berdampak langsung pada integritas bursa dan kepercayaan investor.
$ADRO $BBRI $BBCA