$ITMG $IPCM $ARNA - Dunia Tak Butuh Safe Haven, Tapi Safe Reality
Selama lebih dr satu dekade, dunia dimanjakan oleh uang murah. Bank sentral di mana-mana sibuk mencetak likuiditas, suku bunga ditekan ke nol bahkan negatif, dan pasar keuangan tumbuh tanpa henti, seringkali tanpa logika. Saham naik bukan karena laba, tapi karena “FOMO” dan semua terlihat normal. Banyak investor, institusi, bahkan negara jd terlena. Mereka lupa bahwa utang tetap utang, dan janji tetap harus dibayar. Kini di 2025, waktunya tagihan datang.
Kita hidup di tengah krisis utang global yg bukan lagi cuma masalah negara berkembang, tp mulai menghantui negara-negara besar yg selama ini dianggap “kebal” seperti superhero finansial. Padahal, kalau kita jujur, ini bukan kejutan dadakan. Ini lebih mirip balasan karma dr kebijakan masa lalu, sebuah akumulasi ilusi sejak 2008, disimpan rapi di bawah kasur, dan sekarang bisa tiba-tiba meledak ketika kita tidur.
Krisis keuangan global 2008 adalah peristiwa besar pertama di abad ini yg mengguncang keyakinan terhadap sistem keuangan modern. Akar masalahnya? Bukan perang, bukan pandemi, tp keyakinan semu, bahwa semua utang pasti bisa dibayar, asal dijual dgn cukup kreatif 🙊. Bank-bank di AS saat itu sgt jago membuat sihir keuangan. Mereka membungkus kredit perumahan macet menjadi instrumen canggih bernama CDO, lalu menyebarkannya ke seluruh dunia. Semua tampak aman. Sampai akhirnya, seperti biasa, terjadi bubble.
Saat suku bunga naik dan para debitur mulai gagal bayar, sistem runtuh. Lehman Brothers kolaps, pasar global ambruk, dan dunia masuk resesi besar. Solusinya? Tentu saja intervensi masif dr bank sentral. Suku bunga diturunkan nyaris ke nol, dan uang dicetak dalam skala triliunan dolar. Logikanya sederhana, kalau terbakar, siram dgn bensin. Inilah awal era cheap money, yaitu masa di mana logika investasi dikalahkan oleh likuiditas, dan semua ikut pesta. Kenapa semua? ya, kenapa nggak? 😹
Masuk ke dekade berikutnya, dunia kembali diuji, kali ini lewat krisis COVID-19. Negara-negara di seluruh penjuru panik, dan jalan tercepat dianggap paling bijak adalah cetak uang, tambah utang, gelontorkan stimulus. Semua demi menyelamatkan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Saat itu suku bunga masih rendah, bahkan nol di banyak negara. Mencetak obligasi dianggap murah, bahkan seperti nggak berdosa. Maka semua dilakukan, tanpa pikir panjang soal “nanti”. Lagi pula, siapa sih yg mikirin bon jangka panjang di tengah darurat masker dan lockdown?
Masalahnya datang justru saat situasi mulai membaik. Inflasi pelan-pelan naik, lalu tiba-tiba melonjak. Harga energi melejit, rantai pasok kacau, dan masyarakat mulai menuntut upah yg lebih masuk akal. Karena, ya, harga beras & minyak goreng jg ikut naik. Bank sentral, yg tadinya adem mencetak uang sambil minum kopi, tiba-tiba panik. Suku bunga dibalik arahnya, naik tajam. The Fed tancap gas sampai ke atas 5%. Dunia yg tadinya nyaman dgn uang murah, kini tergagap menghadapi realita, bahwa ternyata uang itu ada harganya, dan tagihannya tdk bisa diundur seperti cicilan paylater.
Di titik ini, krisis baru mulai unjuk gigi. Utang-utang yg tadinya terasa ringan seperti janji kampanye, sekarang jd beban nyata. Negara-negara seperti Sri Lanka, Pakistan, Argentina, Ghana, dan Mesir mulai tumbang satu per satu. Mereka gagal bayar utang luar negeri, dan ujungnya? Ya lari ke IMF, si 'last resort' yg sering diminta bantuan setelah semuanya keburu berantakan. Bahkan negara-negara besar pun mulai masuk daftar waspada. Jepang, Italia, hingga AS, yg dulu dianggap too big to fail, sekarang mulai disebut-sebut sebagai “bom waktu”.
Negara yg paling rentan di tengah krisis utang global biasanya punya kombinasi mematikan, yaitu banyak utang dlm mata uang asing, ekspor lemah, dan politik yg lebih sering bikin drama dibanding solusi. Contohnya? Ya, Mesir, Pakistan, dan Argentina, negara-negara yg tampaknya sudah langganan masuk daftar “pasien langganan IMF”. Inflasi mereka sudah seperti acara tahunan, mata uang rontok, dan investor global pun angkat kaki sebelum ditagih ganti rugi. Di titik ini, ekonomi mereka lebih mirip roller coaster yg rusak remnya.
Jepang adalah cerita lain, lebih kompleks, lebih elegan, tp sama menegangkannya. Bertahun-tahun negara ini dianggap aman, bahkan jd panutan fiskal dunia, meskipun utangnya sudah tembus 250% dari PDB. Ajaibnya, pasar tetap tenang, mungkin karena semua berpikir, “Ini kan Jepang.” Tapi di 2025, ilusi itu mulai retak. Yen melemah, suku bunga pelan-pelan naik, dan biaya bayar utang jd makin mencekik. Pelajarannya jelas, bahwa meskipun pakai jas mahal dan bicara lembut, kalau tagihan datang tanpa cukup pendapatan, tetap saja bikin sesak napas.
Sebaliknya, ada juga negara-negara yg terlihat masih cukup kokoh di tengah badai. Biasanya mereka punya tiga hal, yaitu ekspor komoditas yg kuat (entah itu batu bara, CPO, atau rare earth), utang yg didominasi mata uang lokal, dan institusi fiskal yg masih bisa diajak kompromi. Indonesia, Brasil, dan India termasuk di kategori ini. Tidak sempurna, tentu saja, politik tetap penuh kejutan dan birokrasinya kadang membuat pengusaha ingin pensiun dini. Tapi setidaknya fondasinya cukup utk bertahan. Mereka tahu cara main aman sambil tetap ikut pesta global.
Dulu, setiap kali krisis datang, investor seperti refleks lari ke dolar AS. Dana besar diparkir di obligasi US Treasury, karena dianggap paling aman dan paling likuid. Tapi sekarang? Cerita itu mulai goyah. Pasar mulai sadar, kalau utang AS sendiri makin bengkak dan defisit fiskalnya kaya lubang got yg tak ditutup-tutup. Aman itu relatif, apalagi kalau yg jaga pintu kas negara mulai bingung bayar bunga.
Utang publik AS kini sudah tembus US$34 triliun. Angka yg mungkin dulu cuma muncul di seminar ekonomi atau di film fiksi. Defisit fiskalnya terus membengkak, dan yg menarik adalah yield Treasury jangka panjang naik bukan karena ekonomi AS makin solid, tp karena pasar mulai menuntut kompensasi lebih besar utk risiko fiskal yg makin sulit ditebak. Dolar memang masih dominan, tp makin banyak negara yg mulai bertanya dalam hati: apakah uang ini masih bisa dipercaya utk jangka panjang, atau cuma warisan kejayaan masa lalu?
Tanda-tanda de-dollarisasi mulai muncul, tak lagi sebatas wacana konferensi. Transaksi lintas negara pelan-pelan pindah ke Yuan, Rubel, atau bahkan mata uang lokal. BRICS jg membangun sistem keuangan sendiri. Arab Saudi, yg dulu begitu setia dgn petrodollar, sekarang membuka pintu utk transaksi minyak non-USD. Dolar memang belum tumbang, tp kekuasaannya tak lagi mutlak. Ada retakan kecil di pondasi lama, dan pasar memperhatikannya dgn saksama.
Banyak analis menyimpulkan satu hal, yaitu dolar masih bertahan, tp bukan karena paling dipercaya, melainkan karena belum ada pilihan lain yg cukup siap. Ini bukan tentang trust, tp keterpaksaan global. Dunia tetap parkir uang di dolar, bukan karena cinta, tp karena belum nemu tempat baru yg bisa diajak tidur nyenyak tiap malam.
Dan di tengah tekanan inflasi dan krisis fiskal yg makin meluas, banyak negara mulai berlomba menawarkan yield tinggi pd obligasi mereka. Di permukaan, ini tampak menarik, apalagi setelah bertahun-tahun investor dimanja bunga nol. Tapi perlu dibedakan: yield tinggi karena peluang itu sehat. Tp kalau yield tinggi karena negara nyaris bangkrut? Itu jebakan. Dan inilah jebakan 2025, imbal hasil besar ditawarkan oleh negara-negara dgn struktur fiskal rapuh. Ibarat restoran mahal dgn atap bocor, kelihatan mewah, tp jangan duduk terlalu lama.
Kemudian, saat uang tak lagi menghasilkan apa-apa dan valuasi saham sudah kelewat tinggi, investor global akan mulai memindahkan dananya ke komoditas. Emas, batubara, nikel, bahkan pangan jg bisa naik panggung. Ini bukan euforia musiman atau sekadar spekulasi menunggu "the next hype", tp bentuk perlindungan nilai. Hedging terhadap risiko nyata yg tak bisa diselesaikan hanya dgn rapat bank sentral atau janji stimulus baru. Komoditas menjadi jangkar, bukan aksesoris. 😎
Sekarang, meskipun era cheap money sudah lewat, justru risikonya makin mahal. Dan pasar tahu itu. Maka meskipun yield tinggi kembali berseliweran, investor tetap memilih berlindung di aset riil. Karena mereka paham satu hal penting, yaitu yield tanpa jaminan solvabilitas cuma angka manis di atas surat. Dan surat itu, dalam skenario terburuk, bisa jd tidak bernilai apa-apa saat tagihan datang.
Indonesia termasuk dalam kelompok negara yg relatif tahan banting di tengah krisis global ini. Rasio utang masih di bawah 40% dr PDB, cadangan devisa cukup utk jaga napas, dan ekspor komoditas, dr batu bara sampai sawit, masih menopang neraca dagang. Ditambah lagi, hilirisasi mineral dan proyek transisi energi memberi nilai jual tambahan di mata investor. Sekilas, ini kombinasi yg bikin tenang. Tp jangan buru-buru euforia, karena stabilitas itu bukan tiket kebal krisis.
Tekanan fiskal tetap ada, dan bukan main-main. Subsidi energi membengkak pasca pemilu. Karena, ya, janji harus ditepati, walau anggaran menjerit. Inflasi pangan bisa membuat suasana politik tak nyaman, terutama di tengah daya beli yg belum pulih penuh. Dan kalau harga komoditas global tiba-tiba melemah, APBN bisa langsung demam. Maka pada akhirnya, penopangnya cuma satu, yaitu disiplin fiskal dan reformasi struktural. Dua hal yg selalu disebut, tp sering disimpan rapi di rak paling atas.
Dan di tengah gejolak fiskal global serta tekanan suku bunga tinggi, strategi investasi tak lagi cukup mengandalkan optimisme pasar atau sekadar berburu saham diskon. Investor perlu mulai mengarahkan portofolionya ke sektor-sektor yg memiliki daya tahan operasional, yaitu sektor yg tetap bisa menghasilkan cashflow meski ekonomi stagnan atau permintaan global melambat.
Komoditas, energi, dan infrastruktur produktif menjadi sorotan utama. Emiten-emiten dgn neraca solid, minim utang berbunga tinggi, dan bisnis berbasis permintaan riil, bukan hanya harapan teknologi masa depan, layak mendapat porsi lebih besar. Sekarang saatnya menaruh perhatian pada perusahaan yg bisa hidup tanpa disuntik stimulus.
Kemudian, pergeseran arah ini bukan hanya akan terjadi di kalangan investor kecil. Dana kelolaan besar dan hedge fund internasional pun mengurangi eksposurnya di instrumen berbasis utang negara dan malah memperbesar posisi mereka di sektor-sektor produktif. Banyak dr mereka akan masuk ke tambang, energi primer, logistik, dan infrastruktur fisik yg stabil, bukan semata mengejar cuan jangka pendek, tp karena aset-aset ini punya real basis of value.
Mereka ingin memegang sesuatu yg menghasilkan, bahkan saat inflasi menggerus dan kepercayaan fiskal terguncang. Pergerakan ini bukan rotasi biasa, tp bentuk pertahanan strategis di tengah risiko makro yg tak lagi bisa ditebak lewat model lama.
Buat investor ritel, tak perlu meniru langkah teknikal para hedge fund. Tapi arah pergerakan mereka bisa jd kompas. Ketika institusi global meninggalkan obligasi negara dan saham overvalued, lalu memburu aset riil yg stabil dan tahan tekanan suku bunga tinggi, itu bukan sinyal yg bisa diabaikan. Dalam lanskap seperti ini, lebih aman mengikuti aliran modal ke sektor yg terbukti bisa bertahan, daripada berspekulasi di saham yg hidup dari utang murah dan janji manis. Ini bukan waktunya mengejar pertumbuhan agresif, melainkan memastikan portofolio bisa tetap bernapas saat pasar kesulitan oksigen.
Krisis utang post-covid bukan sekadar kisah tentang bunga tinggi, dolar yg goyah, atau inflasi yg tak mau turun. Ini adalah momen kolektif ketika dunia dipaksa menghadapi akibat dari ilusi panjang, bahwa utang bisa terus digulirkan, bahwa likuiditas tak pernah kehabisan, dan bahwa kebijakan moneter bisa menyelesaikan semua. Sekarang, realitas bicara lebih lantang, bahwa uang itu mahal, risiko itu nyata, dan kepercayaan itu rapuh.
Mereka yg akan bertahan bukan yg paling agresif, juga bukan yg paling optimis. Tapi mereka yg tahu kapan harus berteduh, dan ke mana harus menaruh keyakinan. Di dunia baru ini, aset nyata adalah tempat perlindungan. Dan di tengah pasar yg mudah tergoda ilusi, kemampuan utk tetap rasional adalah keunggulan langka. Karena pd akhirnya, pasar bisa salah dlm jangka pendek, tp sejarah tidak pernah lupa menghukum mereka yg terlalu percaya pada angan-angan.
Maka tetap tenang, tetap terukur. Karena dlm situasi seperti ini, menjaga nilai aset tetap utuh jauh lebih penting daripada mengejar keuntungan yg belum pasti.
Disclaimer: Apapun pilihannya, tetap DYOR 😹
Alasan menulis: https://stockbit.com/post/19040669
1/3