Volume
Avg volume
PT Total Bangun Persada Tbk, yang pertama kali didirikan sebagai PT Tjahja Rimba Kentjana pada 4 September 1970 dan berganti nama menjadi PT Total Bangun Persada pada 1981, adalah perusahaan konstruksi terkemuka di Indonesia yang mengkhususkan diri pada pembangunan gedung-gedung komersial dan high-rise bertaraf internasional. Sejak mencatatkan saham perdana (kode TOTL) di Bursa Efek Indonesia pada 25 Juli 2006, TOTAL memfokuskan operasionalnya pada penerapan Lean Construction, prinsip green building melalui Green Building Council Indonesia, dan efisiensi proses kerja. Perseroan telah menyelesaikan lebih dari 900 proyek prestisiu... Read More
"Apa itu transaksi pasar nego?"
↪️ Yaitu pasar di mana harga dan jumlah saham yang diperjualbelikan ditentukan secara langsung melalui negosiasi antara pihak pembeli dan penjual, bukan melalui sistem otomatis seperti di pasar reguler.
Ciri-ciri transaksi pasar nego :
1. Tidak melalui antrian di orderbook
2. Harga bisa berbeda dari harga reguler
3. Proses pencocokan dilakukan oleh broker
Menampung (WTB) transaksi pasar nego jenis berikut :
● Odd lot
● Saham gocap
● ARB berjilid-jilid
Syarat yang wajib dipenuhi :
⏩ Transaksi min Rp 1jt
⏩ Khusus saham gocap, maksimal harga tertinggi Rp30 tergantung jumlah lot, antrian, emiten, dll
⏩ Untuk odd lot & ARB berjilid, harga harus ≥Rp100
⏩ ARB ditampung setelah 3× ARB
⏩ Seluruh biaya transaksi nego ditanggung penjual. Biaya transaksi nego senilai Rp 22.000/transaksi/user/emiten/hari + 1% total transaksi keseluruhan. Jika transaksi revisi >1× penyebabnya fraud dokumen oleh penjual, biaya 1% hangus & sisanya akan di refund serta transaksi batal
Benefit yang ditawarkan :
✅ Buyback max +7% khusus transaksi odd lot. Tergantung jumlah odd lot yang dimiliki
✅ Dokumen terima jadi khusus broker XL - Stockbit Sekuritas
✅ Pengetahuan cara transaksi di pasar nego buat yang pertama kali transaksi
Jika berminat, langsung inbox aja atau chat sosmed yang ada di profil
$TOTL $PORT $LABA
$TOTL 11 Jun 25
Shareholder : Djadjang Tanuwidjaja
Type : Local
Bought : +50,000 (+0.01%)
Current : 366,409,840 (10.75%)
Previous : 366,359,840 (10.74%)
$TOTL 10 Jun 25
Shareholder : Djadjang Tanuwidjaja
Type : Local
Bought : +40,000 (0.00%)
Current : 366,359,840 (10.74%)
Previous : 366,319,840 (10.74%)
RUPS Tahunan $PBSA menjadi penutup dari rangkaian CeritaRUPS empat tahun terakhir.
Terima kasih atas segala apresiasi dari para Stockbitor selama ini! Sampai jumpa lain pada kesempatan. Senang bisa berjumpa offline di RUPS $TOTL dan $UNVR
cc: @rafidpratama @fadhilra11 @joviechen
Penuh dengan “C”
Toloooooooooooooooooooong
Money lai lai lai..
Nb: bukan stockpick. Bukan porto ane juga.
$IPCC $TOTL $RALS
I just realize 1 day after I wrote this stream on @Stockbit
https://stockbit.com/post/17329256 , other Indonesian article just shown up here
https://cutt.ly/urQwXQ9R
Personally I don't mind, but I am just astonished.. Stockbit is a very good influencing tool.. 😁🤣
$BAYU $SMSM $TOTL
ibarat disuruh milih jodoh, susah nih.
tapiii,
nature bisnis $TOTL senantiasa di leher pelanggan yg jumlahnya paling belasan, salah satu kontrak gagal maka bisa batuk performanya.
sementara $SIDO end usernya pasti ratusan ribu ritel, yg harusnya lebih bikin aman.
Dual TO, $TOTO & $TOTL are the green guard Porto, slow but sure 🏁 🐢.
TOTL telat nambah muatan jd terlewat profit 40% 😊. TOTO sebatas cek ombak dulu 🌊 🏄.
Semoga semakin menghijau smp > +100% di Q3/Q4 2025 menyusul sang Kaka $ANTM.
1/2
$TOTL masih nunggu distribusi, dengan yield 13%.
$SIDO baru nitip sendal di 510.
Benar, keduanya memang menarik dari sisi yang berbeda.
$IHSG: Menari di Atas Utang, atau Menyimpan Emas di Lemari?
"Ada dua jenis elang di hutan bisnis: Yang satu menunggang angin, yang lain membangun sarang dari ranting emas."
Dalam jagat korporasi, filosofi ini hidup dalam pengelolaan modal kerja.
Kemarin, kita telah menyelami strategi $TOTL, yang "membangun imperium dari uang orang lain". Modal kerja negatif yang dialami oleh TOTL justru menjadi "angin gratis" yang menggerakkan kapal. Ini mengubah vendor dan pelanggan (melalui uang muka proyek) menjadi bankir tanpa bunga, memanfaatkan efisiensi leverage secara maksimal.
Hari ini, mari kita telusuri kerajaan $SIDO, sang raja konservatif yang memilih membangun tembok istana dari emas batangan miliknya sendiri.
________________________________________
Anatomi Kemandirian yang Mahal
Berdasarkan laporan keuangan SIDO per 31 Maret 2025, kita dapati gambaran berikut tentang aset lancar operasionalnya (tanpa menghitung kas idle):
• Piutang dagang seluas sungai: Rp667 miliar
• Persediaan setinggi gunung: Rp492 miliar
• Modal kerja lainnya selain kas: Rp46 miliar
Sehingga total kebutuhan modal kerja operasional adalah Rp1.205 miliar. Namun, hanya Rp347 miliar yang bisa ditangguhkan ke vendor dan utang lancar lainnya, sebagai "hujan" yang minim. Ini menciptakan defisit modal kerja bersih sebesar Rp858 miliar (1.205 miliar – Rp347 miliar).
"Melihat defisit ini, pertanyaan muncul: apakah SIDO membutuhkan pinjaman bank? 'Tidak perlu,' kata SIDO. 'Kami punya sumur sendiri.'"
________________________________________
Biaya Kemewahan yang Tak Tersembunyi: Harga Kemandirian SIDO
(Sebelumnya, saya juga telah menjelaskan sedikit tentang "cost of equity vs cost of debt".)
Sekarang kita lanjut ceritanya. Sementara banyak perusahaan harus meminjam dengan cost of debt yang relatif murah, biasanya 8-10%, SIDO memilih untuk membayar lebih mahal, dengan:
• Cost of equity 15-20%: Ini adalah mahkota emas yang memberatkan, yaitu dana yang disediakan pemegang saham dengan harapan return yang lebih tinggi.
• Kas idle Rp1.177 miliar: Emas batangan yang dikunci di brankas istana, dana ini tidak produktif.
Total dana pemilik yang "terkunci" untuk menopang operasional dan kas yang tidak bekerja adalah: Rp858 miliar (defisit modal kerja) + Rp1.177 miliar (kas idle) = Rp2.035 miliar.
Angka ini setara dengan 55% dari total ekuitas SIDO Rp3.709 miliar.
Warren Buffett seolah berbisik, " Memarkir Rp1.177 miliar kas idle seperti membeli jet pribadi hanya untuk dipajang—indah di neraca, tapi mematikan return"
Modal yang seharusnya bisa digulirkan untuk ekspansi atau investasi strategis, justru tertahan dalam operasional harian perusahaan.
________________________________________
Revolusi Formula Modal Kerja
Selama ini kita diajari: "Modal kerja positif = Perusahaan sehat."
Namun, izinkan saya membalik logika itu:
• Modal kerja adalah beban, bukan aset. Setiap modal yang tertanam memiliki biaya.
• Semakin kecil modal kerja, semakin baik. Ini mengindikasikan efisiensi.
• Modal kerja negatif? Itu justru keunggulan kompetitif! Ini merefleksikan "Goodwill yang hidup"—kemampuan berbisnis dengan uang orang lain, sebuah mahakarya sejati korporasi, seperti yang ditunjukkan oleh TOTL.
Oleh karena itu, jika sebelumnya kesehatan modal kerja dihitung dengan formula:
Modal Kerja = Aset Lancar – Liabilitas Lancar
Maka seharusnya adalah:
Modal Kerja = Liabilitas Lancar – Aset Lancar
Dengan formula baru ini, interpretasinya menjadi lebih relevan dari perspektif pemegang saham:
• Hasilnya positif (Liabilitas Lancar > Aset Lancar): Ini adalah surplus modal kerja. Artinya, perusahaan memiliki dana lebih dari yang dibutuhkan untuk operasional harian, yang secara teoritis dapat dimanfaatkan oleh pemilik untuk keperluan lain atau tetap tersimpan sebagai kas. Ini adalah tanda efisiensi kapital yang tinggi.
• Hasilnya nihil (Liabilitas Lancar = Aset Lancar): Artinya perusahaan "tidak membutuhkan modal kerja" secara signifikan. Aktivitas operasional sudah saling berputar, saling menutupi, dan saling mendukung. Penjualan menciptakan piutang, produksi menciptakan persediaan, dan pendanaan proses ini ditutupi oleh utang usaha atau aktivitas operasional lainnya (misalnya, membeli barang dagangan dengan tempo utang yang lebih panjang dari tempo pembayaran piutang). Ini adalah skenario modal kerja yang sangat efisien.
• Hasilnya negatif (Liabilitas Lancar < Aset Lancar): Ini adalah defisit modal kerja. Inilah arti modal kerja yang sebenarnya: berapa modal yang harus disediakan oleh pemilik untuk menutup defisit. Semakin besar aset lancar dibandingkan dengan liabilitas lancarnya, maka semakin besar modal kerja yang harus disuntikkan oleh pemilik.
Formula baru ini lebih relevan karena berbicara dalam bahasa pemilik (pemegang saham). Bukankah perusahaan didirikan untuk kepentingan pemegang saham? Dengan formula ini, pertanyaan pemegang saham seperti, "Kenapa butuh modal kerja? Bukankah kalian sudah saya berikan rumah, tanah, dan lain-lain... kalian kan tinggal jualan!" dapat dijawab dengan gamblang oleh manajemen.
Contoh, manajemen dapat menjelaskan dengan masuk akal ketika situasi perusahaan "aset lancar > utang lancar", dan bilang kepada pemilik, "Bos, modal kerja kami negatif! Kami mengalami defisit, jadi kami butuh suntikan modal lagi dong."
Ini jauh lebih masuk akal daripada manajemen menggunakan formula lama, yang hasilnya adalah;
"Maaf bos..., modal kerja kita surplus nih... jadi minta tambahan dana dong... sekarang semua orang minta penjualannya pakai tempo 3 bulan, sementara harga bersaing hanya didapat jika kami beli barang dagangan (modal) dengan tempo 1 bulan. Jadi terpaksa saya minta tambahan modal kerja."
Reaksi bos dapat kita bayangkan:
Seandainya si bos adalah pemegang saham TOTL, maka dapat dipastikan jawabannya adalah;
"Gimana sih, Bro…? Itu namanya lo tekor (defisit), bukan surplus! Pantesan aja lo 'oon', makanya cuma dapat utangan tempo 1 bulan, dan giliran jualan malah dapat pelanggan yang minta dibayar 3 bulan.... Gak bisa kalian seenaknya apa-apa minta sama pemegang saham! Kalian harus kreatif cari sendiri pendanaan untuk kebutuhan operasional kalian, dan jika tidak sanggup, silakan tinggalkan perusahaan ini, saya akan mencari pengganti kalian!"
Akhirnya, dengan terpaksa, kreativitas, dan kredibilitas, manajemen TOTL sukses mendapatkan pendanaan dari vendor dan dari uang muka penjualan sebesar Rp2.303 miliar. Jumlah tersebut lebih besar daripada modal kerja yang dibutuhkan sebesar Rp1.519 miliar. Jadi, alih-alih mengalami kesulitan modal kerja, mereka justru mampu memanjakan para pemegang saham, dengan memberikan kelebihan modal kerja sebesar Rp840 miliar (2.303 miliar – 1.519 miliar), yang secara teori, adalah sah-sah saja kalau digunakan oleh para pemegang saham, untuk bayar dividen misalnya.
Dan seandainya, jika si bos adalah pemegang saham SIDO, maka dapat dipastikan jawabannya adalah;
"Gimana sih, Bro? Itu namanya lo tekor (defisit), bukan surplus! Pantesan aja lo 'oon', makanya cuma dapat utangan tempo 1 bulan, dan giliran jualan malah dapat pelanggan yang minta dibayar 3 bulan. Okelah.... tapi karena bosmu ini raja minyak, jangankan uang untuk modal kerja kamu yang cuma butuh Rp858 miliar, kalau kamu mau tidur di atas tumpukan uang pun juga tidak masalah, yang penting kalian jangan salah lagi ya bilang ini surplus, padahal defisit. Kalau kalian salah lagi, kalian akan saya pecat!"
Walhasil, SIDO yang sejatinya cuma butuh modal kerja sebanyak Rp858 miliar malah disuntik dana oleh pemilik sebesar Rp2.035 miliar, kelebihan sebesar Rp1.177 miliar berbentuk "kas idle", yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk alas tidur manajemen.
Dalam situasi di atas, baik kasus SIDO maupun TOTL, jika manajemen masih pakai formula klasik dalam otaknya, maka manajemen bisa semakin bingung dan "oon" untuk dapat merespons jawaban si bos yang pintar tapi cerdik tersebut.
TOTL meraih surplus bukan karena keberuntungan, tapi karena kredibilitas yang dibangun untuk memperoleh "pendanaan organik". Sementara SIDO memilih jalan mahal demi kestabilan absolut—dengan biaya yang tidak kasatmata tapi nyata.
________________________________________
Dua Jalan Menuju Roma: Mana yang Lebih Baik?
• TOTL bagai angin yang tak terlihat tapi bisa menggerakkan kapal—memberikan efisiensi dan kelincahan dengan memanfaatkan leverage.
• SIDO laksana emas yang berkilau tapi berat dibawa—menawarkan stabilitas dan kemandirian, namun dengan potensi inefisiensi modal.
Peter Lynch pernah berkata: "Know what you own, and know why you own it."
Yang mana lebih baik? Tergantung badai apa yang akan datang. Dalam kondisi ekonomi stabil, TOTL mungkin lebih unggul dalam return on equity karena modalnya lebih efisien. Namun, dalam krisis likuiditas, kemandirian SIDO bisa menjadi jangkar penyelamat.
Charlie Munger mengingatkan: "Tidak ada model bisnis yang sempurna, hanya yang paling adaptif."
________________________________________
Penutup: Filsafat Modal Sejati
Di rimba kapitalisme:
• Yang satu membangun jembatan dari rotan pinjaman.
• Yang lain mengukir jalan dari batuannya sendiri.
Keduanya bisa sampai tujuan.
Tapi hanya investor bijak yang tahu: " Bukan berat emas di lemari yang menentukan kemenangan, tapi kepiawaian menari di atas angin pasar."
________________________________________
Pertanyaan Reflektif:
• Lebih menghargai kelincahan TOTL atau kemewahan SIDO?
• Sudahkah laporan keuangan Anda menggunakan formula revolusioner ini?
Semoga analogi ini membuka jendela baru dalam memandang laporan keuangan. Selamat berburu hikmah di balik angka-angka!
$TOTL $CEKA - Laissez-faire -
Let the market do its thing
"Investing with a long-term perspective, focusing on the long-term growth of investments rather than short-term gains"
$IHSG
$TOTL – Membangun Imperium dengan Uang Orang Lain
Ada dua cara membangun kapal impian. Cara pertama: kumpulkan kayu terbaik, beli layar termahal, sewa awak berpengalaman, dan siapkan perbekalan dari kantong sendiri, atau dari pinjaman bank yang mahal. Ini cara konvensional, yang diajarkan buku teks keuangan. Berat di awal, penuh risiko, tapi dianggap sah demi mengejar pertumbuhan.
Namun ada cara lain. Cara yang lebih licin. Lebih elegan.
Yakinkan orang lain untuk membiayai perjalananmu,
ahkan sebelum kapal itu selesai dibangun.
TOTL memilih cara kedua ini.
Bukan karena tak punya modal,
tapi karena mereka tahu: Uang terbaik adalah uang orang lain.
Sejak 2020 hingga 2024, TOTL menjalankan strategi yang nyaris tak kasatmata, tapi berdampak nyata. Modal kerja operasional mereka selalu negatif. Bagi banyak perusahaan, ini adalah sinyal bahaya. Tapi bagi TOTL, ini adalah sistem. Dan sistem itu bekerja.
Rata-rata piutang mereka hanya sekitar Rp 800 miliar, dengan persediaan yang ramping, di bawah Rp 60 miliar. Tapi liabilitas jangka pendek-yang sebagian besar berasal dari uang muka proyek dan utang dagang;rutin melebihi Rp 2 triliun. Dengan kata lain, proyek belum dimulai, tapi dananya sudah dikirim. Material belum dibayar, tapi sudah dipasang. TOTL menggerakkan seluruh mesinnya dengan arus kas dari lingkungan sekitar: dari klien dan dari pemasok.
Tanpa utang berbunga. Tanpa menjual ekuitas. Tanpa menambah modal.
Strategi jenius ini mengingatkan pada konsep “float” ala Warren Buffett. Sebagaimana ia pernah katakan: "Float kami akan bebas biaya, seolah-olah ada yang mendepositkan uang kepada kami yang bisa kami investasikan untuk keuntungan kami sendiri tanpa perlu membayar bunga."
TOTL, ibarat organisme filter feeder di samudra keuangan, mampu menyerap aliran dana ini dari klien dan pemasok, untuk membiayai seluruh operasinya dan bahkan sebagian investasinya, tanpa perlu berburu modal dengan biaya tinggi (utang bank dan right issue).
Ini juga mirip dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). PLTA tidak 'membeli' air; air yang didorong gravitasi memiliki energi potensial 'gratis'. Yang perlu dilakukan hanyalah membangun infrastruktur untuk 'menyalurkan' dan mengubah energi itu menjadi listrik. Sama halnya, TOTL membangun 'sistem' yang cerdik untuk menyalurkan 'energi potensial finansial' berupa uang muka proyek dan utang dagang yang mengalir bebas, mengubahnya menjadi laba, arus kas bebas, dan dividen, tanpa membakar modal sendiri.
Dan yang paling mengesankan:
Mereka tidak hanya bertahan. Mereka tumbuh.
• 2020: Laba bersih Rp 145 miliar
• 2021: Rp 154 miliar
• 2022: Rp 172 miliar
• 2023: Rp 213 miliar
• 2024: Rp 265 miliar
Naik. Setiap tahun. Konsisten.
Dalam industri konstruksi yang terkenal padat modal dan berat kas, ini adalah prestasi langka.
Ini adalah seni.
Seni membuat orang lain membiayai aktivitas operasional dan sekaligus aktivitas investasi kita.
Mereka hanya “membayar di muka” atau “memberi tempo”—tapi TOTL menyulapnya menjadi mesin pertumbuhan.
Keunggulan finansial inilah yang membuat mereka bisa fokus melayani para pemiliknya.
Bukan hanya lewat pertumbuhan laba, tetapi juga dengan menurunkan risiko pemegang saham, karena secara tidak langsung telah mengembalikan modal para pemiliknya, melalui pembayaran dividen yang rutin dan royal.
TOTL tak menambah utang berbunga untuk ekspansi, sehingga tak menciptakan risiko tambahan—baik atas aset perusahaan, maupun aset pribadi pemegang saham yang biasanya dijadikan jaminan.
Tapi… mereka tetap tumbuh. Kuat. Konsisten.
Dan kalau efisiensi finansial adalah seni, maka inilah mahakaryanya.
TOTL membuktikan bahwa modal kerja negatif bukan aib.
Bukan sinyal bahaya seperti yang diajarkan di buku teks.
Tapi justru bendera kemenangan.
Karena siapa pun bisa membangun bisnis dengan uang sendiri.
Tapi hanya yang benar-benar cerdas,
yang bisa membangun bisnis besar—
dengan uang orang lain.
Disclaimer: Saya tidak sedang mempromosikan TOTL, saya hanya tertarik dengan gaya bisnis emiten ini, menggunakan uang orang lain (bukan utang bank), dan sebaliknya malah fokus memanjakan kebutuhan para pemegang sahamnya (dividend royal dan rutin).
$SIDO saham ini saya ingat 5 tahun lalu di Stockbit itu saham yang paling banyak dipuji oleh Stockbiter. terutama oleh salah seorang Stockbiter bersama dengan $TOTL
$TOTL vs $PBSA: Mana yang Lebih Baik?
Request salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Requestnya sangat banyak karena minta analisis PBSA TOTL dan $TAPG. Saya bahas saja PBSA vs TOTL. Kebetulan keduanya sama-sama di bisnis konstruksi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
TOTL dan PBSA ini ibarat dua kontraktor beda aliran. TOTL adalah pemain senior, kalem, penuh tabungan, dan rajin ngerjain proyek premium gedung tinggi. Sementara PBSA, kontraktor muda yang lagi ngegas ngerjain pabrik sawit satu grup demi satu grup, dengan kecepatan pertumbuhan tinggi tapi napas pendek kalau proyek baru telat masuk. Secara laporan keuangan, dua-duanya untung dan kasnya tebal, tapi pola napas, sumber risiko, dan arah bisnisnya beda banget.
TOTL menghasilkan pendapatan Rp847 miliar di Q1 2025, naik tipis 3,5% dari tahun lalu. Laba bersihnya Rp75,8 miliar, naik 43,7%, dengan net margin 8,9%, salah satu yang tertinggi sejak pandemi. Tapi yang bikin khawatir, kas dari operasi turun 53% jadi cuma Rp158 miliar, karena piutang usaha dan retensi dari klien makin numpuk. DSO-nya naik dari 41 hari ke 54 hari, tanda tagihan makin lama cair. Sementara itu, cash dan deposito TOTL masih super gemuk, sekitar Rp1,52 triliun, jauh lebih besar dari semua utang berbunga yang praktis nihil. Jadi secara likuiditas, TOTL masih aman banget. Tapi kalau tren piutang molor ini lanjut 2 kuartal lagi, kualitas laba mulai diragukan karena profit cuma tercetak di kertas, belum masuk ke rekening. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
PBSA sebaliknya ngebut. Pendapatan mereka melonjak 102% YoY ke Rp280 miliar. Laba bersihnya justru turun sedikit 5% ke Rp25,7 miliar gara-gara rugi nilai wajar efek Rp17 miliar dari portofolio investasi. Tapi di sisi operasi murni, PBSA lebih efisien dari TOTL. Operating margin mereka 18,2%, net margin 9,2%, bahkan gross margin-nya lebih tinggi di 22,3%.
Bedanya, PBSA kuat di cash flow. Mereka berhasil menarik uang dari piutang dan kontrak yang udah lama nongkrong, bikin kas operasi melonjak jadi Rp129 miliar, lebih dari lima kali laba bersih. DSO sekitar 80 hari, masih bisa ditolerir. Capex kecil, cuma Rp1,9 miliar, dan free cash flow positif. Jadi PBSA punya modal kerja positif Rp585 miliar dan posisi net-cash Rp272 miliar. Kelemahannya? Mereka terlalu bergantung sama empat konglomerat sawit (SMART, Ivomas, Sumber Indah, Binasawit) yang nyumbang 90% omzet. Kalau CPO jeblok dan proyek ditunda, PBSA bisa langsung kena serangan jantung backlog. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Model bisnis TOTL lebih kompleks dan stabil. Mereka kerja dari sisi hulu (vendor beton-baja) ke tengah (formwork internal via anak usaha) sampai ke hilir (pelanggan seperti STT GDC, Mayora Group, Bayan Resources). Mereka juga punya KSO bareng Shimizu Jepang. TOTL mencatat piutang retensi Rp397 miliar, tapi yang harus dibayar ke vendor cuma Rp75 miliar, artinya mereka justru jadi kreditur bersih terhadap klien. Peluang buat naik margin bagus, tapi risikonya ya kalau klien ngaret bayar, kas makin cekak.
Sedangkan PBSA modelnya lebih simpel. Mereka ngerjain EPC pabrik sawit, barangnya datang, dipasang, tagih. Vendor dan subkontraktor mereka mendominasi biaya pokok, tapi utang dagang PBSA kecil. Kas masuk cepat begitu proyek selesai dan invoice cair. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Transaksi pihak berelasi dua-duanya aman. TOTL cuma punya saldo piutang kecil ke entitas KSO, sedangkan PBSA nyaris gak punya transaksi afiliasi. Sengketa hukum juga nihil. Jadi dari sisi GCG, keduanya bersih dan low-risk. Tapi di sisi potensi laba dan risiko, TOTL unggul di portofolio proyek premium dan kas berlimpah, tapi rawan dari sisi penagihan. PBSA unggul dari pertumbuhan dan cashflow operasional, tapi kelemahannya bergantung pada sektor sawit dan investasi jangka pendek yang fluktuatif. Tahun ini saja, laba mereka digerogoti rugi Rp17 miliar dari efek.
Kalau kekurangan mereka bisa ditutup oleh kelebihan? TOTL iya, karena kas mereka tebal banget, bisa beli waktu sambil ngejar tagihan. PBSA juga bisa aman selama proyek baru terus mengalir, karena mereka punya fleksibilitas tanpa utang dan modal kerja besar. Tapi kalau TOTL makin lama narik piutang dan backlog stagnan, CFO bisa makin tipis dan yield dividen menurun. Sementara PBSA, kalau proyek sawit seret dan IHSG drop lagi, bisa dua kali terpukul, dari revenue dan dari mark-to-market efek. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sebagai investor, harapannya jelas. TOTL bisa tetap jadi mesin dividen, dengan PER 7-8x dan potensi yield >8% kalau payout ratio tetap tinggi. Tapi syaratnya adalah DSO harus turun dan backlog harus terus tumbuh. Kalau tidak, valuasi sekarang justru bisa dianggap mahal karena kas makin stagnan. PBSA punya potensi rerating kalau mereka bisa stabilin laba, ngurangin spekulasi portofolio efek, dan masuk ke proyek non-sawit. Kalau itu berhasil, PER 12x bisa turun ke 9-10x dengan pertumbuhan cepat dan arus kas kuat. Tapi kalau proyek drop dan market koreksi, laba bisa makin kecil dan valuasi saat ini jadi jebakan.
Intinya, TOTL itu kontraktor gedung dengan dompet tebal tapi kurang agresif narik tagihan. PBSA itu kontraktor pabrik sawit yang lincah, penuh orderan, tapi masih hidup dari satu sektor dan kena efek cuaca market. Mau pilih TOTL atau PBSA? Balik lagi ke profil risiko masing-masing. TOTL cocok buat yang cari stabilitas dan dividen, PBSA cocok buat yang cari growth dan tahan guncangan jangka pendek. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10