Volume
Avg volume
Perseroan didirikan berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT Dreamland Pecatu Golf No. 32 tanggal 22 Februari 2005. Kegiatan usaha Perseroan adalah dalam bidang golf. Saat ini, Perseroan telah menambah kegiatan usahanya melalui Entitas Anak. Perseroan kini bergerak di bidang Jasa Konsultasi Manajemen dan Pengelolaan Lapangan Golf, serta Pengembangan Properti dan Fasilitas Pendukungnya melalui Entitas Anak. Pengelolaan Lapangan Golf dilakukan oleh Entitas Anak, yaitu NKG dan SGU. Sementara itu, Pengembangan Properti dan Fasilitas Pendukungnya hanya dilakukan oleh NKG.
@FauzanTnjung Iya sih bener, gw trauma sih main saham beginian. Udah jual semua saham $GOLF . Anggep aja ongkos belajar lah
$BLES harga bakalan ngikutin saham $GOLF tpi anehnya golf gak bagi dividend sih bless ini calon2 saham perlu di perhatikan
🧵 Bedah Kasus Lampau
📌 “Belajar dari $GOLF: Akumulasi sunyi itu nyata, Mak!”
🕵️♀️ Mak inget GOLF? Yang sempet jalan di tempat, diem-diem bae…
Eh tau-tau melesat! 💨✨
Yuk kita bedah fase pre-breakout-nya, biar Mak-Mak bisa nangkep polanya lain kali!
📅 Rentang akumulasi sunyi: 19 Maret–14 April
📉 Harga turun, tapi:
✅ Bandar Volume rutin ijo (meski kecil)
✅ Delta BV positif perlahan
✅ Frequency Analyzer nunjukin aktivitas bandar mulai hidup
✅ Harga stabil padahal pasar lagi sepi → ciri khas silent accumulation
🚀 Breakout beneran: Sejak 15 April
📊 Volume & price action naik bareng
🔍 Validasi dengan indikator lain: semua kasih sinyal positif
🎯 Pelajaran pentingnya, Mak:
Kadang yang diam-diam itu justru nyiapin kejutan manis~
Gak heboh, tapi kalau udah jalan, baru banyak yang nyesel 😌
💬 Mak, pernah ketinggalan kereta karena ragu pas akumulasi sunyi? Cerita di emoji ya:
😌 = Pernah banget
👀 = Lagi belajar ngintip
🟢 = Udah jago spotting-nya!
#NyayurSaham #STRADA #Bandarmology #BedahKasusGOLF #MakPintarPantauData
Studi Kasus
$GOLF – Revaluasi Aset Menjelang IPO
Salah satu contoh menarik yang patut dicermati adalah emiten GOLF, yang belum lama ini melakukan revaluasi aset tetap menjelang proses penawaran umum perdana (IPO). Sebelumnya, aset tetap mereka tercatat sebesar Rp549 miliar, namun setelah dilakukan penilaian ulang oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), nilainya melonjak drastis menjadi Rp7,2 triliun—naik sekitar Rp6,7 triliun, atau lebih dari 1.100%.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi restrukturisasi ekuitas menjelang IPO. Tujuannya jelas: meningkatkan nilai ekuitas. Dalam kondisi normal, ekuitas bertambah melalui akumulasi laba ditahan atau penambahan setoran modal oleh Pemegang saham Pengendali (PSP). Namun, karena kedua jalur tersebut belum tersedia atau tidak mencukupi, perusahaan memilih langkah korporasi strategis: revaluasi aset tetap, untuk secara signifikan mendongkrak posisi ekuitas.
Dalam konteks GOLF, langkah ini dapat dipahami. Perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga Cendana ini memiliki aset “jadul” berupa tanah dan properti yang kemungkinan besar nilainya jauh melebihi angka pencatatan awal berdasarkan biaya historis. Revaluasi atas aset-aset tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menentukan besaran dana yang ingin dihimpun dari publik melalui IPO. Semakin tinggi nilai ekuitas, semakin besar ruang bagi perusahaan untuk menetapkan target penghimpunan dana dari investor.
Namun, penting untuk dipahami bahwa restrukturisasi ekuitas yang dilakukan tepat menjelang IPO sering kali menyimpan potensi "window dressing" - , yaitu upaya mempercantik laporan keuangan agar tampak lebih menarik di mata investor publik.
Revaluasi aset semacam ini dapat bersifat opportunistic (dahulu saya menyebutnya transaksi sesak-berak), terutama jika tidak didukung oleh transparansi penuh dan rekam jejak keuangan yang solid. Dalam kondisi seperti ini, investor bisa saja terkecoh oleh tampilan kekayaan yang hanya bersifat di atas kertas, tanpa ada peningkatan nyata dalam kinerja operasional atau likuiditas perusahaan.
Revaluasi aset tetap memang sah menurut prinsip akuntansi dan dapat menjadi strategi yang valid dalam konteks IPO. Namun sebagai investor, kita tidak boleh berhenti pada angka-angka besar yang tampak impresif. Yang jauh lebih penting adalah memahami:
• Apa yang menjadi dasar revaluasi?
• Apakah peningkatan nilai tersebut merefleksikan potensi nyata atau hanya asumsi pasar?
• Apakah langkah tersebut dilakukan dengan niat jangka panjang, atau hanya demi tujuan sesaat?
Pemahaman yang baik terhadap prinsip biaya historis, revaluasi, dan keterbukaan laporan keuangan adalah fondasi penting bagi investor agar tidak mudah terkecoh oleh presentasi yang tampak mengilap tapi kosong secara fundamental.
---------------------------------------------------
$TOTO – Membaca Laporan Persediaan, Jadi Paham Kenapa Biaya Produksi Turun
Dalam laporan keuangan kuartal I tahun 2025, TOTO mencatat laba kotor sebesar Rp157,1 miliar dari penjualan Rp576,9 miliar, menghasilkan margin laba kotor sebesar 27,2%. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan margin laba kotor Q1-2024 yang hanya 21,4%.
Peningkatan margin tersebut secara tidak langsung menunjukkan adanya penurunan biaya pokok produksi (COGS). Jika pada Q1-2024 biaya produksi menyerap sekitar 78,6% dari pendapatan, maka pada Q1-2025 turun menjadi 72,8%. Hal ini sekilas tampak sebagai sinyal efisiensi produksi atau perbaikan struktur biaya.
Namun, ada satu hal yang cukup menarik:
Mengapa nilai persediaan akhir per 31 Maret 2025 masih tinggi (Rp728 miliar), padahal biaya produksi menurun?
Jawabannya Ada di Catatan Laporan Keuangan (CLK 27):
Mari kita lihat Catatan Laporan Keuangan (CLK) No. 27 yang membahas rincian pergerakan barang jadi:
• Q1-2025: Untuk menghasilkan penjualan sebesar Rp576,9 miliar, TOTO menggunakan barang jadi awal senilai Rp280,2 miliar.
• Q1-2024: Untuk penjualan sebesar Rp577,8 miliar, nilai barang jadi awal hanya Rp255,4 miliar.
Artinya, untuk tingkat penjualan yang kurang lebih sama, TOTO lebih banyak mengandalkan barang jadi dari periode sebelumnya pada tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.
Ini Adalah Contoh Nyata Konsep Biaya Historis, Apa yang dimaksud dengan biaya historis?
Dalam akuntansi, biaya historis adalah nilai asal suatu aset ketika pertama kali diperoleh atau diproduksi, dan itu menjadi dasar pencatatan akuntansi, termasuk persediaan.
Dalam konteks TOTO, Barang jadi yang digunakan untuk penjualan Q1-2025 sebenarnya sebagian besar diproduksi pada tahun sebelumnya, dan karenanya pencatatan COGS-nya menggunakan biaya produksi lama (biaya historis), bukan biaya produksi saat ini.
Inilah sebabnya margin laba Q1-2025 bisa naik, bahkan sebelum efisiensi produksi 2025 benar-benar terlihat. Investor mungkin tergoda untuk menyimpulkan bahwa efisiensi telah terjadi, padahal yang digunakan adalah stok lama yang mungkin diproduksi ketika biaya bahan baku lebih murah, atau dalam skala produksi besar.
Lalu, Kenapa Nilai Persediaan Akhir Tidak Turun? Ini pertanyaan lanjutan yang wajar:
“Jika barang lama sudah banyak digunakan, kenapa persediaan akhir masih besar?”
Jawabannya: karena perusahaan mengisi ulang kembali persediaan dengan barang yang diproduksi saat ini. Jadi meskipun stok lama keluar, stok baru masuk—menjaga nilai persediaan di level yang stabil. Namun, nilai ini dicatat dalam angka Rupiah, bukan jumlah unit barang. Karena itu, kita tidak dapat menilai langsung apakah biaya per unit barang baru lebih rendah dari sebelumnya.
Implikasi Bagi Investor, agar dapat menilai apakah benar terjadi efisiensi biaya produksi, investor perlu menunggu hingga:
• Barang yang diproduksi pada 2025 mulai dijual, dan
• COGS mencerminkan biaya produksi terbaru (bukan biaya historis dari 2024).
Dengan kata lain, laporan Q1-2025 memberi sinyal awal, tetapi belum cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa efisiensi produksi benar-benar terjadi. Kualitas laba yang tinggi pada Q1-2025 bisa jadi warisan dari efisiensi masa lalu, bukan hasil kinerja terkini.
Sebagai investor, kita perlu memahami bahwa:
• Laba kotor bisa naik bukan karena biaya sekarang lebih rendah, tetapi karena produk yang dijual berasal dari stok lama dengan biaya historis yang rendah.
• Persediaan bukan hanya soal besar kecilnya nilai, tetapi juga komposisi waktu dan biaya asalnya.
• Manajemen laba kadang dapat terlihat rapi secara angka, tetapi investor cerdas membaca isi di balik angka.
Dengan memahami bagaimana biaya historis bekerja dalam laporan persediaan, investor dapat menjadi lebih kritis dan bijak dalam menilai apakah peningkatan kinerja itu fundamental atau sementara.
-----------------------------
to be continued:
Pendekatan Kedua: Mindset Investor Historical Cost
Menjadi Investor Rasional: Belajar dari Prinsip Biaya Historis
Persediaan: Dari Biaya Historis ke LCM, dan Mengapa Investor Perlu Tahu
Dalam laporan keuangan, persediaan bukan sekadar angka di neraca. Ia mencerminkan strategi bisnis, efisiensi operasional, dan potensi risiko. Prinsip biaya historis dan pendekatan LCM (Lower of Cost or Market) adalah dasar dalam menilai persediaan secara konservatif dan andal.
1. Biaya Historis sebagai Titik Awal
Sesuai PSAK 14, persediaan awalnya dicatat berdasarkan biaya perolehan historis, yaitu seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menyiapkan barang agar siap dijual atau digunakan.
Contoh:
• Sebuah produk dibeli dengan harga Rp 100.000 per unit, maka nilai ini yang dicatat di laporan keuangan, tanpa memperhatikan perubahan harga pasar setelahnya.
2. Ketika Harga Pasar Turun: Prinsip LCM Berlaku
Jika nilai realisasi bersih (net realizable value) suatu barang turun di bawah harga belinya, maka pencatatan harus disesuaikan ke nilai yang lebih rendah. Inilah prinsip LCM: Lower of Cost or Market.
Contoh:
• Biaya beli: Rp 100.000
• Nilai pasar saat ini: Rp 90.000
→ Maka dicatat Rp 90.000, dan selisih Rp 10.000 diakui sebagai rugi penurunan nilai.
Namun jika harga pasar naik, tetap dicatat sebesar biaya historis, bukan harga yang lebih tinggi. Ini adalah wujud prinsip konservatisme: mengakui potensi kerugian, bukan keuntungan yang belum pasti.
3. Risiko Tersembunyi: Persediaan yang Menumpuk
Investor perlu mewaspadai besarnya persediaan yang tercatat di neraca. Di balik angka besar dapat tersembunyi risiko nyata:
• Obsolescence (barang usang): Barang yang terlalu lama disimpan dapat kehilangan nilai karena perubahan tren, teknologi, atau kualitas.
• Penurunan harga pasar: Bila permintaan turun, nilai jual juga dapat jatuh di bawah biaya historis.
• Biaya penyimpanan dan risiko rusak: Semakin besar persediaan, semakin tinggi biaya dan risiko penyusutan nilai.
Dalam akuntansi, jika terjadi penurunan nilai atau barang tidak laku, kerugian harus segera diakui dan dicatat dalam laporan laba rugi.
4. Pencatatan Selisih Nilai
• Jika nilai realisasi bersih < biaya → rugi penurunan nilai persediaan
• Jika nilai realisasi bersih > biaya → tidak diakui sebagai laba, tetap dicatat sebesar biaya historis
5. Metode Penilaian: FIFO, LIFO, dan Rata-rata
PSAK 14 membolehkan metode:
• FIFO (First-In, First-Out): Barang yang masuk pertama diasumsikan dijual pertama → cocok di masa inflasi karena nilai persediaan akhir lebih tinggi.
• Rata-rata tertimbang: Digunakan untuk menghitung biaya unit berdasarkan rata-rata semua pembelian.
• LIFO (Last-In, First-Out): Tidak diperkenankan menurut PSAK, tapi masih digunakan di negara seperti Amerika Serikat.
Pemilihan metode ini berdampak pada:
• Nilai persediaan akhir
• Harga pokok penjualan (HPP)
• Laba kotor
• Pajak terutang
6. Aspek Perpajakan
Dalam sistem perpajakan Indonesia:
• Metode yang diterima adalah FIFO dan rata-rata tertimbang
• Penurunan nilai persediaan dapat diakui sebagai pengurang pajak, selama terdokumentasi dengan benar
• Kenaikan nilai pasar tidak boleh meningkatkan nilai persediaan, sehingga tidak menambah laba kena pajak
7. Mengapa Investor Perlu Memahami Ini?
Investor yang cermat perlu membaca angka persediaan dengan kacamata kritis:
• Apakah jumlah persediaan proporsional dengan pendapatan?
• Apakah ada risiko usangnya barang?
• Bagaimana manajemen menangani slow-moving inventory?
Prinsip biaya historis dan LCM membantu kita tetap rasional dalam menilai aset. Jangan hanya terpesona oleh besar angka persediaan—pastikan angka itu benar-benar mencerminkan nilai yang dapat direalisasikan.
Kesimpulan
Dalam akuntansi, biaya historis menjaga kita tetap berpijak pada data objektif, dan LCM melindungi kita dari overoptimisme. Persediaan dapat menjadi aset yang bernilai, atau jebakan yang membebani laba—tergantung bagaimana dikelola dan dinilai.
Bagi investor, memahami prinsip ini berarti mampu membaca lebih dalam dari sekadar angka, dan mengenali tanda-tanda kesehatan operasional yang tidak selalu terlihat di permukaan.
----------------------------------------
To be continued
studi kasus
Studi Kasus
$GOLF – Revaluasi Aset Menjelang IPO
$TOTO – Membaca Laporan Persediaan, Jadi Paham Kenapa Biaya Produksi Turun
$GOLF
Daily chart.
R 250.
S 218.
Yukkk bantu follow akun ini untuk analisis saham selanjutnya 😉
Random tag: $TLKM $ASII
$GOLF
waktunya cabut, udh cuan bentar lg ngarungin ritel ini, byeee
yg masih hold siap2 aja di banting hahaha
$GOLF
alasan rasional jual golf
-owner bermasalah
-laba kecil
-laporan keuangan manipulatif
-harga gk kmn2 dr IPO