Volume
Avg volume
PT Gajah Tunggal Tbk didirikan pada tahun 1951. Kegiatan usaha utama Perseroan, yaitu menjalankan usaha dalam bidang industri barang-barang karet dan mendirikan pabrik barang-barang karet untuk memproduksi, menjual, memperdagangkan dan mendistribusikan: Ban dalam dan ban luar untuk mobil, sepeda motor, dan kendaraan lainnya; Barang-barang lainnya dari karet; dan Barang-barang lainnya yang terkait dengan bahan baku ban. Produk-produk Perseroan antara lain: GT Radial untuk kategori ban Radial penumpang PCR, SUV, 4x4, dan Pick Up; Giti untuk kategori ban Radial Truck dan Bus (TBR), dan Ban Radial Truck dan Bus Ringan (LTR); Gajah T... Read More
$GJTL ... not bad
1. Masih sustain above MA20 tspi volum blm signifikan
2. Gap down 1035-1055 sudah closing
3. Ujian berikutnya break MA50, bila mampu break MA200 maka fix masuk dalam fase uptrend secara jangka panjang
Disclaimer On
Bukan ajakan buy/sell/hold
#self reminder atas dasar pengalaman, pengamatan dan "riset kecil".
salam cuan, salam silent investor
$BMTR
Gosipnya hasil dividen Akong mau all in ke BMTR loh?🤔🤔😅🤣🤣🤭🤭
Mau avd infonya?🤭🤭🤔😅😅🤣
siap2 ya, ARA berjilid2.🤭🤣😅
$ABMM $GJTL
@gospelsihaloho
Saya gak pernah pelajari tentang $GJTL.
Tapi kalo dari informasi dan data yg di sajikan, sepertinya itu adalah sister company, ato hanya terafiliasi saja.🤔😅
Tidak ada urusan dgn GJTL sbg entitas induk.
Karena gak mungkin kalo ada aset yg terkonsolidasi di lapkeu GJTL tapi TDK di exposed, itu kena fraud.
Auditornya bisa siap2 masuk penjara loh.🤔😅
$BSSR $AADI
$GJTL ini bidang usahanya terkait manufaktur ban dan anak usahanya hanya 2 yang masuk kedalam laporan keuangan konsolidasi. Yang anda sebut 4 PT diatas tidak ada masuk sama sekali kedalam GJTL
Kalau yang anda maksud konglomerasi masuk bagian GT group bisa saja, saya belum cross cek kembali.
$GJTL ....semoga closed gap 1035-1055
Disclaimer On
Bukan ajakan buy/sell/hold
#self reminder atas dasar pengalaman, pengamatan dan "riset kecil".
salam cuan, salam silent investor
Gajah Tunggal: Konglomerat Ban atau Raksasa Tambang yang Tersembunyi?
Sebagai investor ritel dan seorang Geologist yang bekerja di sektor pertambangan, saya cukup kaget waktu pertama kali tahu bahwa Gajah Tunggal ($GJTL) ternyata punya “sayap” bisnis yang jauh lebih dalam dari sekadar ban mobil.
Ya, selama ini publik—termasuk saya dulunya—mengenal Gajah Tunggal sebatas sebagai pabrik ban terbesar di Indonesia. Identitas mereka kuat di otomotif, mulai dari ban motor sampai ban truk. Tapi ternyata, di balik wajah yang publik ini, tersimpan kekuatan besar yang jarang dibahas: pertambangan.
Mungkin ini bukan informasi baru buat para pemain industri tambang, tapi buat saya sebagai investor retail, fakta bahwa Gajah Tunggal punya divisi pertambangan dengan portofolio sebesar ini benar-benar game changer.
Mereka punya Gajah Tunggal Mining Division, dan unit ini menaungi sejumlah nama besar di dunia tambang Indonesia, seperti:
PT Kasongan Bumi Kencana
PT Indo Muro Kencana
PT Pelsart Tambang Kencana
PT Indexim Coalindo
Dan belum lama ini, mereka juga mengakuisisi tambang emas Natarang Mining di Lampung dari Kingrose Mining Limited (ASX: KRM)—perusahaan asal Australia.
Kalau saya bandingkan, holding pertambangan Gajah Tunggal ini sudah bisa disejajarkan dengan nama-nama seperti $ABMM atau bahkan $UNTR. Tapi bedanya, mereka tidak banyak bicara.
Ini yang bikin saya makin penasaran: kenapa mereka nggak buka-bukaan?
Tidak ada expose besar-besaran. Tidak ada presentasi publik tentang rencana ekspansi tambang. Bahkan di laporan tahunan GJTL pun, pembahasan soal pertambangan nyaris nihil. Low profile banget.
Apakah ini strategi untuk menjaga kestabilan? Atau justru karena struktur korporasinya begitu kompleks, sehingga investor ritel pun susah menelusuri jalurnya? Bisa jadi. Tapi bisa juga ini adalah cara mereka melindungi aset tambang dari riuhnya pasar modal dan politik.
Apa pun alasannya, saya pribadi melihat ini sebagai "hidden value" yang menarik. Karena investor publik pada umumnya masih fokus pada fundamental ban-nya—padahal ada sektor lain yang bisa jadi jauh lebih profitable di masa depan, apalagi jika harga komoditas rebound.
Dan menurut saya, mungkin sudah waktunya kita mulai melihat Gajah Tunggal bukan hanya dari permukaan jalan, tapi juga dari kedalaman tanah tempat mereka menambang.
"$ELIT $GJTL $HAJJ
Kamis, 24 April 2025
#Disclaimer On & Do Your Own Research
#Sebaiknya Jangan Gegabah
Lot.Ent = -(MauLossRp)/[(SL - Ent) * 100]"
1/3
Apakah Ada Dampak Trade War pada $GJTL?
Tadi ada salah satu user Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram yang bertanya tentang dampak Trade war ke GJTL. Pertanyaan yang sangat wajar untuk External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Bayangkan kamu pegang saham GJTL. Tahun 2024, semuanya kelihatan baik-baik aja. Perusahaan ini cetak laba Rp1,18 Triliun dari penjualan Rp18,03 Triliun, dengan margin kotor 21,5%. Arus kas operasional juga positif Rp1,84 Triliun, kas cukup tebal, dan tidak ada tanda-tanda krisis. Tapi situasi berubah total di 2025 gara-gara satu hal: tarif dagang Amerika Serikat naik jadi 47% buat produk Indonesia, termasuk ban. Presiden Trump, dalam gaya khasnya, ngasih tarif resiprokal tanpa ampun, dan Indonesia salah satu korban utamanya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Masalahnya, Amerika itu bukan pasar kecil buat GJTL. Dari total revenue Rp18 Triliun, sekitar Rp2,27 Triliun (12,6%) berasal dari ekspor ke AS. Bahkan, piutang usaha dari entitas berelasi terbesar adalah GITI Tire USA, nilainya Rp2,34 Triliun, yang artinya mayoritas arus kas ekspor GJTL benar-benar nyangkut di AS. Belum lagi penjualan ke pihak berelasi lainnya dari luar negeri seperti Kanada dan GITI Tire Global Trading. Jadi waktu AS tiba-tiba kasih tarif 47%, itu bukan sekadar naik ongkos kirim—itu potensi mati suri pasar ekspor GJTL.
Tarif 47% artinya ban yang sebelumnya dijual $50 sekarang jadi $73,5—naik lebih dari 40%. Siapa yang mau beli? Kompetitor dari Thailand atau Vietnam yang tarifnya lebih rendah otomatis menang harga. GJTL nggak punya pabrik di luar negeri, semua produksi masih di Indonesia. Jadi, nggak bisa ngeles, nggak bisa ngirim lewat negara tetangga, semua kena tembak tarif langsung.
Kita coba simulasikan: kalau separuh ekspor ke AS hilang, laba bisa turun jadi Rp950 Miliar, dan kalau semua ekspor AS lenyap? Laba bersih cuma tinggal Rp700 Miliar. EPS yang tadinya 341 bisa jeblok mendekati nol. PER yang awalnya 2,98x tiba-tiba naik ke 5x lebih, bukan karena sahamnya mahal tapi karena labanya anjlok. Yang dulunya murah karena undervalued, bisa berubah jadi murah karena memang susah cari cuan.
Tapi tunggu dulu, ada angin segar kecil dari dua sisi. Pertama, harga karet global lagi turun ke 166,9 sen USD/kg, alias cuma sekitar Rp26.700/kg. Buat GJTL, yang pakai bahan baku karet lokal, ini artinya biaya produksi bisa lebih rendah. Kedua, kurs rupiah juga melemah, dari rata-rata Rp16.200/USD di 2024 jadi Rp16.850/USD di April 2025. Artinya, setiap dolar dari ekspor yang masih bisa jalan nilainya jadi lebih tinggi dalam rupiah.
Sayangnya, dua hal tadi cuma bisa bantu meredam luka, tapi nggak menyembuhkan. Karena intinya, bukan soal margin doang, tapi soal volume. Kalau pembeli AS stop beli, ya ordernya hilang. Nggak peduli semurah apapun karet atau setinggi apapun kurs, kalau nggak ada yang beli ya percuma. GJTL bisa berusaha ganti pasar ke Eropa, India, atau Afrika, tapi nggak bisa instan. Bangun relasi dagang baru itu nggak kayak mindahin barang dari rak A ke rak B di gudang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Valuasi sahamnya sih tetap terlihat "murah". Market cap-nya sekarang Rp3,54 Triliun, jadi PER-nya masih di bawah 3x. PBV pun cuma 0,37x, jauh di bawah 1. Tapi ini seperti beli mobil bekas yang harganya miring karena mesinnya belum tentu bisa dipakai ke luar kota. Jadi “murah” ini bukan jaminan aman, apalagi buat investor yang pengin pertumbuhan.
Intinya, GJTL lagi kena pukulan telak dari sisi ekspor, dan kalau mereka nggak cepat cari cara keluar dari bayang-bayang tarif AS, maka yang dulunya perusahaan ekspor andalan bisa jadi hanya fokus lokal dan hidup pas-pasan dari permintaan domestik. Situasinya mirip orang punya usaha warung di jalan utama yang tiba-tiba ditutup karena proyek MRT—kalau nggak cepat pindah atau rebrand, tinggal tunggu waktu sebelum tutup permanen.
Jadi kalau kamu nanya, "GJTL masih layak dikoleksi?" Jawabannya sekarang bukan cuma soal murah atau mahal, tapi soal mereka bisa pivot atau tidak. Karena kalau tidak, maka valuasi murah itu bukan peluang, tapi cermin dari masalah yang lebih dalam.
Kalau sekilas lihat laporan keuangan GJTL, wajar banget muncul argumen kayak gini: revenue dari Amerika Serikat “cuma” Rp2,27 Triliun atau sekitar 12,6% dari total penjualan mereka yang tembus Rp18 Triliun di tahun 2024. Artinya gak sampai seperdelapan. Terus sekarang tarif AS baru diumumkan, masih ada tenggat 90 hari, jadi dampaknya belum tentu langsung kelihatan di Q1 atau bahkan Q2 2025. Negara lain juga kena tarif. Dan pemerintah pun sedang negosiasi untuk minta tarif diturunkan. Jadi logikanya, buat apa khawatir berlebihan? Bukankah tinggal main efisiensi dan cari pasar baru?
Masalahnya, dunia nyata gak sesimpel itu. Ekspor ke AS itu memang kecil secara persentase, tapi besar dari sisi struktur bisnis dan siapa pembelinya. GJTL ekspor ke GITI Tire USA, entitas distribusi mereka di Amerika, yang nyumbang Rp2,34 Triliun ke piutang usaha—bahkan lebih besar dari nilai ekspornya sendiri. Ini artinya GJTL gak cuma jualan ke AS, tapi beroperasi lewat jaringan supply chain global yang terhubung erat dengan pasar Amerika. Kalau buyer ini terganggu karena tarif 47%, efeknya bisa merambat ke cashflow, rotasi produksi, bahkan utilisasi pabrik.
Terus soal negara lain juga kena tarif, itu memang benar. Tapi peta persaingan gak adil. Negara seperti Mexico dan Kanada bebas tarif karena mereka punya perjanjian perdagangan bebas dengan AS lewat USMCA (pengganti NAFTA). Vietnam juga punya jalur preferensi lewat CPTPP dan hubungan bilateral yang lebih lunak dibanding Indonesia. Thailand dan China memang kena tarif juga, tapi mereka punya keunggulan lain: basis produksi ban mereka jauh lebih besar, logistik lebih efisien, dan sebagian sudah bikin pabrik di luar negeri, termasuk di Meksiko—yang artinya mereka bisa bypass tarif dan tetap masuk ke AS dengan harga kompetitif.
Kalau ngomong soal kompetitor, bukan cuma Vietnam, Thailand, atau China aja. Berdasarkan data 2024, Thailand adalah eksportir ban penumpang terbesar ke AS dengan 42 juta unit, disusul Meksiko (22,9 juta unit) dan Vietnam (15 juta unit). Bahkan India, Jepang, Korea Selatan, hingga Eropa juga ikut rebutan pasar ban di AS. Jadi, GJTL bukan bersaing sama satu-dua negara, tapi dengan puluhan produsen dari berbagai zona ekonomi, dan banyak dari mereka punya akses lebih longgar secara dagang atau punya pabrik di dalam AS.
Soal efisiensi? Ya, bisa bantu. Misalnya sekarang harga karet global sedang rendah di 166,9 sen USD/kg, dan rupiah melemah ke Rp16.850 per USD, artinya biaya bahan baku turun, nilai ekspor rupiah naik. Tapi, efisiensi baru berguna kalau order tetap ada. Kalau permintaan dari AS drop drastis karena ban GJTL jadi terlalu mahal buat buyer Amerika, efisiensi jadi sekadar “menghemat kerugian”, bukan menyelamatkan profit. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Negosiasi pemerintah? Wajar kita berharap hasilnya positif. Tapi jangan lupa, Amerika dalam mode proteksionis. Presiden Trump gak main-main soal tarif. Dan bahkan jika negosiasi berhasil menurunkan tarif dari 47% ke, katakanlah, 25%, tetap aja itu cukup untuk membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan Meksiko yang tarifnya 0%. Jadi ya, menunggu hasil negosiasi tanpa menyiapkan strategi alternatif ibarat menunggu hujan sambil gak bawa payung.
Memang bukan waktunya panik—tapi juga jangan tenang-tenang banget hanya karena angka revenue terlihat kecil. Yang sedang diancam itu bukan cuma penjualan, tapi alur distribusi global GJTL, buyer strategis, dan margin ekspor. Kalau GJTL gagal ganti pasar dengan cepat atau tetap andalkan AS tanpa mitigasi, maka yang terlihat kecil hari ini bisa jadi lubang besar besok pagi.
Kalau kita pakai kacamata jernih, laporan keuangan GJTL tahun 2024 sebenarnya tidak menunjukkan perusahaan yang sedang dalam masalah. Dengan laba bersih Rp1,18 Triliun, revenue Rp18 Triliun, dan arus kas operasional Rp1,84 Triliun, GJTL punya landasan finansial yang kokoh. Tapi kekuatan internal saja tidak cukup kalau tekanan eksternal datang dari arah yang sulit dikendalikan. Dan tekanan itu datang dalam bentuk tarif 47% dari Amerika Serikat, yang langsung mengancam pasar ekspor senilai Rp2,27 Triliun dan mengguncang piutang usaha senilai Rp2,34 Triliun dari GITI Tire USA. Ini bukan sekadar risiko penurunan penjualan, tapi ancaman terhadap struktur arus kas dan utilisasi pabrik.
Dalam posisi ini, manajemen GJTL dihadapkan pada pertanyaan strategis: apakah perlu mendirikan pabrik di luar negeri untuk bypass tarif? Jawabannya tergantung pada satu hal: apakah tarif ini dilihat sebagai siklus jangka pendek atau sebagai bagian dari tren jangka panjang? Kalau manajemen meyakini bahwa tarif hanyalah reaksi sementara dari satu presiden yang akan berlalu, maka efisiensi jangka pendek, relokasi pasar, dan manuver logistik mungkin sudah cukup. Tapi jika tarif dipandang sebagai bagian dari gelombang proteksionisme global yang makin mengeras sejak era 2018—dan bisa bertahan melewati pergantian presiden—maka GJTL perlu mempertimbangkan kehadiran fisik di negara bebas tarif seperti Meksiko atau India. Karena bukan sekadar soal pajak impor, tapi soal eksistensi jangka panjang di pasar global. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Masalahnya, diversifikasi produksi ke luar negeri bukan pekerjaan semalam. Butuh dana, waktu, dan kejelasan strategi. Di sinilah data laporan keuangan membantu: GJTL masih punya ruang manuver. Modal kerja cukup, profitabilitas sehat, dan leverage tidak meledak. Tapi ruang itu tidak bisa dibiarkan kosong. Manajemen perlu mulai dari yang paling realistis: mengurangi ketergantungan pada GITI USA, membuka pasar baru non-AS, dan kalau perlu, mulai proses feasibility untuk pabrik di wilayah netral tarif. Apakah langsung bangun pabrik? Belum tentu. Tapi paling tidak, punya blueprint dan backup plan.
Lalu bagaimana investor sebaiknya memandang situasi ini? Di atas kertas, valuasi GJTL memang terlihat menggiurkan. Harga saham Rp1.015, market cap Rp3,54 Triliun, dengan PER hanya 2,98x dan PBV 0,37x. Tapi angka itu hanyalah snapshot dari masa lalu—laporan keuangan 2024 belum memuat dampak tarif. Pertanyaannya adalah, seberapa besar potensi koreksi laba jika ekspor AS terganggu? Simulasi sederhana menunjukkan bahwa kalau ekspor AS turun separuh, laba bisa turun ke bawah Rp950 Miliar. Kalau hilang semua? Bisa tinggal Rp700 Miliar. Maka PER bisa naik dari 2,98x ke sekitar 5x—masih rendah, tapi tidak se-super-murah seperti yang dibayangkan semula.
Dari sini, investor bisa mulai menyusun kerangka berpikir. Pertama, apakah GJTL mampu mempertahankan atau mengganti volume ekspor AS dengan cepat? Kedua, apakah tarif ini akan jadi permanen, atau justru mereda dalam 1-2 tahun ke depan? Ketiga, apakah perusahaan menunjukkan tanda-tanda adaptif—misalnya melalui kerja sama distribusi baru, ekspansi pasar, atau penyesuaian struktur produksi? Keempat, seberapa jauh harga saham akan merefleksikan risiko itu sebelum laporan keuangan berikutnya keluar? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jawaban dari semua pertanyaan itu akan membentuk pijakan logis untuk mengambil keputusan. Bukan sekadar karena angka PER rendah, atau karena panic sell sesaat. Karena pada akhirnya, investasi bukan soal ikut arus, tapi soal bisa membaca ke mana arus itu bergerak sebelum semua orang menyadarinya. Dan dalam kasus GJTL, arus itu sedang berbelok, pelan tapi pasti. Pertanyaannya: siapa yang bisa belok duluan sebelum jalan lurusnya amblas.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ASII $FORE
1/10
$GJTL Ganti Utang Dollar Jadi Rupiah
Lanjutan dari analisis sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Laba Gajah Tunggal tahun 2024 katanya "terbang", tapi kalau dilihat lebih dalam, yang terbang itu bukan pesawat jet, tapi layangan yang ditarik angin cuan dari pos non-operasional dan manuver keuangan yang kebetulan tepat waktu. Laba bersih naik dari Rp1,17 triliun ke Rp1,19 triliun. Naik sih naik, tapi cuma 1,7%. Itu bukan “terbang”, lebih ke “melayang pelan” sambil digedor biaya bunga dan stagnasi margin. Pendapatan naik 6,2% jadi Rp18 triliun, tapi margin kotor tetap mentok di 21,5%. Jadi kalau cari alasan laba naik, bukan dari penjualan yang melejit atau efisiensi biaya yang dramatis, tapi dari pos lain-lain yang tahun ini bantuin angkat angka. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pos "keuntungan lain-lain" melonjak dari Rp81 miliar ke Rp123 miliar. Lonjakan ini bukan dari hasil jual ban, tapi dari revaluasi aset keuangan dan pendapatan sewa dari relasi. Artinya: satu, ini bukan sumber laba yang bisa diandalkan tiap tahun, dan dua, kalau tahun depan bintang-bintang nggak lagi sejajar, laba bisa nyungsep tanpa banyak peringatan. Jadi, ya, tidak bisa disebut sebagai pertumbuhan operasional yang sehat. Ini lebih ke “cuan numpang lewat”.
Tapi titik balik yang bikin laporan keuangan tahun ini patut dapat kredit adalah keputusan pelunasan obligasi dolar US$175 juta. Obligasi ini diterbitkan 23 Juni 2021 saat kurs dolar sekitar Rp14.400, dengan nilai rupiah waktu itu sebesar Rp2,52 triliun. Di akhir 2024, kurs sudah naik ke Rp16.162, dan pada 10 Januari 2025 saat pelunasan dilakukan, kurs JISDOR sudah mencapai Rp16.217. Kalau manajemen nunggu lebih lama, bisa-bisa pelunasan di kurs Rp16.800 seperti April 2025 sekarang. Artinya, mereka berpotensi hemat lebih dari Rp300 miliar hanya dari timing pelunasan. Langkah ini mungkin tidak revolusioner, tapi sangat masuk akal dan menunjukkan manajemen tidak sedang tidur di belakang kemudi.
Pelunasannya pun tidak pakai kas sendiri, tapi diganti dengan pinjaman sindikasi baru sebesar Rp2,8 triliun dalam rupiah. Suku bunga pinjaman ini IndONIA + 2,23%, dengan tenor 8 tahun. Jadi mereka geser dari utang dolar berbunga tetap 8,95% ke utang rupiah berbunga mengambang. Jelas lebih aman dari risiko kurs, tapi mereka sekarang menghadapi risiko suku bunga. Kalau BI Rate naik, beban bunga ikut naik. Tapi secara struktur, utang ini lebih panjang dan fleksibel. Dan yang paling penting: mereka sekarang nggak lagi harus mikirin dolar yang makin menggila tiap tahun. Secara strategi, ini langkah yang bikin napas keuangan lebih panjang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sisi aset, GJTL kelihatan sedang mempersiapkan sesuatu. Uang muka pembelian mesin melonjak dari Rp456 miliar ke Rp1,08 triliun. Ini sinyal ekspansi kapasitas produksi. Persediaan tetap stagnan di Rp2,73 triliun, artinya belum ada lonjakan produksi yang berjalan. Total aset naik 8,4% ke Rp20,56 triliun, sementara liabilitas naik lebih pelan, 4,5% ke Rp11,1 triliun. Ekuitas naik signifikan 13,2% ke Rp9,46 triliun, didorong oleh laba ditahan. Tidak ada revaluasi properti, tidak ada injeksi modal dari luar. Jadi kenaikan ini memang datang dari hasil operasional dan pengelolaan kas yang lebih baik.
Arus kas operasi juga solid: naik 44% dari Rp1,28 triliun ke Rp1,83 triliun. Angka ini lebih besar dari laba bersih, yang menunjukkan kualitas laba cukup bagus. Tapi tetap harus dicatat: arus kas ini terbantu oleh restitusi pajak sebesar Rp176 miliar. Jadi tidak murni hasil dari bisnis inti. Tapi tetap, kas masuk ya tetap kas masuk, dan ini jadi modal yang bagus buat nutup cicilan pinjaman baru sekaligus bayar dividen Rp174 miliar.
Tapi jangan lupa, GJTL masih berdansa di atas tambang darurat. Piutang dari GITI Group—grup relasi utama mereka—mencapai Rp2,85 triliun atau 83% dari total piutang usaha. Ini seperti semua telur ditaruh di satu keranjang, lalu keranjangnya ditaruh di rak paling atas yang sudah lapuk. Kalau GITI ngadat, GJTL bisa ikut kepleset. Belum lagi ada dealer guarantee sebesar Rp1 triliun, yang artinya kalau distributor mereka kolaps, perusahaan wajib kembalikan dana itu. Dan dengan pinjaman baru berbunga floating, kalau BI Rate loncat ke 7-8%, bunga bisa ikut melonjak ke atas 9% dan bikin margin meleleh. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Segmen usaha paling menguntungkan tetap ban. Kontribusi dari ban ke revenue total hampir 97%, dan segmen ini pula yang menyumbang mayoritas laba operasional. Unit usaha lain seperti tyre cord dan synthetic rubber hanya jadi pelengkap penderita. Dengan komposisi seperti ini, jelas arah GJTL masih akan bergantung pada dunia perbanaan (bukan perbankan). Dan kalau mereka gagal naikkan margin per ban atau ketinggalan tren pasar global, bisa kejebak di model bisnis yang stagnan.
Gajah Tunggal sekarang ada di persimpangan: mereka bisa jadi pemain dominan ban lokal yang efisien dan bebas risiko kurs, atau jadi korban dari ekspansi setengah matang dan bunga mengambang. Langkah lunasi obligasi lebih awal di tengah gejolak kurs jelas jadi highlight. Tapi jalan ke depan tetap penuh jebakan: dari BI rate, kinerja GITI, sampai keberhasilan ekspansi mesin baru. Mereka sedang naik sepeda di jalanan berlubang—kalau konsisten kayuh dan hati-hati milih jalur, masih bisa finish mulus. Tapi kalau lengah dan percaya diri berlebihan, siap-siap ganti ban—dan bukan ban produksi sendiri. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BREN $ADRO
1/2
dia mau buyback, bukan berarti semua uangnya bakal dipakai untuk buyback kawan.
seperti kamu bilang, dia mau jaga harga sahamnya supaya ga jeblok
jadi supaya investor ga panik jualan
simpelnya begitu
#bukanholdercmnp #SMDM $GJTL
$AADI $BREN $GJTL
kemarin saham-saham yang terdampak adalah saham perbankan sifat-sifatnya hanya sementara.
saham favorit ritel siap-siap aja.😅
$GJTL pendapatan naik krn banyaknya mobil china masuk, mengejar TKDN supaya pajaknya turun pakai ban dalam negri, salah satunya ban Gajah tunggal
$GJTL maen saham..itu posisi yg di untungkan itu pemilik perusahaan karena Uda terima duit dari kita bermilyar milyar .tapi di portopolio kita merah saldo berkurang karena harga saham turun terus...judiii itu namanya..ada yg terkem duit kita
$GJTL jadi maen saham itu sama kayak kita maen video game...di video game ..angka level akan berkurang jika kita kalah bertanding..ini sama kayak maen saham...duit ajan hilang jika harga saham terus turun..
$GJTL kita Uda setor duit ..sedangkan perusahaan sudah ambil duit yg kita setor..tapi duit simpanan kita di saham tergerus berkurang karena harga saham turun..di sebutnya judiii....