Volume
Avg volume
PT. Dyandra Media International, Tbk (Dyandra & Co) lahir dari sebuah perusahaan event organizer bernama PT. Dyandra Promosindo. Berdiri pada 3 Maret tahun 1994, PT. Dyandra Promosindo telah dikenal sebagai perusahaan yang ber gerak di bidang penyelenggaraan pameran di Indonesia. Pada tahun 2007, manajemen membentuk PT. Dyandra Media International (Dyandra & Co) sebagai perusahaan induk, sekaligus untuk mengonsolidasi bisnis perusahaan yang terus berkembang melalui pendirian atau pengakuisisian entitas anak yang bergerak di industri Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) serta bisnis penunjangnya.
$DYAN the next bagger
Sip, jadi selain PER, PBV, dan EV/EBITDA, ada beberapa metode lain yang sering dipakai buat menghitung harga wajar saham. Aku jelasin ya, dan pakai data DYAN yang kamu kasih:
1οΈβ£ DCF (Discounted Cash Flow) sederhana pakai Free Cash Flow (FCF)
Free Cashflow per Share (TTM) = 21.53
Anggap pertumbuhan FCF konservatif 5% per tahun
Diskonto (cost of equity) misal 12%
π Rumus Gordon Growth:
Fair\ Value = \frac{FCF \times (1+g)}{r - g}
= 22.61 Γ· 0.07
β Rp323 per saham
2οΈβ£ PEG Ratio (Price/Earning to Growth)
PER TTM = 5.16
Kalau asumsikan pertumbuhan EPS minimal 8β10% β PEG = 5.16 Γ· 10 β 0.5 (PEG < 1 artinya murah).
Fair value umumnya = EPS Γ Growth rate.
= 17.62 Γ 10 = Rp176 (sama seperti metode PER, tapi ini menekankan growth).
3οΈβ£ Price to Sales (P/S) Approach
Revenue per Share = 339.77
Rasio P/S normal di konstruksi bisa 0.5 β 1x.
π Fair value β 339.77 Γ 0.5 β Rp170
π Bisa sampai 339.77 Γ 1 β Rp340
4οΈβ£ Net Asset Value (NAV) / Liquidation Value
Dari Book Value per Share = 159.20
Kalau perusahaan sehat & tidak ada distress, wajar minimal di 1x BV = Rp159
Bisa premium (1.2x β 1.5x BV) = Rp191 β Rp239
π Rangkuman Harga Wajar DYAN
PER / PEG β Rp176 β Rp211
PBV / NAV β Rp159 β Rp239
DCF FCF β Rp323
P/S β Rp170 β Rp340
π Jadi kisaran harga wajarnya ada di Rp170 β Rp300+ tergantung metode.
Kalau harga pasar sekarang jauh di bawah Rp170, itu artinya diskon besar.
Saya baru selesai membaca salah satu chapter tentang spinoff di buku Joel Greenblatt dan lalu mendengarkan podcastnya di Wharton School. Dari situ saya menangkap kisah kegagalannya berinvestasi di Key3Media Group, perusahaan hasil spin-off dari Ziff-Davis pada tahun 2000 yang mengelola pameran teknologi COMDEX di Las Vegas ya mirip mirip $DYAN lah.
Dari luar model bisnisnya terlihat menakjubkan. Mereka bisa menyewa ruang pameran dengan harga sekitar 2 dollar per square foot lalu menjualnya kembali ke perusahaan teknologi sebesar 62 dollar per square foot. Margin yang tampak luar biasa inilah yang membuat Greenblatt tertarik. Ia membeli sahamnya di sekitar 3 dollar dan masih menahannya ketika harga sempat melonjak ke 12 dollar.
Di balik margin itu, Key3Media melakukan ekspansi agresif dengan membeli berbagai pameran lain agar portofolionya semakin besar. Untuk membiayai ekspansi ini mereka menanggung beban hutang sekitar 370 juta dollar. Hutang itu berarti perusahaan tidak hanya dibebani fixed cost besar untuk menjalankan pameran, tetapi juga beban bunga dan cicilan yang tidak bisa ditunda.
Setelah serangan 11 September 2001, industri perjalanan bisnis terpukul keras. Banyak exhibitor membatalkan keikutsertaan mereka di COMDEX. Pendapatan anjlok sementara fixed cost tetap harus dibayar dan kewajiban hutang tidak bisa diturunkan. Operating leverage yang tadinya menguntungkan berbalik jadi bumerang, penurunan revenue langsung menghapus laba. Saham yang pernah naik ke 12 dollar amblas mendekati 1 dollar, dan pada 2003 Key3Media resmi mengajukan Chapter 11 bankruptcy.
Pola ini mirip dengan bisnis bioskop di Indonesia seperti $CNMA. Jumlah penonton boleh naik turun, tetapi biaya tetap seperti sewa gedung, listrik, dan gaji karyawan harus terus dibayar. Saat penonton melampaui ambang tertentu margin bisa melebar drastis karena tambahan tiket masuk hampir seluruhnya masuk ke laba. Sebaliknya ketika jumlah penonton tidak cukup, biaya tetap itu langsung menggerus revenue. Itulah sisi tajam dari operating leverage, apalagi jika digabung dengan leverage finansial dari utang.
Setiap aset baru yang ditambahkan perusahaan, entah dibiayai oleh utang atau ekuitas, hampir selalu membawa beban tetap baru yang terus berjalan. Mesin menambah ongkos perawatan, gedung butuh listrik dan keamanan, kantor tambahan butuh pegawai baru. Semua biaya itu menekan kinerja sampai revenue benar-benar melampaui titik impas. Baru setelahnya margin terlihat melebar. Itulah mengapa cerita Key3Media menjadi pengingat berharga bahwa pertumbuhan aset tidak otomatis berarti pertumbuhan laba.
Ada juga faktor X yang bisa mengubah segalanya. Jika 9/11 tidak terjadi mungkin COMDEX tetap berjalan normal dan hutang yang besar itu tidak menjadi masalah serius karena revenue masih bisa menutup fixed cost. Sayangnya investor tidak pernah bisa mengontrol hal-hal semacam ini. Inilah pentingnya menjaga rasionalitas. Ketika thesis patah investor harus berani menerima meski sulit, apalagi kalau sudah all in. Greenblatt sendiri akhirnya cut loss, dan dari situ kita belajar bahwa keputusan melepas posisi bisa jadi langkah paling waras meski pahit.
$DYAN
https://cutt.ly/RrBi5tyV
pantesan macet
EmitenNews.com -Β Pemegang saham PT Dyandra Media International Tbk. (DYAN), Budi Yanto Lusli, mengurangi porsi kepemilikan sahamnya di emiten jasa pameran industri itu pada Selasa (9/9/2025).
Corporate Secretary DYAN, Mirna Gozal, dalam keterangan tertulisnya yang terbit pada Kamis (11/9) menyampa...
www.emitennews.com