Volume
Avg volume
PT Catur Sentosa Adiprana Tbk didirikan pada bulan Desember 1983. Kegiatan usaha Perseroan terbagi menjadi beberapa segmen yaitu Segmen Distribusi Bahan Bangunan, Segmen Distribusi Kimia, Segmen Distribusi Consumer Goods, Segmen Ritel Moderen Bahan Bangunan & Home Improvement (Mitra10), dan Segmen Ritel Moderen Home Furnishings (Atria). Perseroan telah berkembang menjadi perusahaan publik yang telah memiliki 42 cabang distribusi bahan bangunan, 4 cabang distribusi kimia, 38 area distribusi consumer goods, 39 toko ritel moderen Mitra10 (termasuk tambahan 1 toko baru di Banjarmasin juni 2021) dan 13 showroom ritel moderen Atria... Read More
$ARNA apakah sebagai pemilik saham sudah coba belanja produk $ARNA?
Saya sudah mulai mencoba, ternyata sangat perlu pembenahan di bagian penjualan. Untuk show unit sulit, membeli produk juga sulit.
Selama ini Terlalu mengandalkan $CSAP, hingga mengabaikan hal penting ini.
$ARNA: Laba Anjlok
PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) adalah salah satu pemain lama di industri keramik yang sudah beroperasi sejak 1995. Perusahaan ini berpusat di Jakarta Barat dengan pabrik yang tersebar di Jatiuwung, Tangerang. Fokus bisnisnya adalah produksi ubin keramik untuk pasar menengah ke bawah, dengan strategi efisiensi biaya dan distribusi yang lebih mengandalkan jaringan nasional dibandingkan dengan ekspansi yang ambisius. Sejak IPO pada tahun 2001 dengan harga saham Rp120 per lembar, ARNA terus berkembang dan kini memiliki 7,34 miliar lembar saham yang beredar. Pemegang saham utamanya masih dikuasai oleh Tandean Rustandy dengan 38,63%, disusul oleh PT Suprakreasi Eradinamika dengan 15,02%, sementara investor institusi asing seperti BBH Luxembourg hanya memiliki 5,27%. Sisanya, seperti biasa, dipegang oleh masyarakat dengan porsi kecil yang kalaupun mau jual beli saham ini, dampaknya tidak akan signifikan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sektor manajemen, tidak banyak yang berubah. Komisaris utama masih dijabat oleh Marsetio dengan Edwin Pamimpin Situmorang sebagai wakilnya, dan dua komisaris independen, Karsanto dan Alex Soleman Willem Retraubun, yang mungkin tugasnya lebih banyak memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang benar ketimbang membuat keputusan strategis. Tandean Rustandy masih memimpin sebagai Direktur Utama, didampingi oleh Edy Suyanto dan George Elnadus Supit yang menjabat sebagai Direktur Independen. Dengan komposisi yang relatif stabil ini, ARNA tampaknya memilih jalur konservatif dalam menjalankan bisnisnya. Jumlah karyawan per 2024 tercatat sebanyak 2.108 orang, turun dari 2.132 di tahun sebelumnya. Angka ini kecil, tapi tetap mengindikasikan adanya perampingan atau efisiensi, entah karena otomatisasi atau sekadar tidak memperpanjang kontrak kerja. Gaji dan tunjangan direksi dan komisaris pun turun dari Rp18,17 miliar menjadi Rp17,33 miliar, yang mungkin bisa dianggap sebagai sinyal penghematan, atau bisa juga hanya angka kosmetik yang tidak terlalu berdampak pada keseimbangan keuangan perusahaan.
Kalau melihat laporan keuangan, total aset ARNA mengalami kenaikan tipis menjadi Rp2,66 triliun dari sebelumnya Rp2,62 triliun, naik sekitar 1,56%. Aset lancar justru turun 4,3% menjadi Rp1,51 triliun, terutama karena kas dan setara kas yang menyusut Rp48,8 miliar atau turun 11,1%. Persediaan juga turun tajam sebesar 34,8%, yang bisa berarti dua hal: produk terjual lebih cepat dari yang diproduksi, atau perusahaan memangkas stok untuk mengurangi beban penyimpanan dan risiko penurunan harga. Sementara itu, aset tidak lancar naik 10,4% menjadi Rp1,15 triliun, yang sebagian besar berasal dari kenaikan aset tetap sebesar Rp98,9 miliar. Artinya, ARNA masih aktif berinvestasi dalam peralatan dan fasilitas produksi, yang di atas kertas tentu terlihat baik.
Dari sisi liabilitas, angka totalnya naik menjadi Rp783,8 miliar dari Rp765,5 miliar, atau naik 2,4%. Peningkatan ini terjadi di liabilitas jangka pendek yang naik cukup signifikan, yaitu 10,1% menjadi Rp717,9 miliar, dengan utang usaha ke pihak ketiga meningkat Rp19,1 miliar atau sekitar 6,2%. Di sisi lain, liabilitas jangka panjang justru turun drastis 41,9% menjadi Rp65,8 miliar, yang menandakan adanya pelunasan utang bank jangka panjang. Secara struktur, ini langkah yang logis karena beban bunga akan semakin ringan. Namun, tetap ada pertanyaan apakah penurunan utang ini diimbangi dengan arus kas yang cukup untuk menopang operasional perusahaan.
Ekuitas ARNA juga mengalami kenaikan menjadi Rp1,87 triliun dari Rp1,85 triliun, naik sekitar 1,2%. Retained earnings meningkat 6,5% menjadi Rp1,89 triliun, yang menunjukkan perusahaan masih mampu mencetak laba meskipun tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun, yang lebih menarik adalah agresivitas ARNA dalam membeli kembali sahamnya sendiri. Pembelian saham tresuri meningkat dari Rp49,6 miliar menjadi Rp145,5 miliar. Biasanya, buyback saham dilakukan untuk menjaga harga saham tetap menarik bagi investor, tetapi jika dilakukan dalam jumlah besar tanpa alasan yang jelas, bisa juga dipertanyakan apakah ini memang strategi yang cermat atau hanya sekadar permainan kosmetik di laporan keuangan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pendapatan ARNA tumbuh dari Rp2,44 triliun menjadi Rp2,63 triliun, naik 7,6%. Namun, pertumbuhan ini tidak serta-merta meningkatkan profitabilitas karena laba usaha justru turun 4,0% menjadi Rp549,0 miliar. Laba bersih juga turun 4,3% menjadi Rp429,5 miliar, dengan net profit margin yang turun dari 18,3% menjadi 16,3%. Ini terjadi karena beban pokok penjualan (COGS) naik lebih cepat dari pertumbuhan revenue. COGS melonjak 11,98% menjadi Rp1,73 triliun, terutama karena kenaikan biaya bahan baku dan pabrikasi. Margin laba kotor akhirnya turun menjadi 34,3%, jauh di bawah standar ideal Warren Buffett yang mensyaratkan lebih dari 40%.
Beban operasional pun mengalami kenaikan, dengan total SGA naik 7,6% menjadi Rp366,98 miliar. Yang paling besar adalah pengangkutan dan pengiriman yang naik 14,6%, serta gaji karyawan yang meningkat 14,9%. Yang agak aneh, biaya pemasaran justru turun 41,7%, seolah-olah perusahaan tidak terlalu peduli dengan branding dan lebih memilih mengandalkan jaringan distribusi yang sudah ada. Hasilnya, SGA margin mencapai 40,6%, yang jauh dari angka ideal 30%.
Di sisi arus kas, ada kabar baik karena CFO meningkat drastis 80,5% menjadi Rp620,9 miliar, jauh lebih besar dibanding laba bersih. Ini mengindikasikan bahwa perusahaan mampu mengonversi pendapatannya menjadi kas dengan lebih baik. Namun, arus kas pendanaan negatif Rp475,7 miliar karena pembayaran dividen Rp309,8 miliar dan pembelian saham tresuri Rp95,9 miliar. Kas akhir tahun turun 11,1%, menunjukkan adanya tekanan pada likuiditas.
Dari segi utang, ARNA seharusnya tidak perlu khawatir karena CFO sebesar Rp620,9 miliar lebih dari cukup untuk melunasi total utang berbunga yang hanya Rp155,6 miliar. Bahkan jika perusahaan mau, seluruh utang berbunga bisa dilunasi dalam satu tahun. Namun, kas yang tersedia Rp391,8 miliar masih belum cukup untuk menutup seluruh liabilitas jangka pendek yang mencapai Rp717,9 miliar. Jika manajemen tidak terlalu agresif dalam membayar dividen dan melakukan buyback saham, utang bisa lunas lebih cepat.
Kalau bicara soal pelanggan terbesar ARNA jawabannya sebenarnya sudah bisa ditebak. Dari total pendapatan Rp2,63 triliun, Rp2,22 triliun atau 84,5% berasal dari transaksi dengan pihak berelasi. Dan siapa lagi kalau bukan PT Catur Sentosa Adiprana Tbk ($CSAP) yang jadi rajanya. CSA menyumbang Rp1,82 triliun, atau 69,15% dari total revenue ARNA. Dengan kata lain, ARNA ini ibarat supplier setia yang hampir seluruh hidupnya bergantung pada satu pelanggan utama.
Selain CSA, ada beberapa pelanggan lain yang ikut menyumbang pendapatan, meskipun porsinya jauh lebih kecil. CALS menyumbang Rp224,1 miliar (8,51%), CHS menyumbang Rp111,8 miliar (4,25%), dan CLS menyumbang Rp78,3 miliar (2,98%). Sementara itu, penjualan ke pihak ketiga hanya Rp409,7 miliar atau 15,5% dari total revenue. Ini artinya, hanya segelintir revenue yang benar-benar berasal dari pasar terbuka. Sisanya? Ya, masih dalam lingkaran yang sama.
Ketergantungan seperti ini memang nyamanโselama hubungan bisnis tetap harmonis. Tapi, di sisi lain, ini juga mengandung risiko besar. Kalau suatu hari CSA memutuskan untuk mencari supplier lain atau menegosiasikan harga lebih murah, ARNA bakal langsung kena dampaknya. Jadi, meskipun perusahaan mencatat pertumbuhan revenue yang stabil, pertanyaannya adalah: apakah ini pertumbuhan yang sehat, atau hanya ilusi yang bergantung pada satu pelanggan besar?
Dengan komposisi pelanggan seperti ini, ARNA lebih mirip sebagai "divisi produksi" dari CSA ketimbang perusahaan yang benar-benar berdiri sendiri. Seharusnya, perusahaan dengan valuasi triliunan memiliki diversifikasi pelanggan yang lebih luas, bukan malah terlalu nyaman dalam satu hubungan bisnis yang mendominasi segalanya. Atau mungkin, ARNA sudah cukup puas dengan status quo, dan tidak terlalu tertarik untuk mengambil risiko ekspansi yang sebenarnya bisa membuka peluang lebih besar? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
ARNA punya pabrik di berbagai lokasi strategis di Indonesia, tapi kalau kita lihat lebih dalam, strategis itu bisa berarti banyak hal. Mereka punya fasilitas di Serang, Banten, yang melayani pasar barat Indonesia, lalu ada di Wringin Anom dan Randegan, Jawa Timur, yang jadi pusat produksi di timur, dan satu lagi di Ogan Ilir, Palembang, untuk pasar Sumatera. Kalau sekilas, kelihatannya mereka menyebar produksi dengan cerdas. Tapi kalau kita berpikir sedikit lebih kritis, apakah ini benar-benar soal strategi distribusi atau hanya cara untuk menekan biaya tenaga kerja dan pajak daerah? Bisa saja lokasinya dipilih bukan karena kedekatan dengan pelanggan, tapi karena lebih murah secara operasional.
Kalau kita bicara segmen bisnis, ARNA membaginya menjadi dua: manufaktur dan distribusi. Di atas kertas, ini terlihat bagus, karena ada peran yang jelas. Manufaktur kerja keras bikin ubin, distribusi yang menikmati revenue besar. Tapi begitu masuk ke angka, kita tahu bahwa ini cuma masalah pencatatan. Penjualan eksternal dari manufaktur cuma Rp97,19 miliar, sementara dari distribusi Rp2,53 triliun. Dan jangan lupa, ada transaksi antar segmen Rp2,46 triliun, yang akhirnya dieliminasi karena yaโฆ ARNA jualan ke diri sendiri. Laba usaha dari manufaktur Rp964,14 miliar, dari distribusi cuma Rp20,04 miliar, tapi begitu semua dihitung ulang, laba usaha keseluruhan jadi Rp549,03 miliar. Jadi, pada dasarnya, ARNA ini seperti pabrik yang kerja keras, tapi revenue dikendalikan oleh satu jaringan distribusi yang sudah ditentukan sejak awal.
Secara geografis, ARNA masih sangat bergantung pada pasar Jawa. Penjualan di Jawa mencapai Rp1,39 triliun (52,8%), sementara luar Jawa menyumbang Rp1,24 triliun (47,2%). Kalau kita bicara aset, Jawa Barat punya Rp1,09 triliun, Jawa Timur Rp1,16 triliun, dan Sumatra Selatan Rp406,83 miliar. Dari angka ini, bisa disimpulkan bahwa walaupun luar Jawa lumayan besar, tetap saja pusat bisnis mereka masih di Pulau Jawa. Jadi kalau ada yang berharap ARNA ini punya ekspansi besar ke luar Jawa atau internasional, lebih baik jangan terlalu berharap banyak.
Lalu, bagaimana dengan branding, lisensi, atau royalti? Tidak ada. ARNA bukan perusahaan yang sibuk mendaftarkan hak kekayaan intelektual atau mengembangkan merek sebagai aset yang bisa dimonetisasi. Mereka juga tidak punya skema lisensi dengan pihak ketiga, dan laporan keuangan mereka tidak menunjukkan adanya pembayaran royalti ke siapa pun. Jadi, bisa dibilang, ARNA ini bukan perusahaan yang bergantung pada kekuatan merek, tapi lebih ke strategi produksi massal dengan efisiensi operasional tinggi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
ARNA adalah contoh sempurna dari perusahaan yang bermain aman. Mereka tidak terlalu repot dengan diversifikasi pelanggan karena sudah punya satu distributor utama yang setia. Mereka tidak sibuk dengan branding atau inovasi produk yang memerlukan hak paten, karena toh jualannya tetap laku. Selama jaringan distribusi mereka tetap berjalan seperti sekarang, ARNA mungkin akan tetap nyaman di jalur yang sama tanpa banyak perubahan. Tapi kalau suatu hari CSAP atau pelanggan utama mereka berubah pikiran, bisa jadi ini akan menjadi masalah besar. Untuk saat ini, model bisnis ini masih aman, tapi apakah ini model yang tahan lama? Itu pertanyaan yang masih perlu dicermati.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/3
โ Pertimbangan BI mempertahankan suku bunga 5,75% hari ini untuk fokus pada kebutuhan menstabilkan nilai tukar Rupiah, karena :
1. Ekonomi US masih kuat, disertai inflasi US yang naik lagi.
Ini menimbulkan kemungkinan bahwa Fed hanya akan 1 kali cut rate, dan itupun baru dilakukan pada semester 2 2025.
2. US Treasury Yield masih terus tinggi.
Didorong oleh kemungkinan defisit fiskal pemerintah US yang bakal melebar dari 7,7% pada 2025, menjadi 8,8% pada 2026.
Bahkan kini berkembang wacana menghilangkan debt ceiling.
3. DXY US Dollar Index masih terus kuat.
Kemarin sempat 109 turun menjadi 108 dan kini 107, tapi hari-hari ke depan masih tidak pasti, bisa saja ada kemungkinan naik lagi.
Rupiah pun tertekan dengan kuatnya DXY ini, sehingga BI selalu ada di pasar setiap hari melakukan intervensi baik di spot maupun DNDF agar kurs Rupiah stabil.
4. BI Rate tetap difokuskan untuk mendukung stabilitas ekonomi dalam negeri.
Rendahnya inflasi tetap membuka ruang penurunan suku bunga kedepannya, sembari mendukung pertumbuhan ekonomi.
Namun timing melakukan cut rate harus memperhatikan dinamika global.
Bulan kemarin timing tepat karena BI juga merevisi turun outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun untuk bulan ini belum karena data terakhir masih mendukung proyeksi pertumbuhan ekonomi, disertai mulai bergulirnya program Asta Cita Pemerintah untuk mencapai pertumbuhan tinggi.
Sehingga bulan ini BI fokus ke stabilitas dulu.
5. BI mendukung penuh Asta Cita Pemerintah, sehingga ketika BI bulan ini harus menahan BI Rate demi menjaga stabilitas kurs Rupiah.
Maka di sisi lain BI mendukung dengan peningkatan insentif likuiditas makroprudensial yang semula 4% dari dana pihak ketiga, menjadi 5%.
Dengan demikian aktivitas sektor riil diharapkan meningkat, demand kredit meningkat, penyaluran kredit perbankan pun meningkat, sehingga bank akan memperoleh insentif likuiditas.
6. BI fokus mendukung Asta Cita Pemerintah di dua sektor utama yaitu Perumahan dan Pertanian.
Insentif likuiditas makroprudensial akan diarahkan ke dua sektor itu, dan BI akan terus bersinergi dengan kementerian lembaga terkait.
Dua sektor ini dinilai BI adalah yang paling banyak turunan dan luas dampaknya bagi ekonomi.
Sehingga peningkatan demand dan penyaluran kredit perbankan ke sektor ini diharapkan paling memberi dampak ke pertumbuhan ekonomi.
https://cutt.ly/drwYk5NC
$SMGR $INTP $CSAP
News Update
๐ IHSG Sesi I ditutup menguat 0,44% ke level 7,202.
๐ KJSB terancam di Blacklist jika terbukti cacat dalam pengukuran sertifikat HGB Pagar laut.
๐ Untuk kurangi ketergantungan impor, Pupuk Kaltim siap bangun pabrik soda ash di RI.
๐ $CSAP dirikan anak usaha berkepemilikan 80% bernama PT Kairos Indah Sejahtera.
๐ Saham Saraswanti Makmur $SAMF terbang 24,85% usai gelar Stock Split rasio 1:2.
๐ RUPSLB OKAS angkat Gian Putra Wirjawan sebagai Direktur Perseroan.
๐ Hady Kuswanto menambah 1.181.300 lembar saham $UVCR di harga Rp55 - Rp58.
๐ RUNS akan mendirikan anak usaha baru bernama PT Mahuta Global Teknologi.
Do Your Own Research Silahkan (Diriset Kembali)
#Yang Terbaik Jangan Gegabah
#Terima Kasih Koreksinya Yah Kak Yah๐
#Tidak Menerima Debat
#Unsur Sara, Scam, Dan Unsur Hate ,Block Permanen Yah Kak Yah ๐ซโ ๏ธ๐คญ
Tag :
$AMAG $CSAP
1/10
PT Catur Sentosa Adiprana Tbk $CSAP kembali meluncurkan gerai ritel terbarunya sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk memperluas jangkauan di tahun 2024.
Gerai Mitra10 yang ke-55 resmi dibuka di Madiun, Jawa Timur. Dengan pembukaan ini, total gerai baru yang telah dibuka oleh perusahaan mencapai tujuh, dari target penambahan sebanyak delapan gerai sepanjang tahun 2024.
https://cutt.ly/feZoBCcY
$ACES $MAPA
Iseng pantau Performansi $MICE โ
โ
termasuk Q1 Q2 2022 - 2024 versi ROE dan ROA, Prospektus dan kondisi harga terakhir.
$CSAP , $STAR , $KONI $HRTA
Net Profit Q4 2024 hanya perkiraan, menunggu LKnya rilis
@wilona
Website emiten : https://cutt.ly/zeHDlajs
Public Expose 2012 https://cutt.ly/VeHDlaXt
LK Q3 2024 https://cutt.ly/OeHDlpT8
File xls, https://cutt.ly/YeHDlp2m ulasan terbaru ada di sub sheet "Emiten ver. 1.1"
$CSAP iris tipis2. sore turun lagi. katamya sdh nambah cabang n akan nambah lagi.. ga ada efek ke bursa saham ny ini?
$CSAP https://cutt.ly/AeDl8UTp
Sejak kapan $CSAP buka mal? Baru tau wkwk
$ARNA $DEPO $KKES
$BLES
Investment Merits :
- Potensi pertumbuhan sales dengan CAGR >20% dalam 3 tahun ke depan sehubungan dengan pembangunan pabrik ke 5 di Banjarnegara.
- Penguasa marketshare bata ringan AAC dan potensi pemakaian bata ringan yang masih besar.
- Operating cashflow yang kuat + penggunaan leverage yang cermat.
Profil Perusahaan :
Superior Prima Sukses (BLES) berdiri pada tahun 2011 sebagai perusahaan manufaktur bata ringan. Pabrik pertama di Mojokerto mulai beroperasi pada tahun 2013. BLES memiliki 2 merk utama bata ringan, yaitu Blesscon dan Superior Block. Sekarang BLES menjelma menjadi produsen bata ringan terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi tahun 2023 mencapai 3,2 juta m3 per tahun. Saat ini, BLES memiliki 4 pabrik dengan 5 lini produksi yang masing-masing berlokasi di Mojokerto, Sragen, Lamongan dan Sidoarjo. Ke depan, pabrik ke 5 di Banjarnegara diproyeksikan beroperasi mulai Q2 2025.
Manajemen dan Owner :
Dermawan Suparsono menjadi PSP sekaligus menjabat sebagai komisaris utama. Yang terkenal tentu saja terdapat nama Tancorp sebagai minority shareholder dengan kepemilikan saham 9,5%. Tancorp baru masuk di akhir tahun 2023 dan saya rasa mampu memberi keuntungan bagi BLES lewat keterkaitannya dengan supermarket bangunan yaitu $DEPO. Di sisi lain, komitmen bagus dari majority shareholder terlihat lewat konversi kapitalisasi saldo laba menjadi modal disetor yang memperkuat struktur modal perusahaan pada tahun 2023. Saya pribadi menganggap BLES sebenarnya tidak terlalu butuh IPO. Perusahaan sudah kuat dengan bisnisnya yang berjalan lancar. Masuknya Tancorp saya duga sebagai sinyal bahwa ini strategic IPO.
Highlights :
1) Pertumbuhan massif dengan dibangunnya pabrik ke 5 di Banjarnegara dengan kapasitas produksi sebesar 1 juta m3 per tahun. Kapasitas terpasang BLES untuk tahun 2024 sebesar 4,6 juta m3 per tahun. Pada tahun 2025 nanti, kapasitas produksi menjadi 5,6 juta m3. Dari pabrik eksisting saja, utilisasi Pabrik Sidoarjo tahun lalu masih 39%. Sedangkan peningkatan kapasitas di pabrik Mojokerto dan Lamongan bakal berdampak pada semester kedua tahun ini. Lokasi pabrik strategis untuk mengakses potensi pasar di berbagai daerah serta dekat dengan lokasi bahan baku.
2) Outlook industri properti yang positif. Rencana penghapusan pajak properti 16% memberi angin segar bagi industri yang turut memberikan potensi pertumbuhan bagi BLES. Penggunaan bata ringan di daerah Jabodetabek sudah lumrah (75%:25% bata merah), sedangkan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur masih 50%:50%. Masih terdapat ruang pertumbuhan yang seksi bagi produsen bata ringan. Lokasi pabrik BLES di kedua provinsi memberikan keunggulan untuk distribusi massif dan biaya produksi yang lebih murah.
3) Distributor produk memiliki reputasi dan jaringan yang kuat, antara lain RIMA grup (distributor Semen Tiga Roda di Jawa Timur) dan $CSAP.
4) Dana IPO yang didapat hanya sebesar Rp 240 M, dimana Rp 100 M digunakan untuk pembelian kendaraan untuk distribusi. Sisanya untuk modal kerja. Jika kita lihat LK Q2 2024, capex untuk membangun pabrik ke 5 di Banjarnegara sekitar Rp 259 M, dimana 70% berasal dari kas perusahaan. Seperti yang saya bilang di awal, BLES tidak butuh IPO sebenarnya.
Performa Keuangan :
1) Hal pertama yang menjadi perhatian saya adalah Operating Cashflow yang kuat (sekitar Rp 200 M) berbanding dengan core profit yang berkisar Rp 100an Milyar. CCC negatif, wow. Bisnis yang bagus sekali. Tanpa membangun pabrik, jika hanya menambah kapasitas produksi saja, capex yang dibutuhkan di bawah Rp 100 M. Kapan lagi anda mendapatkan yang seperti ini?
2) Secara umum GPM perusahaan sebesar 30% dengan NPM sekitar 10%. Yang perlu diperhatikan adalah beban pengiriman yang berkontribusi lebih dari 60% terhadap beban penjualan mengingat penanganan khusus terhadap pengiriman produk.
3) Sales pada tahun 2021 hanya Rp 720 M, dan tahun 2023 sudah hampir double menjadi Rp 1,3 T. Dengan asumsi utilisasi pabrik baru optimal pada tahun kedua operasi tanpa penambahan kapasitas lagi, saya rasa sales tahun 2023 bakal double pada tahun 2026. Hasil LK Q2 2024, pertumbuhan sales dan bottom line YoY yang tipis akibat dari kurang maksimalnya output produksi dari pabrik Mojokerto dan Lamongan sebagai efek dari pengerjaan upgrading capacity. GPM naik namun diimbangi dengan kenaikan beban penjualan.
4) LK Q2 terakhir, balance sheet perusahaan saya rasa masih sangat bagus. Utang bank jangka pendek meningkat menjadi Rp 44 M, jelas untuk capex pembangunan pabrik ke 5. Melihat cashflow yang kuat + potensi growth, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan sebelum IPO perusahaan masih bisa membagi dividen tunai sebesar Rp 29,7 M saja. Bagi saya wajar PSP menikmati sebagian kecil cuannya.
Valuasi :
BLES IPO di harga 183. EPS 2023 = 32,1 sehingga PE saat IPO adalah 5,7x. Namun jika kita keluarkan komponen revaluasi aset maka core EPS BLES = 16,9 sehingga PE sebenarnya saat IPO adalah 10,8x. Valuasi yg normal untuk sektor basic material.
Dalam 3 tahun ke depan saya asumsikan sales BLES double dari tahun 2023.
Dengan asumsi NPM yang sama, maka EPS 2026 = 34
Anggap valuasi PE 10x saja, fair value di 340.
Saya sendiri berharap harga sekarang masih bisa turun lagi yaโฆโฆ