Volume
Avg volume
Allo Bank Indonesia Tbk. merupakan Bank yang memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi para nasabahnya melalui produk dan jasa layanan yang tepat dan didukung oleh jaringan kantor yang tersebar di hampir seluruh Indonesia. Bank BHI berdiri di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1993, dan telah memiliki 16 Kantor Cabang 2 Kantor Kas yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Bank Digital Growth: $ARTO vs $BBYB vs $BBHI
Request salah satu member Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau kita dudukkan tiga bank digital—ARTO, BBYB, dan BBHI—dalam satu meja rapat, yang muncul bukan trio seragam, tapi tiga gaya hidup keuangan yang beda jalur. ARTO, alias Bank Jago, tampil sebagai si agresif yang ngegas ekspansi. Pendapatan bunga dan syariahnya tembus Rp 788,8 Miliar (+80,7 % YoY) dan net interest income-nya naik ke Rp 591,5 Miliar (+71,5 %). Tapi jangan buru-buru salut, karena NIM-nya justru turun ke 78,4 % akibat lonjakan beban bunga deposito berjangka yang melonjak 2,6× jadi Rp 143,8 Miliar—74 % dari total beban bunga. Kredit memang naik 14,4 % QoQ ke Rp 20,26 Triliun dan dana murah (CASA) juga naik 15,1 % ke Rp 11,51 Triliun (porsi 54 %), tapi CKPN-nya meledak 4,2× ke Rp 224 Miliar, credit cost 1,1 %, dan Stage 3 loan jadi 2,3 %. Laba bersih naik 177 % ke Rp 60,3 Miliar, tapi kalau dikupas, setengahnya dari durian runtuh: gain derivatif Rp 8,5 Miliar dan kredit pajak Rp 17 Miliar. Jadi core profit-nya cuma sekitar Rp 34 Miliar atau net margin 3,8 %. Kesimpulannya tumbuh, tapi masih sensitif terhadap bunga mahal dan kredit bermasalah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Berbeda lagi dengan BBYB yang muncul sebagai si headline-grabber. Laba bersihnya naik gila-gilaan dari Rp 14,23 Miliar ke Rp 159,95 Miliar (+1.023 %), tapi bukan karena mesin utama. Net interest income malah turun 20,2 % YoY ke Rp 617,23 Miliar, dan pendapatan non-bunga pun susut. Lonjakan laba didorong CKPN yang ditekan 46,5 % ke Rp 351,85 Miliar, dan biaya operasional dipangkas 38,8 %, bikin CIR membaik dari 113,6 % jadi 77,9 %. Tapi kredit turun 3,1 % QoQ ke Rp 8,50 Triliun, sedangkan DPK naik 4,8 % ke Rp 13,70 Triliun, bikin LDR jatuh ke 58 %—alias duit nganggur numpuk di BI dengan yield tipis. Sumber bunga masih dominan dari kredit digital (86 %), tapi 82 % biaya bunga datang dari deposito mahal. Dengan CKPN terhadap kredit tinggal 6,7 % dan ekuitas ditahan defisit Rp 2,14 Triliun, keperkasaan laba ini bisa luntur kapan aja kalau efisiensi mentok atau risiko kredit kembali naik.
Sementara itu, BBHI alias Allo Bank kelihatan paling stabil dari sisi core. Pendapatan bunga naik 17,1 % YoY ke Rp 401,2 Miliar dan NII naik 18,6 % ke Rp 312,1 Miliar. Tapi sisi uniknya: denda keterlambatan dan biaya administrasi yang meroket 146 % jadi Rp 71,8 Miliar, menyumbang 20 % dari pendapatan. CKPN naik 703 % ke Rp 53,7 Miliar karena Stage 2/3 loan naik, dan kredit menyusut 7,3 % ke Rp 6,95 Triliun. BBHI mengalihkan portofolionya ke SUN, yang naik 78 % ke Rp 5,08 Triliun. Laba bersih hanya naik tipis 0,9 % ke Rp 112,5 Miliar, tapi CAR tebal banget (>85 %) dan CKPN/NPL coverage 117 % jadi tameng kuat. Tabungan turun 19 %, dan ketergantungan ke denda bikin margin agak “instan”. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau dibenturkan, ARTO unggul dari sisi skala aset (Rp 32,46 Triliun) dan ekspansi kredit, tapi mulai kewalahan nahan cost of fund dan lonjakan CKPN. BBYB tampil paling “wah” dari sisi angka laba, tapi kalau kita buka bungkusnya, isinya belum kokoh: kredit menurun, NII menciut, dan cadangan mulai tipis. Sementara BBHI paling kalem tapi stabil: core NII tetap naik, cost of fund rendah (rata-rata deposito 6,1 %), dan modal sangat tebal. Tapi jangan tutup mata—margin mereka dipoles penalti nasabah, yang sifatnya musiman.
Intinya, tiga-tiganya pakai baju bank digital, tapi dapurnya beda rasa. ARTO masih fokus membangun ekosistem sambil belajar mengelola risiko. BBYB lebih mirip bank yang ngirit CKPN demi laba cepat, dan BBHI seperti bank konservatif yang pasang tameng modal tinggi sambil ambil cuan dari penalti. Sampai Q1 2025, belum ada yang bisa dibilang punya mesin uang digital yang matang. Semuanya masih belajar—dan belum tentu lulus ujian pasar modal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau ditanya apakah laba ARTO, BBYB, dan BBHI itu sustainable, jawabannya: belum tentu—dan masing-masing punya alasan berbeda kenapa laba mereka masih rentan.
ARTO kelihatan tumbuh sehat dari sisi revenue dan ekspansi kredit, tapi setengah dari laba bersihnya justru datang dari item non-operasional: gain derivatif Rp 8,5 Miliar dan kredit pajak Rp 17 Miliar. Kalau dua komponen ini dihilangkan, core profit tinggal Rp 34 Miliar, alias margin bersih cuma 3,8 %. Ditambah CKPN yang naik 4,2×, artinya kualitas asetnya mulai goyah. Jadi, kalau cost of fund makin mahal atau kredit makin bermasalah, labanya bisa langsung terkikis. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
BBYB malah lebih ekstrem: laba naik 10× tapi karena CKPN dipangkas dan biaya ditekan, bukan karena pendapatan utama naik. Net interest income justru turun 20,2 % YoY. Kredit malah turun, dana nganggur numpuk di BI, dan retained earnings masih defisit Rp 2,14 Triliun. Artinya? Begitu efisiensi mentok atau CKPN naik lagi, laba bisa langsung anjlok. Ini lebih mirip napas buatan daripada mesin laba.
BBHI terlihat paling "netral": core income masih naik, NII tumbuh, dan modal sangat kuat (CAR > 85 %). Tapi margin dibantu oleh denda keterlambatan dan pendapatan administrasi yang naik 146 %. Ini bukan sumber laba berulang yang bisa diandalkan terus. Kredit justru turun dan portofolio SUN digenjot, artinya mereka main aman, bukan ekspansi. Jadi, kalau denda berkurang dan biaya dana naik, marginnya bisa kepepet juga.
Belum ada yang punya laba benar-benar sustainable. ARTO masih tergantung durian runtuh dan belajar kelola risiko, BBYB ngandelin potong biaya dan CKPN, sementara BBHI jaga margin lewat sumber pendapatan yang musiman. Ketiganya masih dalam tahap pencarian model profit digital yang bisa jalan sendiri tanpa tongkat penyangga. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Supaya laba bank digital bisa dibilang sustainable, kuncinya bukan cuma cetak untung besar sesaat, tapi mampu menghasilkan profit yang stabil dari core bisnis—tanpa bantuan “durian runtuh” seperti potongan CKPN, kredit pajak, atau denda keterlambatan. Artinya, net interest income (NII) harus tumbuh secara konsisten, disokong oleh pertumbuhan kredit yang sehat, kualitas aset yang terkendali, dan biaya dana (cost of fund) yang efisien. Misalnya, NII ARTO yang naik 71,5 % ke Rp 591,5 Miliar itu bagus, tapi kalau sebagian besar dimakan bunga deposito berjangka (yang tembus Rp 143,8 Miliar dan menyumbang 74 % beban bunga), ya margin bisa gampang keiris. Jadi, untuk jangka panjang, ARTO harus bisa ngebalance antara ekspansi kredit dengan kualitas peminjam yang gak nyusahin dan tetap dorong dana murah (CASA), bukan terus-terusan andelin deposito mahal.
BBYB juga harusnya mulai geser dari strategi “hemat cadangan” ke fokus nambah kualitas dan volume pinjaman. Dengan kredit malah turun 3,1 % QoQ dan NII jeblok 20,2 %, kondisi ini jelas nggak bisa jadi pondasi laba yang kokoh. Apalagi 82 % biaya bunga BBYB masih datang dari deposito berjangka—kalau cost of fund makin mahal, margin makin tipis. LDR yang cuma 58 % bikin bank ini kayak punya banyak uang, tapi gak berani ngasih pinjaman. Satu-satunya jalan: dorong kredit yang produktif dan aman, dan bikin struktur pendanaan lebih murah—biar gak hidup dari menekan cadangan dan ongkos operasional terus.
Sementara BBHI, meski kelihatan lebih stabil, tetap harus waspada. Mereka memang punya CAR tebal >85 %, modal super kuat, dan NII tumbuh 18,6 %. Tapi 20 % dari pendapatan datang dari denda dan biaya admin yang sifatnya gak bisa diandalkan terus. Kredit juga turun 7,3 % dan dana murah malah menyusut. Kalau mau sustain, BBHI mesti pelan-pelan geser sumber margin dari denda musiman ke ekspansi kredit sehat yang bisa jaga yield tetap tinggi. Selain itu, strategi menumpuk SUN memang aman dari sisi risiko, tapi bukan mesin laba jangka panjang—yield-nya tipis dan gak kasih leverage pertumbuhan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Intinya, supaya laba bank digital berkelanjutan, mereka harus: satu, dorong pertumbuhan kredit yang sehat dan produktif; dua, jaga NIM tetap stabil lewat dana murah dan efisiensi beban bunga; tiga, kelola risiko kredit supaya CKPN gak meledak tiap kuartal; dan empat, jangan terlalu tergantung pada item pendapatan non-inti. Kalau empat hal itu bisa jalan bareng, baru bisa dibilang bank digitalnya nemu mesin uang beneran—bukan sekadar numpang lewat di papan top gainer.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/8
$BBHI vs $BBYB: Katanya Sesama Bank Digital
Request salah satu member user Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Di tengah hingar-bingar tren "bank digital" yang katanya revolusioner, dua nama ini sering jadi bahan diskusi: BBHI (Allo Bank) dan BBYB (Bank Neo Commerce). Keduanya sama-sama tampil dengan branding kekinian, aplikasi yang serba digital, dan jargon-jargon modern yang bisa bikin investor ritel ngiler. Tapi begitu laporan keuangan Q1 2025 mereka dikupas lapis demi lapis, ceritanya jauh dari sesimpel “bank digital = masa depan”. Karena ternyata, yang satu untung dari menebar penalti, dan yang satu lagi untung dari nggak nyisihin cukup cadangan buat kredit macet. Siapa bilang digital selalu efisien dan berkelanjutan? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kita mulai dari BBYB. Mereka dengan bangga mengumumkan lonjakan laba bersih dari Rp14,23 miliar menjadi Rp159,95 miliar—alias naik 1.023%. Keliatannya sih luar biasa. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, pendapatan utamanya justru menurun. Net interest income (NII) turun 20,2% YoY jadi Rp617,23 miliar. Pendapatan operasional lain juga jeblok 34,4% ke Rp104,22 miliar. Total pendapatan operasional mereka hanya Rp721,45 miliar. Jadi, kalau pendapatan turun tapi laba bersih naik 10 kali lipat, maka jelas ada yang harus diperiksa di sisi biaya. Ternyata benar, BBYB menghemat besar-besaran: CKPN turun 46,5% dari Rp656,97 miliar ke Rp351,85 miliar, dan biaya operasional ditekan habis-habisan—G&A expense turun 29% ke Rp108,27 miliar, biaya pemasaran anjlok 42% ke Rp10,14 miliar, dan total biaya operasional turun 38,8% jadi Rp561,81 miliar. Maka tak heran cost-to-income ratio membaik drastis dari 113,6% ke 77,9%.
Tapi efisiensi ini ada biayanya. CKPN terhadap kredit turun dari 7,2% jadi 6,7%, artinya bantalan pengaman untuk kredit bermasalah makin tipis. Belum lagi, kredit bruto BBYB malah turun 3,1% QoQ ke Rp8,5 triliun, sementara DPK naik 4,8% ke Rp13,7 triliun. Artinya uang makin banyak tapi nggak disalurkan, hanya diparkir di penempatan likuid. Ini bikin kas dan setara kas naik 91% ke Rp2,9 triliun, tapi yield makin tipis karena penempatan di BI jelas nggak bisa kasih bunga setinggi kredit. LDR jeblok ke 58%—indikasi BBYB lebih mirip bank penitipan uang daripada lembaga penyalur dana produktif. Sumber bunga masih 86% dari kredit digital retail, dan beban bunga masih 82% dari deposito berjangka. Nggak heran margin mereka makin sesak nafas. Jadi, “bank digital” ini sejatinya belum mencetak uang dari digitalisasi, tapi dari menekan biaya dan melepas bantalan kredit. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sekarang kita lihat BBHI. Di kuartal yang sama, BBHI mencetak laba bersih Rp112,5 miliar, naik tipis 0,9% dari tahun lalu. Tapi bedanya, sumber labanya masih dominan dari core operation: pendapatan bunga naik 17,1% jadi Rp401,2 miliar, NII naik 18,6% jadi Rp312,1 miliar dan menyumbang 80% dari pendapatan operasional. Namun motor kedua mereka adalah pendapatan denda dan biaya administrasi yang meroket 146% jadi Rp71,8 miliar. Total other operating income naik 124% jadi Rp78,4 miliar—kontribusinya ke pendapatan operasional 20%. Jadi, BBHI ini untung bukan karena nasabah makin banyak, tapi karena nasabah telat bayar. Ironisnya, kalau kualitas kredit makin bagus, denda ini bakal otomatis turun. Ini bukan recurring income yang sustainable, tapi “bonus” dari ketidakpatuhan nasabah.
Namun, BBHI juga mulai keteteran. Beban pegawai naik 17% ke Rp48,3 miliar dan G&A naik 36% ke Rp142,5 miliar. Total biaya operasional non-bunga naik 31%, menyerap 61% dari pendapatan kotor. Yang lebih mengkhawatirkan: CKPN mereka melonjak 703% ke Rp53,7 miliar karena kenaikan loan stage 2 dan 3—indikasi kredit bermasalah mulai merayap naik. Kredit bruto turun 7,3% jadi Rp6,95 triliun dan penempatan di BI turun 80%. Tapi mereka hampir menggandakan portofolio surat berharganya dari Rp2,85 triliun jadi Rp5,08 triliun, artinya mereka memilih "kupon aman" dari SUN ketimbang repot ngurus debitur baru. Strategi defensif ini masuk akal saat risiko kredit mulai tinggi. Total aset BBHI juga menyusut 5,1% jadi Rp13,26 triliun, dan tabungan turun 19% ke Rp4,95 triliun, tapi likuiditas masih aman karena cadangan SUN tetap kuat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Soal fundamental, BBHI masih relatif kuat: coverage CKPN terhadap NPL di kisaran 117%, dan CAR lebih dari 85%—artinya bantalan modal tebal. Core profit (NII + fee) masih menyumbang ±83% dari laba operasional. Tapi tetap, lonjakan laba didorong oleh pos non-core yang oportunistik—pendapatan denda. Dan kalau nasabah makin patuh, ya pendapatan ini bisa hilang seperti insentif ojol yang dulu pernah ada tapi sekarang tinggal kenangan. Sementara itu, provisi yang naik menandakan kualitas kredit mulai goyah. Kalau nggak cepat dibalik, BBHI bisa kejebak di zona stagnan.
Singkatnya, BBYB dan BBHI sama-sama pakai label "bank digital", tapi satu pakai strategi “hemat cadangan dan buang biaya” untuk bikin laba kinclong, dan satu lagi “tebar denda dan parkir di SUN” buat jaga margin. Keduanya sama-sama belum bisa menunjukkan pertumbuhan yang benar-benar datang dari perluasan bisnis digital yang sehat dan berkelanjutan. Dan kalau tren kualitas aset terus memburuk, jangan kaget kalau di kuartal berikutnya kita nggak lagi bahas “kenaikan laba”, tapi “kenapa labanya hilang”. Karena digital boleh canggih, tapi kalau isinya cuma potong biaya dan tebar penalti, ya itu bukan masa depan perbankan—itu cuma akrobat keuangan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10
$BBHI corporate action buyback malah digiring turun. akankah kembali ke modalnya $BUKA 400 karena CT gak rela kasih untung ke buka ?
$BUKA tinggal tunggu tanggal mainnya aja ini. Sudah ada pemasukan deviden dari $BBHI. Sebentar lagi akan di driver oleh $EMTK.
#optimis200%
. Sejumlah bank digital belum mengubah suku bunga depositonya di bulan April tahun ini. Alasannya, belum ada ruang untuk menurunkan bunga deposito. Apalagi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) tetap bertahan di level 5,75% bulan ini. PT Allo Bank Indonesia Tbk misalnya. Bank berkode saham BBH...
kontan.co.id
$BBHI setelah cum date orang tidak buang barang, harga masih bertahan padahal biasanya langsung anjlok karena buang barang. ada apakah gerangan ?
@petruswi ini mengapresiasi $BBHI akhirnya bisa bagi dividen. Berbeda dengan $ARTO karena saldo labanya belum memungkinkan bagi dividen.
POST CUAN TGL 14 APR 2025
$BNGA $BRMS $BBHI
BNGA TP KECEPETAN PADAHAL BSOK TGL 16 SAHAMNYA NAIK TAPI GPP HARUS TTP BERSYUKUR..KDNG2 KITA NAHAN2 MALA TURUN LG MALA GA CUAN
😊🤘
🤣🤣🤣
suatu ketika tengkulak $WIFI membeli barang d 1600 secara masif dan menebar issue musim paceklik "Right Issue" dn harga2 akan naik yg akan melanda bulan mei juni, seketika itu juga harga naik, pedagang kecil pun termakan bujuk rayu tengkulak untuk membeli barangnya di 2000-2400,
Pelajaran di $BBHI: rasain aja sndiri baru komen.... 🤣🤣🤣 pasti banyak tengkulak posting group tradernya buat join rugi bareng... 🤦🤦🤭🤭🤭
$BNGA yang sebelumnya bernama LIPPO BANK Milik Bpk M. Riady ternyata masih Eksis sampai sekarang
Bahkan Lo Kheng Hong pegang saham Bank CIMB Niaga ini artinya perusahaan perbankan ini masih Worth it untuk di beli sebelum EX Date
$BBHI minggir dulu gw lebih suka bank milik $MLPL
$BBHI punya paylaternya, adminnya 1 bulan saja 9% ngeriii..kalo ga bagi deviden keterlaluan ini rentenir🤣