Volume
Avg volume
'PT Arwana Citramulia Tbk adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang industri keramik dengan Standar Nasional Indonesia.Arwana memiliki lima pabrik yang terletak di lima lokasi berbeda. Plant I dan Plant II masing-masing berlokasi di Tangerang, dan Serang,Sementara Plant III dan Plant V yang masing masing berlokasi di Gresik dan Mojokerto, Adapun Plant IV yang terletak di Ogan Ilir, Sumatera Selatan,Produk PT Arwana Citramulia Tbk yang terkenal yaitu UNO. Merk UNO sangat bisa diterima dengan baik oleh pasar karena desain yang dikeluarkan sesuai dengan tren dan faktor harga yang sangat bisa bersaing dengan kompetit... Read More
$ITMG $IPCM $ARNA - Dunia Tak Butuh Safe Haven, Tapi Safe Reality
Selama lebih dr satu dekade, dunia dimanjakan oleh uang murah. Bank sentral di mana-mana sibuk mencetak likuiditas, suku bunga ditekan ke nol bahkan negatif, dan pasar keuangan tumbuh tanpa henti, seringkali tanpa logika. Saham naik bukan karena laba, tapi karena “FOMO” dan semua terlihat normal. Banyak investor, institusi, bahkan negara jd terlena. Mereka lupa bahwa utang tetap utang, dan janji tetap harus dibayar. Kini di 2025, waktunya tagihan datang.
Kita hidup di tengah krisis utang global yg bukan lagi cuma masalah negara berkembang, tp mulai menghantui negara-negara besar yg selama ini dianggap “kebal” seperti superhero finansial. Padahal, kalau kita jujur, ini bukan kejutan dadakan. Ini lebih mirip balasan karma dr kebijakan masa lalu, sebuah akumulasi ilusi sejak 2008, disimpan rapi di bawah kasur, dan sekarang bisa tiba-tiba meledak ketika kita tidur.
Krisis keuangan global 2008 adalah peristiwa besar pertama di abad ini yg mengguncang keyakinan terhadap sistem keuangan modern. Akar masalahnya? Bukan perang, bukan pandemi, tp keyakinan semu, bahwa semua utang pasti bisa dibayar, asal dijual dgn cukup kreatif 🙊. Bank-bank di AS saat itu sgt jago membuat sihir keuangan. Mereka membungkus kredit perumahan macet menjadi instrumen canggih bernama CDO, lalu menyebarkannya ke seluruh dunia. Semua tampak aman. Sampai akhirnya, seperti biasa, terjadi bubble.
Saat suku bunga naik dan para debitur mulai gagal bayar, sistem runtuh. Lehman Brothers kolaps, pasar global ambruk, dan dunia masuk resesi besar. Solusinya? Tentu saja intervensi masif dr bank sentral. Suku bunga diturunkan nyaris ke nol, dan uang dicetak dalam skala triliunan dolar. Logikanya sederhana, kalau terbakar, siram dgn bensin. Inilah awal era cheap money, yaitu masa di mana logika investasi dikalahkan oleh likuiditas, dan semua ikut pesta. Kenapa semua? ya, kenapa nggak? 😹
Masuk ke dekade berikutnya, dunia kembali diuji, kali ini lewat krisis COVID-19. Negara-negara di seluruh penjuru panik, dan jalan tercepat dianggap paling bijak adalah cetak uang, tambah utang, gelontorkan stimulus. Semua demi menyelamatkan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Saat itu suku bunga masih rendah, bahkan nol di banyak negara. Mencetak obligasi dianggap murah, bahkan seperti nggak berdosa. Maka semua dilakukan, tanpa pikir panjang soal “nanti”. Lagi pula, siapa sih yg mikirin bon jangka panjang di tengah darurat masker dan lockdown?
Masalahnya datang justru saat situasi mulai membaik. Inflasi pelan-pelan naik, lalu tiba-tiba melonjak. Harga energi melejit, rantai pasok kacau, dan masyarakat mulai menuntut upah yg lebih masuk akal. Karena, ya, harga beras & minyak goreng jg ikut naik. Bank sentral, yg tadinya adem mencetak uang sambil minum kopi, tiba-tiba panik. Suku bunga dibalik arahnya, naik tajam. The Fed tancap gas sampai ke atas 5%. Dunia yg tadinya nyaman dgn uang murah, kini tergagap menghadapi realita, bahwa ternyata uang itu ada harganya, dan tagihannya tdk bisa diundur seperti cicilan paylater.
Di titik ini, krisis baru mulai unjuk gigi. Utang-utang yg tadinya terasa ringan seperti janji kampanye, sekarang jd beban nyata. Negara-negara seperti Sri Lanka, Pakistan, Argentina, Ghana, dan Mesir mulai tumbang satu per satu. Mereka gagal bayar utang luar negeri, dan ujungnya? Ya lari ke IMF, si 'last resort' yg sering diminta bantuan setelah semuanya keburu berantakan. Bahkan negara-negara besar pun mulai masuk daftar waspada. Jepang, Italia, hingga AS, yg dulu dianggap too big to fail, sekarang mulai disebut-sebut sebagai “bom waktu”.
Negara yg paling rentan di tengah krisis utang global biasanya punya kombinasi mematikan, yaitu banyak utang dlm mata uang asing, ekspor lemah, dan politik yg lebih sering bikin drama dibanding solusi. Contohnya? Ya, Mesir, Pakistan, dan Argentina, negara-negara yg tampaknya sudah langganan masuk daftar “pasien langganan IMF”. Inflasi mereka sudah seperti acara tahunan, mata uang rontok, dan investor global pun angkat kaki sebelum ditagih ganti rugi. Di titik ini, ekonomi mereka lebih mirip roller coaster yg rusak remnya.
Jepang adalah cerita lain, lebih kompleks, lebih elegan, tp sama menegangkannya. Bertahun-tahun negara ini dianggap aman, bahkan jd panutan fiskal dunia, meskipun utangnya sudah tembus 250% dari PDB. Ajaibnya, pasar tetap tenang, mungkin karena semua berpikir, “Ini kan Jepang.” Tapi di 2025, ilusi itu mulai retak. Yen melemah, suku bunga pelan-pelan naik, dan biaya bayar utang jd makin mencekik. Pelajarannya jelas, bahwa meskipun pakai jas mahal dan bicara lembut, kalau tagihan datang tanpa cukup pendapatan, tetap saja bikin sesak napas.
Sebaliknya, ada juga negara-negara yg terlihat masih cukup kokoh di tengah badai. Biasanya mereka punya tiga hal, yaitu ekspor komoditas yg kuat (entah itu batu bara, CPO, atau rare earth), utang yg didominasi mata uang lokal, dan institusi fiskal yg masih bisa diajak kompromi. Indonesia, Brasil, dan India termasuk di kategori ini. Tidak sempurna, tentu saja, politik tetap penuh kejutan dan birokrasinya kadang membuat pengusaha ingin pensiun dini. Tapi setidaknya fondasinya cukup utk bertahan. Mereka tahu cara main aman sambil tetap ikut pesta global.
Dulu, setiap kali krisis datang, investor seperti refleks lari ke dolar AS. Dana besar diparkir di obligasi US Treasury, karena dianggap paling aman dan paling likuid. Tapi sekarang? Cerita itu mulai goyah. Pasar mulai sadar, kalau utang AS sendiri makin bengkak dan defisit fiskalnya kaya lubang got yg tak ditutup-tutup. Aman itu relatif, apalagi kalau yg jaga pintu kas negara mulai bingung bayar bunga.
Utang publik AS kini sudah tembus US$34 triliun. Angka yg mungkin dulu cuma muncul di seminar ekonomi atau di film fiksi. Defisit fiskalnya terus membengkak, dan yg menarik adalah yield Treasury jangka panjang naik bukan karena ekonomi AS makin solid, tp karena pasar mulai menuntut kompensasi lebih besar utk risiko fiskal yg makin sulit ditebak. Dolar memang masih dominan, tp makin banyak negara yg mulai bertanya dalam hati: apakah uang ini masih bisa dipercaya utk jangka panjang, atau cuma warisan kejayaan masa lalu?
Tanda-tanda de-dollarisasi mulai muncul, tak lagi sebatas wacana konferensi. Transaksi lintas negara pelan-pelan pindah ke Yuan, Rubel, atau bahkan mata uang lokal. BRICS jg membangun sistem keuangan sendiri. Arab Saudi, yg dulu begitu setia dgn petrodollar, sekarang membuka pintu utk transaksi minyak non-USD. Dolar memang belum tumbang, tp kekuasaannya tak lagi mutlak. Ada retakan kecil di pondasi lama, dan pasar memperhatikannya dgn saksama.
Banyak analis menyimpulkan satu hal, yaitu dolar masih bertahan, tp bukan karena paling dipercaya, melainkan karena belum ada pilihan lain yg cukup siap. Ini bukan tentang trust, tp keterpaksaan global. Dunia tetap parkir uang di dolar, bukan karena cinta, tp karena belum nemu tempat baru yg bisa diajak tidur nyenyak tiap malam.
Dan di tengah tekanan inflasi dan krisis fiskal yg makin meluas, banyak negara mulai berlomba menawarkan yield tinggi pd obligasi mereka. Di permukaan, ini tampak menarik, apalagi setelah bertahun-tahun investor dimanja bunga nol. Tapi perlu dibedakan: yield tinggi karena peluang itu sehat. Tp kalau yield tinggi karena negara nyaris bangkrut? Itu jebakan. Dan inilah jebakan 2025, imbal hasil besar ditawarkan oleh negara-negara dgn struktur fiskal rapuh. Ibarat restoran mahal dgn atap bocor, kelihatan mewah, tp jangan duduk terlalu lama.
Kemudian, saat uang tak lagi menghasilkan apa-apa dan valuasi saham sudah kelewat tinggi, investor global akan mulai memindahkan dananya ke komoditas. Emas, batubara, nikel, bahkan pangan jg bisa naik panggung. Ini bukan euforia musiman atau sekadar spekulasi menunggu "the next hype", tp bentuk perlindungan nilai. Hedging terhadap risiko nyata yg tak bisa diselesaikan hanya dgn rapat bank sentral atau janji stimulus baru. Komoditas menjadi jangkar, bukan aksesoris. 😎
Sekarang, meskipun era cheap money sudah lewat, justru risikonya makin mahal. Dan pasar tahu itu. Maka meskipun yield tinggi kembali berseliweran, investor tetap memilih berlindung di aset riil. Karena mereka paham satu hal penting, yaitu yield tanpa jaminan solvabilitas cuma angka manis di atas surat. Dan surat itu, dalam skenario terburuk, bisa jd tidak bernilai apa-apa saat tagihan datang.
Indonesia termasuk dalam kelompok negara yg relatif tahan banting di tengah krisis global ini. Rasio utang masih di bawah 40% dr PDB, cadangan devisa cukup utk jaga napas, dan ekspor komoditas, dr batu bara sampai sawit, masih menopang neraca dagang. Ditambah lagi, hilirisasi mineral dan proyek transisi energi memberi nilai jual tambahan di mata investor. Sekilas, ini kombinasi yg bikin tenang. Tp jangan buru-buru euforia, karena stabilitas itu bukan tiket kebal krisis.
Tekanan fiskal tetap ada, dan bukan main-main. Subsidi energi membengkak pasca pemilu. Karena, ya, janji harus ditepati, walau anggaran menjerit. Inflasi pangan bisa membuat suasana politik tak nyaman, terutama di tengah daya beli yg belum pulih penuh. Dan kalau harga komoditas global tiba-tiba melemah, APBN bisa langsung demam. Maka pada akhirnya, penopangnya cuma satu, yaitu disiplin fiskal dan reformasi struktural. Dua hal yg selalu disebut, tp sering disimpan rapi di rak paling atas.
Dan di tengah gejolak fiskal global serta tekanan suku bunga tinggi, strategi investasi tak lagi cukup mengandalkan optimisme pasar atau sekadar berburu saham diskon. Investor perlu mulai mengarahkan portofolionya ke sektor-sektor yg memiliki daya tahan operasional, yaitu sektor yg tetap bisa menghasilkan cashflow meski ekonomi stagnan atau permintaan global melambat.
Komoditas, energi, dan infrastruktur produktif menjadi sorotan utama. Emiten-emiten dgn neraca solid, minim utang berbunga tinggi, dan bisnis berbasis permintaan riil, bukan hanya harapan teknologi masa depan, layak mendapat porsi lebih besar. Sekarang saatnya menaruh perhatian pada perusahaan yg bisa hidup tanpa disuntik stimulus.
Kemudian, pergeseran arah ini bukan hanya akan terjadi di kalangan investor kecil. Dana kelolaan besar dan hedge fund internasional pun mengurangi eksposurnya di instrumen berbasis utang negara dan malah memperbesar posisi mereka di sektor-sektor produktif. Banyak dr mereka akan masuk ke tambang, energi primer, logistik, dan infrastruktur fisik yg stabil, bukan semata mengejar cuan jangka pendek, tp karena aset-aset ini punya real basis of value.
Mereka ingin memegang sesuatu yg menghasilkan, bahkan saat inflasi menggerus dan kepercayaan fiskal terguncang. Pergerakan ini bukan rotasi biasa, tp bentuk pertahanan strategis di tengah risiko makro yg tak lagi bisa ditebak lewat model lama.
Buat investor ritel, tak perlu meniru langkah teknikal para hedge fund. Tapi arah pergerakan mereka bisa jd kompas. Ketika institusi global meninggalkan obligasi negara dan saham overvalued, lalu memburu aset riil yg stabil dan tahan tekanan suku bunga tinggi, itu bukan sinyal yg bisa diabaikan. Dalam lanskap seperti ini, lebih aman mengikuti aliran modal ke sektor yg terbukti bisa bertahan, daripada berspekulasi di saham yg hidup dari utang murah dan janji manis. Ini bukan waktunya mengejar pertumbuhan agresif, melainkan memastikan portofolio bisa tetap bernapas saat pasar kesulitan oksigen.
Krisis utang post-covid bukan sekadar kisah tentang bunga tinggi, dolar yg goyah, atau inflasi yg tak mau turun. Ini adalah momen kolektif ketika dunia dipaksa menghadapi akibat dari ilusi panjang, bahwa utang bisa terus digulirkan, bahwa likuiditas tak pernah kehabisan, dan bahwa kebijakan moneter bisa menyelesaikan semua. Sekarang, realitas bicara lebih lantang, bahwa uang itu mahal, risiko itu nyata, dan kepercayaan itu rapuh.
Mereka yg akan bertahan bukan yg paling agresif, juga bukan yg paling optimis. Tapi mereka yg tahu kapan harus berteduh, dan ke mana harus menaruh keyakinan. Di dunia baru ini, aset nyata adalah tempat perlindungan. Dan di tengah pasar yg mudah tergoda ilusi, kemampuan utk tetap rasional adalah keunggulan langka. Karena pd akhirnya, pasar bisa salah dlm jangka pendek, tp sejarah tidak pernah lupa menghukum mereka yg terlalu percaya pada angan-angan.
Maka tetap tenang, tetap terukur. Karena dlm situasi seperti ini, menjaga nilai aset tetap utuh jauh lebih penting daripada mengejar keuntungan yg belum pasti.
Disclaimer: Apapun pilihannya, tetap DYOR 😹
Alasan menulis: https://stockbit.com/post/19040669
1/3
$ARNA 24 Jun 25
Shareholder : Fidelity Funds - Global Dividend Plus Pool
Type : Foreign
Bought : +354,200 (0.00%)
Current : 537,608,100 (7.32%)
Previous : 537,253,900 (7.32%)
$ARNA 23 Jun 25
Shareholder : Fidelity Funds - Global Dividend Plus Pool
Type : Foreign
Bought : +285,300 (+0.01%)
Current : 537,253,900 (7.32%)
Previous : 536,968,600 (7.31%)
"Kesuksesan manusia itu sebenarnya hasil dari keputusan yang orang tuanya ambil setiap harinya dalam jangka waktu yang panjang" -Aciang Hakim
$IHSG $ELSA $ARNA
Wi wok de tok , not only tok de tok.
Akhirnya $ARNA mulai kembali dicicil di portofolio untuk balancing $BMRI & $SMSM yang alokasinya sudah besar secara persentase.
MENGI
95%++ investor $SIDO dan $ARNA saat ini nyangkut. Kecuali yang pegang sejak sebelum covid.
Great management but not-so condusive macro, akhirnya digeprek juga.
Eventhough mgmt for both companies sdh explained that they will do their best to hold the fort and menjaga performance, tetapi tetap saja bleak demand and gloomy macro tetap mempengaruhi kinerja mereka.
SIDO kena geprek di demand.
ARNA kena geprek di cogs.
In this situation, ARNA slightly better karena demand masih ok. Cuma mgmt harus gimana caranya putar otak nahan margin GPM spy ga turun terus.
Key factor cogs nya: 1. dollar: which diluar kontrol mereka, UNLESS mereka bisa ubah payment glaze supplier to yuan.
2. Gas: which is sebetulnya not too bad di 6.5 dollar mmbtu. As long as dollar ga meledak ke 18k. Ini bisa diminimize dgn mesin2 baru yg lebih efficient.
3. Overhead: nah ini yg menurut ane bakal susah. Krn they are still in expansion phase. Mesin2 baru datang terus. Otomatis depre bakal mulai membesar dgn kehadiran mesin baru. Ane harap sih NEW depre bisa di offset dgn gas usage yg membaik.
Kalau lihat ARNA, dari 2022 sampai 2024 net profit menurun terus. Padahal revenue masih baik. Jelas culpritnya di cogs. Jadi the only way untuk keluar dari perangkap margin adalah naikkan ASP. ASP tahun ini harus diatas 42rb, karena cogs tahun ini juga naik dr 25rb ke 28rb.
Ok, sekarang ngomongin SIDO.
Ini berat sih. Soalnya Q1 secara seasonality seharusnya jadi jendela waktu SIDO untuk meraih cuan besar. Tapi Q1 kemarin malah memble. Mgmt bilang sih temporary. Ya kita lihat dan buktikan aja q2 ada perbaikan ga. Tapi sampai april kemarin penurunannya masih di low teens.
Berat, karena sell in nya jeblok. Artinya distributor sudah makan barang banyak tahun lalu. Jadi q1 sudah kembung. Semoga q2 sell in membaik.
Intinya kedua wonderful company ini lagi punya battle nya masing2.
Begitu ekonomi membaik, ane yakin performa mereka juga harusnya membaik. Saat ini: mengi.
But, THIS TOO SHALL PASS.
$ARNA $IKAI $KIAS - Pelajaran Alokasi Modal dari Buffett
Apakah tugas CEO itu cuma tampil rapi di CNBC sambil bilang “kami optimis”? Bagi Warren Buffett, tugas utama CEO itu bukan promosi, bukan ikut groundbreaking pabrik, apalagi sekadar menyusun KPI pakai template ala-ala. Tugas utamanya adalah mengalokasikan modal secara rasional. Udah, titik.
Ini bukan cuma kalimat indah. Dalam buku The Essays of Warren Buffett: Lessons for Corporate America, Buffett mencurahkan banyak halaman untuk menjelaskan bahwa alokasi modal adalah seni tertinggi dalam manajemen bisnis. Karena dr sinilah semua pertumbuhan, dividen, buyback, sampai valuasi saham berasal.
-------------------------------------------------------
Dan menurut Buffett, alokasi modal yg rasional itu punya ciri-ciri yg cukup brutal standarnya:
Kalau perusahaan bisa menggunakan laba utk hasilkan return tinggi → tahan laba.
Kalau nggak bisa → ya bagi dividen atau lakukan buyback waktu saham lagi undervalued.
Kalau merasa keren bisa akuisisi apa pun tanpa hitung ROIC → siap-siap Buffett kabur dari daftar pemegang saham.
-------------------------------------------------------
Simpelnya, kalau CEO itu pilot, maka alokasi modal adalah peta navigasinya. Tapi masalahnya, banyak CEO malah sibuk ngelap dashboard pesawat biar keliatan glossy, padahal terbangnya nyasar. Makanya Buffett selalu tanya:
"Apakah manajemen ini mengelola modal perusahaan seperti mereka mengelola uang sendiri?"
Kalau jawabannya iya, berarti mereka owner-oriented. Tapi kalau jawabannya "tergantung, Pak, kita tunggu dulu BOD meeting," ya sudah, siap-siap akan ada benturan kepentingan—keputusan populis vs long-term vision. 🤯
Lalu ada hal penting lain. Banyak perusahaan suka sok sibuk ekspansi. Bangun pabrik baru, buka cabang luar negeri, sampai caplok perusahaan kecil, lalu menyebutnya “diversifikasi strategis.” Tapi menurut Buffett, semua itu nggak ada artinya kalau modal yg digunakan tidak menghasilkan return di atas cost of capital. Alias, lebih baik berikan sj modal itu kembali pd pemegang saham. Kalau kamu gak tahu harus pakai duit itu buat apa, kasih balik ke yg punya!
Nah, topik ini jd semakin penting sekarang. Soalnya kita hidup di era di mana semua orang ingin tampil growth dgn mentereng, padahal banyak yg aslinya pakai utang, atau cuma menumbuhkan revenue tanpa untung. Makanya penting utk melihat siapa sj yg benar-benar pandai mengalokasikan modal, dan siapa yg cuma... ya, numpang nama “Tbk”.
Dan di sinilah menariknya: bagaimana kalau kita uji topik ini langsung ke perusahaan-perusahaan yg biasa diabaikan investor, karena sektornya yg membosankan dan minim pemberitaan. Kita akan masuk ke dunia keramik—tapi tenang, bukan utk belajar motif ubin kamar mandi. Kita mau lihat siapa dari emiten keramik ini yg mengerti cara pake duit, dan siapa yg kayak manajer BUMN yg lupa bahwa dana itu dari pemilik.
Langsung sj, kita bedah tiga emiten keramik—ARNA, IKAI, dan KIAS—dari sisi alokasi modal. Kita kupas dividen, capex, buyback, sampai transparansi laporan. Siapa dari ketiganya yg bisa kita sebut rasional dalam mengelola modal. Bukan cuma bisa bikin lantai licin, tapi juga bisa mengubah tiap rupiah modal kerja jadi nilai nyata buat pemegang saham.
Kita mulai dari yg paling sering muncul di watchlist fundamentalis: ARNA (Arwana Citramulia Tbk). Perusahaan ini layaknya murid yg duduk di bangku depan kelas, diam, nggak banyak gaya, tapi nilai ujiannya selalu stabil tinggi. Dari 2020 sampai 2022, ROIC mereka tembus 25–27%—angka yg bahkan bikin banyak perusahaan consumer goods ngiler. Dari sisi dividen, ARNA juga rutin bagi dividen tinggi (payout 70%+), plus rajin melakukan buyback saat pasar undervalue beberapa tahun ke belakang. Ini bukan gaya-gayaan, karena alasan buyback mereka dijelasin gamblang: PER historis, EPS stabil, dan harga pasar di bawah nilai wajar. Mereka bahkan terang-terangan bilang bahwa harga wajar saham mereka itu minimal 15x EPS. Transparansi kayak begini? Langka. Apalagi di sektor keramik.
Tapi kita nggak cuma nilai dari “baik-baik”-nya. Kita lihat juga bagian yg mulai kabur: laba turun ~4–23% dari 2022–2024 dan ROIC ARNA turun jadi ~17% di 2023–2024. Dalam annual report atau public expose tidak dipaparkan dari ROIC ataupun IRR tiap proyek ekspansinya, tetapi dpt kita nilai bahwa penurunan ini masih selaras dgn tekanan margin dan laba bersih akibat kenaikan COGS dan ekspansi pabrik. Melihat dua matriks ini, perusahaan ternyata tidak menghentikan ekspansinya. Meski begitu, nyatanya ARNA tetap bisa menjaga ROIC di atas cost of capital, sehingga tidak menyalahi prinsip Buffett.
Sekarang kita geser ke tetangganya: IKAI (Intikeramik Alamasri Tbk.). Ini contoh emiten yg seolah-olah sedang uji coba buka warung di setiap segmen. Dari keramik, nyebrang ke properti, terus buka hotel, dan tetap berharap semua jalan bareng. Dalam laporan terbarunya, mereka mengatakan capex 2024–2025 akan difokuskan 87% ke manufaktur, sisanya ke properti. Tapi, ya, mereka tidak memberikan estimasi ROIC, IRR, atau bahkan target return kasar dari ekspansi ini. Yang disampaikan? Target produksi. Kayak pabrik itu cuma tugas nyetak output, bukan mencetak value. Dan soal buyback? Nggak ada. Dividen? Nggak juga. Artinya, seluruh laba ditahan entah ke mana, dan ritel seperti kita hanya bisa percaya... atau pasrah.
Nah, lalu ada KIAS (Keramika Indonesia Assosiasi Tbk.). Yang ini mirip perusahaan warisan yg hanya buka kantor karena “ya udah terlanjur Tbk.” Tidak ada capex signifikan, nggak ada ekspansi berarti, buyback nihil, dan dividen pun absen. Tapi mereka jg tidak banyak utang—jadi ya, bukan aktif, bukan agresif, bukan juga kolaps. Mereka seperti menabung dosa ke investor minoritas dlm bentuk stagnasi. Seluruh laba ditahan diam di neraca, tp tidak ada narasi tentang rencana. Dan itu justru yg bikin ngeri—karena kalau perusahaan terlalu diam, seringkali itu bukan karena mereka hati-hati. Tapi karena mereka nggak tahu mau ngapain.
Kalau kita bandingkan ketiganya dari indikator Buffet, ARNA jelas paling mendekati ideal: punya ROIC tinggi, alokasi capex rasional, dividen besar, buyback cermat, dan transparansi niat. Meski tidak sempurna—karena ROIC menurun dan kadang terlalu diam soal ekspektasi return investasi pabrik barunya—tapi setidaknya mereka sadar bahwa modal adalah kepercayaan, bukan cuma dana mengendap.
IKAI lebih mirip petualang yang lupa peta, ekspansi ke banyak tempat tanpa dasar return yg jelas. Boleh punya impian besar, tp tanpa logika pengembalian modal, itu bukan ekspansi—itu mimpi yg ditulis di laporan tahunan.
KIAS? Ya... ini perusahaan yang seperti menganggap modal sebagai fosil: disimpan dlm tanah, nggak dipakai, dan semoga tidak ada yg bertanya-tanya kenapa belum jd minyak. 😹
Satu hal yg Buffett sering katakan:
“The test of capital allocation is not how much you grow, but how well you convert retained earnings into long-term shareholder value.”
Dan dari kaca mata itu, ARNA lulus dgn nilai bagus, IKAI ngulang semester, dan KIAS mungkin sedang tidur di kelas.
Sampai sini, kamu pasti sadar bahwa topik alokasi modal itu bukan cuma buat perusahaan blue chip. Justru di level sektor ‘sepele’ seperti keramik inilah kita bisa melihat siapa yg sungguh memahami cara menggunakan uang, dan siapa yg cuma cari headline.
Dan kalau kamu investor jangka panjang—bukan trader overthinking tiap jam, tiap waktu—ini adalah skill krusial: melihat bukan cuma siapa yg untung, tapi siapa yg tahu cara memakai untung itu.
Karena dalam jangka panjang, seperti kata Buffett, setiap perusahaan adalah mesin pengalih modal. Dan pertanyaanmu sebagai pemilik adalah: mesin ini menghasilkan nilai, atau hanya suara bising?
Disclaimer: Lakukan riset mendalam pada berbagai topik lainnya sebelum membeli. Ini bukan ajakan untuk membeli saham IKAI & KIAS ataupun menjual keramik ARNA.
$ARNA 16 Jun 25
Shareholder : Fidelity Funds - Global Dividend Plus Pool
Type : Foreign
Bought : +70,000 (0.00%)
Current : 536,968,600 (7.31%)
Previous : 536,898,600 (7.31%)
Daftar pembelian selot selot - bukan ajakan jual beli dyor
Yang dibeli saham saham fundamental bagus dan rajin dividen serta masih dibawah harga wajar
$LPPF
$TPMA
$ARNA
Berhubung bukan typikal nyari multibagger kilat, tapi nyari yg risk udah rendah plus ada bantalan dividen
Sesuaikan profil risk masing2 ya
Di setiap emiten bagus, pasti investornya pengin harganya turun dulu 😇
Kayak $ARNA $ADRO termasuk $TOTO ✌️
$ARNA 13 Jun 25
Shareholder : Fidelity Funds - Global Dividend Plus Pool
Type : Foreign
Bought : +207,200 (0.00%)
Current : 536,898,600 (7.31%)
Previous : 536,691,400 (7.31%)
kalo mau lihat emiten itu omon omon atau rill gak bagi dividend karena ekspansi atau jaga jaga ya track aja arus kas investasinya.. ada kas keluar beli aset ya di cek aja di aset tetap apa yang nambah.
contoh $CAKK yang beli mesin dari Itali pake skema cicilan yang bikin timbul beban rugi kurs.
Secara usaha, ya perlu di apresiasi karena bukti nyata perushaan berjuang demi efisiensi usaha, masalah akan berhasil atau enggak turnaround karena banjir kramik tiongkok ya lain cerita.
Setidaknya gak kayak beberapa emiten smallcap yang saya temukan… investasinya gede… ehhhh malah invest ke barang barang yang gak make sense sama bidang usaha, seperti bisnis pendidikan malah capex gedenya malah jasa youtube, bisnis property malah beli lukisan, atau bisnis manufaktur tapi beli apartment di singapore.
Kalo kayak 3 kasus diatas…saya sih tetep watchlist cuma diskonnya ya raja tega aja dah~~ kalo gak dikasih PE 3-5 mending gak usah, atau liquidation valuenya 0,3 dengan rumor PSP mau diganti🤣🤣
Tag BBCAnya keramik $ARNA
$ARNA 12 Jun 25
Shareholder : Fidelity Funds - Global Dividend Plus Pool
Type : Foreign
Bought : +310,900 (0.00%)
Current : 536,691,400 (7.31%)
Previous : 536,380,500 (7.31%)
Group chat $ARNA sudah full
Group Chat $PBID masih bisa tampung 10-11 orang lagi.
DM aja kalau mau join.
FREE.
Syarat join: ga boleh keluar grup.
Keluar grup = block
Ane disindir, katanya punya saham yang ga naik2.
Responku: ya ya ya 🤣
Sak’anane, sak’isone, sak’mampune.
Seloww lur
$ARNA
$ARNA 11 Jun 25
Shareholder : Fidelity Funds - Global Dividend Plus Pool
Type : Foreign
Bought : +815,900 (+0.01%)
Current : 536,380,500 (7.31%)
Previous : 535,564,600 (7.3%)
@Stockbit $ARNA CAGR 5 tahun revenue cuma 4.1% ini. Saya masih ga yakin ARNA mencoba untuk relevan di market kalau 5 tahun saja kalah dengan BI rate di 5.5% sebagai discount rate.
Maybe they should have a new growth engine, atau memang saya ga tahu kalau mereka punya sesuatu yang growth?
Let see.