imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Mata Air Kesahajaan

Desa Jobra, Bangladesh, 1976

Sufia Begum tenggelam dalam pekerjaannya.

Ia sedang berjongkok di bawah atap jerami busuk,
mengepit kursi setengah jadi di antara lutut sambil terus menganyam untaian rotan,
ketika 3 orang tamu mendatangi beranda rumahnya.

Latifee, ditemani teman sejawat yang terlihat seperti seorang Profesor dan seorang mahasiswi, pura-pura tidak melihat Sufia.
“Halo…. Ada orang di rumah?”
Dari logatnya, Latifee terdengar seperti tetangga sebelah.

Mendengar suara berat pria, reflek Sufia melompat berdiri, mengamankan bayinya, dan segera menghilang ke dalam rumah.

‘Jangan kuatir,’ lanjut Latifee menenangkan. ‘Kami bukan orang asing. Kami guru di sekolah di dekat sini.”
Latifee dan teman Profesor-nya mengajar di Universitas Chittagong, bersebelahan dengan Desa Jobra, tempat Sufia tinggal.

Sufia menjawab lirih: “Tidak ada orang di rumah.” Maksud Sufia, tidak ada pria di rumah.

Anak-anak berlarian mengerubungi para tamu, seperti lalat yang mengerubungi tubuh telanjang mereka. Beberapa orang tetangga mengawasi dari kejauhan.

Latifee memperkenalkan diri, kemudian menanyakan jumlah anak Sufia.
“Tiga.”
Rekan sejawat Latifee, Sang Profesor menunjuk seorang anak laki-laki. “Cakep ya.”

Merasakan nada suara Latifee dan Profesor yang bersahabat, Sufia memberanikan diri keluar dari lorong rumah, dengan bayi di dekapannya.
Profesor sekarang dapat melihat postur Sufia dengan lebih jelas.
Mengenakan ‘sari’ merah, Sufia adalah seorang ibu muda bilangan 20 tahun, kurus, dan berkulit gelap.

Profesor bergerak maju. “Berapa umurmu?”
“21.”
Maimuna, mahasiswi yang berdiri di samping Profesor mengikuti setiap Langkah Profesor dan menuliskan sesuatu di bukunya.

“Rotan-rotan ini, punya kamu kan? Bagaimana cara kamu mendapatkannya?”
“Saya beli.”
“Berapa duit ?”
“5 taka.” 5 taka Bangladesh setara 22 cent USDollar pada tahun 1976.
“Kamu punya 5 taka?”
“Tidak punya. Saya pinjam dari paikar.”
‘Pengepul?” pertegas Profesor. Sufia mengangguk.

“Bagaimana kesepakatan kamu dengan mereka?”
“Setiap sore saya jual kursi rotan ke paikar.” Paikar = Trader.
“Berapa uang yang kamu dapatkan?” tanya Profesor.
“Kalo sedang beruntung…. 5 taka dan 50 paisa.” Keberuntungan yang dimaksudkan Sufia jelas bukan hari ini, di mana produktivitasnya terinterupsi interview gak penting.

“Jadi keuntunganmu 50 paisa?”
Sufia mengangguk lagi.
“5 taka…50 paisa.’’
“Keuntunganmu hanya 50 paisa?”
50 paisa = 2 cent USDollars.
Gross Profit kelihatan besar 9%, tapi sebenarnya hanya 2 cent USD!

Sufia menundukkan kepala.
“Mengapa kamu tidak meminjam uang lebih banyak dan membuat lebih banyak kursi rotan?”
“Ke Rentenir?” mata Sufia membelalak.
“Berapa persen biaya pinjam uang dari Rentenir?” tanya Profesor.
“Tetangga saya bayar bunga 10 persen!”
“Sehari atau seminggu?”
“Tiap hari.”
Profesor mencoba menyimpulkan. “Jadi total keuntungan kamu dari kerja keras seharian membuat kursi-kursi rotan cantik ini hanya 50 paisa?”
‘Ya,’ jawab Sufia datar. “Kalo beruntung.”

Malam itu, wajah Sufia menghantui Profesor. Ia yang terbiasa dengan keindahan teori ekonomi tetiba merasakan kehampaan. Apa artinya teori ekonomi yang begitu elegan di depan orang-orang kelaparan di seberang rumah?

Tahun 1974, Bangladesh merupakan satu bangsa termiskin di permukaan bumi.
Setelah cukup lama berada di bawah pemerintahan diktator Pakistan, Field Marshal Ayub Khan (1958 – 1969), Perang Pembebasan Bangladesh yang berlangsung pada 1971 menghasilkan pemisahan Pakistan Timur sebagai Republik Rakyat Bangladesh. Pakistan (dulunya Pakistan Barat) mengakui Bangladesh pada 1974 usai tekanan dari seluruh belahan dunia Muslim.
Karena kebenciannya kepada mahasiswa, yang dianggapnya suka bikin masalah, Field Marshal Ayub Khan menetapkan kebijakan bahwa selama pemerintahannya seluruh universitas harus dibangun di lokasi yang jauh dari kota dan pusat pemerintahan. Chittagong University pun ‘terpaksa’ didirikan di balik bukit Bay of Bengal, bersebelahan dengan Desa Jobra. Suatu kebetulan yang akhirnya mengubah lembaran sejarah.

Kelahiran Chittagong, Profesor Muhammad Yunus menyelesaikan kuliah di Dhaka University, Bangladesh. Ia berhasil mendapatkan Fulbright scholarship jurusan ekonomi di Vanderbilt University, Tennessee Amerika. Usai memperoleh Ph.D. tahun 1969, beliau menghabiskan tahun berikutnya menjadi assistant Profesor of economics di Middle Tennessee State University. Kembali ke kampung halamannya, Muhammad Yunus mengajar kelas ekonomi di Chittagong University.

“That night…,” kenang Profesor Muhammad Yunus.
“I decided I would become a student all over again, and Jobra would be my university.
The people of Jobra would be my teachers.”

Keesokan harinya ia meminta Maimuna mendaftar sebanyak mungkin penduduk pra-sejahtera seperti Sufia, yang bisa dia temukan di desa Jobra.

Kurang dari seminggu, Maimuna menyelesaikan daftar yang diminta.
42 orang terdiri dari laki-laki dan wanita, dengan total kebutuhan pinjaman 856 taka, atau tidak lebih dari USD. 27 pada kurs Taka/USD tahun 1976.
“Oh Tuhan, oh Tuhan…,” ujar Sang Profesor “….penghasilan 42 keluarga ini hanya dibatasi USD. 27!”
Maimuna berdiri membisu. Mereka berdua mencoba mencerna kenyataan yang disuguhkan.

Profesor Muhammad Yunus memulai eksperimen kredit mikro dalam bentuk proyek yang dinamakan Grameen Bank Project (GBP) pada tahun 1976. Tujuannya adalah : berkontribusi aktif pada masyarakat pra-sejahtera yang tidak memiliki asset sebagai jaminan/kolateral. Grameen dalam Bahasa Bengali berarti desa. Project ini dibiayai oleh oleh sebuah bank komersial dan disupervisi oleh mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong, di mana Yunus menjabat sebagai Department Head.

Dari tahun 1976 – 1978, berkolaborasi dengan berbagai bank, kredit mikro diperkenalkan di lebih banyak desa dalam distrik yang sama.
Sepanjang tahun 1979 – 1982, berkat dukungan finansial International Fund for Agricultural Development (IFAD), proyek Grameen berkembang ke 3 distrik, dan segera ditetapkan sebagai menjadi proyek nasional.

Tahun 1983, saat proyek GBP menghadapai kesulitan gaji rendah, tidak ada keamanan karir, dan bully-an dari karyawan bank mitra, Yunus harus berpikir keras untuk mencari solusi permanen yang memungkinkannya ekspansi.
Ia mengajukan proposal pendirian bank yang berpihak kepada kaum marjinal kepada para Direktur Bank yang selama ini berpartisipasi pada proyek GBP. Dalam proposalnya, ia mensyaratkan bahwa saham bank tersebut harus dimiliki oleh penduduk pra-sejahtera yang menjadi nasabah.

Bertahun-tahun kemudian Yunus mengingat,
“The assembled bankers spoke in one voice against the absurdity of the idea.”
Ketika Yunus terus mencari opsi lain, terjadi perubahan pemerintahan di Dhaka.
Pemimpin militer, Jenderal Hossain Muhammad Ershad, melakukan kudeta dan mengumumkan keadaan darurat militer. Ershad mengangkat M. A. Muhith, salah satu participant yang terlibat dalam proyek GBP sebagai Menteri Keuangan. Yunus mengenal Muhith sejak hari-hari mereka akfif di Bangladesh Information Center di Washington tahun 1971. Muhith membujuk Ershad mewujudkan impian Yunus mendirikan sebuah bank independen.
Seorang perwira Awami League (Angkatan Laut) sekaligus salah satu praktisi hukum terbaik Bangladesh, Kamal Hossain, menyarankan agar Yunus dan Muhith mempertimbangkan kepemilikan 40 % pemerintah, ketimbang memberikan semuanya kepada peminjam dana.
Hossain dan Yunus akhirnya merampungkan final draft aturan yang disahkan oleh Ershad pada 30 September, 1983, dan efektif berlaku mulai 2 October.
Grameen Bank (GB) resmi berdiri di Tangail, di mana Yunus dan Muhith memberikan orasi pada hari peluncuran.
Kabar buruknya, porsi kepemilikan berbanding terbalik dengan final draft. Saham pemerintah 60 %, bukan 40 %. Yunus tidak bisa menerima pada awalnya, tapi Muhith menenangkannya dengan mengatakan nasabah diperbolehkan membeli saham pemerintah di kemudian hari.

Pada kenyataannya, dari tahun ke tahun saham pemerintah terus menyusut.
Tahun 2012 nyari 97 % saham GB dimiliki oleh nasabah (94 % di antaranya wanita).
Tahun 2013 porsi nasabah berkurang menjadi 76 % karena adanya aturan yang dikeluarkan Pemerintah.

Grameen Bank memberikan kredit kepada sekelompok peminjam, melalui sebuah struktur atau hirarki.

Pria mendominasi 90 % dari hirarki – manager, program officers, dan area manager.
Pinjaman mulai dari setara USD. 40 – 60 hingga ratusan dan ribuan dollar.
95 % nasabah peminjam adalah wanita.

Seorang wanita yang ingin meminjam uang dari Grameen harus menemukan 4 orang anggota lain dalam komunitas, yang tidak boleh memiliki ikatan darah. Mereka harus sepakat bahu membahu menyukseskan usaha mereka masing-masing. Kaum pemalas atau tidak suka mengambil tanggung-jawab otomatis tersingkir dengan sendirinya. Apabila ada yang mengalami kesulitan, yang lainnya wajib membantu. Apabila anggota tersebut jatuh bangkrut dan tidak mampu melanjutkan pembayaran cicilan, maka empat lainnya harus bekerja mengembalikan pinjaman yang bersangkutan demi menyelamatkan pengurangan kuota kredit keseluruhan komunitas.
“Thus, along with peer support , comes peer pressure…”

Setelah minimal 5 orang membentuk sebuah kelompok komunitas, mereka menjalani 7 hari pelatihan mempelajari berbagai aturan dan kontrak sosial yang berjudul : ‘the Sixteen Decisions’, yang berbunyi sbb:

“1. We shall follow and advance the four principles of Discipline, Unity, Courage, and Hard work in all walks of our lives.
2. We shall bring prosperity to our families.
3. We shall repair our homes and work towards constructing new houses.
4. We shall grow vegetables all year round. We shall eat plenty of them and sell the surplus.
5. We shall plant as many seedlings as possible during the plantation seasons.
6. We shall plan to keep our families small, minimize our expenditures, and look after our health.
7. We shall educate our children and ensure that they can earn to pay for their education.
8. We shall keep our children and our environment clean.
9. We shall build and use latrines.
10. We shall drink water from tubewells. If they are not available, we shall boil water or use alum.
11. We shall not take any dowry at our sons' weddings, nor shall we give any dowry at our daughters wedding. We shall not practice child marriage.
12. We shall not inflict any injustice on anyone, nor shall we allow anyone to do so.
13. We shall collectively undertake bigger investments for higher incomes.
14. We shall always be ready to help each other. If anyone is experiencing difficulty, we shall all help him or her.
15. If we come to know of any breach of discipline in any centre, we shall all go there and help restore discipline.
16. We shall take part in all social activities collectively.”

Mereka harus melewati ujian lisan yang diselenggarakan oleh pejabat senior bank yang menguji pemahaman atas aturan dan ‘the Sixteen Decisions’.
Setelah dinyatakan lulus, 2 orang anggota termiskin diberi kesempatan menyerahkan loan proposal, yang umumnya berkisar antara 1000 s/d 3000 taka (setara USD. 25 – USD. 75 kurs waktu itu).

Setelah menerima pinjaman dan melunasi 5 cicilan pertama (dari total 50 kali) cicilan mingguan, 2 lainnya berhak mengajukan pinjaman. Setelah 2 orang terakhir melunasi 4 atau 5 cicilan, anggota terakhir dapat menyerahkan proposal. Setelah melewati 50 kali cicilan, para nasabah membayar bunga dan premi asuransi jiwa. Barulah, nasabah berhak mengajukan pinjaman yang lebih besar, kadang sampai 2 kali lipat dari nilai pinjaman awal.

Motto Grameen Bank adalah:
“We don’t ask the people to come to the bank;
we bring the bank to the people. ”

Pembayaran cicilan dilakukan setiap minggu pada rapat mingguan yang diadakan di balai desa, terdiri dari 6 – 8 kelompok nasabah. Sering kali mereka gotong-royong membangun balai desa yang layak digunakan untuk berkumpul selama musim hujan.
Usai rapat, petugas bank sering mampir ke rumah nasabah untuk meninjau usaha mereka – penggemukan sapi, pemintalan, penganyaman rotan, peternakan ayam, toko kelontong, warteg, dll.– dan mencarikan jalan keluar untuk setiap permasalahan yang timbul, seperti misalnya jika nasabah jatuh sakit.
Rapat dibuka dan ditutup dengan ritual untuk mengingatkan disiplin dan persatuan kelompok. Proposal pinjaman dibuat di rapat, tapi pinjaman dikeluarkan di kantor cabang bank, demi alasan keamanan.

Dekade 1970-an Yunus hanya menaungi beberapa ratus nasabah. Awalnya dia menggabungkan pria dan wanita pada kelompok yang sama, namun seiring berjalannya waktu, dia memisahkan mereka, dan mendapatkan nasabah wanita jauh lebih cocok untuk proyeknya.
Nasabah wanita terbukti memiliki disiplin tinggi dan membayar cicilan tepat waktu. Keuntungan yang mereka peroleh direinvestasikan ke bisnis, pendidikan, dan peningkatan Kesehatan seluruh anggota keluarga, terutama anak-anak.

Tahun 1993, Grameen telah memiliki 1,6 juta nasabah tersebar di 25.000 desa. Setiap hari, rata-rata bank telah menyalurkan 40 juta taka atau sekitar USD. 1 juta.

Dua tahun kemudian angka-angka tersebut tumbuh menjadi 2 juta nasabah di 34 ribu desa dengan total dana yang disalurkan mencapai USD. 1,5 juta. Grameen mempekerjakan sekitar 11 ribu pemuda dan wanita. Bunga dari kredit mikro tersebut cukup untuk membayar gaji mereka.

Maret 1993, sebuah penelitian diadakan oleh Profesor David Gibbons secara independent terhadap wanita-wanita yang telah menjadi nasabah Grameen selama 8 tahun,
46% berhasil melewati garis batas kemiskinan.
34% nyaris keluar dari garis kemiskinan
20% tetap dalam jaring kemiskinan, umumnya disebabkan penyakit kronis yang diderita 1 atau lebih anggota keluarga.

Hanya 4 % dari keluarga miskin yang tidak mengikuti program Grameen dapat keluar dari jaring kemiskinan dalam periode yang sama.

Muhammad Yunus berhasil membuktikan bahwa system yang dibangunnya dapat membiayai diri sendiri. Dia sempat bermaksud menukangi GBP beberapa tahun lagi dan menyerahkannya kepada para bankir professional. Namun kemudian dia menghadapi kenyataan, bahwa bagaimanapun sukses pilot projectnya, para bankir tetap saja enggan mengadopsi system tersebut.

Profesor Muhammad Yunus, pada berbagai forum public, menekankan bahwa:
“Credit…. is a fundamental human right.”
Pada salah satu orasi di tahun 1984, beliau menentang persyaratan jaminan yang menjadi kendala masyarakat pra-sejahtera meminjam uang dari bank.

“The financial institutions’ contention that they can deal only on the basis of collateral…
is merely a device to deceive the poor.
To say that there can be no banking without collateral
is like saying men will not be able to fly unless they have wings . . . .
To suggest that human beings were incapable of devising any other form of banking except with provision of collateral would be quite ridiculous.
But that, of course, is what the bankers had been arguing since the early days of Grameen — and for the most part what they continue to argue to this day.”

November 1993, Presiden World Bank, Louis Preston, mengundang Profesor Muhammad Yunus berpidato pada World Hunger Conference di Washington DC, Headquarters of the World Bank.

Tahun 1998 ultra mikrokredit yang berawal dari pinjaman sebesar hanya USD. 27 di tahun 1976 kepada 42 keluarga telah naik berlipat bagger menjadi USD. 2,3 juta kepada 2,3 juta keluarga.
Gurita Grameen Bank menjalar ke 58 negara, dari Ekuador ke Eritrea, dari Norwegia ke Papua Niugini, dari Chicago ke komunitas terpencil di pegunungan Nepal.

12 Oktober 2005, CEO Danone, Franck Riboud memesan limousine untuk menjemput Prof Muhammad Yunus dari bandara utama kota Paris menuju restoran milik actor Gérard Depardieu : La Fontaine Gaillon, guna ‘mencuri waktu’ di antara padatnya agenda sang Profesor. Lewat sebuah jabat tangan di sela-sela makan siang, sebuah kerjasama bisnis disepakati. Grameen – Danone (Grameen disebut duluan karena lebih dikenal rakyat Bangladesh) menjadi awal dari social business berskala internasional pertama yang didirikan untuk memperbaiki malnutrisi rakyat Bangladesh.

Tahun 2006, The Norwegian Nobel Committee menganugerahi Nobel Perdamaian kepada Profesor Muhammad Yunus dan Grameen Bank,
‘for their efforts to create economic and social development from below’
‘A bank for the poor. Grameen Bank and Prof. Muhammad Yunus Win Nobel Peace Prize 2006. Disbursed collateral free loan of USD.34.50 billion to around 9.67 million borrowers.’
Saat ini replika dari model bisnis Grameen Bank telah beroperasi di lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia.

Wanita-wanita yang Hidup di Hari ini

‘It’s not people who aren’t credit-worthy.
It’s banks that aren’t people-worthy’
Muhammad Yunus

7 September 2022…
Hampir 50 tahun setelah momen pertemuan Latifee, Muhammad Yunus, dan Maimuna di desa Jobra, saya diberi kesempatan melihat cuplikan kehidupan Sufia Begum.

Awalnya @fadhilra11 memberitahu kegiatan dimulai dari jam 7 pagi.
Kemudian diperjelas bahwa jam 7 pagi kumpul di kantor @Stockbit (SB) dan harus sudah tiba di meeting point jam 8 pagi. Karena tinggal lebih dekat dengan lokasi, saya langsung dari rumah, tidak mampir ke kantor SB.
Titik pertemuan berada di daerah Pamulang. Sebuah restoran waralaba local terkenal yang dibuka tepat di sebelah salah satu Universitas tertua di Tangerang.
Kali ini saya berangkat sendiri. Jatah Site Visit hanya 7 orang. Team Stockbit mengirim @hendrikogani, yang datang bersama @kokogiovanni. Selain saya, hadir juga 2 orang dari midascuan dan @alfisyahrin, juga langsung dari rumah. Lagi-lagi, menyisakan satu orang yang terlambat hadir. Belakangan saya tahu namanya : Adit, berangkat jam 5 pagi dari Bandung. Dia terkena macet dan beberapa hal yang tidak menyenangkan selepas tol JORR.

Team BTPS tiba tak lama kemudian.
Bapak Yadi sebagai Treasury & FI Head dan 2 orang Communication Specialist Mbak Nurul dan Mbak Adis.
Kartu nama Communication Specialist dihiasi testimoni salah satu nasabah:
”Saya sangat terbantu dengan adanya pelatihan dari program daya. Semoga dari hasil pelatihan ini, saya bisa mengelola uang dengan lebih baik lagi dan ingin sekali bisa naik haji.”

Di balik kartu nama Treasury & FI Head tertera:
“Menjadi Bank Syariah Terbaik untuk keuangan inklusif, mengubah hidup berjuta rakyat Indonesia.”

Usai berkenalan, team BPTS memimpin perjalanan menuju lokasi sebenarnya.

“Yuk…. Kita ke Wisma,” ajak Pak Yadi.

Kendaraan BTPS memimpin iring-iringan mobil melewati gang-gang perumahan yang hanya pas muat dua mobil kecil.
Kami tiba di Wisma sekitar jam 8.30.
Rumah satu lantai berpagar hitam itu tidak banyak berbeda dari rumah sekitarnya.
Halaman depan dibuatkan kanopi kayu buat melindungi barisan sepeda motor.
Pintu depan dari kayu coklat, ditemani gorden kuning, jendela berteralis, dan 7 kotak ventilasi cahaya.
Ukuran ‘Wisma’ tersebut saya perkirakan sekitar 8 x 12 meter.

Pak Ika, bertindak sebagai tuan rumah, mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu.
Tidak ada batas pemisah antara ruang tamu dan ruang tengah. Kami langsung berhadapan dengan 9 orang wanita yang duduk membentuk huruf L, bersiap melakukan aktivitas rutin.

Pak Ika mengenalkan teamnya sebagai MMS atau Mobile Marketing Syariah, terdiri dari :
7 orang Community Officer (CO),
1 orang BM (Business Manager): Neng Widya, dan
1 orang SBM (Senior Business Manager): Mbak Ani.

MMS adalah ‘pasukan tempur’ BTPS di medan perang,
bermotokan: BDKS,
‘Berani, Disiplin, Kerja Keras dan Saling Bantu’.
Jadwal tempur terpampang jelas di white board sebelah kiri.
Ada 2 jadwal : Minggu Genap dan Minggu Ganjil.

Setiap hari dari Senin hingga Rabu, 7 orang CO mengunjungi 5 – 6 komunitas. Jika tidak keburu, masih ada hari Kamis. Total 1 orang CO dapat menangani lebih dari 30 komunitas.
Satu komunitas wajib dikunjungi 2 minggu sekali untuk keperluan disbursement (peminjaman uang), collection (penagihan), dan penyetoran tabungan.
Seluruh kegiatan dimonitor secara online (melalui tab) dan offline (whiteboard). Setiap CO dilengkapi tab yang berisi aplikasi tepat.

Dinding ruang tamu sebelah kanan ditempeli testimoni keberhasilan anggota komunitas, dengan variasi pinjaman mulai dari 3 juta hingga puluhan juta.

Acara dimulai dengan pembacaan doa dan beberapa rutinitas seremonial. Semangat pagi memancar dari setiap personil.

Mbak Nurul menekankan bahwa BTPS bersifat inklusif, menerima semua agama dan golongan.

Di whiteboard utama tersedia data-data update kegiatan MMS.
Aktivitas diurutkan sesuai SOP mulai dari proses survey, ketemu aparat, hingga selesai.

Pak Yadi mengemukakan bahwa dari jumlah penduduk Indonesia 270-an juta, ada 50 juta lebih penduduk pra-sejahtera. Nasabah BTPS ‘baru’ 6 juta, masih banyak potensi growth ke depannya.

Asset Under Management (AUM) yang dikelola MMS yang kami kunjungi mencapai milyaran Rupiah.

Selesai presentasi Pak Ika, kami dibawa room tour.
BTPS menyewa rumah 3 kamar yang disebut Wisma itu selama 3 tahun, untuk diberdayagunakan sebagai mess. Dua kamar ditempati pasukan tempur dan 1 kamar untuk menyimpan perlengkapan tempur. Satu ruangan ber-AC, dan satu lagi menggunakan kipas angin. Masing-masing kamar dilengkapi ranjang bertingkat dan TV tabung jaman dulu.

Beberapa Stockbitor masih melontarkan beberapa pertanyaan lagi, sebelum kemudian diajak pergi.
“Kita harus berangkat…,” kata Pak Ika. “Sentra sudah menunggu.”

Mengingat Sentra berada di gang kecil, kami meninggalkan kendaraan masing-masing di Wisma, dan melebur menjadi 3 mobil.
Kebetulan saya semobil dengan Pak Yadi, Pak Ika, dan Adit.

Sepanjang perjalanan, Pak Yadi dan Pak Ika mengulas sedikit mengenai sejarah BTPS.
Cikal bakal BTPS berawal dari Bank Sahabat, bukan Bank Sahabat Sampoerna. “Ini Bank Sahabat yang satunya lagi,” kata Pak Ika.
PT Bank Purba Danarta didirikan pada 07 Maret 1991.
Tahun 2009, bank berubah nama menjadi PT Bank Sahabat Purba Danarta.

Awal 2014, mengikuti PBI terbaru, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa BTPN menyetujui pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) nya. Setelah itu BTPN melakukan akuisisi atas 70% (tujuh puluh persen) saham Bank Sahabat Purba Danarta.

PT Bank Sahabat Purba Danarta yang semula merupakan bank konvensional diubah menjadi bank umum syariah dan berubah nama menjadi BTPS.

Pak Yadi berasal dari UUS BTPN, sementara Pak Ika pernah bekerja di Bank Sahabat.
Sebelum IPO, PT Triputra Persada Rahmat memiliki 30 % saham BTPS. Setelah IPO, pada tahun 2018, TPR menjual sahamnya hingga kurang dari 5 % kepemilikan.
Per lembar saham saat IPO dibuka pada harga Rp. 975,-.

Dari asset kecil yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh induknya, BTPS telah menjadi sebuah bank yang disegani. Sebuah bank yang memiliki net operating margin jauh lebih gemuk daripada $BBRI dan NPF yang lebih rendah dari $BBCA?
Jawabannya terbentang beberapa saat kemudian.

Kami terlibat beberapa pembicaraan lain, sembari kembali melewati gang-gang kecil.
“Setiap kali kedatangan investor atau tamu yang ingin melihat bagaimana kami bekerja di lapangan, kami selalu mengingatkan untuk tidak membawa mobil besar.“ Pak Yadi menyebut merk salah satu city car.

Kurang dari jam 10, kami tiba di Komunitas Gang Tari.
Beruntung ada tanah lapangan yang memuat 3 mobil Site Visit. Sepanjang gang kecil menuju rumah yang disebut ‘Sentra’ kalimat dari GB seolah menegur metode bottoming-up bankir-bankir berdasi:
“Start with the problem rather than the solution: a credit system must be based on a survey of the social background rather than on a pre-established banking technique.”

Jalan bersemen tidak rata tersebut berujung buntu membawa kami ke sebuah rumah besar satu lantai dengan halaman dipenuhi jejeran sofa tak bertuan.
Pagi yang berbeda akibat kunjungan tamu yang tidak biasa. Ibu-ibu yang terlihat sudah lama berkumpul terlihat antusias.

Mbak Ani, sebagai SBM, memperkenalkan kami.
Ia membuka sesi tanya jawab dengan menanyakan pinjaman.
“Mbak Derra….mbak Derra dulu,” teriak salah seorang ibu dari belakang kerumunan.
Tapi Mbak Ani menunjuk yang punya suara.
Masing-masing nasabah menyebutkan nama, usaha, dan nilai pembiayaan. Rata-rata dalam posisi : Rp. 3 - 4 juta.

Acara dimulai dengan : ‘Doa Nasabah’.
Setiap butir doa merupakan pengejawantahan tindakan.

‘Mengucap syukur dapat berkumpul hari ini dengan tepat waktu dan dalam keadaan sehat walafiat.’
Anggota komunitas diharuskan hadir setiap 2 minggu, tidak boleh titip absen. Terkecuali ada masalah mendesak. Satu-satunya yang tidak hadir di hari itu sedang menjalani operasi mata.

‘Mendoakan usaha lancar supaya bisa membayar tepat waktu dan saling membantu jika di antara kami mengalami kesulitan.’
Apabila ada anggota yang kesulitan membayar, anggota lain akan membantu urunan sesuai kemampuan masing-masing. Di awal acara CO menanyakan kepada seluruh anggota komunitas mengenai kesiapan uang solidaritas. Seluruh anggota serentak mengangkat ke atas untuk ditunjukkan (kewer-kewer).

Setiap komunitas dipimpin oleh seorang Mitra, yang bertindak sebagai koordinator. Menurut informasi yang disampaikan, hal ini merupakan salah satu factor pembeda BTPS. Di bank lain, Mitra merupakan karyawan bank, bukan nasabah. Kewenangan Mitra bukan cuma terkait setoran tabung, dan pinjam duit, tapi juga bisa belanja di ‘toko online’ $BTPS.

Komunitas Gang Tari dipimpin oleh Bu Susi, nama aslinya Listyana, namun di kalangan anggota, beliau sepertinya punya nama panggung sendiri. Pinjamannya sudah mencapai 40 juta, termasuk yang paling besar. Bu Susi juga meminjam ke bank lain, tapi ‘rasanya’ beda. katanya.
“Bank lain ditagihnya tiap minggu, dan gimana gitu”.

Berdua dengan ibunya, Bu Lestari, menscreening anggota yang ingin bergabung. Bisnis anggota bermacam-macam. Ada jual sayuran, pulsa, beras, hingga extension (bulu mata).

Satu demi satu anggota maju ke depan. Neng Rina, ditemani Neng Widya menghitung tagihan dan setoran dan menginput semua transaksi ke dalam aplikasi ‘tepat’.
Setiap nasabah yang meminjam difoto, dimasukkan ke database tepat.
Demi efisiensi, Neng Widya menuliskan angka pinjaman dengan spidol di atas laminating sertifikat, yang sudah dihapus-tulis berulang kali sebelum sesi foto.
“Jaminannya : muka,” kata Pak Ika.
Ya, salah satu kemudahan yang ditawarkan skema peminjaman BTPS adalah tidak ada jaminan.
Pagi itu saya menyaksikan mekanisme penyerahan ‘jaminan’, berjarak hanya semeter di depan hidung saya.
Selain mencicil dan meminjam baru, beberapa nasabah menyetorkan tabungan.

Mbak Nurul meminta kami menyimak buku tabungan seorang nasabah.
Di kolom bagian atas tertera informasi total pinjaman, jumlah, dan periode cicilan. Saya menanyakan mengapa jumlah pinjaman (Rp. 5,2 juta) sama dengan cicilan (25 x Rp. 208.000,-). Kelihatannya Mbak Nurul dan empunya buku juga tidak bisa memberikan jawaban. Karena menyangkut hal sensitive, saya tidak melanjutkan lebih jauh. Seingat saya, jumlah pembiayaan Ibu pemilik buku adalah Rp. 4 juta. Jika ingatan saya benar, berarti selisih antara pokok dengan total 25 kali cicilan sekitar Rp. 1,2 juta atau sekitar 23,7 %.

Mbak Nurul lantas menunjukkan setoran tabungan sebesar Rp. 2.000,-. “Di mana lagi di dunia orang bisa menabung dua ribu Rupiah?”
Saya teringat butir ke-7 dari 10 Metodologi Grameen Bank.
‘Associate savings with credit without it being necessarily a prerequisite’.

Di sela-sela menunggu giliran, kami ngobrol dengan Bu Lestari, Ibu Suri Screener.
Dari gaya bicaranya, Bu Lestari sejatinya bukan people-person. Dia sungkan melihat lawan bicara saat mengemukakan sesuatu, terlebih saat Bu Ani menanyakan alasan dia menunda Top Up atau penarikan pinjaman baru. Dia lebih nyaman menceritakan anak-cucunya yang umumnya sudah mandiri, dari hasil jerih payahnya.
Salah satu yang menarik adalah Ketika Bu Lestari kesulitan melafalkan BTPN dengan benar.
“Iya…. BPTN Sharia,” ujarnya meyakinkan.
“Bukan Bu…. BTPN. T nya duluan.”
Dia balik melirik dengan tatapan tersinggung, sebelum akhirnya tertawa renyah.
“B P T N … Sharia.” Tetep.
Mbak Ani mengejakan sekali lagi. “B… T… P… N… Syariah.”
“Iya iya,” tukas Bu Lestari, “Ih saya tahunya mah Neng Nita.”
Di sebelahnya Mbak Nurul menahan senyum (atau mungkin gemes).
Ibu-ibu di Sentra Gang Tari menaruh semua kepercayaan kepada CO. Banyak yang anaknya lebih tua dari CO-CO lulusan SMA.
Serasa berhadapan dengan anak perempuan sendiri yang mau mendengarkan, siap sedia berbagi ilmu, peduli, disiplin datang tiap 2 minggu, dan pekerja keras, sama seperti mereka.
Tidak ada ancaman beraroma kekerasan. Sebaliknya mereka berusaha untuk tidak menyusahkan si Neng. Si Neng adalah bagian dari mereka.
“Terkenalnya tuh… Neng-neng Syariah,” celetuk Pak Ika.

Bank lain memperlakukan nasabahnya sebagai nasabah.
BTPS menjadikan dirinya sebagai teman curhat.

Pak Yadi bercerita, banyak nasabah BTPS juga memiliki cicilan motor dan lainnya di Lembaga keuangan lain, tapi mereka tetap memprioritaskan membayar cicilan BTPS.
Screening oleh Mitra, Peer pressure, ancaman sangsi sosial efektif menekan NPF hingga serendah di bawah 1 %. Di sisi lain, melek teknologi menjadi masalah tersendiri.
“Masalah utamanya adalah” jelas Pak Yadi. “… nasabah kami berada di Tier 3 dan 4. Orang-orang yang berada di Tier 3, apalagi Tier 4 …. tidak HP-able. Mesti kita training.”

Seperti yang terjadi di GB, BTPS juga mengalami tantangan yang sama terhadap otomatisasi system komputer. Digitalisasi selama ini baru menyentuh karyawan BPTS.

Mulai Juli kemarin, dimulailah pilot project kepada 500 Mitra BTPS yang lolos kualifikasi. Proyek yang semakin membuka lebar jarak antara BTPS dengan $BRIS dan PNM.

Mitra yang berfungsi sebagai Agent ini, sejatinya menggantikan kehadiran CO di lapangan, mendapatkan insentif dari setiap transaksi, yang langsung terhubung dari smartphone Mitra ke seluruh 12.000 karyawan kantor dan lapangan BTPS (#bankirpemberdaya).

Dengan dilibatkannya Mitra ke dalam lingkaran digitalisasi, rutinitas 2 mingguan CO akan dikurangi menjadi sebulan sekali, sehingga dapat lebih fokus kepada penambahan komunitas baru. Inilah skalabilitas yang direncanakan BTPS.
Ujung-ujungnya, terjadi peningkatan pinjaman atau loan disbursement.
Pada akhirnya memperbaiki rasio Loan to Asset, yang selama ini menjadi salah satu dari sedikit kelemahan BTPN.

Tiba-tiba dari dalam ruangan terdengar teriakan Neng Rina.
Hari itu terkumpul tagihan Rp. 8.200.000-.
“Pas ya.” teriak Neng Rina. Semua orang bersorak.

Saat saya berpikir semuanya telah selesai, Neng Rina beranjak ke tengah-tengah kerumunan dan memulai pelatihan pembuatan kulit ayam. Hanya berbekal handphone di tangan, tapi sudah cukup menarik minat Ibu-Ibu ikut menimbrungi resep si Neng. Rasanya si Neng kalah pintar.

Jam menunjukkan pukul 11.00 ketika kami pulang. Neng Rina masih harus mengunjungi 4-5 komunitas lagi. Satu komunitas makan waktu 1 jam. Idealnya, jika tidak ingin mengganggu jadwal kunjungan CO, site visit mesti dilakukan lebih pagi, kurang lebih jam 7 pagi sesuai informasi pertama @fadhilra11.

Kami menyempatkan foto-foto sekali lagi.

Matahari di Pamulang telah bergeser ke atas kepala saat kami berpamitan.

Kata-kata Muhammad Yunus terngiang di telinga saya.

“Grameen has taught me two things:

first, our knowledge base about people and their interactions is still very inadequate;
second, each individual person is very important.

Each person has tremendous potential. She or he alone can influence the lives of others within the communities, nations, within and beyond her or his own time.
Each of us has much more hidden inside us than we have had a chance to explore. Unless we create an environment that enables us to discover the limits of our potential, we will never know what we have inside of us.

But it is solely up to us to decide where we want to go. We are the navigators and pilots of this planet. If we take our role seriously, we can reach the destination we seek.

I want to tell this story because I want you to figure out what it means to you. If you find the Grameen story credible and appealing, I would like to invite you to join those who believe in the possibility of creating a poverty-free world and have decided to work for it.
You may be a revolutionary, a liberal or a conservative, you may be young, or you may be old, but we can all work together on this one issue.

Think about it.”

kis4ros

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy