BBM, Logistik dan Saham
Supply-chain adalah keseluruhan proses yang dimulai dari menambang atau menanam mother-earth sampai menjadi barang jadi dan dikonsumsi oleh end-consumer. Proses-proses yang ada di dalam supply-chain termasuk perencanaan, pembangunan pabrik dan gudang, pembelian material, stocking, produksi, distribusi, penjualan dan tentu saja memindahkan barang dari satu lokasi ke lokasi lain-nya yang disebut logistik. Jadi logistik merupakan salah satu proses atau bagian dari supply-chain keseluruhan.
Biaya logistik di Indonesia adalah sekitar 24% dari GDP. Ini artinya setiap barang yang kita konsumsi, secara rata2, 24% dari harga barang tersebut adalah digunakan untuk membayar biaya logistik. Biaya logistik ini sangat mahal jika dibandingkan dengan negara lain. Misalnya Singapore hanya 8% sedangkan India dan Malaysia 13%. Biaya logistik kIta tertinggi di ASEAN, dan secara global berada di peringkat 46 dari 160 negara dengan skor 3.15 (skor terbaik adalah 5), lebih baik dari sebelum-nya dengan skor 2.98 dan berada di peringkat 63.
Tentu di setiap industri berbeda2 lagi persentase-nya. Misalnya kalau di industri FMCG (fast-moving-consumer-goods), rata2 adalah sebesar 10% untuk meng-cover total biaya logistik dari pabrik hingga ke depo distribusi dan dari depo distribusi hingga mencapai grosir dan warung2 (direct delivery ke end-consumer masih sangat kecil porsi-nya jadi abaikan saja). Tetapi ini pun masih berbeda2 lagi di setiap kategori barang. Untuk drink products bisa mencapai 15%, untuk snack products 10%, untuk personal care products 5%, dan rokok 0.5%.
Mungkin ada yg berpikir kalau FMCG products yang contoh-nya disebutkan di atas rata2 biaya logistik-nya hanya 10%, dan produk-nya merupakan produk akhir, kenapa bisa total biaya logistik kita bisa besar sekali hingga mencapai 24%? Karena company FMCG juga membeli material dari company2 lain. Harga beli material ini juga mengandung biaya logistik di dalam-nya, tetapi tidak dicatat sebagai biaya logistik. Baru ketika seluruh biaya logistik dari company2 lain ini juga ditotalkan, didapatkanlah angka akhir sebesar 24% dari seluruh GDP (harga dari produk akhir adalah harga yg diperhitungkan dalam perhitungan GDP).
Salah satu klasifikasi logistik adalah berdasarkan posisi-nya di supply-chain, yaitu yang disebut first-mile dan last-mile. Ada yg membagi-nya lagi dengan middle-mile, tetapi saya pribadi lebih prefer membaginya hanya dalam dua kategori itu saja. First-mile bisanya adalah logistik antar-kota, sedangkan last-mile adalah logistik di-dalam-kota.
Arah logistik per masing2 company pada umum-nya hanya satu arah. Maksudnya misalnya sebuah company mempunyai pabrik di Surabaya dan distribution center (DC) di Cikarang, maka barang produksi mereka akan hanya mengalir dari Surabaya --> Cikarang, sedangkan arus balik-nya kosong. Karena company pada umum-nya tidak mempunyai arus balik, sehingga jika mereka memiliki truk sendiri, truk tersebut harus selalu kembali ke pabrik dalam kondisi kosong, total biaya-nya menjadi mahal. Misalnya ongkos truk dari Surabaya-Jakarta adalah 5 juta, karena harus balik kembali ke Surabaya, total biaya-nya menjadi 2x 5 juta = 10 juta.
Karakteristik ini-lah yang dimanfaatkan oleh perusahaan logistik first-mile. Perusahaan logistik first-mile masuk di tengah2 dengan mencari company yg mempunyai arus barang sebalik-nya, misalnya mempunyai pabrik di Cikarang tetapi DC-nya di Surabaya. Jika perusahaan logistik ini men-charge biaya 7.5 juta dari company A utk pengiriman Surabaya --> Cikarang, dan 7.5 juta lagi dari company B untuk pengiriman Cikarang --> Surabaya, maka akan mendapatkan total revenue 15 juta, sedangkan biaya bolak-balik Surabaya --> Cikarang --> Surabaya adalah hanya 10 juta, alias profit 5 juta. Sedangkan company A dan B masing2 hanya membayar 7.5 juta dibandingkan kalau memiliki truk sendiri yang biaya-nya 10 juta, alias masing2 bisa saving cost 2.5 juta. Semua-nya happy.
Logistik last-mile tidak mempunyai arus-balik karena mereka adalah logistik dari gudang distribusi ke grosir, retail dan end-consumer yang berada dalam satu kota. Sebetulnya ada logistik arus-balik-nya yaitu berupa barang2 retur tetapi sangat kecil porsi-nya sehingga bisa dianggap tidak ada. Lantas bagaimana perusahaan logistik last-mile mendapatkan competitive advantage-nya? Yaitu dengan melakukan pengiriman multi-drop-point.
Waktu satu company mengirim barang ke daerah Cipinang misalnya, most likely pada hari yang sama hanya mempunyai satu dua customer atau satu dua drop-point di daerah tsb, tetapi jika digabungkan dengan pengiriman barang dari company2 lain, akan ada lebih banyak drop-point. Sedangkan ongkos kirim berupa biaya kendaraan, BBM dan salary driver tidak berbeda jauh. Penghematan biaya inilah yang ditawarkan oleh perusahaan logistik last-mile sehingga membuat company2 bisa lebih hemat biaya logistik-nya dengan menggunakan jasa mereka.
Last-mile bisa dibagi dua lagi yaitu barang2 berupa parcel seperti orderan e-commerce dimana per drop-point hanya satu parcel, atau yang dalam per drop-point terdiri dari banyak item.
Yang tipe kedua ini, porsi terbesar-nya adalah logistik barang2 FMCG tetapi biasa-nya di-handle oleh company FMCG masing2. Biaya-nya sangat tinggi tetapi diredam dengan teknik area zoning. Proses-nya jelas lebih rumit dari pengiriman parcel, dan di era online-order ini sudah tidak terhindarkan dibutuhkan player yang bisa menyediakan jasa logistik yang menggabungkan pengiriman dari banyak company FMCG dalam satu atap. Area ini belum ada player-nya yang bisa memberikan solusi ultimate-nya. (Kalau ada perusahaan logistik yg bermain di segmen ini IPO, dan bisa profit, boleh di-watchlist.)
Pembagian first-mile dan last-mile ini saya lampirkan beserta contoh2 company-nya di Gambar 1.
Biaya logistik yang 24% dari GDP ini terdiri dari 8.9% utk penyimpanan, 8.5% utk transportasi, 2.8% utk transportasi via air, 2.7% utk administrasi dan lain2 sebesar 0.8%, totalnya = 23.7% atau dibulatkan 24%. 90% transportasi logistik di Indonesia menggunakan bahan bakar solar, dan sisa-nya bensin. Yg bensin ini mostly digunakan di logistik last-mile dengan kendaraan seperti Granmax dan motor. Kontribusi bahan bakar ini mencapai 40% sd 50% dari biaya transportasi so anggap saja di 45%. Kenaikan BMM solar dan Pertalite sendiri kurang-lebih di 30%.
Jadi impact dari kenaikan BBM ini, BELUM termasuk ripple-effect-nya, adalah penambahan terhadap harga barang akhir atau inflasi sebesar 30% x 45% x (8.5% + 2.8%) = 1.5%. Hati2 ya ini hitungan semprul dari saya sendiri untuk gambaran saja.
Ripple-effect ini akan didapat dari kenaikan komponen2 lain seperti UMR dan margin yang lebih besar dari setiap company yang terlibat di seluruh supply-chain. Dan ntah apa lagi. Overall diperkirakan oleh salah seorang ekonom akan ada tambahan inflasi sebesar 2.2%. Sekarang kita sedikit lebih tahu dari mana kira2 hitungan-nya tersebut. Hiitungan yang bukan-semprul-nya tentu jauh lebih kompleks, tetapi kira2 begitulah cara menghitung-nya.
Pertanyaan semua pembaca pasti sama, bagaimana impact-nya terhadap harga2 saham besok? Mohon maaf yang sebesar2nya terhadap semua pembaca yang sudah bersusah-payah membaca dari awal sampai di sini, karena jawaban-nya adalah TIDAK TAHU. Harga saham besok berapa saya tidak tahu, tetapi untuk jangka panjang mungkin saya akan bisa memberikan gambaran sedikit. Walalupun gambaran ini juga boring dan selalu klasik jawaban-nya.
Terlepas dari demo lanjutan berjilid2, impact dari kenaikan BBM adalah inflasi. Kalau ada inflasi, pertumbuhan ekonomi pasti melambat, sehingga pertumbuhan profit semua company pasti turun karena pertumbuhan revenue-nya turun. Kalau inflasi terlalu besar, bukan hanya pertumbuhan-nya yg turun, profit-nya pun bahkan bisa turun.
WB berkata investasi terbaik pada saat inflasi, ekonomi hancur, dan hakikat-nya di semua hal yang berbau2 duid, selalu adalah skill. Skill diri sendiri tentu saja yang nomor satu, karena selalu ikut kemanapun kita pergi. Kalau harga2 naik, ongkos jasa les matematika dan lain-lain sudah pasti naik juga donk -- jadi selalu aman. Selain itu ya kalau punya duid nganggur, ya invest ke objek lain yang punya skill. Dan itu selalu yang terbaik adalah invest dengan beli saham company2 bagus yang sudah terbukti mempunyai skill menghasilkan barang2 yang bermanfaat nyata bisa dinikmati oleh orang hidup.
Logika-nya jelas sekali, skill dan barang2 yang bermanfaat nyata sudah pasti tidak akan pernah hilang nilai-nya. Dengan inflasi kejutan seperti sekarang, pasti akan turun sementara, tetapi market akan selalu kembali normal, dan pada saat itu nilai-nya akan kembali normal, dan karena ekonomi selalu maju, nilai-nya akan bahkan kembali menjadi lebih tinggi dari sekarang. Dengan sendiri-nya, harga saham company2 bagus tersebut akan ter-apresiasi kembali. Duid yang kita invest selalu aman tidak tergerus kenaikan BBM dan inflasi.
Industri-nya apa saja? Tidak usah pusing, semua juga pasti turun, alias sama saja, tidak perlu buang waktu mikir2 soal industri-nya. Jauh lebih baik fokus kepada company yang paling kita kenal masing2. Malah tidak perlu repot2 adjust2 porto, dan daripada repot2 habis waktu baca2 story dan liat2 LK lagi sampai mata berdarah2, tambah muatan saja kalau masih ada duid lebih. Lebih simple dan praktis. Apalagi jika IHSG besok merah -- uraaaaaa.
Perlu lepas saham dulu gak buat jaga2 karena most likely harga saham akan turun? Sama sekali tidak perlu karena kita tidak tahu bakal betul turun atau tidak. Kalau pun turun pasti berjemaah, belon tentu kita keburu jual. Kalau berhasil jual, kita juga gak bakal tao kapan naik-nya lagi, salah2 malah bisa ketinggalan kereta sedangkan fee transaksi sudah pasti kita bayar ke sekuritas. Sayang2 duid-nya, tebak2an keluar-masuk begini hasilnya selalu nihil. Cuma jadi korban permainan bandar saja.
Anw daripada artikel ini tidak bisa memberikan solusi jitu satupun, saya lampirkan di Gambar 2 performasi IHSG di tahun ada kenaikan BBM (sorry buat pemilik gambar, saya lupa darimana saya comot gambar ini hehe). Kesimpulan-nya malah IHSG naik terus kecuali tahun 2000, 2001 dan 2008 -- tetapi ini kan tahun2 seputar terjadi krisis ekonomi.
Kenaikan BBM ini bukan yang pertama kali dan selalu begitu kejadian-nya, inflasi, market down, tetapi salary akan naik, daya beli meningkat kembali, jumlah barang yang dibutuhkan meningkat kembali, harga barang naik kembali, profit naik lagi, harga saham-nya pasti naik lagi, so... sampai bertemu kembali di "krisis" berikut-nya. Rinse and repeat.
$IHSG $ITMG $PTBA $SMDR