Inflasi tinggi, nilai tukar Rupiah melemah & potensi suku bunga naik, sektor saham apa yang bagus dan tertekan?
Di tengah inflasi tinggi (Inflasi Indonesia Juni 2022 sudah mencapai 4,35% YoY), dan cepat atau lama BI akan menaikkan suku bunga (untuk menjaga nilai tukar Rupiah dan capital inflow).
Maka di era ini, ada sektor-sektor yang PALING TERDAMPAK, baik yang diuntungkan, maupun sektor-sektor yang tertekan. Sektor-sektor bisnis yang masih diuntungkan dengan kondisi inflasi tinggi dan potensi kenaikan suku bunga adalah:
1. Sektor energi (batu bara).
Harga batu bara masih “panas”, karena kelangkaan energi akibat perang Rusia-Ukraina. India juga mengalami kelangkaan pasokan listrik, sehingga permintaan batu bara sangat tinggi.
Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar batu bara sangat diuntungkan dengan kondisi kenaikan harga coal. Pangsa pasar ekspor batu bara RI terbesar dari China dan kedua India.
Negara-negara Eropa (meskipun porsi ekspor Indonesia ke Eropa sekarang tidak terlalu besar), namun Eropa juga bisa menjadi “pasar baru” untuk ekspor batu bara, karena negara-negara Eropa seperti Jerman, Polandia mulai memesan batu bara dari Indonesia, setelah adanya sanksi yang diterapkan ke Rusia.
Beberapa saham yang bagus adalah $ADRO dan $ITMG, karena kedua saham ini memiliki porsi ekspor yang besar. Dengan Rupiah yang cenderung melemah, ekspor membawa keuntungan untuk emiten-emiten tersebut.
Valuasi saham-saham batu bara juga relatif masih rendah, dengan PER rata-rata dibawah 10x dan PBV-nya di kisaran 1x.
2. Sektor consumer goods (sub sektor food and beverages).
Dalam periode inflasi tinggi, tentu daya beli masyarakat turun. Tetapi kalau daya beli turun, orang-orang tetap membutuhkan konsumsi makanan dan minuman sebagai kebutuhan primer.
Jadi consumer goods akan tetap diuntungkan dengan adanya inflasi tinggi dan potensi kenaikan suku bunga. Yap, consumer goods sebagai sektor defensif di era sekarang.
Beberapa pilihan di consumer goods adalah $INDF dan ICBP. INDF valuasinya relatif murah di sektor consumer goods, dengan PER sektiar 7x dan PBV 1,3x. ICBP bisa untuk diversifikasi.
3. Perusahaan yang memiliki porsi ekspor besar.
Sederhananya, ketika Rupiah melemah maka perusahaan yang punya pangsa pasar ekspor besar akan memperoleh keuntungan kurs / konversi pendapatan yang lebih banyak, sehingga berpengaruh ke bottom line (laba/rugi bersih).
Contohnya: Industri kertas. Pilihannya adalah $INKP. INKP memiliki pangsa pasar ekspor lebih dari 50%. Contoh lainnya, di Sektor Perdagangan seperti UNTR.
Kegiatan penambangan UNTR kontraknya dalam mata uang USD, sehingga ketika Rupiah melemah, UNTR akan diuntungkan dengan keuntungan kurs. UNTR juga menjual alat-alat berat, yang 62%-nya dijual untuk tambang batu bara (Dan sekarang permintaan batu bara dan ekspor lagi tinggi).
Di samping itu, ada juga beberapa sektor yang tertekan pada saat inflasi tinggi, dan pelemahan Rupiah:
1. Sektor perbankan.
Pada saat Rupiah melemah, terjadi capital outflow, karena banyak orang yang lebih memilih menyimpan Dollar.
Dan ketika inflasi tinggi, maka daya beli melemah, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bisnis, sehingga bank akan terkena imbasnya.
Namun saham-saham blue chip bank belakangan ini sedang koreksi besar. Berkaca dari historis, saham-saham bank yang sudah turun banyak, biasanya pulihnya sangat cepat, apalagi menjelang akhir tahun saat market relatif bullish.
Penurunan saham-saham bank bisa dimanfaatkan untuk buy on weakness dengan strategi akumulasi. Beberapa saham bank blue chip: $BBRI, BBCA, BMRI, BBNI bisa menjadi pilihan untuk trader / investor.
2. Sektor properti .
Saham-saham properti seperti BSDE, CTRA, SMRA dkk akan relatif tertekan. Properti termasuk barang mewah, sehingga pada saat inflasi tinggi, masyarakat akan cenderung berhemat, investasi di instrumen pasar uang.
Hal ini membuat permintaan properti turun, karena pembelian properti dapat ditunda (bukan kebutuhan pokok).
Hal ini membuat sektor properti akan relatif tertekan di tengah inflasi tinggi. Jika BI menaikkan suku bunga, sektor properti juga akan tertekan.
3. Sektor otomotif.
Analisanya kurang lebih sama dengan sektor properti. Sektor otomotif seperti ASII (penjualan mobil), AUTO dan lain-lain bukanlah kebutuhan primer, sehingga pada saat inflasi tinggi, permintaan otomotif cenderung tertekan.
Untuk saham blue chip seperti ASII, bisa manfaatkan buy on weakness dan akumulasi jika turun. Berkaca dari pengalaman IHSG drop, ASII termasuk salah satu saham yang cepat balik saat IHSG pulih.
4. Sektor ritel.
Sektor ritel contohnya saham-saham ACES, MAPI, RALS akan tertekan, karena barang-barang ritel tersebut juga bukan kebutuhan utama, sehingga permintaan akan tertekan di tengah inflasi tinggi.
5. Sektor bisnis yang bergantung pada impor.
Contohnya? Sektor pakan ternak (JPFA, MAIN, CPIN). Kemudian, sektor farmasi (KLBF, PEHA). Emiten-emiten tersebut masih banyak menggantungkan bahan pokok dari impor.
Jadi kalau Rupiah melemah seperti saat ini, hal tersebut akan membebani HPP perusahaan, yang berisiko menggerus margin laba.
POTENSI ARAH MARKET & STRATEGI
Well, IHSG sendiri masih ada potensi koreksi dengan area support psikologis 6.500, 6.400. Dan untuk worst case, jika masih banyak sentimen negatif, maka IHSG bisa turun ke area 6.000-6.200.
Namun market kita saya rasa tidak akan sampai terjadi crash market, karena GPD masih solid, dan kalau BI menaikkan suku bunga, maka kenaikan suku bunga dapat meredam inflasi. Apalagi sekarang suku bunga masih di 3,5%.
Ditopang dengan keuntungan dari komoditas, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup bagus.
Pilih sektor yang diuntungkan saat periode inflasi tinggi dan nilai tukar melemah, dan bisa diversifikasi ke sektor laggard atau sektor yang sedang koreksi seperti bank, properti, supaya bisa mendapatkan bagger profit saat terjadi rotasi sektor dan pemulihan market.