Kalau beli saham, apa sih yang harus dilihat? P/E ratio?? Free cash flow?? Enterprise value?? Earning yield?? Dividend yield?? PBV?? ROA?? ROE?? Revenue?? Gross profit?? Operating profit?? Net profit?? Revenue growth?? Operating profit growth?? Net profit growth??

Well, semua ada story-nya masing2, yang hanya kalau semua-nya dirangkai2 baru mereka akan memberikan story yang lengkap, seperti simfoni musik yang menceritakan kisah-nya dengan Indah kepada kita.

Kita mulai dari yang paling popular yaitu P/E ratio. P/E ratio adalah berapa kali nilai sebuah saham atau company dari profit bersih-nya. Misalnya company mempunyai profit bersih 100 rupiah, kalau P/E ratio-nya adalah 5, artinya harga saham-nya adalah 500 rupiah. Jadi kira2 kita akan balik modal dalam 5 tahun kalau profit company tersebut konstan segitu. Kalau P/E ratio-nya adalah 20 ya artinya kita akan balik modal 20 tahun.

Oooo ooo tapi kok ada yang mau beli company dengan P/E ratio sampai 20 tahun lebih ya?? Bukan-kah beli company yang balik modal-nya 20 tahun lebih sama saja dengan menempatkan uang di deposito?? Nah ini kita harus liat net profit growth-nya. Kalau net profit growth-nya adalah 45% per tahun, maka harga yang kita bayarkan dengan P/E ratio 20 pun kira2 kita akan bisa balik modal dalam waktu 5 tahun. Coba saja dihitung. Itulah story penting dari net profit growth.

Bagaimana dengan revenue growth? Revenue growth belum tentu berkorelasi secara proportional dengan net profit growth, tetapi revenue growth menunjukkan seberapa cepat-nya sebuah company akan mendapatkan market share. Semakin tinggi market share-nya semakin tinggi pula kemampuan company tersebut untuk menguasai market dengan membuat kompetitor2-nya mempunyai risk kehilangan market alias bangkrut lebih tinggi. Pada saat kompetitor-nya semakin sedikit, semakin besar company tersebut bisa menaik-kan harga jual-nya dan mendapatkan net profit margin lebih besar.

Tetapi kenapa banyak yang selalu bilang lihat free cash flow-nya? Free cash flow kurang lebih sama dengan net profit, dua2-nya sama menunjukkan berapa penambahan value sebuah company, bedanya adalah net profit dicatat pada saat transaksi terjadi, tetapi free cash flow dicatat pada saat uang kas diterima atau keluar dari company.

Misal-nya penjualan 100 rupiah, dibayar 1 minggu kemudian. Untuk perhitungan net profit dicatat pada saat invoice dibuat, tetapi utk free cash flow dicatat pada saat uang diterima 1 minggu kemudian.

Jika beli mesin, utk perhitungan net profit, biaya mesin dicatat secara berkala sesuai dengan umur pakai mesin. Misalnya 10 taon, dan harga mesin 500 rupiah, maka biaya mesin dicatat per tahun sebesar 50 rupiah sebagai depresiasi mesin. Utk perhitungan free cash flow, harga mesin sebesar 500 rupiah dicatat pada saat mesin dibayar sebagai uang keluar.

Ada hal yang membuat free cash flow sebagai indikator yang lebih dipercaya karena arus uang keluar-masuk cenderung lebih susah dimanipulasi karena gampang di-compare dengan buku bank dan manipulasi seperti ini langsung penjara hukum-nya. (BUKAN BERARTI TIDAK BISA YA -- TETAP BISA TETAPI LEBIH SULIT DAN BERESIKO TINGGI DAN COMPANY PALING BUSUK PUN JARANG YANG BERANI MELAKUKAN INI.)

Net profit lebih gampang dimanipulasi dan tuntutan hukum-nya relatif susah dibuktikan. Misalnya beli mesin seperti contoh di atas, seharus-nya setiap tahun kita bukukan depresiasi sebagai biaya dengan nilai 50 rupiah per tahun. Seringkali untuk menggelembungkan profit, company hanya membukukan biaya depresiasi sebesar 25 rupiah. Ini akan susah dilacak dari hanya melihat net profit, tetapi pada tahun ke 11, mau tidak mau company tersebut harus beli mesin lagi, sehingga ada arus kas keluar untuk investasi, yang susah disembunyikan karena terlihat di buku bank.

Tetapi hati2 juga, sebalik-nya kalau hanya melihat arus kas, bisa jadi kita melihat free cash flow-nya kecil sekali karena baru membeli mesin yang mahal, padahal dalam jangka waktu 10 tahun ke depan tidak akan ada lagi pembelian mesin. Akibat-nya kita melihat company tersebut seolah2 harga-nya menjadi kemahalan padahal tidak -- dan kita kehilangan kesempatan ber-invetasi!

Jadi P/E ratio atau free cash flow nih?? Dua2-nya hanyalah dua sisi dari koin yang sama. Kalau melihat dalam jangka waktu di bawah 5 tahun, lihat lah P/E ratio-nya karena dalam jangka waktu pendek, net profit akan lebih fair menunjukkan penambahan value yang dihasilkan dari company tersebut. Kalau jangka waktu-nya lebih panjang, bandingkan net profit dengan free-cash-flow-nya -- seharus-nya free cash flow tidak berbeda jauh dengan net profit-nya. Kalau ada perbedaan cukup jauh, dilihat apakah baru ada investasi besar atau simply ada udang di balik batu.

In general, uang keluar untuk investasi pun cenderung tidak sekaligus dalam satu tahun, tetapi terbagi dalam banyak tahun sepanjang company tersebut ber-operasi. Sehingga biasa-nya kalau net profit positif, harus-nya free cash flow-nya juga positif dengan jumlah yang tidak berbeda jauh. Jadi extra hati2-lah jika menemukan company dengan net profit positif tetapi free cash flow negatif -- company2 gorengan cenderung seperti ini. Ada group company gorengan raksasa yang hampir seluruh company-nya net profit positif tetapi free cash flow-nya negatif.

Tapi kenapa WB selalu bilang free cash flow?? Karena time horizon WB adalah selalu super panjang, jadi mau free cash flow maupun P/E akan sama2 saja -- tetapi free cash flow lebih susah dimanipulasi -- so be it.

Bagaimana dengan enterprise value? Enterprise value sering disebut sebagai harga sesungguh-nya dari sebuah company karena rumus-nya adalah market cap + hutang - cash-nya. Misal-nya market cap-nya 500, tetapi company tersebut mempunyai hutang 200 rupiah dan cash hanya 50 rupiah. Hutang 200 rupiah itu kan harus dibayar, tetapi cash-nya hanya ada 50 rupiah, sehingga kita sebagai pemilik company suatu hari harus nombok lagi 150 untuk melunaskan seluruh hutang-nya. Oleh karena itu, harga yang kita bayar sesungguh-nya adalah 500 + 200 - 50 = 650 seperti rumus enterprise value.

Jika company bangkrut, biasanya harga dari aset2 company akan jatuh bebas, sedangkan hutang ini tetap harus dibayar, so most likely shareholder harus nombok. Tetapi kalau company tersebut jauh dari kebangkrutan, ya gak usah pusing dengan enterprise value. Harga sebesar market cap yang sudah kita bayar, ya hanya segitu saja investasi yang kita bayar -- so berapa P/E ratio atau free cash flow menjadi yang lebih penting. Kalau kita ber-investasi lewat bursa saham, sudah dipastikan kita tidak akan bayar itu hutang kalau company-nya bangkrut. Jadi enterprise value tidak terlalu menarik utk diperhatikan pada saat kita investasi saham lewat bursa.

Earning yield mengatakan hal yang sama dengan P/E ratio tetapi dibalik. Misalnya P/E ratio = 5, artinya earning yield = 1/5 = 20%. Ini menggambarkan hal yang sama, hanya kadang lebih enak bicara earning yield = 20% karena gampang dibandingkan dengan bunga deposit. Kadang lebih enak juga bicara P/E ratio = 5 karena langsung tahu balik modal kira2 5 tahun tanpa harus melakukan olah mental.

Tetapi percuma donk kalau punya company profit besar tetapi tidak bayar dividend. Tentu saja, company yang rajin bayar dividend, mempunyai nilai keamanan investasi lebih tinggi karena setiap tahun kita rutin sudah dapat sebagian dari profit.

Tetapi tidak harus selalu begitu juga, karena walaupun tidak bayar dividend, net profit yang dihasilkan itu menambah value dari company tersebut, BUKAN HILANG, dan value ini lambat laun pasti akan menaik-kan value dari company tersebut. Hanya tentu saja, jika tidak ada alasan untuk investasi besar, atau ada situasi khusus seperti covid, sebaik-nya company tersebut mengembalikan uang investor dalam bentuk dividend. Perhatikan banyak company mengurangi dividend pay-out-nya pada saat covid dan bahkan menihilkan-nya -- kondisi seperti ini make sense.

Otherwise ini adalah indikator yang menunjukkan GCG company tersebut kurang baik. Ada group besar yang net profit-nya besar tetapi jarang bayar dividend karena uang-nya diputar terus di grup-nya sendiri seolah2 itu itu adalah duid nenek moyang-nya sendiri. Ini curang, karena investor yang investasi misalnya ke perusahaan kertas ya berharap investasi-nya dilakukan seputar bisnis kertas tersebut -- kalau perlu duid untuk bisnis yang lain, ya kembalikan duid-nya dulu alias bayar dividend, kemudian IPO-kan dulu bisnis lain yg butuh funding tersebut, dan biarkan investor sendiri yg menilai mau tidak masuk ke bisnis baru tersebut. Kan duid-nya duid si investor itu.

Perhatikan juga bahwa bisa saja dividend ini tidak diberikan, tetapi diganti dengan company tersebut mem-buyback saham-nya sendiri. Ini sama saja dan lebih menguntungkan karena investor yang tidak butuh uang dividend sekarang akan bisa menunda pajaknya -- dan investor yang butuh uang bisa klaim "dividend"-nya dengan simply menjual saham-nya tersebut yang sudah meningkat value-nya karena mempunyai porsi kepemilikan di company yang sudah lebih besar.

Misal-nya kalau company market cap-nya 500, dan kita punya 10% saham atau senilai 50 rupiah. Jika company tersebut buyback saham-nya sendiri sebesar 10% atau 50 rupiah, market cap-nya akan tetap sama 500 karena tidak ada perubahan performansi, tetapi porsi kepemilikan kita menjadi 50 rupiah / 450 rupiah = 11%. Arti-nya pada saat kita jual, nilai saham kita yang tadi-nya bernilai 50 rupiah sudah menjadi 11% x 500 rupiah = 55 rupiah atau sama dengan mendapatkan dividend sebesar 5 rupiah, atau 5 rupiah dari investasi kita 50 rupiah = 5 / 50 = 10%. Sama saja.

Bagaimana dengan PBV -- ada satu investor kawakan yang hobi sekali beli company dengan PBV yang rendah sekali. Semakin kecil PBV sebuah company memang semakin bagus, TETAPI ingat waktu kita beli saham adalah kita ingin net profit atau free cash flow-nya, BUKAN aset-nya.

Maksudnya begini. Misalnya ada sebuah company market cap-nya 500 rupiah, tetapi mempunyai book value sebesar 1000, atau dengan kata lain PBV = 500 / 1000 = 0.5. Sekilas terlihat bagus, tetapi kalau company tersebut profit-nya hanya 50 rupiah setahun, kita sudah investasi membeli company tersebut seharga 500 rupiah, tetapi setahun hanya mendapatkan net profit sebesar 50 rupiah atau hanya 10% per tahun -- 10% ini relatif keuntungan yang sangat kecil kalau kita investasi di company atau di saham.

Jadi walaupun PBV = 0.5, ini sama saja uang kita mati, karena walaupun di atas kertas kita langsung untung 500 rupiah atau 100% pada saat kita membeli saham-nya, kita tidak tahu kapan keuntungan ini bisa direalisasi, padahal kalau kita tempatkan di company lain yang market cap-nya katakanlah sama di 500 rupiah, tetapi mempunyai net profit sebesar 100 rupiah, investasi kita kembali minimal 20% per tahun, walaupun misalnya book value company tersebut hanya 250, atau PBV = 2 yang lebih besar.

Tetapi yes, PBV yang kecil memberikan faktor keamanan yang lebih tinggi, tetapi company yang mempunyai net profit lebih bagus lebih penting karena setiap tahun kekayaan kita bertambah lebih banyak DENGAN PASTI. Lagipula keuntungan dari PBV biasanya hanya bisa direalisasi pada saat company tersebut bangkrut -- so untuk apa beli company yang akan bangkrut dalam waktu dekat. Kalau mau beli aset murah, datang saja ke pelelangan, bukan beli saham.

Bagaimana dengan ROA dan ROE? ROA itu matter untuk yang memberikan pinjaman seperti bank, karena menunjukkan apakah company tersebut bisa membayar bunga dari pinjaman tersebut. Ingat pinjaman dicatat sebagai liability, dan liability menambah nilai aset. Jika ROA lebih kecil dari bunga pinjaman, company tersebut dipastikan akan kesulitan membayar bunga dari pinjaman tersebut dan ini adalah risk yang dihindari oleh pemberi pinjaman.

ROE jauh lebih menarik. Perhatikan bisnis yang berbeda industri akan mempunyai net profit margin yang berbeda jauh pula. Net profit margin yang lebih besar belum tentu berarti lebih bagus daripada bisnis yang mempunyai net profit margin lebih kecil. Sebuah perusahaan manufaktur mempunyai net profit margin sebesar 30%, sangat besar, tetapi kalau diperlukan modal yang sangat besar pula, ini bisa lebih jelek daripada perusahaan distribusi yang net profit margin-nya hanya sebesar 1%.

Misalnya company A yang bergerak di bidang manufaktur, harus berinvestasi dahulu sebesar 300 rupiah setiap tahun untuk menghasllkan penjualan sebesar 100 rupiah per tahun. Kalau net profit margin-nya = 30% maka net profit-nya adalah 30 rupiah. Artinya modal 300 rupiah kita hanya memberikan return sebesar 30 rupiah / 300 rupiah alias ROE = 10% per tahun.

Sedangkan company B yang bergerak di bidang distiribusi, hanya perlu ber-investasi sebesar 2 rupiah untuk menghasilkan penjualan sebesar 100 rupiah per tahun. Investasi sekecil ini SANGAT mungkin terjadi karena stok barang-nya diberikan hutang oleh principal-nya. Dengan net profit margin sebesar 1% maka net profit-nya adalah 1 rupiah. Tetapi karena investasi-nya hanya 2 rupiah, investasi ini memberikan return sebesar 1 rupiah / 2 rupiah alias ROE = 50% per tahun -- jauh lebih bagus daripada contoh company A di atas.

Perhatikan bahwa untuk ber-investasi yang paling hakiki adalah jika saya ber-investasi sebesar X, berapa % return saya setiap tahun alias berapa ROE saya, tidak peduli apa itu bidang bisnis-nya. BUKAN berapa % net profit margin-nya.

Oleh karena itu, menggunakan ROE, tidak peduli apapun industri-nya, bisnis yang lebih baik adalah bisnis yang memberikan ROE lebih baik. ROE bisa digunakan untuk komparasi bisnis mana yang lebih baik DI SELURUH INDUSTRI APAPUN, apakah itu perusahaan pesawat angkasa luar, perusahaan automotif, perusahaan tambang, perusahaan distribusi FMCG, perusahaan platform software, perusahaan investasi, perusahaan konstruksi, perusahaan software development, atau apapun perusahaan-nya.

Jika Anda berpikir bahwa modal 2 rupiah bisa menghasilkan penjualan 100 rupiah adalah tidak mungkin, bahkan ada company yang lebih baik lagi. Company yang lebih baik ini adalah company yang bisa menerima cash jauh2 hari di depan sebelum membayar biaya-nya. Contoh-nya adalah: insurance company, distributor, dan retailer. Istilah-nya company ini mempunyai cash conversion cycle negatif. Ini adalah company yang modalnya hampir hanya modal dengkul. Yes, company modal dengkul adalah company2 terbaik di dunia karena ROE-nya hampir infinite.

Kalau begitu, paling hebat adalah company yang isinya kewajiban semua dan equity-nya sekecil2-nya? Kewajiban atau liability ada dua macam, kalau ini hutang dari supplier bagus karena tidak ada bunga. Hutang dari supplier hampir tidak ada resiko (supplier-nya yg beresiko hehe) karena kalau kondisi market jelek, tinggal kembalikan saja inventory company ke supplier-nya. Ini termasuk kategori modal dengkul thus sangat bagus.

Tetapi kalau ini hutang ke bank atau obligasi (di Stockbit disebut sebagai "Debt"), yang harus bayar bunga, tergantung seberapa persen porsi bunga ini dari net profit margin-nya. Jika porsi-nya terlalu besar, maka begitu kondisi market jelek, dan market selalu ada kondisi jelek-nya, net profit akan langsung tergerus habis. Company yang bayar bunga terlalu besar akan cenderung membayar hutang-nya daripada membayar dividend. Company yang punya hutang besar juga akan lebih susah mengambil kesempatan bisnis yg bagus.

Tetapi bukan itu masalah utamanya, company dengan hutang terlalu besar biasanya adalah indikasi company yang tidak bagus. Company bagus akan mempunyai net profit yang bagus, sehingga tidak perlu hutang banyak2, sehingga kalau sampai hutang-nya banyak pasti ada yang salah. Jangan2 net profit-nya akal2an, sehingga actual-nya tidak ada free cash flow thus berhutang-lah mereka.

Jadi kapan hutang besar bisa dijustifikasi? Adalah pada saat ada peluang mendapatkan net profit growth yang sangat besar. Biasanya ini adalah company baru, tetapi bisa juga company lama yang menemukan segment pertumbuhan baru. Profit growth yang besar akan bisa membuat hutang tsb bisa dibayar dengan cepat dan selanjutnya kita akan enjoy net profit yang sangat besar. Dalam case seperti ini, tidak apa2 berkorban tidak dapat dividend sementara.

Dan juga perhatikan, ROE perusahaan apapun di industri apapun semuanya akan mempunyai kecenderungan menuju ROE yang sama, kecuali jika company tersebut mempunya keunggulan yang sangat unik seperti kontrak khusus, paten khusus, posisi khusus, monopoli, oligopoli, atau teknologi yang company lain tidak punya. Jika tidak, industri yang mempunyai rata2 ROE sangat tinggi akan menarik pemain lain, seperti semut mengerubungi gula, sehingga terjadi kompetisi harga, yang akhirnya mendrive harga penjualan menjadi rendah, sampai akhir-nya ROE-nya akan turun dan lambat-laun menjadi sama dengan seluruh industri lain-nya.

YANG PERLU DIWASPADAI ADALAH, masalah istilah yang sering membingungkan. ROE adalah tidak sama dengan earning yield. ROE sebuah company dihitung berdasarkan book value dari company tersebut. Tetapi company bisa mempunyai market cap yang jauh lebih besar daripada book value-nya, atau PBV yang jauh lebih besar daripada 1. Kita sebagai investor yang kita bayar adalah market cap-nya, BUKAN book value-nya, sehingga ROE bagi investor saham adalah sama dengan earning yield-nya, atau berapa % return kita dari market cap company yang kita bayar.

Hati2 juga karena walaupun namanya ROE singkatan dari return-on-equity, equity yang dimaksud adalah TERMASUK intangible asset dan goodwill. Intangible asset dan goodwill most likely AKAN NOL jika company tersebut bangkrut. Oleh karena itu waktu melihat ROE, make sure "equity" yang kita perhitungkan hanya bagian yang book value-nya saja.

Harus hati2 karena dewasa ini banyak company sakit jiwa yang intangible asset-nya tidak masuk akal bahkan sudah masuk ke ranah penipuan dengan melakukan swap merger dengan nilai equity intangible yang di-gelembungkan sesuka2 jidatnya sendiri.

Net profit margin yang lebih besar juga bukan berarti tidak ada artinya. Net profit margin yang besar akan memberikan keamanan yang lebih karena akan lebih toleran kepada kesalahan2 yang terjadi di operational. Net profit margin yang lebih kecil tentu lebih rawan kepada kesalahan operational.

TETAPI, RISK tidak bisa dilihat hanya dari besar-nya net profit margin. Perusahaan distribusi net profit margin-nya hanya 1%, tetapi dengan system kontrol yang baik, dan ini relatif sangat mudah, bisnis-nya hampir tidak ada resiko karena hanya memindahkan barang dari satu titik ke titik lain dalam waktu yang sangat singkat. Hakikat-nya 1% ini sudah merupakan kepastian.

Sedangkan perusahaan software development yang mempunyain net profit margin bisa mencapai 30%, mempunyai resiko project molor yang sangat besar, sehingga project 3 bulan, terlambat 1 bulan, sudah memangkas habis net profit margin 30% tersebut menjadi hampir tidak bersisa.

Jadi walaupun net profit margin besar in general memiliki risk lebih kecil, tetapi secara keseluruhan belum tentu risk-nya lebih kecil dari yang net profit margin-nya hanya 1%. Kita harus paham seperti apa operation-nya.

Bagaimana dengan gross profit dan operating profit? Bukankan net profit yang paling penting karena ini betul2 uang bersih yang kita terima setelah potong pajak dan segala macam cost yang timbul? Betul, tetapi kadang2 ada company potential yang baru ber-operasi, dimana hutang-nya masih besar sehingga beban bunga-nya masih besar, depresiasi dan amortisasi-nya juga masih besar, yang jika diperhitungkan akan susah meng-compare company tersebut dengan company lain.

Operating profit adalah profit yang didapat tanpa memperhitungkan biaya bunga bank, depresiasi, amortisasi dan pajak sehingga kita bisa membandingkan-nya dengan lebih fair terhadap company lain.

Gross profit adalah profit yang didapatkan dengan hanya memperhitungkan direct cost terhadap barang yang dijual. Gross profit yang baik menunjukkan company tersebut mempunyai sources bahan baku yang lebih baik. Tetapi saya secara pribadi tidak terlalu peduli terhadap gross profit karena cerita gross profit masih jauh dari selesai, sedangkan operating profit bisa memberikan cerita yang lebih tuntas.

Belakangan ini ada satu suhu yang berkali2 mengatakan hanya peduli story dan tidak terlalu peduli dengan semua indikator2 di atas. Either dia hanya mau buat ramai saja, atau memang sudah semakin arogan hehe so gak usah terlalu diperdulikan.

Yang betul adalah begini. Story yang harmonis atau selaras itu harus lengkap baik dari sisi narasi maupun indikator2-nya. Oleh karena itu, seringkali kita menemukan narasi yang bagus setelah melihat anomali di indikator2nya, dan sebalik-nya mengetahui narasi besar-nya sehingga kita tahu indikator mana yang harus kita cek.

Misalnya dinarasikan dunia sedang shortage coal, tetapi kalau net profit sebuah perusahaan coal tidak tumbuh significant, ya narasi itu adalah narasi bualan atau company tersebut sedemikian buruknya sehingga tidak bisa memanfaatkan kesempatan bagus tersebut.

Atau sebuah company net profit growth-nya mendadak tinggi, tetapi tidak ada narasi yang mendukung karena misalnya resesi sedang terjadi dan company itu tidak terlihat mempunyai keunggulan khusus. Ya ini either net profit growth itu adalah manipulasi keuangan atau kita kurang jeli mengenali apa narasi unggulan-nya alias tanda2 kita belum begitu paham dengan company tersebut.

Indikator2 di atas adalah part dari story, mengabaikan story ini akan menghasilkan musik sumbang yang tidak Indah untuk didengar.

Jangan malas untuk membedah semua indikator di atas ke setiap segment pendapatan dan market-nya (local dan luar negeri), Anda akan mendapatkan story yang lebih Indah lagi. Seringkali hidden gem terkubur di dalam segment dan market-nya.

Terakhir sebagai penutup, psikologis diri sendiri adalah hal yang paling susah untuk ditakluk-kan. Ada yang bagus sekali membedah indikator sebuah company, tetapi potensi profit yang menggiurkan bisa membuat-nya menubruk company dengan GCG yang sangat meragukan. Maling itu akan mencuri di setiap kesempatan yang ada -- so bagaimana melindungi diri kita dari maling -- ya jangan kasih celah sedikit pun hehe

Atau sudah jelas value hanya dihasilkan dari net profit atau free cash flow, tetapi terpancing ke saham yang lebih popular karena tergiur dengan potensi capital gain lebih cepat. Capital gain adalah sebuah kepastian, tetapi tidak bisa dipredict kapan market akan meng-apreasiasi-nya. Jadi untuk apa menukar sebuah kepastian dengan ke-tidak-pastian.

Saya suka investor yang suka gambling karena mereka biasa-nya lebih sensitif terhadap psikologis diri sendiri.

Happy investing!

$IHSG $INDF $PTBA $ITMG $SMDR

Read more...
2013-2024 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy