Measuring the holding company worth, value trap or priced in?
Melihat valuasi para holding company dari grup konglomerat ternama di Indonesia yang rata-rata dihargai murah, padahal punya segudang anak usaha prospektif dengan valuasi anak usaha yang lebih mahal daripada induknya.
Apa yang menyebabkan valuasi para holding company ini dihargai murah?
1. Kemungkinan karena jauhnya jarak sumber uang dengan holding itu sendiri & adanya kebutuhan permodalan tersendiri di tingkat subholding. Contohnya : Salim Group melalui First Pacific, investment holdingnya yang listed di Bursa HK menguasai 50,07% saham INDF, sementara itu INDF sebagai subholding memegang 80,53% saham ICBP.
Sumber uang utama group ini adalah dari cash dividend ICBP yang artinya ketika ICBP membagi dividen yang menerima terlebih dahulu adalah INDF sesuai porsi kepemilikannya.
INDF sendiri sebagai subholding juga punya kebutuhan permodalan tersendiri entah untuk pembayaran utang maupun mendanai capex anak usahanya yang lain seperti Bogasari.
Jadi sisa cash yang bisa dibagikan INDF melalui dividen ke First Pacific pun kemungkinan menyusut.
Misalnya dari berita tahun lalu ICBP membagikan dividen Rp 2,5T yang artinya INDF memperoleh sebesar 80,53% X Rp 2,5T = Rp 2,01T.
Lalu INDF sendiri membagikan dividen sebesar Rp 2,44T (Rp 2T anggap dari dividen ICBP + Rp 440M dari uang INDF sendiri), yang artinya First Pacific sebagai holding memperoleh sebesar 50,07% X Rp 2,44T = Rp 1,22T.
https://cutt.ly/NKToYKq
2. Kurangnya likuiditas transaksi harian saham para holding company, kemungkinan karena publik lebih menyukai operating company sebagai sumber cashflow, dalam hal ini anak-anak usaha para holding company, dibanding holdingnya sendiri yang kebanyakan adalah non operating. Namun hal ini bisa dibantu dengan stock split / penerbitan saham baru jika manajemen mau, seperti pada contoh SRTG & DSSA yang on the way.
https://cutt.ly/ZKToYB1
https://bit.ly/3QIZkO6
3. Kompleksitas struktur kepemilikan seperti subholding di bawah holding membuat berkurangnya daya tarik untuk berinvestasi di holding company itu sendiri, dikarenakan bisa jadi setiap subholding mempunyai kebutuhan capex / pendanaan tersendiri yang berpotensi mengurangi dividen yang diterima holding.
Namun bukan berarti semua investment holding bersifat uninvestable, jika emiten holding company punya ciri-ciri berikut mungkin bisa dipertimbangkan :
1. Punya guideline & keterbukaan informasi yang jelas dalam mengambil keputusan investasi, merger&akuisisi, partial exit ataupun divestasi.
2. Punya lebih dari 1 anak usaha yang bisa memberikan cashflow rutin dalam bentuk cash dividend.
3. Kapasitas permodalan yang mumpuni dan track record owner / group yang baik.
4. Bonus info apalagi jika bisa merinci Net Asset Value (NAV) atau total market cap anak-anak usahanya yang listed dikali % kepemilikan oleh emiten holding tersebut, seperti di web $SRTG yang menampilkan NAV VS Market Cap, ini bisa menjadi salah 1 metode untuk mengcompare valuasi emiten holding itu sendiri dengan asumsi semakin tinggi gap antara NAV dengan market cap Emiten Holding maka semakin murah valuasi emiten holding tersebut. Namun tidak bisa serta merta dipukul rata cara valuasinya karena tentu banyak faktor lain yang terlibat.
https://bit.ly/3u1DzPH
Berikut contoh emiten holding company dari group konglomerasi Indonesia yang cukup berpengaruh :
1. Salim Group : First Pacific sebagai holding total food solution & infrastructure yang listed di HKEX dengan $INDF & ICBP sebagai kontributor revenue utama di Indonesia.
2. Saratoga : Investment Holding Company yang Listed di IDX dengan ticker $SRTG dengan anak usaha sumber utama cashflow dividend dari ADRO TBIG MPMX.
3. Astra International Group : $ASII sebagai holding otomotif, mining, agri & financial dengan UNTR sebagai kontributor utama revenue group sejak commodity supercyle ini.
4. Sinarmas Group : $DSSA sebagai holding mining related & infrastructure dengan GEMS sebagai kontributor utama dan SMMA sebagai holding financial business.
5. Emtek Group : $EMTK sebagai holding media & tech related dengan kontributor revenue utama dari SCMA & BUKA sebagai pendongkrak valuasi.
6. Lippo Group : MLPL sebagai holding retail, finance & tech related dengan LPPF & MLPT sebagai kontributor revenue utama dan LPKR sebagai holding property & healthcare.
7. MNC Group : BHIT sebagai investment holding multisektoral dengan MNCN sebagai kontributor revenue utama group.
8. Panin Group : PNIN sebagai holding financial business dengan kepemilikan besar di PNLF sebagai subholding bank & asuransi.
Disclaimer on : Hanya sekedar sharing dan bukan rekomendasi jual beli. Tidak ada jaminan saham yang masuk ke group konglomerasi tertentu selalu baik / buruk. DYOR.
1/10