Market Panic Lagi?
Dollar Index Sudah Di Level >100. Terakhir kali Dollar Index di atas 100 adalah ketika Maret 2020. Saat itu Dollar tembus 16.000 rupiah. Dan semua bursa dunia crash.
Apakah hal tersebut akan terulang kembali?
Saat ini dollar sudah mencapai 14.500. Dan market Amerika sudah crash duluan. Semua saham teknologi yang dipuja - puja new economy anjlok. Semua saham overvalued kembali ke real value-nya. Ternyata hanya 2 tahun saja saham teknologi panas. Setelah itu jeblok. Sudah menjadi takdir ilahi memang saham yang overvalued harus anjlok.
Duit yang dipakai buat goreng saham teknologi di Nasdaq mulai ditarik karena sejak naiknya Interest rates dan inflasi maka nampaknya era cheap money akan berakhir. Di 2020-2021 orang dapat ambil pinjaman dengan bunga murah untuk bisa goreng saham. Ketika Interest rates naik maka uang untuk goreng saham menjadi mahal. Jadi memang keputusan yang logis kalau semua investor yang goreng saham teknologi pakai margin mulai cash out.
History repeat itself seperti Era dot com bubble. Nothing new under the sun.
Para trader yang happy selama 2020 - 2021 sudah banyak yang bangkrut. Terlihat jelas dari berkurangnya jumlah trader di Robinhood. Satu per satu spekulator gugur di medan Trading.
Interest rate naik, perang, dan inflasi. Itu membuat banyak orang ketakutan. Ketakutan tersebut tercermin dari Dollar Index yang naik. Naiknya dollar index menandakan bahwa semua orang lebih memilih simpan aset dalam bentuk dollar ketimbang aset lain.
Market sudah ketakutan tapi ketakutan tersebut belum maksimal karena VIX masih di kisaran 30an.
Normalnya VIX itu di kisaran 13-19. Dan
Ketika Maret 2020, VIX tembus angka 85. DXY 102. Saat itu betul-betul total panic.
Jika perang terus berkelanjutan dan inflasi tak terkontrol maka bukan tidak mungkin kita akan kembali ke Maret 2020.
Indikator kepanikan VIX dan DXY sudah memperlihatkan hal tersebut.
Strategi untuk menghadapi kondisi market seperti itu?
Ada banyak strategi.
Strategi 1: Cash out. 100% out of the market. Wait and see.
Strategi 2: 50% stay in market, 50% cash
Strategi 3: 100% stay in market, dengan fokus di saham yang Undervalued dan zero dollar debt.
Strategi 4: scalping dan ODT everyday manfaatkan momentum. Karena di saat market merah, selalu ada saham yang hijau.
Strategi mana yang terbaik? Itu tergantung pada profil resiko masing-masing.
Kalau saya sendiri lebih memilih strategi 2. Di Maret 2020 ketika market terbakar saya pakai strategi 3. Dan hasilnya tetap bisa cuan tapi rasanya sakit banget waktu pakai strategi 3 karena waktu market anjlok berat di 20-30 Maret 2020, duit saya sudah habis. Tidak sempat lagi serok bawah. Jadi saya mau pakai strategi 2 saja untuk selalu sedia kas untuk serok bawah.
Tak ada saham yang selamanya naik. Saham yang sudah overvalued dan punya eksposur besar ke interest rate dan Utang dollar serta tidak punya kemampuan menaikkan harga jual barang dan jasa, saya sell.
Yang mungkin saya akan hold adalah perusahaan yang Undervalued, utangnya tidak bergantung pada interest rate dan Utang dollar minimum dan punya kekuatan untuk menaikkan harga jual barang dan jasa.
Perusahaan yang gagal menaikkan harga jual produk di era inflasi akan menjadi perusahaan yang rugi.
Disclaimer: http://bit.ly/3bLj4Oc
$IHSG $USDIDR $OIL $XAU $BTC
1/3