Mengapa Trader Harus Cutloss?
Jawaban sederhananya karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli.
Beberapa trader yang saya kenal, malas baca berita dan enggan buka laporan keuangan. Katanya itu tidak berguna, hanya menimbulkan keraguan ketika mengambil keputusan.
Semua valuasi dan semua sentimen di market sudah tercermin di harga saham. Jadi daripada sibuk cari berita dan cari laporan keuangan, lebih baik sibuk lihat chart pattern dan volume trading.
Jadi mereka memang tidak tahu saham apa yang mereka beli. Entah saham itu jualan sabun atau jualan sempak, mereka tidak peduli. Siapa direkturnya atau siapa selingkuhannya, mereka tidak peduli.
Berita perusahaan cetak laba 1000% atau perusahaan rugi 1000%, mereka tidak tidak peduli. Perusahaan kerjasama dengan Amazon atau Tesla, mereka juga tidak peduli.
Mereka memandang saham itu hanya barang dagangan belaka yang perlu diperjualbelikan sesuai sentimen market.
Oleh karena itu mereka hanya beli ketika saham on the way menuju uptrend dan keep hold selama uptrend lalu take profit ketika trend mulai patah.
Kawan saya yang trader hanya akan beli saham yang breakout dari pola double bottom dan cup and handle saja. Untuk pola lain dia tidak pernah sentuh. Katanya pola double bottom dan CnH lebih banyak berpotensi bagger jika dibandingkan dengan chart pattern lainnya. Saya sendiri tidak yakin dengan kebenarannya. Tapi dia memang beberapa kali dapat saham bagger dengan menggunakan metodologinya tersebut.
Jadi dia hanya cari saham yang berpotensi membentuk pola double bottom atau CnH. Ditarik garis necklines untuk breakout resistancenya. Dia hanya akan beli jika neckline resistance itu jebol dengan disertai volume breakout. Untuk volume breakout, standard yang dia pakai sederhana saja yakni jika volume transaksi saham 3x lipat lebih banyak dari transaksi harian dalam 1 bulan terakhir.
Setelah buy, langsung pasang cutloss di minus 3-5%. Selesai.
Kalau habis beli di breakout ternyata harga saham anjlok, dan titik CL kena, ya sudah. Move on.
Kalau rally lanjut terus, dia langsung pasang trailing stop. Tiap naik harga, naikkan trailing stop, sampai rally selesai dan TP begitu trailing stop kena. Dan move on.
Jadi tidak ada drama sama sekali. Dia tidak perlu tahu kenapa harga saham naik dan kenapa harga saham turun. Dia tidak tahu saham apa yang dia beli. Dia tidak peduli perusahaan itu laba berapa dan rugi berapa. Dia tidak tahu utang perusahaan berapa dan akan lunas kapan. Semua informasi tersebut tidak berguna bagi dirinya.
Jadi pasang cutloss dia lakukan untuk melindungi dirinya dari ketidaktahuan tersebut.
Pendekatan market tersebut tentu berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh investor berbasis Fundamental. Sebelum membeli saham, fundamentalist wajib melakukan riset, menghitung laba, mengecek utang, menghitung valuasi. Jika valuasi murah, dibeli. Jika valuasi mahal, jangan dibeli.
Malah ada investor yang sampai tahu luar dalamnya perusahaan, bukan hanya laba, kas dan jaringan distribusinya, tapi sampai tahu juga merek celana dalam direkturnya dan tempat dugem komisarisnya. Riset hingga titik darah penghabisan.
Oleh karena itu ketika harga saham anjlok dan valuasi perusahaan makin murah maka investor akan terus menambah posisi dan terus beli sampai akhirnya mereka jadi komisaris. Investor yang sudah tahu saham apa yang dia beli tidak akan takut dengan yang namanya penurunan harga saham.
Tapi apakah investor tidak mengenal cutloss? Investor bisa cutloss juga tapi biasanya mereka cutloss jika kondisi fundamental perusahaan berubah. Seperti laba anjlok, utang bertambah atau tagihan beli tas Hermès selingkuhan direktur ternyata dimasukkan dalam faktur belanja perusahaan.
Jadi tinggal pilih saja, mau jadi trader murni yang tidak peduli dengan kondisi fundamental perusahaan atau mau jadi investor murni yang melakukan riset mendalam pada perusahaan.
Mau jadi investor-trader gado-gado juga tidak masalah sih. Yang penting kurangi drama kehidupan.
Disclaimer: https://bit.ly/3L7VCea
Random Tag: $PNLF $BBRI $BBCA $NETV $BAUT