imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$IHSG
SECOND LEVEL THINKING : INTRODUCTION

Pada kesempatan ini saya akan membahas salah satu chapter pada buku favorit saya yaitu The Most Important Thing by Howard Marks, chapter yang saya bahas kali ini adalah The Importance of Second Level Thinking. Apakah itu second level thinking ? Apakah berbeda dengan first level ? dan Apa hubungannya dengan saham ?
Mari kita simak
============================================

-First level thinking mengatakan, “Perusahaan itu bagus; ayo beli sahamnya.”
Second level thinking mengatakan, “Perusahaan itu memang bagus, tetapi semua orang mengatakan perusahaan tersebut sempurna dan kenyataannya tidak. Sahamnya terlalu overrated dan overpriced, jual saja”
-First level thinking mengatakan, “outlook ke depan menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan naiknya inflasi. Ayo jual semua saham.”
Second level thinking mengatakan, “oulook ke depan memang buruk, namun semua orang panic dan menjual sahamnya. Buy!”
-First level thinking mengatakan, “Saya rasa laba perusahaan ini akan turun; saatnya jual.”
Second level thinking mengatakan, “Saya rasa laba perusahaan ini akan turun,namun tidak seburuk apa yang orang – orang ekspetasikan dan hal tersebut akan meningkatkan harga sahamnya.”

Dari sini kita bisa lihat kalau first level thinking itu superficial dan simple , dan hampir semua orang bisa melakukannya. Apa yang first level thinker butuhkan hanya opini tentang masa depan / ekspetasi dan outlook perusahaan ke depannya tanpa memikirkan resiko terlebih dahulu. First level thinker lebih mudah digiring oleh media , contoh saja baru – baru seorang investor besar di Indonesia membeli suatu saham secara massif , begitu fotonya keluar orang berbondong2 ikut membeli saham yang sama tanpa melakukan analisa terlebih dahulu, yah yang beli diawal memang untung namun bagaimana yang beli di pucuk, apakah niat awalnya memang investasi atau hanya ikut – ikutan, apalagi kalau suda beli di pucuk memberi alasan ke diri sendiri “ah gpp nanti juga naik lagi”/”beliau kan seorang investor besar uda pasti analisa mantap”. Satu hal yang teman – teman lupakan ada perbedaan “nafas” antara beliau dan teman – teman, apa kalian sanggup hold selama beliau , apakah dana teman – teman sekuat beliau dan apakah teman – teman tau alasan beliau beli, beli di harga berapa dan nilai intrinsik dari perusahaan yang beliau beli. Setiap orang memiliki risk profile masing – masing; risk dulu baru reward itu yang penting, baik teman – teman adalah seorang investor / trader, tetap psikologi memainkan peranan penting.

Bagaimana dengan second level thinking ? second level thinking mengharuskan kita untuk berpikir lebih dibandingkan yang lainnya, karena orang lain juga well informed dan smart, kita harus memiliki edge yang mana orang lain tidak punya. Edge disini dapat diartikan misal kita lebih paham suatu bisnis dibandingkan orang lain, bisa juga kita punya insight lebih dibanding lainnya baik itu makro /mikro atau kita lebih banyak menggali informasi, bisa juga kita memiliki suatu relasi, dsb. Second level thinking melalui proses yang lebih kompleks ketika menentukan sebuah pilihan, apakah ini betul – betul bagus ? Apa menurut yang lain bagus / jelek ? Apakah menurut saya pribadi ini betul – betul bagus ? Apakah akan ada perubahan ke depannya ? Bagaimana bentuk perubahannya ? Bagaimana menurut orang lain terhadap perubahan tersebut ? Second level thinking takes a great many things into account :
-Berapa kisaran kemungkinan hasil yang saya prediksi di masa depan terjadi ?
-Kira – kira hasil yang mana yang akan keluar kedepannya ?
-Berapa probabilitas saya benar ?
-Bagaimana pendapat orang lain ?
-Apakah pendapat saya berbeda dengan orang lain dan Bagaimana perbedaannya ?
-Apakah menurut pendapat orang – orang dengan harga saat ini bullish / bearish ?
-dst

Sampai disini saya yakin teman – teman akan berpikir jadi second level thinking ini intinya jadi seorang kontrarian ? yap itu tidak salah karena target kita dalam berinvestasi jelas untuk mendapatkan above average return atau istilahnya we want to beat the market, dan agar performa kita lebih baik daripada market we have to react differently dan behave differently, dengan kata lain we have to think different dan harus benar dibandingkan pendapat orang – orang (different and better kata yang cocok menggambarkan second level thinking); namun disini saya ingin menekankan being a contrarian bukan berarti menjadi mindless contrarian. Musuh terbesar dari second level thinking adalah diri kita sendiri atau perilaku following the herd, saya yakin kita semua lebih suka jika memilih suatu perusahaan banyak yang setuju, terasa lebih nyaman daripada beda sendiri; tapi apakah beda pendapat menunjukkan kita salah. Pada buku Howard Marks dianalogikan seperti kontes pemilihan wanita tercantik dari 100 orang wanita, pemilihan tersebut berdasarkan voting, banyak orang akan memilih selera masing – masing yang berarti itu subjektif, siapakah yang menang ? apakah wanita tercantik / yang paling populer ? jalan menuju kemenangan bukan memilih wanita yang paling cantik namun kita bisa memilih wanita manakah kira – kira yang menurut pemilih “akan” menjadi populer.

Berikut saya cantumkan memo asli The Second level thinking dari Howard Marks sang penulis buku The Most Important Thing untuk Oaktree clients
https://bit.ly/2FGvWs0

DISCLAIMER ON - Apa yang saya tulis merupakan bagian superficial dari second level thinking , tentunya membaca secara teoritis dan aplikasi adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu saya memutuskan untuk memberikan contoh based on my experience untuk penggunaan second level thinking pada satu emiten dan akan saya post apabila sudah selesai.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy