hi, just want to share my 2 cents view. NISP dan BTPS memiliki business model dan target market yg sangat jauh berbeda sehingga profitability margin, prospek pertumbuhan, dan NPL quality dari 2 bank ini juga berbeda. It's not an apple to apple comparison. Penjelasan yg lebih detail sbb:
1). Existing nasabah BTPS adalah segmen Ultra-Mikro dimana para Ibu Rumah Tangga (99% of portfolio) dari keluarga Pra Sejahtera yg non-bankable dgn average loan amount IDR 2.1 jt (start from 1-3 jt).Mereka tidak punya akses ke perbankan dan hanya bisa mengandalkan pinjaman dari lintah darah yg bunganya bisa up to 200% per thn. Saat ini masih ada sekitar 45 juta org usia produktif yg masuk ke segmen ini. Bisnis modelnya account officer BTPS yg mendatangi calon debitur. BBRI saja dgn KURnya masuk dgn plafon rata2 Rp. 25 juta. Praktis tidak ada kompetitor di segment ini dan hampir tdk ada bank yg mau menggarap segment nasabah ini.
2). Pemberian loan diberikan ke 1 Kelompok (tdk dlm skala individu) yg terdiri dari 5 ibu rumah tangga dimana kalau ada 1 org yg pinjamannya bermasalah indirectly teman2nya hrs membantu utk bertanggung jawab (memberikan social pressure bagi debitur yg nakal) BTPS memberikan training (5 mandatory trainings), bantuan jasa pelatihan dan pendampingan sebagai satu PAKET dgn pinjaman. Ini sifatnya wajib diikuti oleh debitur. Ada pertemuan 2 minggu sekali dimana ada jadwal pelatihan dan sekaligus pembayaran instalment dari pinjaman debitur. BTPS memiliki ribuan account officer, dimana kebanyakan wanita lulusan SMA/D3/S1 yg akn membimbing dan mengawasi debitur ini.
3). Tenor pinjaman 1 tahun dgn instalment pokok dan interest setiap 2 minggu 1x. Pinjaman ini sifatnya Clean alias tidak ada jaminan. Kalau debitur ini mampu membayar dgn baik, baru akan diberikan pinjaman baru. Jadi harus ada track record dulu. Debitur diberikan bantuan HP yg bisa diakses utk mbanking transaction lewat aplikasi khusus BTPS. BTPS jg menggandeng vendor utk loan disbursement dan collection.
4). BTPS practically bisa mencharge bunga/bagi hasil yg lebih tinggi karena memang hampir tdk ada competitor dan buat debitur masih jauh lebih ringan dibandingkan hrs pinjam ke loan shark. Hal ini menjustify Net Interest Margin BTPS di sktar 30-35% jauh diatas average NIM banking industry 5%. Tingkat NPL jg relatif rendah krn pengawasan yg ketat dari bank, pemberian pelatihan, personal approach dari Acct Officer, dan management BTPS yg sudah berpengalaman. Belum lagi DPK BTPS banyak dari CASA dan tentunya dukungan kuat dari SMBC sebagai parent bank dimana kita tahu sumber dana bank Jepang sangat murah, even after diswap ke Rupiah.
5). Kombinasi NIM yg tinggi, efisiensi dgn penggunaan aplikasi, dan prospek untapped prospect client yg diperkirakan sebesar 45 juta (vs total debitur BTPS skitar 10.000 saja) membuat pertumbuhan EARNING dan EPS yg luar biasa. For the past 5 yrs, rata2 EPS Growth 40-50%. EPS 2015 hanya Rp. 22 dan EPS 2019 mencapai 184 (Naik 9x lipat dalam 5 tahun). Di 1H2020 EPS hanya Rp. 53.5 atau Rp 107 (annualized) lebih banyak karena efek pandemi COVID 19 dan peningkatan provisi karena peraturan CKPN yg baru. Inipun EPSnya masih 5x lipat EPS 2015.
6). Faktor GROWTH, target market yg NICHE, future prospek, dan NPL yg rendah dari pinjaman mikro (compare to NISP yg NPLnya berasal dari pinjaman segment Entreprise dan Corporate yg jauh lebih beresiko) menjustify mengapa valuasi BTPS (baik P/E maupun PBV) jauh lebih tinggi dibandingkan NISP. Catatan untuk industri perbankan memang lebih tepat digunakan PBV karena ada unsur Earnings dalam P/E dimana setiap bank memiliki metode yg berbeda dlm penentuan biaya pencadangan kredit.
7). Asset NISP sebesar 167 T tentunya akan lebih terbatas pertumbuhannya dibandingkan asset BTPS yg masih 15T dan prospek nasabah yg besar. NISP adalah bank yg memang konservatif dgn rata2 LDR 80-86% dan cost of fund yg relatif tinggi dibandingkan BTPS. LDR yg rendah menyebabkan pressure thd NIM (bank tetap hrs membayar bunga deposan apalagi NISP banyak porsi deposito yg bunganya mahal). Rasio BOPO NISP juga ikut naik seiring dgn growth kredit yg lebih rendah. Walaupun gross NPL NISP hanya 1.8% perlu dicermati bahwa NPL berasal dari debitur korporasi/enteprise banking segment yg nilai pinjamannya tinggi.
8). NPL ratio ini berpotensi menyebabkan loss yg signifikan. Contoh dgn ratio NPL 1.8% dari asset kredit sebesar 100T saja dari total kredit 170T , equivalent 1.8T (asumsi kredit macet dan tidak tertagih). Net profit 2019 NISP hanya 2.9T. Dgn rata2 net profit dari 1 pinjaman hanya 3% dibutuhkan 30x lipat jumlah pinjaman tersebut utk menggantikan 100% nilai pinjman yg tidak tertagih.
9). Pertumbuhan revenue, profitability margin, ROE dan EPS NISP sangat rendah compare to BTPS. Bahkan sejak 2017 EPS NISP cenderung turun. Secara metematis akan lebih menguntungkan untuk berinvestasi di perusahaan dgn EPS growth yg lebih tinggi walaupun P/E lebih mahal. Dalam 10 tahun lebih baik (assumung others are equal dan EPS sama2 Rp. 1 misalnya) berinvestasi di company A dgn P/E 20x dgn 20% Earning Growth dibandingkan company B dgn P/E 10x dgn 10% Earning Growth. bahkan kl company A P/Enya turun ke 15x masih tetap lebih menguntungkan.
10) Fundamental NISP tidak jelek dan bank ini memang dikenal sangat konservatif. Namun investor tetap melihat faktor growth dan earning. Meminjam istilah Peter Lynch, NISP termasuk kategori company Slow Grower dan BTPS Fast Grower
11) Saya tidak memiliki saham BTPS dan NISP. Kalau kedua bank ini dianalogikan sebagai calon debitur, bank (kreditur) mungkin lebih senang memilih bank NISP karena sangat prudent dan punya long track record However dari kacamata investor saham, menurut saya BTPS lebih memberikan prospek potensi kenaikan harga.
Sedikit komentar untuk WIIM. Perusahaan ini memang diuntungkan dgn adanya perpindahan segment konsumen rokok HMSP yg mencari alternatif rokok yg lebih murah dan perbedaan harga cukai rokok tier 1 yg lebih tinggi. Sales WIIM yg cuma 1T compare to HMSP dan GGRM 100an T akan punya prospek kenaikan revenue. Fenomena ini juga terjadi pasa saat krisis 98 dimana konsumen beralih ke rokok yg lebih murah.