CONTRARIAN INVESTING SERIES PART 11
CONTRARIAN SELLING RULES
Menjual saham selalu menjadi menjadi sesuatu yang lebih sulit untuk membuat keputusan dibanding membeli saham.
Ketika membeli saham, seringkali ketika kita menemukan saham dibawah nilai wajar ataupun harga saham sudah turun diatas 50% (down-by-the-half-rules) maka kita membeli saham tersebut.
Ketika saham turun setelah itu, maka sering kali kita bersuka hati untuk average down saham yang kita koleksi tersebut.
Bahkan ketika mengincar suatu saham yang misalkan kita target beli di 520, dan saham baru turun ke 530 setelah itu rebound ke 540 maka kita "TAKUT" ketinggalan kereta dan kita malah membeli saham diatas harga target kita. Jika kita ketinggalan dan lihat teman2 kita profit dari saham tersebut maka ada sisi PRIDE kita tergores.
Coba kita bandingkan dengan momen kita menjual saham. ketika saham tersebut kita targetkan jual di 700, dan akhirnya harga sudah menyentuh 700 dan kita lihat market masih mendukung untuk naik diatas 700 dari begitu ramainya volume yang ingin buy saham tersebut, sehingga membuat kita untuk HOLD saham kita "sebentar lagi" untuk bisa mendapatkan profit lebiy tinggi. Sudag manusiawi sebagai manusia untuk selalu memiliki sisi GREED.
Ketika saham tersebut turun sampai ke 400, dan misalkan kita menggunakan Trailing Stop atau Cut loss didalam sistem investasi kita, sering kali ketika harga sudah menyentuh dekat 400, jari kita mulai gelisah apakah mengubah titik cut loss kita atau tidak, yang seringnya YA kita ubah cut loss kita, karena kita yakin harga saham pasti akan REBOUND, dan ketika harga saham turun terus menerus maka kita mulai panic karena sisi FEAR kita biasanya muncul saat itu, dan seringkali ketika itu terjadi kita sell dan bbrp hari kemudian harga saham tersebut benar2 rebound.
Hal ini membuat kita marah dan biasanya bilang investasi saham itu konspirasi jahat, masa pas kita beli harga saham bisa turun dan ketika kita jual harga saham malah naik, seperti ibaratnya pasar saham hanya berisi 1 investor saja dan market mengerjai anda seorang diri. Nalar tidak logis kita mulai muncul ketika sudah bercampur dengan EMOSI.
Rasa GREED dan FEAR adalah sesuatu yang lebih sulit dikendalikan dibandingkan PRIDE.
Untuk mengendalikan GREED dan FEAR didalam keputusan kita dalam menjual saham, maka perlu buat suatu SISTEM.
Karena ini tulisan tentang CONTRARIAN STRATEGY maka saya merangkum dari buku yang saya baca.
Saya tahu pasti banyak yang tidak setuju (termasuk saya sendiri yang menuliskan di postingan ini) maka saya akan tambahkan comment saya yang berisikan pandangan saya pribadi terhadap setiap rules ini.
Rules 1 - Pasang posisi Cut Loss 25% dari harga pembelian saham kita, dilarang untuk average down
Comment :
perlu dimengerti sebagai penulis buku, artinya terbuka opsi tulisan sang penulis dibaca oleh banyak orang dan yang baca belum tentu mengerti dengan dalam message yang ingin disampaikan oleh sang penulis sepenuhnya. Sehingga sang penulis harus membuat sebuah sistem yang AMAN untuk semua pembacanya, yang sering kali cuma baca di bagian yang mau dibaca.
Kalau anda membeli perusahaan yang anda tahu alasan kenapa anda UNTUNG KETIKA BELI maka menurut saya tidak ada salahnya untuk average down.
Sebagai contoh:
- Saya terus average down ITMG, Karena dengan harga buy saya maka dividen saja sudah diatas 10% dari harga buy pertama saya. Dan ketika market tekan tambah murah maka saya koleksi tambah banyak karena dari ratio utang, cashflow menunjukkan perusahaan ini baik2 saja. Masalah yang dihadapi cuma 1 yaitu harga batu bara yang terus merosot dan based on tulisan saya tentang gold-coal ratio ini adalah waktu tepat karena ini mendekati harga terendag batu bara yang mungkin terjadi jika dibandingkan harga emas. Jadi tidak ada alasan saya ga average down $ITMG.
- Baru2 ini saya sebenarnya ada koleksi 1 perusahaan KURANG BAGUS dan saya bersedia Average down letika diberikan kesempatan, yaitu $PPRO, alasannya saya diberikan kesempatan buy di harga 55, IHSG memiliki rules harga terendah 50, artinya potensi floating loss saya di kisaran 10% saja, dan biasanya perusahaan yang tidak bergerak di 50 adalah perusahaan yang disiplin RUGI. PPRO saya bilang bukan perusahaan bagus tapi juga bukan perusahaan JELEK yang pantas dihargai 50. Saya pernah membuat bedah LK tentang perusahaan ini dan saya menuliskan nilai wajar saham ini di sekitar 80. Artinya potensi loss saya 10% dan potensi profit saya di kisaran 50-60%. Artinya saya punya 5-6R. Saya masih didalam pandangan tahun 2020 sampai Q2 pasti bukanlah momen yang bagus untuk sektor properti di IHSG. Tapi potensi 5-6R yang disebabkan market risk karena reksadana bermasalah melakukan aksi jual membuat saya merasa salah jika tidak ambil kesempatan ini, bagaimana jika turun sampai 50? Pasti saya ikut antri.
- Saham ke 5 yang saya belum pernah sounding, jelas2 ada aksi corporate buy back di harga diatas nilai rata2 pembelian saya 20%. Sempat diberikan kesempatan untuk average down dimana harga saham sempat turun dibawah harga rata2 beli saya, saya ga habis pikir untuk average down
Intinya lakukan average down HANYA ketika anda tahu ALASAN anda lakukan average down seperti contoh2 yang saya berikan diatas.
Rules 2 - Jual ketika harga saham naik 50% atau sudah holding selama 3 tahun, mana yang terjadi terlebih dahulu.
Comment : saya masih bisa mengerti jika penulis menuliskan tentang cut loss karena itu akan membuat sistem untuk manajemen risk kita. Hal yang paling saya sulit mengerti adalah alasan ini. Karena ketika saya belajar contrarian adalah mencari saham yang bisa multibagger, tetapi kenapa malah rules yang dibuat justru hanya punya target profit 50% yang justru kebanyakan dibawah target saya sebagai value investor biasa yang rata2 hanya pilih saham dengan target 1 bagger.
Saya setuju sebagai investor jangka panjang, kita harus punya holding period atau waktu toleransi berapa lama kita pegang saham tersebut jika saham tersebut tidak "produktif". Buat saya holding period saya mengikuti Benjamin Graham yaitu 5 tahun(di buku ini ada kutip LTS Ben Graham 5 tahun dari Letter to Shareholder dia) , artinya jika saham ITMG saya 5 tahun harga ga bergerak2 cuma di kisaran 10rb-12rb, maka saya akan lepas saham tersebut.
Walaupun banyak yang tidak setuju dengan konsep trailing stop ketika saya sempat menuliskan tentang konsep tersebut, saya rasa saya akan pakai TS untuk mengamankan PROFIT saya.
Saya cukup yakin semua saham yang saya buy minimal akan bisa dapat 50% profit dalam 5 tahun, jika tidak maka setelah 5 tahun saya akan keluarkan saham tersebut dari koleksi saya karena bagi saya tidak "produktif", karena lebih menarik dan aman jika saya ambil compound interest dari deposito.
Jika saham yang saya buy di harga 1000 sudah naik 50%, maka saat itu Trailing Stop 25% saya akan aktif. Alasan saya kenapa saya berani pakai TS 25%, karena saya buy saham ketika saham tersebut lagi di masa pesimis, dan ketika naik 50% maka saham tersebut harusnya sedang berada di masa optimis yang harga saham kecendrungan naik. Tapi kalau lagi optimis market menghukum 25% penurunan bisa jadi optimisme tersebut memang sudah hilang dan alangkah baiknya profit yang dah didapat tidak mengikuti slogan pertamina "mulai dari angka 0"
Jadi ketika harga saham sudah naik ke 1500 maka cut loss saya menjadi 1125 (saya masih profit 12.5%, menyedihkan memang)
Ketika harga saham naik ke 2000 yang merupakan TARGET AWAL saya, maka saya akan melepaskan 50% kepemilikan saham saya. Dan untuk 50% sisanya berarti akan pasang cut loss naik menjadi 1500 (saya masih profit 50% dari sisa setengah kepemilikan saham saya)
Ketika harga saham naik ke 2500 (market berbaik hati tuk begitu optimis) maka posisi cut loss saya menjadi 1875. Dan begitu seterusnya.
TS ini akan saya terus saya naikkan selama market begitu optimis, tapi jika secara fundamental dah ga make sense maka lebih baik saya exit dan tidak usah menunggu stop loss saya kena.
Contoh tidak make sense : net profit naik 20% tahun ini tapi harga saham naik 200%. Pergerakan harga saham dengan kenaikan net profit tidak make sense maka saya lepaskan saja saham ini.
Loh jadi rumit begini cuma buat jual saham? Itulah kenapa si penulis buku contrarian membuatkan suatu rules yang aman untuk semua pembacanya karena tidak semua orang bisa menilai kapan momen tepat tuk exit.
Rules 3 - abaikan konsep TS jika anda melihat ada 1 indicator buy ini muncul untuk seorang contrarian
Comment :
Indicator buy yang dimaksud adalah pembelian saham oleh insider dalam jumlah cukup besar. (kisaran minimal 16M). Insider selalu punya informasi lebih dulu dibandingkan kita. Bagaimana om Ben menjual banyak sahamnya sebelum dia "hobi" menggunakan rompi orange sebagai item fashion nya. Ataupun insider lain yang membeli saham dalam jumlah besar tentu mereka membeli karena mereka melihat potensi profit kan. Jadi kalau anda melihat insider beli dalam jumlah besar anda boleh abaikan konsep TS yang saya jelaskan di poin no 2 ini.
Kalau saya akan menambahkan 1 lagi yaitu abaikan TS jika kenaikan harga saham dibawah kenaikan net profit (EPS tanpa proses divestasi). Jika laba bersih naik 50% dan harga saham naik 10% tentu secara logika nilai wajar saham kita pasti mengalami kenaikan, artinya target profit juga akan meningkat. Selalu hitung ulang target profit saham yang anda beli dengan formula perhitungan nilai wajar yang anda gunakan.
Sebenarnya sih kalau anda puas dengan 100% profit dalam 3-5 tahun maka anda boleh aja lepaskan semua saham anda ketika sudah mencapai target profit anda.
Dan saya cukup yakin profit 100% dalam 3-5 tahun sudah membuat anda mengalahkan fund manager manapun di Indonesia. (saya ga berani ngomong di dunia, karena membaca return fund manager di US yang begitu dashyat)
Jadi rules untuk jual tinggal kalian sesuaikan dengan preferensi masing2 selama imbal hasilnya worthed menurut anda ketika anda melakukan realisasi profit saham investasi anda.
-THOWILZ-