Berinvestasi dalam Lingkaran Kompetensi
Dalam proses pemilihan saham, penting bagi kita sebagai seorang investor yang cerdas untuk memahami cara kerja suatu bisnis. Warren Buffett pernah memberikan nasihat bahwa seorang investor seharusnya menjadi seorang analis bisnis, bukan analis pasar apalagi analis makro. Semua investor2 hebat seperti Buffet sendiri, Ben Graham, Phil Fisher, Charlie Munger, Peter Lynch sependapat bahwa memiliki saham itu berarti memiliki sebagian bisnis. Di balik lembaran saham itu ada perusahaan yang menerbitkannya, dan tiap2 perusahaan tentunya bergerak di model dan karakteristik bisnis yang berbeda-beda.
Analisis yang dilakukan sebelum membeli saham sebaiknya mencakup analisis pada bisnis, lalu periksa siapa orang2 dibalik bisnis tersebut, barulah analisis laporan keuangannya. Tapi yang saya perhatikan kebanyakan investor kurang memperhatikan atau kurang peduli akan aspek bisnis dan manajemen. Mereka cenderung senang untuk duduk dan memeriksa laporan keuangan perusahaan lalu memasukkan setiap angka2 disana ke dalam suatu rumus untuk menghitung rasio2 keuangan dan nilai intrinsik perusahaan. Tahukah anda, bahwa laporan keuangan tidak menjamin suatu fakta menganai kinerja perusahaan? Apakah dengan hanya menilai sebuah perusahaan yang mencatatkan ROE tinggi, Gross margin tinggi, DER rendah, PER rendah itu dapat memjamin bahwa itu adalah perusahaan yang bagus tanpa periksa dulu bisnisnya, keunggulan kompetitifnya, apa yang mereka jual, dan siapa manajemennya?
Analisis pada aspek bisnis saya jadikan sebagai tahapan paling awal dan paling utama sebelum membeli sebuah saham karena pengambilan keputusan yang saya ambil murni berdasarkan cara kerja (operasi) sebuah bisnis itu sendiri, dan saya harap semakin banyak investor yang menyadari akan pentingnya analisis bisnis ini. Dalam Bursa Efek Indonesia saat ini, tersedia sembilan sektor utama yang dapat menjadi pilihan investor beserta dengan puluhan sub sektor atau jenis usahanya. Pertanyaannya adalah, haruskah kita memahami seluruh sub sektor tersebut? Ya enggak lah, buat apa? Buang2 waktu. Kita semua memiliki batasan, begitu juga untuk memahami suatu bisnis. Dalam berinvestasi saham anda gak perlu berlagak macam para ahli yang seakan2 anda paham semua sektor yang ada di bursa, lalu anda mendiversifikasi portofolio anda ke seluruh sektor2 tersebut. Percaya saya, dengan begitu kinerja investasi anda tidak akan berjalan dengan baik. Gak ada hubungan antara memiliki banyak pengetahuan dengan kesuksesan dalam berinvestasi. Gak ada hubungan dengan tingginya IQ seseorang terhadap return investasi.
Saat memilih saham berdasarkan sektor bisnisnya, mulailah dari “apa yang harus dihindari” terlebih dahulu. Hal ini penting untuk membatasi diri kita terjebak ke dalam sesuatu yang tidak jelas, yang sama sekali kita tidak pahami secara fakta. Contohnya saya yang menghindari sektor pertambangan, pertanian, perkebunan, properti, konstruksi, ritel, infrastruktur, logistik, telekomunikasi, perbankan konvensional, asuransi, multifinance, dan bisnis2 high technology. Apa alasannya? Karena semua sektor tadi di luar kompetensi saya (kecuali sektor keuangan). Selain itu menurut saya di antara bisnis2 tersebut cukup sulit untuk dibayangkan cara kerjanya, high risk, bersiklus, over regulated, dan berpotensi untuk mengalami perubahan2 dramatis dalam waktu singkat. Jadi bisnis2 yang ribet seperti itu sulit untuk mempertahankan kinerjanya untuk tumbuh secara konsisten, karena biasanya mereka kurang mampu untuk menentukan sendiri nasibnya, artinya kondisi mereka lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal yang di luar kendali mereka.
Contoh perusahan tambang batubara, mereka itu price taker, bukan price maker. Mereka gak bisa seenaknya menargetkan penjualan dari hasil tambangnya karena ada harga acuan secara global yang berfluktuasi, dan jelas ini tidak bisa dikendalikan oleh perusahaan batubara. Jika harga acuan turun, maka otomatis perusahaan batubara beserta sektor turunannya seperti jasa pertambangan dan pengangkutan (shiping) akan mengalami penurunan kinerja. Sektor tambang lainnya (minyak bumi dan mineral2 lain) dan perkebunan juga mengalami hal yang sama, mereka price taker . Saya juga gak paham gimana cara kerjanya perusahaan2 commodity based ini dan saya juga tidak memiliki kemampuan untuk menebak siklus mereka sedang berada di mana. Ngapain mikirin siklus batubara? buang2 waktu, tenaga dan pikiran saja (bagi saya lho ya). Jadi mau sebagus apapun efisiensinya, mau sehebat apapun manajemennya, kalo harga acuan komoditas global anjlok, yasudah mau gimana lagi? Tetap saja perusahaan2 ini akan tertekan. Begitu juga pada bisnis properti dan konstruksi, saya gak paham gimana cara kerja bisnis ini. Dan perusahaan2 yang bergerak disini sangat bergantung kepada kontrak dan buyer2 tertentu saja. Selain itu kinerja mereka sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik, kondisi ekonomi makro dan tingkat suku bunga.
Contoh yang saya hindari lainnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi atau sebagai pencipta teknologi. Dibandingkan menjadi investornya, saya lebih memilih untuk menjadi konsumen mereka karena perusahaan pencipta teknologi itu sangat sulit untuk diprediksi kinerjanya karena bisnisnya kompleks dan dinamis betul. Hanya pemain yang memiliki inovasi tinggi yang dapat bertahan di bisnis high tech untuk waktu yang lama. Selain itu, mereka kadang membutuhkan high capex atau banyak tambahan modal untuk keperluan pengembangan teknologi agar bisa terus bertahan. Terlambat sedikit saja dalam berinovasi, mereka akan digulung oleh pendatang baru. Jadi, saya tidak tergoda untuk menanamkan uang dengan rayuan bisnis baru yang dianggap 'seksi'. Makanya kalo ada kesempatan untuk membeli saham Apple, Samsung, Huawei, Microsoft, Google, Facebook dan kawan2nya, saya gak akan pernah mau membelinya.
Lalu sektor apa yang saya pilih dan pahami? Yaitu sektor manufaktur yang memproduksi consumable product untuk menjamin recurring income perusahaan, atau bisa juga sektor perdagangan jasa (misal restoran). Saya lebih nyaman berinvestasi pada bisnis yang simple dan membosankan yang menghasilkan produk atau jasa yang akan terus dibutuhkan orang baik disaat senang maupun susah, yang tidak mudah terdisrupsi meskipun teknologi semakin berkembang. Perusahaan semacam ini akan lebih mudah untuk mencatatkan kinerja yang tumbuh stabil dan konsisten karena mereka bisa menjadi price maker dan lebih tahan terhadap fluktuasi perekonomian. Kelompok perusahaan semacam ini bukanlah perusahaan yang sangat menarik dan mengesankan dengan tingkat pertumbuhan yang fantastis. Mereka hanyalah perusahaan yang solid dan konsisten yang tidak berubah banyak dari tahun ke tahun meskipun trend dan jaman terus berubah, dan mereka tidak memerlukan high capital requirement, utang, capex dan biaya lain2 untuk memproduksi barang atau menawarkan suatu jasa serta menjalankan operasional usahanya.
Selain itu saya juga harus bisa membayangkan apakah perusahaan yang saya miliki saat ini produknya akan terus ada dan dibutuhkan (misal untuk 30 tahun ke depan). Lalu saya tanya anda: Manakah yang lebih mungkin tetap ada dan tidak akan banyak berubah untuk 30 tahun lagi, suatu aplikasi software atau susu UHT buatan Ultrajaya? Jawabannya jelas dan anak SMP pun tentu akan menjawab: SUSU. Eksistensi produk susu-nya $ULTJ untuk 30 tahun ke depan akan dialami juga oleh produk jamunya $SIDO biskuitnya $MYOR restoran $PZZA mie instannya $ICBP dan consumable product lainnya yang dihasilkan perusahaan2 di BEI seperti lakban, kardus, air mineral, aneka snack, deterjen, pasta gigi, sabun mandi, shampo, bahkan komponen otomotif yang fast moving parts (misal filter, busi, kampas rem, kampas kopling). Saya yakin barang2 tersebut akan berumur panjang, bahkan kalo terjadi resesi dan perang pun orang akan tetap membutuhkannya
Percaya saya, barang2 semacam fyberoptic, modem, software, komputer dan perangkat2nya itu bisa berubah dengan sangat cepat untuk dapat dipertaruhkan 30 tahun lagi. Begitu juga hasil tambang seperti minyak dan minerba yang suka tidak suka suatu saat nanti bakal habis. Nah, jika anda tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada bisnis tertentu dalam 30 tahun ke depan, berarti anda tidak memahami bisnis tersebut. Jika anda tidak mampu memahami bisnis tempat anda mempertaruhkan uang, maka anda sedang berspekulasi dengan total. Anda berangan-angan, bukan berpikir.
Sekali lagi, invetasi yang sukses itu biasanya diraih oleh mereka yang membatasi diri dengan menanamkan uangnya ke hal-hal yang dipahami saja. Udah 4 tahun saya berinvestasi dan menghasilkan kinerja dan return yang luar biasa itu bukan karena saya orang yang pintar atau ber-IQ tinggi dengan memahami banyak sektor, tapi justru karena saya membatasi diri saya dari hal2 yang tidak saya pahami. Ada 2 investor legendaris yang mengingatkan saya tentang paradigma berpikir seperti ini, yaitu Warren Buffett dengan konsep “Circle of Competence” dan Peter Lynch dengan konsep “invest in what you know”.
Namun saya sering mendapati orang yang menyalah artikan konsep dari Peter Lynch. Pokoknya kalo kita tahu dan suka sekali sama produk perusahaan, maka membeli saham perusahannya merupakan ide yang bagus. Aduh, ini salah boss, apalagi anda sangat cinta terhadap suatu saham hanya karena anda suka dengan produknya, ini sangat berbahaya (don’t try this at home). Ngerti maksud saya? misal begini, anda sangat menyukai snack Taro apalagi kalo makannya di gerai Seven Eleven sambil dicampur dengan cheese sauce, lalu anda sangat bernafsu pula untuk membeli saham AISA dan MDRN tanpa melakukan riset lebih lanjut. Atau anda suka menggunakan kosmetik dari Mustika Ratu lalu anda membeli saham MRAT tanpa riset lebih lanjut. Atau anda suka berpergian menggunakan pesawat Garuda Indonesia lalu anda membeli saham GIAA tanpa melakukan riset lebih lanjut. Apalagi ini perusahaan BUMN, kata orang perusahaan BUMN nggak mungkin bangkrut (sungguh konyol).
Invest in what you know atau berinvestai dalam apa yang kamu ketahui itu tidak hanya sekedar berinvestasi pada saham yang anda tahu dan yang sering anda gunakan produknya. Tapi anda juga harus kerjakan PR untuk memahami bagaimana proses bisnis perusahaan, bagaimana mereka beroperasi, bagaimana mereka mendapatkan uang, bagaimana manajemen dan track recordnya, bagaimana produk mereka di pasaran, bagaimana persaingan di industrinya, bagaimana kondisi keuangannya, dan bagaimana strategi perusahaan ke depan. Berinvestasi ke dalam yang anda tahu, itu hanyala awal. Step selanjutnya adalah “riset”.
Invetasi itu sebisa mungkin harus jauhi yang namanya “coba-coba”. Kalo anda gak yakin terhadap suatu bisnis, buat apa anda coba-coba kalo begitu? Ingat, itu uang anda sendiri lho, apalagi jika anda juga dipercaya untuk mengelola uang orang lain, terus anda menerapkan “coba-coba”? asal taro saja, soal bisnisnya kayak apa itu urusan lain, “yang penting saya pernah lihat perusahaan ini dan kata orang ini perusahaan hebat, apalagi rumornya harga sahamnya mau naik”. Begitu ya? Kalo iya, sama saja anda semakin menjadikan bursa efek layaknya kasino Las Vegas.
Itulah mengapa saya lebih suka quotes dari Warren Buffett, yaitu berinvestasi dalam lingkaran kompetensi. Coba perhatikan, ada kata “kompetensi” disitu yang artinya adalah suatu keterampilan, pengetahuan, sikap dasar, dan nilai yang terdapat dalam diri seseorang yang tercermin dari kemampuan berpikir dan bertindak secara konsisten. Dengan kata lain, kompetensi tidak hanya tentang pengetahuan atau kemampuan seseorang, namun kemauan melakukan apa yang diketahui sehingga menghasilkan manfaat.
Berinvestasi tanpa riset, maka apapun keputusan anda nantinya bisa meleset. Waspadalah. Saran saya, anda boleh tulis atau membuat daftar industri atau bisnis yang anda merasa nyaman untuk bersamanya, yang anda betul2 pahami cara kerjanya. Hal ini akan membantu untuk mendefinisikan lingkaran kompetensi anda. Ingat ya, setiap orang memiliki lingkaran kompetensi yang berbeda-beda. Jangan merasa minder dengan lingkaran orang lain yang lebih besar karena yang terpenting adalah bukan besarnya lingkaran tersebut, tetapi bagaimana anda tetap berada dalam lingkaran yang anda optimalkan.
Sekali lagi, kesuksesan berinvestasi saham tidak ditentukan oleh sebarapa banyak anda memahami sektor/industri, tapi lebih ditentukan oleh sebarapa paham anda terhadap industri tertentu dimana anda menanamkan uang, atau seberapa arif anda bisa membatasi diri dalam hal yang tidak dimengerti. Anda sebetulnya tidak perlu untuk menjadi seorang ahli diberbagai industri dengan mempelajari semuanya, tapi lebih baik anda perdalam pemahaman anda terhadap industri yang selama ini anda kenali. Saya juga suka dengan pendapat dari Bruce Lee: “I am not afraid of a person who knows 10.000 kicks. But I am afraid of a person who knows one kick but practices it for 10.000 times.”. Paham ya?
Tulisan saya ini bukan berarti saya memaksa anda untuk mengikuti gaya saya. Tolong jangan salah artikan lagi. Di judul saya tulis: “Berinvestasi dalam Lingkaran Kompetensi”, artinya jika anda memiliki kompetensi atau mengerti cara kerja perusahaan di sektor2 yang saya hindari, maka sebaiknya anda jalan terus. Jika anda paham betul bisnis tambang dan bisa menebak siklusnya dengan tepat, maka lanjutkan kompetensi anda tersebut. Saya gak akan bisa sesukses anda dalam berinvestasi di sektor pertambangan karena anda memiliki keahlian dan pemahaman di bidang itu. Sekali lagi, salah satu prinsip investasi yang baik itu adalah menanamkan uang ke sesuatu yang anda pahami, bukan ke sesuatu yang “kata orang” akan begini-begitu, atau menjadi the next Unilever.