$TELE – Performance YTD Sep 2019
Akhirnya TELE menerbitkan laporan keuangan YTD Sep 2019. Investor tentunya memaklumi keterlambatan tersebut jika laporan keuangan yang disampaikan telah mendapatkan review dari KAP. Ternyata TELE lebih memilih mendapatkan notasi khsusus dari BEI dengan status L “Perusahaan Tercatat belum menyampaikan laporan keuangan”
Dibandingkan periode YTD Sep 2018, kinerja YTD Sep 2019 mengalami penurunan;
Sales sebesar Rp. 19.947.767 turun 12% dibandingkan dengan periode YTD Sep 2018.
Laba bersih Rp.382.521 turun 11% dibandingkan dengan periode YTD Sep 2018.
Jika pada periode YTD Jun 2019, Cash Flows from Operating (CFO) yang dihasilkan hanya Rp.70.953, maka pada periode YTD Sep 2019 CFO meroket hampir 6 X lipat menjadi Rp. 423.780. Penyebab utama kenaikan CFO adalah hasil kinerja laba periode periode Jul-Sep 2019 yang menghasilkan cash profit sebesar Rp. 217.472 dan emiten mengurangi belanja persediaan sebesar Rp.218.848. Adapun penyebab utama penurunan belanja persediaan kemungkinan selaras dengan penurunan penjualan pada tahun ini.
Pada tahun ini emiten membayar dividen sebesar Rp.39.798, menerbitkan obligasi sebesar Rp. 553.674, dan mencairkan deposito yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp. 31.730. Sehingga cash on hand seharusnya bertambah sebesar :
= 423.780 - 39.798 + 553.674 + 31.730 = Rp. 969.386
Jika saldo cash on hand awal tahun 2019 sebesar Rp. 418.279, maka saldo cash on hand emiten pada tanggal 30 Sep 2019, seharusnya sebesar = 418.279 + 969.386 = Rp. 1.387.665.
Tetapi, ternyata saldo cash on hand emiten pada tanggal 30 Sep 2019 hanya sebesar Rp. 1.072.832 atau kurang sebesar Rp. 314.833. Kemanakah uang tersebut digunakan?
Berdasarkan catatan LK No.6 ternyata emiten meminjamkan uang kepada banyak pihak ketiga sebagai berikut;
ARP = Rp. 295.513 + PT Sejahtera Telekomunikasi = Rp. 13.715 + PT Setia Utama Towerindo = Rp. 13.645 = total yang dipinjamkan = Rp. 322.873
Atas piutang tersebut emiten hanya menjelaskan “Piutang lain-lain merupakan piutang atas operasional lainnya diluar piutang atas penjualan barang dagangan yang akan dilunasi dalam waktu satu tahun, sehingga disajikan sebagai aset lancar”.
Apakah informasi tersebut dapat meyakinkan para investor, bahwa transaksi peminjaman tersebut wajar dan memberikan benefit untuk emiten?
Kas yang dipinjamkan tersebut jumlahnya sangat material mencapai 84% dari laba bersih emiten. Jika dihubungkan dengan obligasi yang diterbitkan oleh emiten dan mendapatkan dana obligasi sebesar Rp. 553.674, menjadikan se-olah-olah dana obligasi sebagian besar digunakan untuk memberikan pinjaman kepada pihak ketiga tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan maksud dan tujuan penggunaan dana obligasi yang telah disampaikan dalam prospektus obligasi.
Emiten juga tidak menyampaikan keterbukaan informasi kepada publik, yang dapat menjelaskan latar belakang, manfaat serta terms and conditions atas peminjaman kepada pihak ketiga tersebut. Sehingga kesimpulan penulis terjadi indikasi “financial engineering” dalam rangka me-mark-up laba. Dan seandainya pinjaman tersebut adalah praktik financial engineering maka laba emiten harus dikoreksi menjadi = 382.521 - 322.873 = Rp.59.648.
Dengan performance laba setelah koreksi hanya sebesar Rp.59.648 akan membuat posisi emiten tidak dapat memenuhi kewajiban yang tercantum dalam “debt covenant” yang disyaratkan oleh para kreditor emiten. Dimana minimum EBITDA = 2,25 X dari beban bunga jatuh tempo atau pada tanggal 30 Sep 2019 = 2,25 X 265.680 = 597.780.
EBITDA saat ini = Net profit + Depreciation + Interest + Tax = 382.521+ 16.602 + 265.680 + 131.847 = Rp.796.650
Interest service coverage ratio = 796.650 / 265.680 = 3 X; memenuhi syarat debt covenant
Jika net profit dikoreksi akibat financial engineering menjadi Rp. 59.648, maka
EBITDA = 59.648 + 16.602 + 265.680 + 131.847 = Rp.473.777
Interest service coverage ratio = 473.777/ 265.680 = 1,8 X; tidak memenuhi syarat debt covenant
Apakah dengan pemberian pinjaman kepada pihak ketiga tersebut akan menggangu cash flows emiten? Kebetulan sampai dengan saat ini saldo cash emiten sedang berlimpah sebesar Rp. 1.072.832, dibandingkan dengan utang berbunga jatuh tempo dalam waktu satu tahun hanya sebesar Rp. 539.027 dan setelah utang berbunga jatuh tempo tersebut dibayar saldo kas emiten tersisa sebesar Rp. 533.805. Apakah sisa saldo kas tersebut cukup untuk memastikan tidak ada gangguan operasional bisnis emeiten? Berdasarkan data hidtoris pada tanggal 31 Des 2018 saldo cash on hand sebesar Rp. 418.279 dan pada tanggal 31 Des 2017 sebesar Rp. 872.829. Dengan demikian jika saldo kas emiten sebesar Rp. 533.805 masih dalam rata-rata saldo kas historis yang terbukti tidak menggangu operasional bisnis emiten.
Tidak lengkap jika membahas TELE tanpa membahas kemampuan emiten melunasi seluruh utang berbunga. Secara teoritis emiten memang tidak akan mampu melunasi utang berbunga. Hal ini karena nature of business emiten yang membutuhkan modal kerja sangat besar. Per 30 Sep 2019 modal kerja yang harus emiten sediakan sebesar (current assets – current liabilities) = Rp.6.777.583. Bandingkan dengan equitas yang dimiliki emiten per 30 Sep 2019 = Rp. 4.284.453. Dengan demikian Jika emiten ingin mengurangi hutang, para shareholder TELE harus menyuntikan modal sebesar paling tidak sebesar Rp. 2.493.130, agar supaya total ekuitas = modal kerja.
Management TELE dengan nama besar TLKM sebagai salah satu shareholder lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman dari kreditor dan terbukti berhasil mendapatkan pinjaman dalam bentuk;
Dari Bank, TELE mendapatkan pinjaman dengan fasilitas “revolving loan facility” yang artinya TELE bebas untuk menarik pinjaman membayar pinjaman pada waktu yang flexible dan biasanya selalu diperpanjang periode jatuh temponya. Oleh karena itu debt covenant pada fasilitas ini menempatkan kemampuan emiten membayar bunga jatuh tempo (Interest Service Coverage Ratio) sebagai prioritas utama. Bukan kemampuan emiten membayar utang pokok dan bunga jatuh tempo.
Sedangkan dari kreditor obligasi TELE sukses mendapatkan “Obligasi Berkelanjutan“ yang artinya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo, TELE akan kembali menerbitkan Obligasi yang digunakan untuk membayar obligasi yang jatuh tempo dari periode sebelumnya.
Dengan fasilitas kredit tersebut, shareholder tidak perlu menambah setoran modal misalnya dalam bentuk right issue. Yang mana right issue akan merugikan existing shareholder yang tidak berkeinginan untuk membeli saham right issue.
Demikian ulasan mengenai TELE semoga bermanfaat.
Ps : semua angka disajikan dalam satuan juta